Sarla sudah keluar dari kamar tidur yang ditempati sejak satu jam lalu. Hampir tiga puluh menit waktu dihabiskan menelusuri lantai demi lantai dalam mansion luas milik pria bernama Wilzton Davis.
Kini, Sarla telah berada di bagian teratas kediaman pria itu. Hanya dikelilingi atap dan juga kebun kecil, namun asri. Angin berembus semilir, memberikan sedikit kesejukan ditengah cuaca yang panas.
Sarla tidak bisa menampik kekaguman akan desain interior dan bangunan. Begitu elegan serta mewah, walau bergaya minimalis. Halaman luas dipenuhi tanaman-tanaman bunga dan pepohonan rindang menambah kesan yang indah. Seharusnya mampu memberikan ketenangan serta juga kenyamanan.
Kenyataannya, Sarla semakin dilanda kegelisahan. Dan ia terus memikirkan bagaimana nasibnya yang tambah membingungkan. Jalan keluar belum bisa juga ditemukan. Pikiran masih terus buntu. Tidak bisa menemukan cara membebaskan dirinya dari Wilzton dan hukuman diberikan oleh kedua orangtuanya. Benar-benar tak muncul ide apik. Ia seperti kehilangan kecerdasannya juga mendadak. Bahkan, solusi yang tidak baik tak bisa terpikirkan.
"Dad, Mom." Sarla menggumam dengan nada lirih. Volume suara pun kecil. Seperti sedang berbisik.
"Maafkan aku." Sarla kembali berujar tak nyaman. Ia arahkan pandangan ke arah langit biru.
"Apakah aku masih pantas dimaafkan atas semua kenakalan dan kesalahan yang aku lakukan pada Mom dan Dad? Aku memang sudah keterlaluan."
Air mata semakin deras keluar oleh dorongan rasa sedihnya di dalam dada. Membasahi pipi-pipinya. Bayangan sosok ayah dan sang ibu pun muncul di benaknya. Menyebabkan penyesalan terus mampu mengikis ketenangannya. Ingin sekali menelepon. Namun, Wilzton tidak akan memberi izin.
"Maafkan aku, Mom, Dad. Aku tahu aku sudah jadi anak yang hanya bisa mengecewakan saja. Ak--"
"Rupanya kau ada di sini, Miss Sarla? Aku pikir kau sudah kabur dari rumahku dan tersesat di jalan tanpa tahu tujuan. Tapi, ternyata kau tidak pergi."
Sarla berupaya begitu cepat menggerakkan semua jari-jarinya untuk menghapus jejak air mata. Tidak sampai ingin diketahui Wilzton. Pria itu pasti akan mengejeknya. Melontarkan kalimat-kalimat yang lebih pedas dan kasar lagi ditujukan kepadanya. Ia muak dan tak bisa menerima ucapan pria itu.
"Aku juga sempat berpikir kau akan melakukan hal yang buruk. Untung saja kau tidak bodoh, ya."
Sarla membalikkan badan dan langsung terpusat pandangan ke mata Wilzton. "Apakah yang sedang kau maksudkan dengan melakukan hal buruk?"
"Apa kau kira aku akan bunuh diri?" lanjut Sarla dengan nada suaranya yang lebih dingin.
"Hm, bisa saja bukan? Aku sudah menduga tadi jika kau meloncat dari sini ke bawah. Ternyata tidak kau lakukan. Baiklah, aku harus berterima kasih."
Wilzton menyeringai seraya berjalan ke arah Sarla. Tatapan wanita itu seolah menarik dirinya bagai magnet untuk mendekat. Semakin ditantang, maka ia akan dengan senang hati melayani. Menarik saja terlibat perselisihan. Sudah lama tak dirasakan ada wanita yang memandangnya dalam sorot muak.
"Aku masih menghargai nyawaku. Bunuh diri tidak pernah terlintas di pikiranku selama ini. Sekalipun, aku sudah melakukan banyak kesalahan."
Wilzton pun berdecak kembali. Ia sudah berdiri di depan Sarla. Jarak mereka cukup dekat. "Bagus, Miss Sarla. Logikamu masih berfungsi baik."
"Kau harus menghindari melakukan segala sesuatu yang bodoh," imbuh Wilzton, nada meremehkan.
"Termasuk tidur denganmu."
Kekehan mengejek diloloskan keras. Tangannya pun riuh ditepuk-tepukan. "Benarkah begitu, Miss Sarla? Sepertinya kau sangat yakin kau tidak akan pernah mendapatkan kepuasan bercinta denganku," jawabnya masih dengan santai saja.
"Tidak akan pernah. Kau belum menyentuhku. Apa yang kau katakan hanya untuk menakutiku. Cihh. Caramu sangat murahan, Mr. Davis. Kau tidak akan pernah bisa mendapatkanku sebagai teman tidur. Sekalipun, kau menguasaiku sekarang," ujar Sarla penuh keyakinan. Tidak ada keraguan.
