Sarah melangkahkan kakinya ke arah pintu depan setelah mendengar nada ketukan yang tidak asing baginya. Jantungnya berdegup tidak karuan, hatinya terus menerka-nerka apakah suami dan iparnya berhasil pulang dengan selamat atau justru malah sebaliknya.
Matanya terbelalak ketika melihat sosok suaminya yang penuh debu dan beberapa bercak darah di beberapa bagian tubuh kekar itu. “Nathan! Apa yang terjadi? Dimana Hana dan Ethan?” tanya Sarah sambil mengguncangkan tubuh suaminya. Tanpa aba-aba, Nathan memerangkap Sarah dalam pelukannya, tangis yang sedari tadi ditahan oleh Nathan akhirnya pecah juga. Tanpa bertanya lebih lanjut, Sarah seolah mengetahui apa yang terjadi namun hatinya seakan menolak mempercayainya. Dadanya kembang kempis seolah jantungnya sebentar lagi akan meledak, pupil matanya terlihat bergetar, “Tidak … tidak mungkin,” lirih Sarah, kepalanya menggeleng pelan. Nathan memeluk tubuh Sarah dengan erat, “Aku gagal, Sarah. Ethan dan Hana … Aku tak dapat menyelamatkan mereka,” lirih Nathan dengan suara yang parau. Dress putih yang dikenakan Sarah kini basah oleh air mata Nathan. “Apa yang harus ku katakan pada Joy dan Jay? Aku gagal menyelamatkan kedua orang tua mereka? Sekarang kedua anak itu kehilangan kedua orang tua mereka di malam yang sama! Apa yang harus ku katakan, Sarah?! Apa?!” gerutu Nathan, tubuh pria itu kemudian terjatuh ke lantai dengan air mata yang luruh membasahi pipinya yang dipenuhi debu. “Papa dan Mama … Hilang?” gumam Joylin dengan suara serak yang hampir tak terdengar menjatuhkan boneka beruang di pelukannya. Mulut gadis itu sedikit terbuka, matanya membola memperhatikan dua orang dewasa yang ada di ambang pintu. Sarah dan Nathan yang sedari tadi larut dalam emosi tidak menyadari kehadiran Joylin yang terbangun kala itu. Gadis kecil itu berlari ke arah paman dan bibinya, “Paman. Bibi. Tolong bantu aku mencari Papa dan Mamaku!” pinta Joylin dengan mata yang berkaca-kaca menarik pakaian paman dan bibinya secara bergantian. Keributan itu membuat Jayden terbangun. “Jay! Papa dan Mama hilang. Ayo kita cari! Papa tidak memakai jaket yang tebal. Paman. Bibi. Ku mohon ... Jika tidak segera ditemukan, Papa dan Mamaku akan kedinginan diluar sana,” pinta Joylin dengan air mata yang mulai mengalir. Mendengar kabar tentang Papa dan Mamanya membuat matanya melebar, Jayden berlari menuju kamar. “Joy! Bantu aku mengambil selimut untuk Papa dan Mama!” perintah Jayden sambil berlari membawa tumpukan kain dari dalam kamar tempat mereka tidur. Joylin dan Jayden telah mengambil beberapa selimut dan biskuit untuk dijadikan bekal karena berpikir tak akan sempat untuk sarapan. Respon si kembar membuat Sarah dan Nathan saling bertukar pandang. Tanpa perintah cairan bening itu keluar dari sudut mata mereka. Sarah melangkahkan kakinya perlahan-lahan menuju Joylin dan Jayden yang memegangi selimut untuk orang tuanya dan memeluknya sambil menangis. Membayangkan anak sekecil ini kehilangan kedua orang tuanya membuat hatinya remuk seketika. “Sayang, dengarkan Bibi. Terkadang ada hal-hal yang terjadi diluar kendali kita,” ucap Sarah melepaskan pelukannya dan menatap dalam ke arah si kembar. Kedua anak itu tampak bingung dengan perkataan Bibinya barusan membuat keduanya saling menatap dengan tatapan kosong. “Kadang ada pekerjaan yang begitu sulit sampai …,” Sarah menggigit bibirnya sebelum melanjutkan kalimatnya, kata-kata seolah tertahan di tenggorokannya. “Sampai tidak bisa kembali lagi. Papa dan Mama pasti sudah berusaha sekuat tenaga menyelesaikan pekerjaannya untuk bertemu kalian, tapi Tuhan lebih menyayangi mereka,” lanjutnya menahan sesak di dadanya. Joylin dan Jayden saling menatap. “Maksud Bibi, Papa dan Mama butuh waktu lebih banyak untuk menyelesaikan pekerjaannya?” tanya Jayden dengan sorot mata yang ingin tahu. “Papa dan Mamaku akan kembali kan, Bibi?” tanya Jayden sekali lagi. Sarah