Dengan langkah kakinya yang lebar, dalam hitungan detik Abyan sudah berdiri di depan pintu kamar tamu yang ditempati oleh Nayla dan Airin. Tanpa membuang-buang waktu lagi, pria yang tengah memakai kaus hitam dan celana pendek itu segera membuka pintu tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Seketika itu juga, suara tangisan Airin pun berhenti.
“Mas Abyan!” Nayla terperanjat kaget. Saat itu ia tengah berbaring di sisi Airin sambil memberinya susu formula.
“Em ... maaf, Nay. Aku hanya ingin melihat Airin,” ucap Abyan dengan sedikit gugup. Ia merasa bersalah karena menerobos masuk begitu saja dan membuat gadis bermanik cokelat itu kaget.
Nayla pun segera mengubah posisinya menjadi duduk. Jantungnya tiba-tiba berdegup dengan kencang saat berhadapan dengan Abyan. Dia jadi salah tingkah dan merasa kurang nyaman saat berada di dekat laki-laki yang masih berstatus sebagai kakak iparnya itu.
“Nay, kamu sudah salat Subuh belum?” tanya Mama Mayang yang tiba-tiba muncul dari belakang Abyan.
“Belum, Tante,” jawab Nayla jujur. Tangan kanannya masih memegangi botol susu Airin yang isinya tinggal separuh.
“Kalau begitu kamu salat saja dulu. Biar Tante yang jagain Airin.”
“Iya, Tante.” Nayla pun bangkit dari tempat tidur setelah wanita paruh baya itu menggantikan posisinya untuk memberi susu kepada Airin. Dengan menundukkan wajah, Nayla pun melenggang menuju kamar mandi untuk mengambil air wudu.
Abyan perlahan mendekati Airin dan melabuhkan pinggulnya di bibir ranjang. Sejenak ia menatap bayinya yang sedang menghisap susu formula dengan sangat rakus. Seandainya saja Aleya masih hidup, pasti Airin akan mendapatkan ASI yang jauh lebih baik.
“Ma, boleh aku menggendong Airin?” tanya Abyan setelah Airin mengosongkan botol susunya. “Aku ingin mengajaknya ke atas.”
“Tentu saja, Abyan. Kamu ‘kan ayahnya.” Mama Mayang pun mengangkat Airin dan memberikannya kepada Abyan dengan hati-hati.
Abyan tersenyum senang saat menatap wajah bayi mungil itu. Lantas ia mendaratkan kecupan lembut di kedua pipinya yang tembam seperti kue bakpao.
“Sayang, ini Papa. Kamu cantik sekali seperti ibumu,” desis Abyan dengan mata yang berkaca-kaca. Ia pun bangkit dan membawa Airin ke lantai atas. Sementara Mama Mayang beranjak ke dapur untuk membantu Mbok Sum menyiapkan sarapan.
Abyan menaiki anak tangga satu per satu sambil menggendong Airin. Ia menghentikan langkah tepat di depan pintu kamar bayi yang bersebelahan dengan kamarnya. Lantas tangan kanannya terulur untuk menekan hendel pintu dan membukanya.
Sejenak Abyan terpaku di ambang pintu sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Kamar bayi bernuansa merah muda itu didesain sendiri olehnya saat Aleya hamil enam bulan. Semuanya serba pink. Mulai dari cat dinding, korden, karpet, furniture, dan juga perlengkapan bayi lainnya. Banyak sekali boneka dan mainan yang menghiasi ruangan itu. Ada juga kamar mandi kecil untuk memandikan bayi.
Abyan pun melangkah masuk dan menidurkan Airin ke dalam box bayi yang dihiasi kelambu polos berwarna merah muda. Setelah itu, ia duduk di single sofa dan termenung panjang mengingat kembali masa-masa indahnya bersama Aleya.
***
Abyan tersentak dari lamunan panjangnya saat seseorang memasuki kamar Airin. Sontak pria itu menoleh ke arah pintu.