Kemudian, kaki-kakinya dilangkah mundur ketika sadar jika Wilzton berniat memangkaskan bentangan jarak di antara mereka. Ia tidak suka. Pria itu pasti akan melakukan kontak fisik kepada dirinya. Membuat rasa jijik semakin bertambah.
Usaha tidak membuahkan hasil seperti diinginkan. Pinggangnya sudah terlebih dahulu dapat dipegang oleh Wilzton. Dilakukan tarikan yang begitu cepat. Tidak dapat dilakukan perlawanan. Bagian depan badannya pun menubruk dada bidang Wilzton.
"Kita buktikan sampai kapan kau akan bisa tahan tidak bercinta selama menjalani hukuman di sini. Aku tahu kau tipe wanita yang punya gairah tinggi. Kau hanya munafik untuk mengakui saja."
Wilzton semakin mendekatkan wajah ke telinga kiri Sarla. "Kita belum membicarakan soal kesepakatan kerja. Akan aku pastikan kau mendapatkan syarat berat untuk bisa aku berikan uang, Miss Sarla."
Sarla sudah membuat keputusan. Telah dirinya pikirkan matang sejak semalam akan jalan diambil. Menangis dan meratapi nasib tidak mampu untuk mengubah apa pun dalam kondisi dihadapinya.Yang dibutuhkan adalah cara bertahan. Menyerah sama saja melukai harga diri. Sarla enggan dicap wanita lemah menerus oleh pria bernama Wilzton. Ia bisa menjadi orang lebih baik dan kuat lagi. Hanya tinggal memberikan pembuktian.Tak ada uang untuk menyelamatkan selain dirinya sendiri. Sarla berpikir bahwa ia tengah bertempur di medan perang. Sudah bertekad akan menang dan mengalahkan Wilzton Davis dengan caranya. Ia yakin akan sangat bisa menaklukan pria itu. Uang Wilzton pun menjadi target utamanya.Mengenai hukuman diberikan ayah dan sang ibu. Ia akhirnya bisa menerima. Memanglah harus juga dijalani sebagai penebusan kesalahan.Minimal harus memberikan bukti kepada orangtuanya jika ia bisa berubah menjadi lebih baik dengan pel
Menyerah dengan mudah bukanlah sesuatu yang akan dilakukan. Ia pun bertekad untuk terus menunjukkan perlawanan.Tidak ada yang menolong menyelamatkan dirinya. Ia tengah sendiri di rumah Wilzton. Tak akan diraih bantuan dari siapa pun. Hanya ia seorang yang mampu melakukannya."Bisakah kau berhenti bergerak? Kau pikir jika badanmu tidak berat, Miss Sarla?""Aku tidak peduli!" Sarla berseru dengan kencang. Amarahnya semakin meningkat.Kedua telinga pun tambah memanas karena ejekan dilontarkan oleh Wilzton Davis. Ia tak senang dikomentari tentang bobot dari tubuhnya.Hal yang baginya sensitif. Tidak akan suka diejek gemuk. Sebab, selama ini sudah dilakukan berbagai macam program menjaga beratnya. Tak bisa diterimanya."Lepaskan aku sekarang! Jangan kau pernah berpikir kau akan bisa memaksaku unt--"Sarla harus menghentikan perkataan akibat dilanda kekagetan besar dirinya dihempas ke kasur Wilzton yang empuk. Ia pun berada dal
Menunggu adalah hal paling tidak menyenangkan bagi Sarla. Terlebih, tanpa kepastian yang jelas atas keputusan sudah dibuatnya.Rasa mual pada sosok pria menyebalkan nan sombong, Wilzton, tak terbendung sejak mereka terakhir berbicara tadi di dalam. Debat tentu mewarnai.Dirinya diusir paksa dari ruangan tidur pria itu. Tak ada pilihan selain menanti Wilzton keluar. Dan, ia sudah berdiri di depan pintu hampir setengah jam.Kedua kakinya mendapatkan efek, pegal-pegal. Ia harus segera beristirahat untuk memulihkan tenaga dan pikiran yang masih senantiasa terkuras.Rasa kantuk juga menyerang karena waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Namun, tidak bisa pergi ke kamarnya. Ia membutuhkan jawaban yang lebih pasti lagi.Benar, kesepakatan secara tertulis agar semua jelas dan juga memiliki dasar hukum. Jika terjadi masalah yang tak diduga-duga, ia bisa menuntut.Wilzton Davis tipikal pria yang misterius. Ia tidak bisa merasa
Wilzton merasakan kesunyian cukup mencekam, saat masuk ke dalam kamar tidur Sarla. Sedangkan, suasana juga gelap. Tanpa ada nyala lampu yang menerangi.Namun demikian, ia masih tak menemukan kendala berjalan ke ranjang tidur wanita itu dengan langkah santai saja. Seringaian dibentuknya pada wajah. Tatapan lurus ke depan."Miss Sarla!" Wilzton berseru kencang, sengaja.Salah satu sudut bibir semakin dinaikkan. Ia sudah berdiri di samping tempat tidur yang digunakan oleh Sarla.Arah pandang pun telah terpusat penuh ke sosok wanita itu. Tak ada tanda-tanda respons dari Sarla. Walau, volume suaranya terbilang keras. Ia begitu yakin sudah didengar. Tak mungkin tidak."Aku kira kau tidak akan malas lagi. Ternyata, masih saja kau lakukan kebiasaanmu. Cepat bangun! Kau tidak boleh menjadi pemalas."Telinga Sarla langsung memanas karena seruan begitu kencang nan penuh sindiran diucap oleh seseorang.Sangat dikenalinya dengar benar pemilik
