Sarla tidak pernah menangis dan merasa sesedih ini akan keadaan dialaminya. Situasi yang bahkan tak sekalipun dibayangkan akan menimpanya. Ia kini harus menghadapi kondisi tidak menyenangkan tanpa adanya persiapan apa-apa sama sekali.
Hanya pakaian melekat di tubuh satu-satunya yang dibawa. Handphone dan dompet kesayangan berisi sejumlah uang serta kartu-kartu bank sudah tidak ada. Sarla menganggap dirinya menyedihkan.
Kehidupan berubah dalam semalam saja. Jauh dari keluarga. Berada dengan orang asing yang cukup menyebalkan dan sombong di tempat belum bisa diketahuinya menjadi cobaan terasa kian terberat.
Pikiran Sarla pun buntu. Tidak bisa untuk mencari solusi terbaik yang dapat menyelamatkan dirinya secara cepat. Memasrahkan semua bukan pilihan yang menguntungkan baginya kedepan. Ia enggan menyerah terlalu dini tanpa usaha untuk mengamankan dirinya. Namun, kondisi tak dapat memberikan dukungan sesuai dengan harapan.
"Kau sedang apa, Miss Sarla?"
Sarla masih membenamkan kepala di antara kedua lutut yang sedang dilakukannya. Ia mendengarkan dengan jelas lontaran pertanyaan oleh suara berat milik Wilzton kepadanya. Namun, malas menanggapi. Terlebih, keadaannya sedang tidak cukup bagus. Air mata masih membasahi pipi.
Memerlihatkan kelemahan seperti ini tak akan ia pernah tunjukkan di depan orang asing. Disamping ragu karena belum memercayai pria itu, enggan juga mendapatkan cemohan semakin banyak yang hanya akan memberi luka pada harga dirinya.
"Tidakkah kau bisa menjawabku?"
Lontaran pertanyaan diajukan pria itu lagi dengan maksud yang sama. Dan, Sarla memilih tunjukkan sikap tidak acuh. Masih berada di posisinya. Tetapi, air mata sudah berhenti keluar. Tinggal menunggu beberapa menit agar tampak kering di kedua pipi. Barulah, ia akan mengangkat kepalanya.
"Kau tidak akan mungkin tuli secara cepat karena kau baru 24 jam tinggal di rumahku. Dan, aku tidak melakukan apa-apa yang bisa membuatmu begitu. Aku bahkan belum menyentuhmu. Jadi, jika nanti kau bersandiwara hamil supaya bisa bebas dari sini, aku tidak akan pernah memercayai kau. Ak--"
"Tutup mulutmu!" Sarla berseru marah. Intonasinya cukup tinggi. Menunjukkan bagaimana kegeraman pada dirinya memang sedang besar, sekarang ini.
"Bisakah kau menjaga ucapanmu? Kau kira aku ini wanita kotor dan licik yang akan menggunakan cara begitu untuk melarikan diri?" Sarla berucap kian sinis. Tatapannya juga menjadi menajam.
"Ckckck." Sengaja dikeluarkan decakannya dengan volume suara yang semakin kencang saja. Kedua tangan sudah dilipat di depan dada. Senyum yang angkuh pun tak luput dipamerkan olehnya.
"Sudah aku peringatkan bukan jika kau nanti berani untuk menyentuhku. Dipastikan akan ada balasan dendamku padamu. Jangan macam-macam!" Sarla menaikkan kembali nadanya guna menegaskan.
"Kau sungguh tidak sopan, Miss Sarla. Padahal, kedua orangtuamu sangat menjaga sikap dan juga perilaku. Bahkan, kakak-kakakmu begitu baik."
"Mereka berbeda denganku. Lagipula, untuk apa aku bersikap manis di depanmu? Kau tipikal orang yang angkuh dan berhati muslihat. Aku tidak bisa percaya padamu jika kau mau membantuku untuk berubah. Kau paling hanya memanfaatkanku!"
Wilzton menyeringai. Posisinya sudah lebih dekat dengan Sarla, walau tidak sampai duduk bersama wanita itu di sofa. Ia sedang menyusun sebuah ide. Ingin menunjukkan kegentaran pada wanita itu. Tak bisa diterimanya jika Sarla menerus melawan. Dan, hendak diberi semacam peringatan ke wanita itu.
