Share

Bab 5 : Rapat Keluarga

Dengan langkah kakinya yang lebar, dalam hitungan detik Abyan sudah berdiri di depan pintu kamar tamu yang ditempati oleh Nayla dan Airin. Tanpa membuang-buang waktu lagi, pria yang tengah memakai kaus hitam dan celana pendek itu segera membuka pintu tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Seketika itu juga, suara tangisan Airin pun berhenti.

“Mas Abyan!” Nayla terperanjat kaget. Saat itu ia tengah berbaring di sisi Airin sambil memberinya susu formula.

“Em ... maaf, Nay. Aku hanya ingin melihat Airin,” ucap Abyan dengan sedikit gugup. Ia merasa bersalah karena menerobos masuk begitu saja dan membuat gadis bermanik cokelat itu kaget.

Nayla pun segera mengubah posisinya menjadi duduk. Jantungnya tiba-tiba berdegup dengan kencang saat berhadapan dengan Abyan. Dia jadi salah tingkah dan merasa kurang nyaman saat berada di dekat laki-laki yang masih berstatus sebagai kakak iparnya itu.

“Nay, kamu sudah salat Subuh belum?” tanya Mama Mayang yang tiba-tiba muncul dari belakang Abyan.

“Belum, Tante,” jawab Nayla jujur. Tangan kanannya masih memegangi botol susu Airin yang isinya tinggal separuh.

“Kalau begitu kamu salat saja dulu. Biar Tante yang jagain Airin.”

“Iya, Tante.” Nayla pun bangkit dari tempat tidur setelah wanita paruh baya itu menggantikan posisinya untuk memberi susu kepada Airin. Dengan menundukkan wajah, Nayla pun melenggang menuju kamar mandi untuk mengambil air wudu.

Abyan perlahan mendekati Airin dan melabuhkan pinggulnya di bibir ranjang. Sejenak ia menatap bayinya yang sedang menghisap susu formula dengan sangat rakus. Seandainya saja Aleya masih hidup, pasti Airin akan mendapatkan ASI yang jauh lebih baik.

“Ma, boleh aku menggendong Airin?” tanya Abyan setelah Airin mengosongkan botol susunya. “Aku ingin mengajaknya ke atas.”

“Tentu saja, Abyan. Kamu ‘kan ayahnya.” Mama Mayang pun mengangkat Airin dan memberikannya kepada Abyan dengan hati-hati.

Abyan tersenyum senang saat menatap wajah bayi mungil itu. Lantas ia mendaratkan kecupan lembut di kedua pipinya yang tembam seperti kue bakpao.

“Sayang, ini Papa. Kamu cantik sekali seperti ibumu,” desis Abyan dengan mata yang berkaca-kaca. Ia pun bangkit dan membawa Airin ke lantai atas. Sementara Mama Mayang beranjak ke dapur untuk membantu Mbok Sum menyiapkan sarapan.

Abyan menaiki anak tangga satu per satu sambil menggendong Airin. Ia menghentikan langkah tepat di depan pintu kamar bayi yang bersebelahan dengan kamarnya. Lantas tangan kanannya terulur untuk menekan hendel pintu dan membukanya.

Sejenak Abyan terpaku di ambang pintu sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Kamar bayi bernuansa merah muda itu didesain sendiri olehnya saat Aleya hamil enam bulan. Semuanya serba pink. Mulai dari cat dinding, korden, karpet, furniture, dan juga perlengkapan bayi lainnya. Banyak sekali boneka dan mainan yang menghiasi ruangan itu. Ada juga kamar mandi kecil untuk memandikan bayi.

Abyan pun melangkah masuk dan menidurkan Airin ke dalam box bayi yang dihiasi kelambu polos berwarna merah muda. Setelah itu, ia duduk di single sofa dan termenung panjang mengingat kembali masa-masa indahnya bersama Aleya.

***

Abyan tersentak dari lamunan panjangnya saat seseorang memasuki kamar Airin. Sontak pria itu menoleh ke arah pintu.

“Abyan, makanan sudah siap. Ayo kita sarapan dulu! Biar Mbok Sum yang mandiin Airin.”

Ternyata Mama Mayang yang datang. Di belakangnya, muncul seorang wanita setengah baya yang tidak lain adalah asisten rumah tangga Abyan.

“Iya, Ma.” Kali ini Abyan menuruti perintah ibunya. Tiba-tiba ia merasa lapar karena hampir dua hari perutnya tidak terisi makanan.

Di ruang makan, semua orang sudah berkumpul. Berbagai macam makanan dan minuman lezat tampak memenuhi meja kayu berbentuk persegi panjang itu. Abyan dan Mama Mayang pun menarik kursi dan duduk bergabung bersama mereka.

“Nak Abyan, syukurlah kalau kamu sudah sehat. Bapak senang sekali melihatmu,” tutur Pak Hasan sambil tersenyum ke arah menantunya.

“Alhamdulillah, Pak,” sahut Abyan membalas senyuman mertuanya.

