Tok tok tok! Suara ketukan pintu membuat Abyan terseret ke alam nyata. Sejak beberapa saat yang lalu, pria itu berdiri sambil termenung menatap foto pernikahannya dengan Aleya yang tergantung di dinding kamarnya.
Pintu pun terkuak. Sosok Rea tampak berjalan memasuki kamar kakaknya.
“Kak Abyan, ayo kita turun! Petugas KUA sudah datang,” seru gadis cantik yang memakai kebaya berwarna kuning keemasan itu.
Abyan pun memutar kepalanya ke arah Rea. Baju pengantin berwarna putih yang dipadukan dengan kain batik tampak membalut tubuhnya yang tinggi besar. Kopiah berwarna senada bertengger di kepalanya. Kalung bunga melati yang tergantung di leher, menambah kesempurnaan penampilannya siang itu.
“Hari ini Kakak terlihat sangat tampan,” puji Rea sambil tersenyum. “Tapi akan lebih tampan lagi kalau ada senyuman yang menghiasi wajah Kakak.”
“Bagaimana aku bisa tersenyum, Rea? Aku sama sekali tidak menginginkan pernikahan ini. Aku tidak mencintai Nayla,” tegas Abyan dengan wajah yang ditekuk.
Rea pun mendekati sang kakak, lantas menggenggam jemarinya. Ditatapnya lekat-lekat manik gelap milik pria itu.
“Aku tahu Kakak sangat mencintai Kak Aleya. Tapi Kak Aleya sudah enggak ada, Kak. Dia sudah tenang di alam sana. Mulai sekarang Kakak harus move on dan melanjutkan hidup Kakak demi Airin. Berikan masa depan yang indah untuk Airin, Kak. Pasti dia akan sangat bahagia kalau memiliki orang tua yang lengkap.”
“Kalau Kakak tidak mencintai Nayla, lakukan ini demi Airin! Kasihan dia,” lanjut Rea. Ia berusaha keras meyakinkan kakaknya. Kalau soal cinta, ia yakin lambat laun pasti kakaknya itu akan bisa mencintai Nayla. Begitu pula sebaliknya.
Abyan terdiam sejenak. Pikirannya mencerna setiap patah kata yang terlontar dari bibir saudari perempuannya itu.
“Ayo sekarang kita turun, Kak! Semua orang sudah menunggu kita.” Rea pun menggamit lengan Abyan. Mereka berdua berjalan beriringan keluar dari kamar dan menuruni anak tangga dengan hati-hati.
Di ruang tamu, semua orang sudah duduk berkumpul untuk menyaksikan prosesi ijab kabul antara Abyan dan Nayla. Para petugas dari KUA pun telah menempati tempat yang disediakan. Sesuai kesepakatan bersama, tidak ada pesta di rumah itu. Selain keluarga dari kedua belah pihak, mereka hanya mengundang ketua RT dan RW setempat untuk menjadi saksi.
Dengan langkah yang berat dan wajah yang muram, Abyan menempati posisinya di hadapan pak penghulu. Tak lama kemudian, Nayla yang baru saja selesai dirias, keluar dari kamarnya diiringi oleh Bu Saida dan Mama Mayang yang memakai kebaya seragam berwarna kuning keemasan.
Semua mata tertuju ke arah Nayla. Dengan riasan pengantin, gadis muda itu terlihat sangat cantik dan manglingi. Kebaya putih panjang yang dipadukan dengan kain batik tampak membalut tubuhnya yang tinggi dan ramping. Di atas kepalanya terdapat hiasan mahkota khas Sunda yang dinamakan siger, lima kembang goyang yang tersemat di atas sanggulnya, serta ronce bunga melati yang menjuntai dari kepala hingga sebatas pinggang.
Deg! Tiba-tiba jantung Abyan berdesir kencang. Ia seperti melihat bayangan Aleya dalam diri Nayla. Dengan riasan pengantin, wajah Nayla terlihat sangat mirip dengan Aleya. Postur tubuh mereka pun hampir sama. Jika sama-sama memakai hijab, pasti mereka akan tampak seperti saudara kembar.
Mama Mayang dan Bu Saida pun membimbing Nayla untuk menempati posisinya di samping Abyan. Sejak tadi gadis itu hanya menundukkan kepala. Ia berusaha menyembunyikan kesedihan yang terpancar di wajah cantiknya.
Jika saja laki-laki yang duduk di sampingnya itu adalah Revan, pasti ia akan menjadi wanita paling bahagia di dunia. Karena impian terbesar Nayla selama ini adalah duduk bersanding di pelaminan bersama Revan dengan pesta yang meriah dan dihadiri oleh semua teman-temannya. Lalu setelah menikah, ia akan pindah ke Amerika Serikat dan tinggal bersama di rumah impian mereka. Namun, ternyata takdir berkata lain. Semudah membalikkan telapak tangan, Allah telah menghancurkan semua impiannya.
