Share

Bab 6 : Ijab Kabul

Tok tok tok! Suara ketukan pintu membuat Abyan terseret ke alam nyata. Sejak beberapa saat yang lalu, pria itu berdiri sambil termenung menatap foto pernikahannya dengan Aleya yang tergantung di dinding kamarnya.

Pintu pun terkuak. Sosok Rea tampak berjalan memasuki kamar kakaknya.

“Kak Abyan, ayo kita turun! Petugas KUA sudah datang,” seru gadis cantik yang memakai kebaya berwarna kuning keemasan itu.

Abyan pun memutar kepalanya ke arah Rea. Baju pengantin berwarna putih yang dipadukan dengan kain batik tampak membalut tubuhnya yang tinggi besar. Kopiah berwarna senada bertengger di kepalanya. Kalung bunga melati yang tergantung di leher, menambah kesempurnaan penampilannya siang itu.

“Hari ini Kakak terlihat sangat tampan,” puji Rea sambil tersenyum. “Tapi akan lebih tampan lagi kalau ada senyuman yang menghiasi wajah Kakak.”

“Bagaimana aku bisa tersenyum, Rea? Aku sama sekali tidak menginginkan pernikahan ini. Aku tidak mencintai Nayla,” tegas Abyan dengan wajah yang ditekuk.

Rea pun mendekati sang kakak, lantas menggenggam jemarinya. Ditatapnya lekat-lekat manik gelap milik pria itu.

“Aku tahu Kakak sangat mencintai Kak Aleya. Tapi Kak Aleya sudah enggak ada, Kak. Dia sudah tenang di alam sana. Mulai sekarang Kakak harus move on dan melanjutkan hidup Kakak demi Airin. Berikan masa depan yang indah untuk Airin, Kak. Pasti dia akan sangat bahagia kalau memiliki orang tua yang lengkap.”

“Kalau Kakak tidak mencintai Nayla, lakukan ini demi Airin! Kasihan dia,” lanjut Rea. Ia berusaha keras meyakinkan kakaknya. Kalau soal cinta, ia yakin lambat laun pasti kakaknya itu akan bisa mencintai Nayla. Begitu pula sebaliknya.

Abyan terdiam sejenak. Pikirannya mencerna setiap patah kata yang terlontar dari bibir saudari perempuannya itu.

“Ayo sekarang kita turun, Kak! Semua orang sudah menunggu kita.” Rea pun menggamit lengan Abyan. Mereka berdua berjalan beriringan keluar dari kamar dan menuruni anak tangga dengan hati-hati.

Di ruang tamu, semua orang sudah duduk berkumpul untuk menyaksikan prosesi ijab kabul antara Abyan dan Nayla. Para petugas dari KUA pun telah menempati tempat yang disediakan. Sesuai kesepakatan bersama, tidak ada pesta di rumah itu. Selain keluarga dari kedua belah pihak, mereka hanya mengundang ketua RT dan RW setempat untuk menjadi saksi.

Dengan langkah yang berat dan wajah yang muram, Abyan menempati posisinya di hadapan pak penghulu. Tak lama kemudian, Nayla yang baru saja selesai dirias, keluar dari kamarnya diiringi oleh Bu Saida dan Mama Mayang yang memakai kebaya seragam berwarna kuning keemasan.

Semua mata tertuju ke arah Nayla. Dengan riasan pengantin, gadis muda itu terlihat sangat cantik dan manglingi. Kebaya putih panjang yang dipadukan dengan kain batik tampak membalut tubuhnya yang tinggi dan ramping. Di atas kepalanya terdapat hiasan mahkota khas Sunda yang dinamakan siger, lima kembang goyang yang tersemat di atas sanggulnya, serta ronce bunga melati yang menjuntai dari kepala hingga sebatas pinggang.

Deg! Tiba-tiba jantung Abyan berdesir kencang. Ia seperti melihat bayangan Aleya dalam diri Nayla. Dengan riasan pengantin, wajah Nayla terlihat sangat mirip dengan Aleya. Postur tubuh mereka pun hampir sama. Jika sama-sama memakai hijab, pasti mereka akan tampak seperti saudara kembar.

Mama Mayang dan Bu Saida pun membimbing Nayla untuk menempati posisinya di samping Abyan. Sejak tadi gadis itu hanya menundukkan kepala. Ia berusaha menyembunyikan kesedihan yang terpancar di wajah cantiknya.

Jika saja laki-laki yang duduk di sampingnya itu adalah Revan, pasti ia akan menjadi wanita paling bahagia di dunia. Karena impian terbesar Nayla selama ini adalah duduk bersanding di pelaminan bersama Revan dengan pesta yang meriah dan dihadiri oleh semua teman-temannya. Lalu setelah menikah, ia akan pindah ke Amerika Serikat dan tinggal bersama di rumah impian mereka. Namun, ternyata takdir berkata lain. Semudah membalikkan telapak tangan, Allah telah menghancurkan semua impiannya.