Karena semua orang sudah berkumpul, mereka pun mulai berdoa dan sarapan bersama dengan hangat. Tidak ada seorang pun yang mengeluarkan suara. Hanya terdengar denting sendok dan piring yang saling beradu. Sampai akhirnya Rea memecah keheningan.

“Kak Abyan, Kakak harus makan yang banyak! Ini semua Nayla loh yang masak. Masakannya enak banget, kan?” tanya Rea kepada kakaknya.

Merasa namanya disebut, Nayla sontak menjeling ke arah Rea. “Aku cuma bantuin Mbok Sum, Ibu, sama Tante Mayang aja tadi, Re,” sangkalnya.

“Jangan merendah begitu, Nay. ‘Kan memang kamu dan Bu Saida yang masak tadi,” tukas Mama Mayang. “Tante sama Mbok Sum ‘kan cuma bantuin ngupas bawang sama petik cabai.”

“Gimana Abyan, enak enggak masakan Nayla?” tanya Papa Angga saat melihat Abyan telah mengosongkan piringnya.

“Enak, Pa,” sahut Abyan setelah menenggak segelas air putih.

“Ternyata selain cantik, kamu jago masak juga ya, Nay? Kamu juga pandai merawat bayi. Buktinya, Airin nyaman banget kalau sama kamu,” imbuh Rea. Dia sengaja memuji-muji Nayla di depan kakaknya agar ia setuju untuk menikahinya.

Mendengar semua orang memujinya, Nayla kembali menundukkan kepala. Kedua pipinya sudah merah merona seperti tomat. Namun, Abyan sama sekali tidak peduli. Baginya, hanya Aleya satu-satunya wanita yang paling spesial di hatinya. Tidak ada wanita mana pun yang bisa menggantikan posisinya.

Selesai sarapan, Papa Angga mengajak semua orang untuk berkumpul di ruang keluarga. Dia ingin membahas sesuatu yang kemarin sempat tertunda gara-gara Abyan sakit. Awalnya Abyan menolak, tetapi setelah Papa Angga mendesaknya, akhirnya ia pun menurut.

Setelah semua orang duduk berkumpul di sofa, Papa Angga pun mulai membuka suara.

“Abyan, Nayla, Papa ingin tahu apa keputusan kalian? Apa kalian mau memenuhi permintaan terakhir Aleya?” tanya pria berkacamata itu sambil menatap mereka secara bergantian.

Abyan maupun Nayla hanya diam sambil menundukkan kepala. Mereka sudah mengira kalau Papa Angga pasti akan membahas soal itu.

“Abyan!” seru Papa Angga karena keduanya masih bungkam.

“Aku enggak mau, Pa,” tolak Abyan mentah-mentah. Ia benar-benar tidak habis pikir, kenapa ayahnya secepat itu membicarakan soal pernikahan. Padahal Aleya baru saja meninggal. Kuburannya saja masih basah.

“Kenapa, Abyan? Apa kamu tidak kasihan pada Airin? Siapa yang akan merawatnya nanti? Saat ini dia sangat membutuhkan kasih sayang seorang ibu. Dan menurut Papa, hanya Nayla yang pantas menjadi ibunya,” tanya Papa Angga lagi.

“Kak Abyan, Rea setuju kalau Kak Abyan nikah sama Nayla,” sela Rea.

“Mama juga setuju, Abyan,” imbuh Mama Mayang. “Tapi keputusan ada di tangan kalian. Karena kalianlah yang akan menjalaninya.”

Pak Hasan dan Bu Saida hanya bungkam. Mereka menyerahkan segala keputusan di tangan Nayla. Sedangkan Nayla sejak tadi hanya menunduk dengan bibir yang terkunci rapat. Bayangan wajah Revan dan Aleya muncul secara bergantian di kepalanya. Saat itu hatinya benar-benar dilema. Apakah ia harus mempertahankan cintanya pada Revan atau memenuhi permintaan terakhir kakaknya.

“Nayla, bagaimana denganmu? Apa kamu mau memenuhi permintaan terakhir kakakmu?”

Mendengar pertanyaan Papa Angga, Nayla sontak menegakkan kepalanya. Ia menatap wajah ayah dan ibunya silih berganti seolah-olah mencari jawaban.

Lalu tiba-tiba saja, suara tangisan bayi terdengar memenuhi ruangan. Semua orang pun mendongak ke atas. Mbok Sum tampak menuruni anak tangga sambil menggendong Airin yang sedang menangis kencang.

“Airin kenapa, Mbok?” Nayla sontak berdiri dan berlari menghampiri Mbok Sum.

“Simbok enggak tahu, Non. Tiba-tiba dia nangis.”

Nayla pun segera mengambil Airin dari tangan Mbok Sum. Anehnya, tangisan Airin langsung berhenti saat kedua tangan Nayla merengkuh tubuh mungil bayi itu.

“Lihatlah Abyan, sekarang apa keputusanmu?” tanya Papa Angga kemudian.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status