“Baik, karena kedua mempelai sudah hadir, lebih baik kita mulai saja prosesi ijab kabulnya,” tutur pak penghulu dengan suara yang nyaring.
“Baik, Pak,” sahut Pak Hasan. Beliaulah yang akan menikahkan putrinya sendiri. Benar-benar tidak disangka, untuk kedua kalinya ia menikahkan putrinya dengan pria yang sama.
Di atas meja kecil, Pak Hasan pun mengulurkan tangan kanannya ke arah Abyan. Lalu dengan berat hati, Abyan pun menyambut uluran tangan ayah mertuanya.
“Bismillahirrahmanirrahim ... Saudara Abyan Raffasya bin Angga Raffasya, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan putri kandungku yang bernama Nayla Arinza binti Hasan dengan mas kawin seperangkat alat salat dan satu set perhiasan emas seberat lima puluh gram dibayar tunai,” ucap Pak Hasan dengan lantang.
Abyan tidak segera menyahut. Saat itu pikirannya hanya dipenuhi dengan bayang-bayang Aleya. Dia sama sekali tidak memperhatikan suara-suara di sekitarnya.
Semua orang pun saling memandang sambil berbisik-bisik. Sementara Nayla tetap menundukkan kepala. Tanpa terasa ada bulir bening yang menetes dari pelupuk matanya. Ia tahu ini semua pasti tidak mudah bagi Abyan yang menikahi dirinya tanpa rasa cinta.
“Abyan!” Papa Angga yang duduk persis di belakang Abyan pun menepuk bahu putranya itu.
“M-maaf.” Abyan tersentak dari lamunannya. “Bisa diulang sekali lagi, Pak?”
Pak Hasan mengangguk pelan. Pria paruh baya itu pun mengulang kembali kalimat ijabnya.
“Saudara Abyan Raffasya bin Angga Raffasya, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan putri kandungku yang bernama Nayla Arinza binti Hasan dengan mas kawin seperangkat alat salat dan satu set perhiasan emas seberat lima puluh gram dibayar tunai.”
“Saya terima nikah dan kawinnya, Saudari Nayla Arinza binti Hasan dengan mas kawin tersebut dibayar tunai,” sahut Abyan dengan satu kali tarikan napas.
“Bagaimana para saksi? Sah?” tanya pak penghulu kepada dua orang saksi yang ditunjuk.
“Saaah!” jawab para saksi dan semua orang yang ada di ruangan itu.
Tepat pukul dua siang, Abyan dan Nayla resmi dinyatakan sebagai pasangan suami istri. Keluarga dari kedua belah pihak merasa lega sekaligus bersyukur. Mereka menengadahkan kedua tangan ke atas seraya mendoakan kebahagiaan kedua mempelai.
Walaupun pernikahan ini terjadi atas persetujuannya, tetapi tidak dapat dipungkiri kalau hati Nayla saat itu benar-benar hancur. Ia merasa sangat berdosa karena telah mengkhianati cinta dan kepercayaan Revan. Ia tidak dapat membayangkan, bagaimana reaksi Revan kalau dia sampai tahu.
“Sekarang mempelai pria boleh memakaikan cincin kawinnya kepada mempelai wanita,” seru pak penghulu setelah kedua mempelai selesai menandatangani berkas-berkas dan buku nikah mereka.
Sekilas Abyan menatap wajah Nayla yang sejak tadi hanya menunduk. Lalu perlahan ia meraih jemari gadis itu dan menyematkan sebentuk cincin emas ke jari manisnya. Tanpa memandang wajah Abyan, Nayla pun meraih tangan kanan pria itu dan mengecupnya dengan takzim.
“Selamat ya, Nay, akhirnya sekarang kamu jadi kakak iparku.” Rea memberikan pelukan hangat untuk kakak ipar barunya.
“Makasih, Re,” sahut Nayla dengan memaksakan senyumnya.
“Kak Abyan, selamat ya. Semoga kalian hidup bahagia.” Kali ini Rea menghadiahkan pelukan hangat untuk kakaknya.
Semua orang pun bergantian memberikan ucapan selamat kepada kedua mempelai. Setelah itu, acara dilanjutkan dengan sesi foto keluarga.
Abyan dan Nayla merasa sangat canggung saat mereka harus berpose mesra di depan kamera. Mau tidak mau mereka harus melakukan apa saja yang diarahkan oleh sang fotografer. Namun, baru beberapa kali jepretan saja, tiba-tiba terdengar suara tangisan Airin yang menggema ke seluruh ruangan. Mereka terpaksa menyudahi sesi foto itu dan menghambur ke kamar tamu untuk melihat Airin.