menggelengkan kepalanya. “Papa dan Mama tidak akan kembali lagi, Nak,” jelas Sarah sambil meneteskan air matanya. “Papa dan Mama tidak akan bisa pulang,” lanjutnya dengan suara yang bergetar. Mengetahui fakta itu, Joylin dan Jayden mulai menangis dan memohon agar Paman dan Bibinya menyelamatkan Hana dan Ethan. “Kenapa, Bibi? Tuhan hanya menyayangi Papa dan Mama? Tuhan tidak menyayangi Joy? Kenapa Tuhan mengambil Papa dan Mama dari Joy?” ujar Joylin Sarah tidak mampu menjawab pertanyaan gadis kecil itu. Saat ini yang bisa ia lakukan adalah menjadi pelindung anak-anak ini, mengisi kekosongan kedua orang tua mereka. “Aku akan menjaga mereka, Hana,” batin Sarah, lalu menciup puncak kepala Joylin dan Jayden secara bergantian. **** “Joy! Joy!” samar-samar terdengar teriakan seseorang mencoba membangunkannya dengan menepuk-nepuk pipinya. Joylin perlahan-lahan membuka matanya, “Kau tidak apa-apa?” tanya Jayden khawatir. Joylin membuka matanya dengan kasar, menyapu setiap sudut ruangan dengan pandangannya. Sebuah ruangan yang tertata rapi memberi kesan yang hangat bagi orang di dalamnya. “Rupanya hanya mimpi,” ucapnya seraya memijat pelan pelipisnya. Ternyata Joylin tertidur di ruang tamu sambil menangis dan membuat Jayden khawatir. “Aku … Aku cuma mimpi buruk,” ucap Joylin sambil mengusap pipinya yang basah karena air mata. Gadis itu kemudian bangun dari tidurnya, “Kenapa mimpi itu terasa sangat nyata?” batin Joylin dengan jantung berdebar dan napas yang masih terengah-engah. Dada gadis itu naik turun, sorot matanya tajam bagai pisau yang siap menusuk siapa pun yang ada di hadapannya. “Siapa pun kau, aku akan mencari mu sampai ke ujung dunia sekali pun. Kau harus merasakan penderitaan Papa dan Mamaku,” batin Joylin mengepal tangannya dengan kuat.Beberapa jam sebelum keberangkatan Joylin“Aiden, kau menyukainya, kan?” tanya Luna menyandarkan tubuhnya pada dinding ruangan tempat mereka melakukan rapat terakhir kali. Aiden yang sedang menyiapkan beberapa barang langsung menghentikan aktivitasnya, “Apa maksudmu, Luna?” tanya pemuda itu refleks menoleh pada Luna.“Joylin. Aku tahu kau punya perasaan padanya. Dia gadis yang melanggar misinya demi menyelamatkanmu, kan?” tanya Luna menyorot Aiden dengan tatapan yang menenangkan.Aiden tidak langsung memberikan jawaban, namun Luna seolah dapat menebak apa isi hati rekannya. “Aku benar, ya? Mengubur perasaanmu dalam-dalam hanya akan membuatmu menyesal, Aiden,” tambah gadis itu, lalu berjalan ke arah Aiden dan menyentuh bahunya.“Sebaiknya kita segera berangkat,” balas Aiden datar, mencoba untuk mengabaikan perkataan Luna. Namun di dalam hatinya, ia membenarkan apa yang Luna katakan. Samar-samar sudut bibirnya terangkat, tak dapat menyembunyikan perasaan aneh yang menggelayuti hatinya
Keduanya saling pandang beberapa saat, lalu mengangguk yakin. “Kami siap menerima konsekuensinya, Paman,” ucap Jayden, sorot matanya penuh dengan keyakinan.Nathan menarik napas panjang dan menghembuskannya lewat mulut. “Maaf, tapi paman tidak sanggup kalau harus kehilangan kalian berdua,” balas Nathan menutpi mata dengan jemarinya. Pria itu tertunduk, bahunya sedikit turun kali ini.Joylin berdiri dari duduknya, berjalan ke arah Nathan dan berjongkok tepat di hadapan pamannya. “Paman … Terima kasih sudah menerima kami menjadi bagian dari keluargamu dan maaf kalau kami sangat egois,” ujar Joylin menyunggingkan senyum tipis yang menenangkan.“Dulu paman pernah bilang, begitu masuk ke dunia ini kami tidak bisa mundur begitu saja. Ingat, kan?” tanya Jayden, berjalan dengan tenang mendekati Nathan yang masih tertunduk lesu. “Kami janji, akan pulang dengan selamat,” tambahnya di ikuti oleh anggukan Joylin di sampingnya.Nathan mengangkat kepalanya perlahan, matanya merah seperti menahan ta