“Abyan, makanan sudah siap. Ayo kita sarapan dulu! Biar Mbok Sum yang mandiin Airin.”
Ternyata Mama Mayang yang datang. Di belakangnya, muncul seorang wanita setengah baya yang tidak lain adalah asisten rumah tangga Abyan.
“Iya, Ma.” Kali ini Abyan menuruti perintah ibunya. Tiba-tiba ia merasa lapar karena hampir dua hari perutnya tidak terisi makanan.
Di ruang makan, semua orang sudah berkumpul. Berbagai macam makanan dan minuman lezat tampak memenuhi meja kayu berbentuk persegi panjang itu. Abyan dan Mama Mayang pun menarik kursi dan duduk bergabung bersama mereka.
“Nak Abyan, syukurlah kalau kamu sudah sehat. Bapak senang sekali melihatmu,” tutur Pak Hasan sambil tersenyum ke arah menantunya.
“Alhamdulillah, Pak,” sahut Abyan membalas senyuman mertuanya.
Karena semua orang sudah berkumpul, mereka pun mulai berdoa dan sarapan bersama dengan hangat. Tidak ada seorang pun yang mengeluarkan suara. Hanya terdengar denting sendok dan piring yang saling beradu. Sampai akhirnya Rea memecah keheningan.
“Kak Abyan, Kakak harus makan yang banyak! Ini semua Nayla loh yang masak. Masakannya enak banget, kan?” tanya Rea kepada kakaknya.
Merasa namanya disebut, Nayla sontak menjeling ke arah Rea. “Aku cuma bantuin Mbok Sum, Ibu, sama Tante Mayang aja tadi, Re,” sangkalnya.
“Jangan merendah begitu, Nay. ‘Kan memang kamu dan Bu Saida yang masak tadi,” tukas Mama Mayang. “Tante sama Mbok Sum ‘kan cuma bantuin ngupas bawang sama petik cabai.”
“Gimana Abyan, enak enggak masakan Nayla?” tanya Papa Angga saat melihat Abyan telah mengosongkan piringnya.
“Enak, Pa,” sahut Abyan setelah menenggak segelas air putih.
“Ternyata selain cantik, kamu jago masak juga ya, Nay? Kamu juga pandai merawat bayi. Buktinya, Airin nyaman banget kalau sama kamu,” imbuh Rea. Dia sengaja memuji-muji Nayla di depan kakaknya agar ia setuju untuk menikahinya.
Mendengar semua orang memujinya, Nayla kembali menundukkan kepala. Kedua pipinya sudah merah merona seperti tomat. Namun, Abyan sama sekali tidak peduli. Baginya, hanya Aleya satu-satunya wanita yang paling spesial di hatinya. Tidak ada wanita mana pun yang bisa menggantikan posisinya.
Selesai sarapan, Papa Angga mengajak semua orang untuk berkumpul di ruang keluarga. Dia ingin membahas sesuatu yang kemarin sempat tertunda gara-gara Abyan sakit. Awalnya Abyan menolak, tetapi setelah Papa Angga mendesaknya, akhirnya ia pun menurut.
Setelah semua orang duduk berkumpul di sofa, Papa Angga pun mulai membuka suara.
“Abyan, Nayla, Papa ingin tahu apa keputusan kalian? Apa kalian mau memenuhi permintaan terakhir Aleya?” tanya pria berkacamata itu sambil menatap mereka secara bergantian.
Abyan maupun Nayla hanya diam sambil menundukkan kepala. Mereka sudah mengira kalau Papa Angga pasti akan membahas soal itu.
“Abyan!” seru Papa Angga karena keduanya masih bungkam.
“Aku enggak mau, Pa,” tolak Abyan mentah-mentah. Ia benar-benar tidak habis pikir, kenapa ayahnya secepat itu membicarakan soal pernikahan. Padahal Aleya baru saja meninggal. Kuburannya saja masih basah.