Abyan bergegas menuju kamar tamu untuk melihat bayinya. Nayla mengikutinya dari belakang. Sesi foto keluarga pun terpaksa dihentikan. Papa Angga dan Mama Mayang menggiring para tamunya untuk mencicipi jamuan makan siang yang telah disediakan di meja prasmanan. “Airin!” seru Abyan yang terlebih dahulu sampai ke kamar tamu. Di sana ada Mbok Sum yang tengah menjaga Airin selama akad nikah berlangsung. “Airin kenapa, Mbok?” tanya Abyan mendekati mereka. “Non Airin baru bangun tidur, Tuan. Mungkin dia kehausan,” sahut Mbok Sum yang sedang menggendong Airin dan berusaha menenangkannya. “Mbok, berikan Airin padaku!” seru Nayla yang sudah memasuki kamarnya. Mbok Sum pun segera memberikan bayi itu. “Cup cup cup ... Sayang, jangan nangis lagi ya! Mama ada di sini,” desis Nayla berusaha menenangkan Airin. Dikecupnya pipi tembam bayi itu dengan penuh kasih sayang. Tak lama kemudian, tangisan Airin pun mereda. Benar-benar ajaib! Abyan terpaku mempe
Benar saja, Revan masih berusaha keras untuk menghubunginya. Jantung Nayla semakin berdebar tidak karuan. Hatinya diliputi ketakutan yang kian mencekam. Apakah ia harus jujur dan membongkar semuanya? Apakah ia harus mengakhiri hubungannya dengan Revan dan membiarkan hati mereka sama-sama tersakiti? Di tengah kekalutannya, tiba-tiba seorang wanita berusia tiga puluh tahunan masuk ke kamarnya. Wanita itu tidak lain adalah seorang MUA (Make Up Artist) yang tadi meriasnya. Tanpa berpikir panjang, Nayla segera mematikan ponselnya dan menaruhnya di atas nakas. “Mau dilepas sekarang Mbak, kebayanya?” tanya wanita bermata sipit itu. “Eh ... iya, Mbak,” jawab Nayla sedikit gugup. Setelah melepas semua hiasan kepala dan pakaian pengantinnya, Nayla pun beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Di bawah siraman air shower yang segar, pikiran Nayla kembali dipenuhi oleh bayang-bayang Revan. Hatinya kian gelisah dan dipenuhi rasa bersalah. Ia tidak a
Nayla memasuki kamarnya. Sekilas ia melirik ke arah jarum jam dinding yang hampir menunjukkan pukul sembilan malam. Lalu pandangannya teralih ke arah Airin yang tertidur pulas di atas ranjang dengan kain bedung bermotif binatang yang membalut tubuh mungilnya. Di jam-jam seperti ini, Airin memang sangat anteng. Namun, saat tengah malam, bayi itu akan terbangun dan menangis dengan kencang karena kehausan. Nayla sudah sangat hafal karena sudah satu minggu ia tidur bersamanya. Nayla mengambil tas perlengkapan bayi, lalu memasukkan semua pakaian Airin, popok, susu formula, dan perlengkapan bayi lainnya. Setelah semuanya beres, ia pun menggendong Airin dengan hati-hati sekali agar bayi itu tidak kaget dan terbangun, kemudian mencangklongkan tas perlengkapan bayi tersebut di bahu kanannya. Dengan sebongkah keraguan dalam dada, Nayla beranjak keluar dari kamarnya. Langkah kakinya terasa amat berat. Saat itu ia benar-benar takut kalau Abyan akan menolaknya mentah-mentah dan m
Nayla membuka mata saat suara tangisan Airin menusuk gendang telinganya. Ia pun beringsut bangun. Dengan cepat kedua tangannya membuka kain bedung yang membalut tubuh Airin, lalu mengecek popoknya. “Airin kenapa, Nay?” Suara Abyan membuat Nayla tersentak kaget. Tiba-tiba pria itu sudah berdiri tegak di sampingnya. Ia sama sekali tidak mendengar langkah kakinya. “Emh ... ini, Mas. Kayaknya popoknya penuh. Aku akan menggantinya,” sahut Nayla tanpa menoleh ke arah pria itu. Tangannya bergerak cepat merobek sisi kanan dan kiri popok Airin. “Mungkin dia haus,” tutur Abyan dengan panik saat tangisan Airin terdengar semakin kencang. “Iya, Mas. Apa Mas bisa menolongku untuk membuatkan susu?” tanya Nayla yang sudah berdiri untuk mengambil popok baru di dalam tas perlengkapan bayi. “Baiklah. Mana susunya?” Nayla pun mengeluarkan satu kotak susu formula, botol kecil, dan termos kecil dari dalam tas, lantas menyerahkannya kepada Abyan. Aby