"Aku rasa kau benar kali ini, Miss Sarla. Apalagi semalam. Aku belum bisa melupakan semuanya."
Sarla membulatkan kedua mata. Bukan karena ia kaget akan jawaban diberikan Wilzton. Namun juga akibat pria itu semakin memangkas jarak di antara mereka. Wajah Wilzton kian mendekati dirinya. Tak ada pergerakan atau perlawanan bisa dilakukan. Ia memilih untuk diam mematung seraya melempar tatajam tajam sarat akan permusuhan ke Wilzton.
"Aku tidak mungkin tidur denganmu semalam! Aku tidsk merasakan perubahan apa-apa pada tubuhku. Jadi, kau berhentilah berakting, Mr. Davis!"
Wilzton menambah seringaiannya kembali. "Belum saja kau rasakan. Tunggu satu bulan lagi. Di dalam perutmu akan tumbuh anak kesayanganku."
"Aku tidak mau!" Sarla berseru, emosinya tinggi.
Tangan kanan dilayangkan ke arah dada Wilzton. Ia hendak mendaratkan pukulan-pukulan sangat keras sebagai bentuk pembelajaran untuk pria itu. Tak akan bisa diterima kata-kata Wilzton. Ia merasa bahwa harus meyakini diri sendiri jika semua yang disampaikan hanyalah kebohongan semata.
"Lepaskan!" seru Sarla kembali dengan kencang, setelah tangannya berhasil ditangkap Wilzton.
"Jangan berani bersikap kasar padaku. Jika kau tetap bersikeras. Aku juga tidak akan segan-segan memberi
"Aku kira kau akan menginap di sana."Sarla langsung berhenti mengunyah kentang di dalam mulut. Hanya sesaat, ketika menggelengkan kepala guna menjawab pertanyaan kakaknya.Sarla pun kembali memasukkan sepotong tomat, tentu selepas menelan kentang. Diperhatikan lekat sosok Christoper. Senyum kakaknya tampak aneh."Apa yang kau pikirkan?" Sarla bertanya curiga."Tentang kemalanganmu, Adikku. Kau pasti merasa kecewa karena tidak bisa bercinta dengan Wilzton."Sarla langsung mendelikkan mata. Menunjukkan bahwa jawaban sang kakak sudah membuatnya jadi begitu terkejut. Memang, tak disangka-sangka.Reaksi yang diberikan sudah pasti menyebabkan tawa sang kakak keluar. Jelas, ia semakin jengkel. Harus diakui Christoper mudah mencandainya."Aku masih tidak percaya adikku ini sekarang tidak anak kecil lagi. Tapi, wanita dewasa yang sudah bisa bercinta. Padahal, dulu kau itu cengeng."Sarla menambah delikan mata. "Kau juga sering bercinta
Waktu berjalan cepat karena Sarla mengisi harinya dengan kesibukan bekerja. Tak terasa sudah dua minggu, sejak ia kembali ke New York.Sarla menempati lagi mansion miliknya yang telah ditinggali selama enam tahun belakangan ini. Tak jauh dari kediaman orangtua dan kedua kakaknya.Sarla lebih banyak berada di kantor, datang pukul delapan. Dan, baru pulang lewat dari jam sepuluh. Pernah juga hingga dini hari, satu minggu lalu.Bukan diakibatkan karena pekerjaan benar-benar banyak atau menumpuk. Hanya saja, memanglah dengan sengaja membuatnya dirinya sibuk.Bertujuan agar tidak terus memikirkan hal lain kurang penting yang dapat menyebabkan timbul perasaan gundah, menyerang kenyamanan.Tentu sangat berkaitan dengan hatinya. Ya, lebih tepat sosok Wilzton. Selalu dapat diingatnya pria itu. Terus muncul begitu saja di dalam benaknya.Sudah berupaya untuk tak memikirkan apa pun yang ada hubungan akan Wilzton. Namun, ia gagal melakukannya. Kenangan