“Kenapa, Abyan? Apa kamu tidak kasihan pada Airin? Siapa yang akan merawatnya nanti? Saat ini dia sangat membutuhkan kasih sayang seorang ibu. Dan menurut Papa, hanya Nayla yang pantas menjadi ibunya,” tanya Papa Angga lagi.
“Kak Abyan, Rea setuju kalau Kak Abyan nikah sama Nayla,” sela Rea.
“Mama juga setuju, Abyan,” imbuh Mama Mayang. “Tapi keputusan ada di tangan kalian. Karena kalianlah yang akan menjalaninya.”
Pak Hasan dan Bu Saida hanya bungkam. Mereka menyerahkan segala keputusan di tangan Nayla. Sedangkan Nayla sejak tadi hanya menunduk dengan bibir yang terkunci rapat. Bayangan wajah Revan dan Aleya muncul secara bergantian di kepalanya. Saat itu hatinya benar-benar dilema. Apakah ia harus mempertahankan cintanya pada Revan atau memenuhi permintaan terakhir kakaknya.
“Nayla, bagaimana denganmu? Apa kamu mau memenuhi permintaan terakhir kakakmu?”
Mendengar pertanyaan Papa Angga, Nayla sontak menegakkan kepalanya. Ia menatap wajah ayah dan ibunya silih berganti seolah-olah mencari jawaban.
Lalu tiba-tiba saja, suara tangisan bayi terdengar memenuhi ruangan. Semua orang pun mendongak ke atas. Mbok Sum tampak menuruni anak tangga sambil menggendong Airin yang sedang menangis kencang.
“Airin kenapa, Mbok?” Nayla sontak berdiri dan berlari menghampiri Mbok Sum.
“Simbok enggak tahu, Non. Tiba-tiba dia nangis.”
Nayla pun segera mengambil Airin dari tangan Mbok Sum. Anehnya, tangisan Airin langsung berhenti saat kedua tangan Nayla merengkuh tubuh mungil bayi itu.
“Lihatlah Abyan, sekarang apa keputusanmu?” tanya Papa Angga kemudian.
Tok tok tok! Suara ketukan pintu membuat Abyan terseret ke alam nyata. Sejak beberapa saat yang lalu, pria itu berdiri sambil termenung menatap foto pernikahannya dengan Aleya yang tergantung di dinding kamarnya. Pintu pun terkuak. Sosok Rea tampak berjalan memasuki kamar kakaknya. “Kak Abyan, ayo kita turun! Petugas KUA sudah datang,” seru gadis cantik yang memakai kebaya berwarna kuning keemasan itu. Abyan pun memutar kepalanya ke arah Rea. Baju pengantin berwarna putih yang dipadukan dengan kain batik tampak membalut tubuhnya yang tinggi besar. Kopiah berwarna senada bertengger di kepalanya. Kalung bunga melati yang tergantung di leher, menambah kesempurnaan penampilannya siang itu. “Hari ini Kakak terlihat sangat tampan,” puji Rea sambil tersenyum. “Tapi akan lebih tampan lagi kalau ada senyuman yang menghiasi wajah Kakak.” “Bagaimana aku bisa tersenyum, Rea? Aku sama sekali tidak menginginkan pernikahan ini. Aku tidak mencintai Nayla,” te
Abyan bergegas menuju kamar tamu untuk melihat bayinya. Nayla mengikutinya dari belakang. Sesi foto keluarga pun terpaksa dihentikan. Papa Angga dan Mama Mayang menggiring para tamunya untuk mencicipi jamuan makan siang yang telah disediakan di meja prasmanan. “Airin!” seru Abyan yang terlebih dahulu sampai ke kamar tamu. Di sana ada Mbok Sum yang tengah menjaga Airin selama akad nikah berlangsung. “Airin kenapa, Mbok?” tanya Abyan mendekati mereka. “Non Airin baru bangun tidur, Tuan. Mungkin dia kehausan,” sahut Mbok Sum yang sedang menggendong Airin dan berusaha menenangkannya. “Mbok, berikan Airin padaku!” seru Nayla yang sudah memasuki kamarnya. Mbok Sum pun segera memberikan bayi itu. “Cup cup cup ... Sayang, jangan nangis lagi ya! Mama ada di sini,” desis Nayla berusaha menenangkan Airin. Dikecupnya pipi tembam bayi itu dengan penuh kasih sayang. Tak lama kemudian, tangisan Airin pun mereda. Benar-benar ajaib! Abyan terpaku mempe
