Share

03 - Bara Permusuhan

Sarla tidak pernah menangis dan merasa sesedih ini akan keadaan dialaminya. Situasi yang bahkan tak sekalipun dibayangkan akan menimpanya. Ia kini harus menghadapi kondisi tidak menyenangkan tanpa adanya persiapan apa-apa sama sekali.

Hanya pakaian melekat di tubuh satu-satunya yang dibawa. Handphone dan dompet kesayangan berisi sejumlah uang serta kartu-kartu bank sudah tidak ada. Sarla menganggap dirinya menyedihkan.

Kehidupan berubah dalam semalam saja. Jauh dari keluarga. Berada dengan orang asing yang cukup menyebalkan dan sombong di tempat belum bisa diketahuinya menjadi cobaan terasa kian terberat.

Pikiran Sarla pun buntu. Tidak bisa untuk mencari solusi terbaik yang dapat menyelamatkan dirinya secara cepat. Memasrahkan semua bukan pilihan yang menguntungkan baginya kedepan. Ia enggan menyerah terlalu dini tanpa usaha untuk mengamankan dirinya. Namun, kondisi tak dapat memberikan dukungan sesuai dengan harapan.

"Kau sedang apa, Miss Sarla?"

Sarla masih membenamkan kepala di antara kedua lutut yang sedang dilakukannya. Ia mendengarkan dengan jelas lontaran pertanyaan oleh suara berat milik Wilzton kepadanya. Namun, malas menanggapi. Terlebih, keadaannya sedang tidak cukup bagus. Air mata masih membasahi pipi.

Memerlihatkan kelemahan seperti ini tak akan ia pernah tunjukkan di depan orang asing. Disamping ragu karena belum memercayai pria itu, enggan juga mendapatkan cemohan semakin banyak yang hanya akan memberi luka pada harga dirinya.

"Tidakkah kau bisa menjawabku?"

Lontaran pertanyaan diajukan pria itu lagi dengan maksud yang sama. Dan, Sarla memilih tunjukkan sikap tidak acuh. Masih berada di posisinya. Tetapi, air mata sudah berhenti keluar. Tinggal menunggu beberapa menit agar tampak kering di kedua pipi. Barulah, ia akan mengangkat kepalanya.

"Kau tidak akan mungkin tuli secara cepat karena kau baru 24 jam tinggal di rumahku. Dan, aku tidak melakukan apa-apa yang bisa membuatmu begitu. Aku bahkan belum menyentuhmu. Jadi, jika nanti kau bersandiwara hamil supaya bisa bebas dari sini, aku tidak akan pernah memercayai kau. Ak--"

"Tutup mulutmu!" Sarla berseru marah. Intonasinya cukup tinggi. Menunjukkan bagaimana kegeraman pada dirinya memang sedang besar, sekarang ini.

"Bisakah kau menjaga ucapanmu? Kau kira aku ini wanita kotor dan licik yang akan menggunakan cara begitu untuk melarikan diri?" Sarla berucap kian sinis. Tatapannya juga menjadi menajam.

"Ckckck." Sengaja dikeluarkan decakannya dengan volume suara yang semakin kencang saja. Kedua tangan sudah dilipat di depan dada. Senyum yang angkuh pun tak luput dipamerkan olehnya.

"Sudah aku peringatkan bukan jika kau nanti berani untuk menyentuhku. Dipastikan akan ada balasan dendamku padamu. Jangan macam-macam!" Sarla menaikkan kembali nadanya guna menegaskan.

"Kau sungguh tidak sopan, Miss Sarla. Padahal, kedua orangtuamu sangat menjaga sikap dan juga perilaku. Bahkan, kakak-kakakmu begitu baik."

"Mereka berbeda denganku. Lagipula, untuk apa aku bersikap manis di depanmu? Kau tipikal orang yang angkuh dan berhati muslihat. Aku tidak bisa percaya padamu jika kau mau membantuku untuk berubah. Kau paling hanya memanfaatkanku!"

Wilzton menyeringai. Posisinya sudah lebih dekat dengan Sarla, walau tidak sampai duduk bersama wanita itu di sofa. Ia sedang menyusun sebuah ide. Ingin menunjukkan kegentaran pada wanita itu. Tak bisa diterimanya jika Sarla menerus melawan. Dan, hendak diberi semacam peringatan ke wanita itu.

"Aku rasa kau benar kali ini, Miss Sarla. Apalagi semalam. Aku belum bisa melupakan semuanya."

Sarla membulatkan kedua mata. Bukan karena ia kaget akan jawaban diberikan Wilzton. Namun juga akibat pria itu semakin memangkas jarak di antara mereka. Wajah Wilzton kian mendekati dirinya. Tak ada pergerakan atau perlawanan bisa dilakukan. Ia memilih untuk diam mematung seraya melempar tatajam tajam sarat akan permusuhan ke Wilzton.

"Aku tidak mungkin tidur denganmu semalam! Aku tidsk merasakan perubahan apa-apa pada tubuhku. Jadi, kau berhentilah berakting, Mr. Davis!"

Wilzton menambah seringaiannya kembali. "Belum saja kau rasakan. Tunggu satu bulan lagi. Di dalam perutmu akan tumbuh anak kesayanganku."

"Aku tidak mau!" Sarla berseru, emosinya tinggi.

Tangan kanan dilayangkan ke arah dada Wilzton. Ia hendak mendaratkan pukulan-pukulan sangat keras sebagai bentuk pembelajaran untuk pria itu. Tak akan bisa diterima kata-kata Wilzton. Ia merasa bahwa harus meyakini diri sendiri jika semua yang disampaikan hanyalah kebohongan semata.

"Lepaskan!" seru Sarla kembali dengan kencang, setelah tangannya berhasil ditangkap Wilzton.

"Jangan berani bersikap kasar padaku. Jika kau tetap bersikeras. Aku juga tidak akan segan-segan memberi

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status