Hidup Nayla selama ini terbilang sempurna di mata masyarakat. Segala yang ia inginkan bisa terpenuhi. Makanan lezat, pakaian branded, dan barang-barang mewah lainnya bisa ia dapatkan dengan mudah. Hanya dengan menggesek kartu ajaib yang Abyan berikan untuknya. Seolah-olah isi dalam kartu itu tidak ada habisnya. Lahirnya ia kelihatan bahagia. Namun, siapa sangka, kalau selama ini batinnya amat tersiksa. Mahligai yang terbina sejak tiga tahun yang lalu seolah-olah menjadi penjara emas yang membelenggunya, mengekang kebebasannya, dan membatasi ruang geraknya. Setiap hari Nayla hanya menghabiskan waktu di rumah untuk menjaga Airin. Sementara Abyan, dia hanya sibuk mengurus pekerjaannya di kantor. Abyan Raffasya adalah seorang pengusaha sukses di Jakarta. Ia pemilik dari PT Raffasya Land, perusahaan properti terbesar di ibu kota. Sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pembangunan hotel, vila, perumahan, dan apartemen di kawasan Asia Tenggara meliputi Indonesia, Singapu
Toyota Fortuner putih tampak memasuki pintu gerbang utama. Sepanjang perjalanan dari sekolah sampai di rumah, Nayla hanya termenung memikirkan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Airin kepadanya di meja makan tadi. Haruskah ia bicara pada Abyan dan memintanya untuk sedikit saja memberikan perhatian pada Airin? “Nyonya, kita sudah sampai.” Suara parau Pak Mahmud membuyarkan lamunan Nayla. Saking seriusnya melamun, ia tidak menyadari kalau mobilnya sudah berhenti tepat di depan rumah. “Eh iya, Pak. Sudah sampai ya?” “Sudah, Nyah.” Nayla segera turun dari mobil, lantas melangkah gontai memasuki rumah. “Sudah pulang, Nyah?” tanya Mbok Sum dengan ramah. Wanita paruh baya itu tengah membersihkan debu-debu yang menempel di perabotan rumah dengan kemoceng. “Sudah, Mbok,” jawab Nayla lirih. Ia pun meletakkan sling bag-nya di meja, lantas menjatuhkan tubuhnya duduk bersandar di sofa untuk melepas lelah. Ia terlihat muram. Sama se
Nayla melirik jam di pergelangan tangan kirinya yang menunjukkan pukul 09.55. Itu artinya lima menit lagi Airin akan keluar dari kelasnya. Nayla tampak berdiri menunggu di halaman sekolah bersama dengan orang tua lainnya yang juga sedang menjemput putra-putri mereka. Lima menit kemudian, terdengar bunyi bel yang menandakan kalau sekolah telah usai. Murid-murid tampak berhambur keluar dari kelasnya. Begitu melihat sosok Airin, Nayla pun melambaikan tangan kanannya sambil mengulum senyuman. “Mamaaa!” teriak Airin sambil berlari menyongsong ibunya. Nayla pun menekuk lutut dan menyambut tubuh kecil Airin ke dalam pelukannya. “Halo, Sayang. Bagaimana sekolahmu hari ini?” Airin pun mulai bercerita panjang lebar tentang apa saja yang diajarkan oleh gurunya hari itu. Nayla mendengarkan sambil menggandeng tangan kecil putrinya itu menuju tempat parkir. “Sayang, sebelum pulang bagaimana kalau kita jalan-jalan ke mall dulu? Nanti Mama beliin es k
Abyan terkejut saat melihat semua makanan favoritnya tersaji di meja makan. Entah dari mana Nayla tahu semua makanan kesukaannya. Ah, mungkin Mbok Sum yang sudah memberi tahunya. Mereka berdua pun duduk berdampingan. Abyan diam saja saat Nayla mencidukkan nasi, sayur, dan lauk pauk ke dalam piringnya. Ia merasa de javu. Seolah-olah Aleya-lah yang sedang melayaninya. “Silakan dimakan, Mas!” seru Nayla karena pria di sampingnya itu masih tampak bergeming. “Eh, iya.” Lagi-lagi suara Nayla membuatnya sadar kalau wanita itu bukanlah Aleya. Ia kembali menghela napas panjang untuk menguasai dirinya. Kemudian ia meraih sendok dan mulai memasukkan makanan tersebut ke dalam mulutnya. Saat lidah Abyan menyentuh rendang daging buatan Nayla, ia merasa seolah-olah sedang memakan masakan Aleya. Rasanya benar-benar sama. Apa karena mereka sama-sama belajar dari Bu Saida? Abyan bertanya dalam hati. “Bagaimana, Mas? Enak?” Abyan