Sarla membutuhkan waktu selama lebih dari satu jam untuk menyelesaikan dua pancakes berukuran sedang untuk menu sarapan dirinya dan Wilzton.Ditambah dengan dua gelas jus strawberri yang diminta secara khusus oleh pria itu kepadanya tadi.Semua sudah terhidang di meja makan berbentuk bulat yang cukup besar. Tak ada makanan lainnya tersaji.Dan secara tiba-tiba saja, Sarla mengingat momen sarapan di rumah bersama ayah, ibu, serta sang kakak dengan menu beragam dibuatkan oleh para pelayan. Semua sangat enak, ia rindu.Penyesalan pun juga menyelimutinya atas sikap dan gaya hidup glamour selama ini sudah dijalani. Namun, tak akan berlaku permohonan maaf dari dirinya.Dan, tetap harus menjalani hukuman sebagaimana mestinya yang sudah ditetapkan oleh ayah dan sang ibu. Entah sampai kapan, tak ada kejelasan yang diberitahukan Wilzton.Pria itu masih ingin menunjukkan kemisteriusan pada dirinya. Ia enggan untuk lebih terpancing lagi.Ta
"Kenapa sangat sulit?" gerutu Sarla dalam intonasi yang rendah saja, namun sarat akan penekanan."Kenapa aku tidak bisa menemukan pemecahan? Aku yang bodoh atau bagaimana? Ya ampun!"Sarla memukul kepalanya. "Ayo, berpikir."Sementara, kedua matanya terpusat memandang ke arah tablet dan juga laptop terletak di atas meja. Lebih tepat pada pekerjaan menghitung gambar hotel yang tengah dilakukan.Belum selesai dirinya kerjakan semua. Baru setengah lebih saja berhasil dituntaskan dengan hasil yang tidak diyakini benar."Kenapa dia harus memberikanku pekerjaan yang sulit?""Apakah mau membuatku terlihat semakin bodoh saja, ya? Cih, dia pembullying sejati."Kepala sudah pusing bukan main. Tentu efeknya harus demikian karena kebingungan yang sedang melandanya pun begitu besar. Perlu beristirahat sejenak.Namun, tidak mungkin bisa dilakukan. Ia harus segera menyelesaikan pekerjaan diberikan oleh Wilzton Davis.Waktu
Wilzton masih tidak menyangka jika Sarla akan mampu menghabiskan dua botol wine hanya dalam waktu dua jam saja. Di matanya, wanita itu seperti tidak kuat mengonsumsi minuman beralkohol dengan jumlah yang banyak, paling hanya akan beberapa gelas saja.Ternyata, dugaan meleset. Namun memang tak semua. Ya, kecuali ketahanan Sarla terhadap efek wine yang diminum.Wanita itu mabuk berat dan kehilangan kesadaran, tidak sampai pingsan atau tertidur memang. Tetapi, diajak berkomunikasi mulai sulit."Miss Sarla, apa kau masih terjaga?" tanyanya basa-basi, sebagai pembuktian.Ya, ingin melihat reaksi dari Sarla akan sesuai akan prediksi ataukah tidak. Jika bisa memberi balasan yang tepat, maka kesadaran wanita itu masih bisa bekerja.Tidak perlu repot-repot melibatkan diri untuk mengurus Sarla, dalam artian mengantar ke kamar tidur."Miss Sarla, kau baik-baik saja bukan?" tanyanya ulang, suara lebih dikeraskan.
Sarla sudah merasakan pusing yang teramat pada bagian kepala sejak beberapa menit pasca bangun dari tidurnya.Namun, ia tak bisa membuka kedua kelopak mata yang rasanya begitulah berat. Dipilih untuk tak berusaha lebih keras. Akan sia-sia saja.Sarla pun sudah tahu penyebab dari rasa pusing hebat yang menyerangnya. Ya, karena mabuk.Jika tak salah ingat, ia menghabiskan lima gelas lebih yang berukuran besar. Tidak mengherankan dirinya seperti ini.Namun, tak akan ada penyesalan. Meski juga masalah menimpanya harus tetap dijalankan hingga akhir. Kenyataan yang enggan diingatnya.Hanya akan menimbulkan rasa bersalah dan sesal di dalam dirinya. Teringat pula dengan ayah serta sang ibu.Kerinduan semakin besar. Masih tak ada komunikasi bisa dilakukan, walau lewat telepon. Entah sampai kapan waktunya menghubungi."Siapa yang memelukku?" Sarla pun melontarkan kalimat tanya dengan nada yang begitu terkejut. Bahkan, me