Ayah dan juga ibunya sudah berangkat ke bandara, pukul tiga pagi untuk penerbangan ke Swedia. Akan di sana selama hampir tiga minggu kedepan.Sarla sudah tentu kecewa karena kebersamaan dengan orangtuanya kurang dari 24 jam. Masih tersisa rasa rindu besar pada ayah dan sang ibu.Namun, Sarla memilih mengalah. Ia bukanlah lagi anak kecil. Sudah mendekat ke usia tiga puluhan sebentar lagi. Jadi, harus diutamakan kedewasaan dalam bersikap ataupun berpikir untuk segala hal.Lagi pula, ia telah berjanji akan berubah menjadi sosok wanita yang lebih baik dan berprestasi dalam dunia bisnis. Dengan tekad kuat diwujudkan."Sarla …,"Suara berat yang memanggilnya sangat dikenali dengan betul. Maka, langsung saja bangun dari sofa dan berlari ke arah kakaknya, Charlem.Memeluk dengan erat, saat sudah berada di depan saudara sulungnya itu. Tawa keluar. "Aku rindu.""Aku juga sama. Kau baik-baik saja?"Sarla mengangguk sekali. La
Sarla sadar semangatnya hari ini begitu besar. Ia mempelajari semua buku dan file-file yang diberi oleh Wilzton sebelum pergi dari rumah.Sarla pun merasa bangga sekaligus takjub dengan kemampuannya sendiri karena hampir keseluruhan bahan materi. Banyak ilmu baru didapatkan.Bahkan, ketika masih di universitas, rasanya tidak kompleks dan juga lengkap seperti yang sedang dipelajari, kini. Atau mungkin dirinya tak terlalu bisa menyerap semua pembelajaran dari para dosen.Sarla percaya diri bahwa akan bisa pebisnis yang lebih cakap serta juga cerdik nantinya. Ia ingin ikut mengembangkan beberapa perusahaan ayahnya bersama dengan Christoper dan Charlem.Memang, pengalamannya masih kalah dibanding kedua kakak laki-lakinya. Namun, Sarla yakin akan bisa memanfatkan kesempatan dan peluang.“Selain tampan, dia benar-benar cerdas.”Sarla langsung menutup mulutnya yang baru saja selesai melontarkan pujian untuk Wilzton. Tak disebabkan karen
Wilzton segera meluncur ke kantor, selepas dikabari oleh sekretaris barunya tentang kedatangan Badav Parker. Ya benar, orangtua Sarla. Sekaligus juga mitra bisnis ayahnya.Sudah, tiga tahun belakangan ini, Wilzton mengambil alih tugas sang ayah meladeni para rekanan dan perusahaan. Kedua kakaknya tentu turut andil. Mereka saling membantu.Hanya saja, kunjungan Badav Parker hari ini terasa cukup berbeda. Tidak akan menyangkut soal kerja sama. Pasti punya kaitan dengan Sarla. Wilzton yakin tebakannya benar.Bukan jadi masalah jika memang tak salah. Ia sudah siap melaporkan perkembangan dan perubahan yang ditunjukkan oleh Sarla. Kecuali, fakta tentang mereka sudah bercinta.“Hai, Nak.”
Sarla sudah bangun sejak pukul enam. Tidurnya tak dapat nyenyak. Bukan karena pikiran disita oleh banyak hal, tetapi disebabkan keberadaan Wilzton.Mereka masih tidur bersama di kasur yang sama, walau percintaan telah selesai sejak tengah malam. Wilzton bahkan terus memeluk dengan erat. Pria itu sudah lama jatuh ke alam mimpi.Wajar jika Sarla merasa begitu gugup dan tak bisa larut dalam tidur yang lelap. Terlebih, mereka telah melewatkan malam panas nan membara.Rasa lelah serta kantuk pun dengan mudahnya hilang oleh kegugupan. Degupan jantung semakin mengalami peningkatan dalam dekapan Wilzton.Dan, tak muncul niatan untuk melepas pelukan pria itu. Karena, begitu hangat. Meskipun, tidak akan terlalu baik bagi ketenangan irama jantungnya.Sarla belum bisa memahami betul bagaimana rasa yang sesungguhnya ia punya untuk Wilzton. Cinta atau sekadar kekaguman dengan tingkat tinggi?Pria itu pantas untuk diidolakan. Kelebihan Wilzton banyak. Mula