“Baik, karena kedua mempelai sudah hadir, lebih baik kita mulai saja prosesi ijab kabulnya,” tutur pak penghulu dengan suara yang nyaring.

“Baik, Pak,” sahut Pak Hasan. Beliaulah yang akan menikahkan putrinya sendiri. Benar-benar tidak disangka, untuk kedua kalinya ia menikahkan putrinya dengan pria yang sama.

Di atas meja kecil, Pak Hasan pun mengulurkan tangan kanannya ke arah Abyan. Lalu dengan berat hati, Abyan pun menyambut uluran tangan ayah mertuanya.

“Bismillahirrahmanirrahim ... Saudara Abyan Raffasya bin Angga Raffasya, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan putri kandungku yang bernama Nayla Arinza binti Hasan dengan mas kawin seperangkat alat salat dan satu set perhiasan emas seberat lima puluh gram dibayar tunai,” ucap Pak Hasan dengan lantang.

Abyan tidak segera menyahut. Saat itu pikirannya hanya dipenuhi dengan bayang-bayang Aleya. Dia sama sekali tidak memperhatikan suara-suara di sekitarnya.

Semua orang pun saling memandang sambil berbisik-bisik. Sementara Nayla tetap menundukkan kepala. Tanpa terasa ada bulir bening yang menetes dari pelupuk matanya. Ia tahu ini semua pasti tidak mudah bagi Abyan yang menikahi dirinya tanpa rasa cinta.

“Abyan!” Papa Angga yang duduk persis di belakang Abyan pun menepuk bahu putranya itu.

“M-maaf.” Abyan tersentak dari lamunannya. “Bisa diulang sekali lagi, Pak?”

Pak Hasan mengangguk pelan. Pria paruh baya itu pun mengulang kembali kalimat ijabnya.

“Saudara Abyan Raffasya bin Angga Raffasya, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan putri kandungku yang bernama Nayla Arinza binti Hasan dengan mas kawin seperangkat alat salat dan satu set perhiasan emas seberat lima puluh gram dibayar tunai.”

“Saya terima nikah dan kawinnya, Saudari Nayla Arinza binti Hasan dengan mas kawin tersebut dibayar tunai,” sahut Abyan dengan satu kali tarikan napas.

“Bagaimana para saksi? Sah?” tanya pak penghulu kepada dua orang saksi yang ditunjuk.

“Saaah!” jawab para saksi dan semua orang yang ada di ruangan itu.

Tepat pukul dua siang, Abyan dan Nayla resmi dinyatakan sebagai pasangan suami istri. Keluarga dari kedua belah pihak merasa lega sekaligus bersyukur. Mereka menengadahkan kedua tangan ke atas seraya mendoakan kebahagiaan kedua mempelai.

Walaupun pernikahan ini terjadi atas persetujuannya, tetapi tidak dapat dipungkiri kalau hati Nayla saat itu benar-benar hancur. Ia merasa sangat berdosa karena telah mengkhianati cinta dan kepercayaan Revan. Ia tidak dapat membayangkan, bagaimana reaksi Revan kalau dia sampai tahu.

“Sekarang mempelai pria boleh memakaikan cincin kawinnya kepada mempelai wanita,” seru pak penghulu setelah kedua mempelai selesai menandatangani berkas-berkas dan buku nikah mereka.

Sekilas Abyan menatap wajah Nayla yang sejak tadi hanya menunduk. Lalu perlahan ia meraih jemari gadis itu dan menyematkan sebentuk cincin emas ke jari manisnya. Tanpa memandang wajah Abyan, Nayla pun meraih tangan kanan pria itu dan mengecupnya dengan takzim.

“Selamat ya, Nay, akhirnya sekarang kamu jadi kakak iparku.” Rea memberikan pelukan hangat untuk kakak ipar barunya.

“Makasih, Re,” sahut Nayla dengan memaksakan senyumnya.

“Kak Abyan, selamat ya. Semoga kalian hidup bahagia.” Kali ini Rea menghadiahkan pelukan hangat untuk kakaknya.

Semua orang pun bergantian memberikan ucapan selamat kepada kedua mempelai. Setelah itu, acara dilanjutkan dengan sesi foto keluarga.

Abyan dan Nayla merasa sangat canggung saat mereka harus berpose mesra di depan kamera. Mau tidak mau mereka harus melakukan apa saja yang diarahkan oleh sang fotografer. Namun, baru beberapa kali jepretan saja, tiba-tiba terdengar suara tangisan Airin yang menggema ke seluruh ruangan. Mereka terpaksa menyudahi sesi foto itu dan menghambur ke kamar tamu untuk melihat Airin.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status