Benar saja, Revan masih berusaha keras untuk menghubunginya. Jantung Nayla semakin berdebar tidak karuan. Hatinya diliputi ketakutan yang kian mencekam. Apakah ia harus jujur dan membongkar semuanya? Apakah ia harus mengakhiri hubungannya dengan Revan dan membiarkan hati mereka sama-sama tersakiti? Di tengah kekalutannya, tiba-tiba seorang wanita berusia tiga puluh tahunan masuk ke kamarnya. Wanita itu tidak lain adalah seorang MUA (Make Up Artist) yang tadi meriasnya. Tanpa berpikir panjang, Nayla segera mematikan ponselnya dan menaruhnya di atas nakas. “Mau dilepas sekarang Mbak, kebayanya?” tanya wanita bermata sipit itu. “Eh ... iya, Mbak,” jawab Nayla sedikit gugup. Setelah melepas semua hiasan kepala dan pakaian pengantinnya, Nayla pun beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Di bawah siraman air shower yang segar, pikiran Nayla kembali dipenuhi oleh bayang-bayang Revan. Hatinya kian gelisah dan dipenuhi rasa bersalah. Ia tidak a
Nayla memasuki kamarnya. Sekilas ia melirik ke arah jarum jam dinding yang hampir menunjukkan pukul sembilan malam. Lalu pandangannya teralih ke arah Airin yang tertidur pulas di atas ranjang dengan kain bedung bermotif binatang yang membalut tubuh mungilnya. Di jam-jam seperti ini, Airin memang sangat anteng. Namun, saat tengah malam, bayi itu akan terbangun dan menangis dengan kencang karena kehausan. Nayla sudah sangat hafal karena sudah satu minggu ia tidur bersamanya. Nayla mengambil tas perlengkapan bayi, lalu memasukkan semua pakaian Airin, popok, susu formula, dan perlengkapan bayi lainnya. Setelah semuanya beres, ia pun menggendong Airin dengan hati-hati sekali agar bayi itu tidak kaget dan terbangun, kemudian mencangklongkan tas perlengkapan bayi tersebut di bahu kanannya. Dengan sebongkah keraguan dalam dada, Nayla beranjak keluar dari kamarnya. Langkah kakinya terasa amat berat. Saat itu ia benar-benar takut kalau Abyan akan menolaknya mentah-mentah dan m
Nayla membuka mata saat suara tangisan Airin menusuk gendang telinganya. Ia pun beringsut bangun. Dengan cepat kedua tangannya membuka kain bedung yang membalut tubuh Airin, lalu mengecek popoknya. “Airin kenapa, Nay?” Suara Abyan membuat Nayla tersentak kaget. Tiba-tiba pria itu sudah berdiri tegak di sampingnya. Ia sama sekali tidak mendengar langkah kakinya. “Emh ... ini, Mas. Kayaknya popoknya penuh. Aku akan menggantinya,” sahut Nayla tanpa menoleh ke arah pria itu. Tangannya bergerak cepat merobek sisi kanan dan kiri popok Airin. “Mungkin dia haus,” tutur Abyan dengan panik saat tangisan Airin terdengar semakin kencang. “Iya, Mas. Apa Mas bisa menolongku untuk membuatkan susu?” tanya Nayla yang sudah berdiri untuk mengambil popok baru di dalam tas perlengkapan bayi. “Baiklah. Mana susunya?” Nayla pun mengeluarkan satu kotak susu formula, botol kecil, dan termos kecil dari dalam tas, lantas menyerahkannya kepada Abyan. Aby