Joylin melangkah keluar dari ruangan Edric dengan cepat, seakan ingin menjauh dari semua yang menyulut emosinya. Tangannya menggenggam dokumen yang Edric berikan, sementara tangan yang lain sibuk mengutak-atik ponselnya.Joylin: Dimana?Jayden: Di depan gedung, syukurlah kau sudah sadar. Tunggu di ruangan.Joylin: Terlambat. Aku sudah di lobi, aku segera kesa—Langkahnya terhenti ketika mendapati Erico sudah menghalangi jalannya. Gadis itu memutus sambungan telepon, lalu menatap Erico dengan tajam.“Hei, kau kelihatan terburu-buru. Bagaimana kalau kita sarapan bersama terlebih dahulu?” tanya Erico mencoba basa-basi dengan senyum memuakkan terukir di wajahnya.Joylin tidak mengatakan sepatah kata pun dan terus melangkah— tapi Erico terus menghalangi jalannya. “Minggir,” desis Joylin dingin, alisnya bertaut.“Lihat wajahmu ini, sebenarnya apa yang terj—” tangan pria itu bergerak, hendak menyentuh wajah Joylin yang masih pucat namun dihentikan oleh seseorang.“Edric menunggumu di ruang
Mata Luna membelalak, mulutnya sedikit terbuka berusaha mengeluarkan kata-kata yang tertahan di tenggorokannya. “Apa maksudmu, Jay?” “Saat di rooftop tadi aku mendengarmu menggumam,” balas Jayden. Luna terdiam, gadis itu terlihat menelan ludahnya dengan kasar. Pemuda itu mendecak, “Maaf. Lupakan saja,” ucap Jayden, lalu masuk ke dalam mobil disusul oleh Luna. “Jay, maaf sudah merepotkan,” ucap Luna, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi yang dingin. Hari ini benar-benar melelahkan. “Tidak masalah,” balas Jayden singkat. Ia menunduk, lagi-lagi pria itu tanpa sadar melakukan kebiasaannya dengan Joylin— memasangkan sabuk pengaman pada Luna. Gadis itu refleks menoleh membuat wajah mereka nyaris bersentuhan. Pipinya memerah seketika, lalu buru-buru mengalihkan pandangannya. “Aku bisa memakainya sendiri,” ucap Luna tergugup sambil memainkan ujung baju dengan jemarinya. Jayden yang tersadar langsung memperbaiki duduknya secepat kilat. “Ah! Haha, kita jalan sekarang. Tunjukkan jalan
Jayden tertegun, “Dia? Siapa yang dimaksud Luna?” batinnya bertanya-tanya. “Luna?” sahut Jayden pelan, dengan ragu-ragu ia mendekati Luna yang tengah terhanyut dalam lamunannya. Malam begitu tenang, hanya dihiasi oleh desir angin menambah hening dan tekanan diantara mereka.Luna menoleh perlahan, matanya masih basah oleh air mata yang ia coba sembunyikan. Suara Jayden yang lembut membuat jantungnya berdebar.Dengan tangan yang gemetar, Luna segera menghapus air matanya dengan terburu-buru, berharap Jayden tak melihat sisi lemahnya.Jayden menatap Luna, sorot matanya tak pernah lepas dari gadis di hadapannya. Dia bisa melihat adanya kesedihan yang terselubung meski gadis itu berusaha menyembunyikannya.“Kau menangis?” tanya Jayden dengan nada yang lebih lembut, seolah memberikan Luna kesempatan untuk membuka diri padanya.“Ah, sepertinya ada sesuatu yang masuk ke mataku. Haha,” ujar Luna mengucek kedua matanya seolah berusaha meyakinkan Jayden kalau dirinya baik-baik saja, kemudian te
Ketika mendapat laporan dari Joylin bahwa target telah berhasil dieksekusi Jayden dan Aiden langsung menghela napas lega, seolah segala beban yang ada di bahu mereka terangkat. Keduanya bergegas menuju ke titik kumpul dengan senyum samar di wajahnya.“Jay, Aiden … Joy, dia tidak sadarkan diri,” ucap Luna terdengar panik melalui earpice di telinganya. Senyumnya memudar, kegelisahan yang tadinya bersarang di hati Jayden yang perlahan hilang kini tergantikan oleh panik dan khawatir ketika mendengar ucapan Luna.Detak jantungnya tak beraturan, Jayden berusaha untuk tetap tenang. “Apa yang harus ku lakukan? Membawanya ke rumah sakit?” pikir Jayden sambil mencengkeram erat setir mobil.“Tidak. Itu terlalu berisiko, terlebih Joylin baru saja menyelesaikan misi. Seharusnya aku tidak membiarkannya pergi sendirian,” batinnya terus bergemuruh, penyesalan mulai menggerogoti hatinya, membentuk luka baru di antara rasa bersalah yang ia pendam.“Jay, Luna, tenangkan diri kalian. Bergegaslah ke marka