Beberapa jam sebelum keberangkatan Joylin“Aiden, kau menyukainya, kan?” tanya Luna menyandarkan tubuhnya pada dinding ruangan tempat mereka melakukan rapat terakhir kali. Aiden yang sedang menyiapkan beberapa barang langsung menghentikan aktivitasnya, “Apa maksudmu, Luna?” tanya pemuda itu refleks menoleh pada Luna.“Joylin. Aku tahu kau punya perasaan padanya. Dia gadis yang melanggar misinya demi menyelamatkanmu, kan?” tanya Luna menyorot Aiden dengan tatapan yang menenangkan.Aiden tidak langsung memberikan jawaban, namun Luna seolah dapat menebak apa isi hati rekannya. “Aku benar, ya? Mengubur perasaanmu dalam-dalam hanya akan membuatmu menyesal, Aiden,” tambah gadis itu, lalu berjalan ke arah Aiden dan menyentuh bahunya.“Sebaiknya kita segera berangkat,” balas Aiden datar, mencoba untuk mengabaikan perkataan Luna. Namun di dalam hatinya, ia membenarkan apa yang Luna katakan. Samar-samar sudut bibirnya terangkat, tak dapat menyembunyikan perasaan aneh yang menggelayuti hatinya
Keduanya saling pandang beberapa saat, lalu mengangguk yakin. “Kami siap menerima konsekuensinya, Paman,” ucap Jayden, sorot matanya penuh dengan keyakinan.Nathan menarik napas panjang dan menghembuskannya lewat mulut. “Maaf, tapi paman tidak sanggup kalau harus kehilangan kalian berdua,” balas Nathan menutpi mata dengan jemarinya. Pria itu tertunduk, bahunya sedikit turun kali ini.Joylin berdiri dari duduknya, berjalan ke arah Nathan dan berjongkok tepat di hadapan pamannya. “Paman … Terima kasih sudah menerima kami menjadi bagian dari keluargamu dan maaf kalau kami sangat egois,” ujar Joylin menyunggingkan senyum tipis yang menenangkan.“Dulu paman pernah bilang, begitu masuk ke dunia ini kami tidak bisa mundur begitu saja. Ingat, kan?” tanya Jayden, berjalan dengan tenang mendekati Nathan yang masih tertunduk lesu. “Kami janji, akan pulang dengan selamat,” tambahnya di ikuti oleh anggukan Joylin di sampingnya.Nathan mengangkat kepalanya perlahan, matanya merah seperti menahan ta
Joylin melangkah keluar dari ruangan Edric dengan cepat, seakan ingin menjauh dari semua yang menyulut emosinya. Tangannya menggenggam dokumen yang Edric berikan, sementara tangan yang lain sibuk mengutak-atik ponselnya.Joylin: Dimana?Jayden: Di depan gedung, syukurlah kau sudah sadar. Tunggu di ruangan.Joylin: Terlambat. Aku sudah di lobi, aku segera kesa—Langkahnya terhenti ketika mendapati Erico sudah menghalangi jalannya. Gadis itu memutus sambungan telepon, lalu menatap Erico dengan tajam.“Hei, kau kelihatan terburu-buru. Bagaimana kalau kita sarapan bersama terlebih dahulu?” tanya Erico mencoba basa-basi dengan senyum memuakkan terukir di wajahnya.Joylin tidak mengatakan sepatah kata pun dan terus melangkah— tapi Erico terus menghalangi jalannya. “Minggir,” desis Joylin dingin, alisnya bertaut.“Lihat wajahmu ini, sebenarnya apa yang terj—” tangan pria itu bergerak, hendak menyentuh wajah Joylin yang masih pucat namun dihentikan oleh seseorang.“Edric menunggumu di ruang
Mata Luna membelalak, mulutnya sedikit terbuka berusaha mengeluarkan kata-kata yang tertahan di tenggorokannya. “Apa maksudmu, Jay?” “Saat di rooftop tadi aku mendengarmu menggumam,” balas Jayden. Luna terdiam, gadis itu terlihat menelan ludahnya dengan kasar. Pemuda itu mendecak, “Maaf. Lupakan saja,” ucap Jayden, lalu masuk ke dalam mobil disusul oleh Luna. “Jay, maaf sudah merepotkan,” ucap Luna, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi yang dingin. Hari ini benar-benar melelahkan. “Tidak masalah,” balas Jayden singkat. Ia menunduk, lagi-lagi pria itu tanpa sadar melakukan kebiasaannya dengan Joylin— memasangkan sabuk pengaman pada Luna. Gadis itu refleks menoleh membuat wajah mereka nyaris bersentuhan. Pipinya memerah seketika, lalu buru-buru mengalihkan pandangannya. “Aku bisa memakainya sendiri,” ucap Luna tergugup sambil memainkan ujung baju dengan jemarinya. Jayden yang tersadar langsung memperbaiki duduknya secepat kilat. “Ah! Haha, kita jalan sekarang. Tunjukkan jalan
Jayden tertegun, “Dia? Siapa yang dimaksud Luna?” batinnya bertanya-tanya. “Luna?” sahut Jayden pelan, dengan ragu-ragu ia mendekati Luna yang tengah terhanyut dalam lamunannya. Malam begitu tenang, hanya dihiasi oleh desir angin menambah hening dan tekanan diantara mereka.Luna menoleh perlahan, matanya masih basah oleh air mata yang ia coba sembunyikan. Suara Jayden yang lembut membuat jantungnya berdebar.Dengan tangan yang gemetar, Luna segera menghapus air matanya dengan terburu-buru, berharap Jayden tak melihat sisi lemahnya.Jayden menatap Luna, sorot matanya tak pernah lepas dari gadis di hadapannya. Dia bisa melihat adanya kesedihan yang terselubung meski gadis itu berusaha menyembunyikannya.“Kau menangis?” tanya Jayden dengan nada yang lebih lembut, seolah memberikan Luna kesempatan untuk membuka diri padanya.“Ah, sepertinya ada sesuatu yang masuk ke mataku. Haha,” ujar Luna mengucek kedua matanya seolah berusaha meyakinkan Jayden kalau dirinya baik-baik saja, kemudian te
Ketika mendapat laporan dari Joylin bahwa target telah berhasil dieksekusi Jayden dan Aiden langsung menghela napas lega, seolah segala beban yang ada di bahu mereka terangkat. Keduanya bergegas menuju ke titik kumpul dengan senyum samar di wajahnya.“Jay, Aiden … Joy, dia tidak sadarkan diri,” ucap Luna terdengar panik melalui earpice di telinganya. Senyumnya memudar, kegelisahan yang tadinya bersarang di hati Jayden yang perlahan hilang kini tergantikan oleh panik dan khawatir ketika mendengar ucapan Luna.Detak jantungnya tak beraturan, Jayden berusaha untuk tetap tenang. “Apa yang harus ku lakukan? Membawanya ke rumah sakit?” pikir Jayden sambil mencengkeram erat setir mobil.“Tidak. Itu terlalu berisiko, terlebih Joylin baru saja menyelesaikan misi. Seharusnya aku tidak membiarkannya pergi sendirian,” batinnya terus bergemuruh, penyesalan mulai menggerogoti hatinya, membentuk luka baru di antara rasa bersalah yang ia pendam.“Jay, Luna, tenangkan diri kalian. Bergegaslah ke marka