Hidup Nayla selama ini terbilang sempurna di mata masyarakat. Segala yang ia inginkan bisa terpenuhi. Makanan lezat, pakaian branded, dan barang-barang mewah lainnya bisa ia dapatkan dengan mudah. Hanya dengan menggesek kartu ajaib yang Abyan berikan untuknya. Seolah-olah isi dalam kartu itu tidak ada habisnya. Lahirnya ia kelihatan bahagia. Namun, siapa sangka, kalau selama ini batinnya amat tersiksa. Mahligai yang terbina sejak tiga tahun yang lalu seolah-olah menjadi penjara emas yang membelenggunya, mengekang kebebasannya, dan membatasi ruang geraknya. Setiap hari Nayla hanya menghabiskan waktu di rumah untuk menjaga Airin. Sementara Abyan, dia hanya sibuk mengurus pekerjaannya di kantor. Abyan Raffasya adalah seorang pengusaha sukses di Jakarta. Ia pemilik dari PT Raffasya Land, perusahaan properti terbesar di ibu kota. Sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pembangunan hotel, vila, perumahan, dan apartemen di kawasan Asia Tenggara meliputi Indonesia, Singapu
Toyota Fortuner putih tampak memasuki pintu gerbang utama. Sepanjang perjalanan dari sekolah sampai di rumah, Nayla hanya termenung memikirkan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Airin kepadanya di meja makan tadi. Haruskah ia bicara pada Abyan dan memintanya untuk sedikit saja memberikan perhatian pada Airin? “Nyonya, kita sudah sampai.” Suara parau Pak Mahmud membuyarkan lamunan Nayla. Saking seriusnya melamun, ia tidak menyadari kalau mobilnya sudah berhenti tepat di depan rumah. “Eh iya, Pak. Sudah sampai ya?” “Sudah, Nyah.” Nayla segera turun dari mobil, lantas melangkah gontai memasuki rumah. “Sudah pulang, Nyah?” tanya Mbok Sum dengan ramah. Wanita paruh baya itu tengah membersihkan debu-debu yang menempel di perabotan rumah dengan kemoceng. “Sudah, Mbok,” jawab Nayla lirih. Ia pun meletakkan sling bag-nya di meja, lantas menjatuhkan tubuhnya duduk bersandar di sofa untuk melepas lelah. Ia terlihat muram. Sama se
Nayla melirik jam di pergelangan tangan kirinya yang menunjukkan pukul 09.55. Itu artinya lima menit lagi Airin akan keluar dari kelasnya. Nayla tampak berdiri menunggu di halaman sekolah bersama dengan orang tua lainnya yang juga sedang menjemput putra-putri mereka. Lima menit kemudian, terdengar bunyi bel yang menandakan kalau sekolah telah usai. Murid-murid tampak berhambur keluar dari kelasnya. Begitu melihat sosok Airin, Nayla pun melambaikan tangan kanannya sambil mengulum senyuman. “Mamaaa!” teriak Airin sambil berlari menyongsong ibunya. Nayla pun menekuk lutut dan menyambut tubuh kecil Airin ke dalam pelukannya. “Halo, Sayang. Bagaimana sekolahmu hari ini?” Airin pun mulai bercerita panjang lebar tentang apa saja yang diajarkan oleh gurunya hari itu. Nayla mendengarkan sambil menggandeng tangan kecil putrinya itu menuju tempat parkir. “Sayang, sebelum pulang bagaimana kalau kita jalan-jalan ke mall dulu? Nanti Mama beliin es k