"Aku menginginkanmu. Setiap inchi tubuhmu menarik perhatianku. Apakah kita tidak akan ada kesempatan tidur bersama?" Kembali, Sarla menggelengkan kepalanya dengan gerakan kuat beberapa kali. "Tidak akan!" "Kau harus ingat jika aku berada di sini bukanlah sebagai pelayanmu dan melakukan apa saja yang kau minta. Termasuk tidur denganmu Mr--" "Kau memang bukan pelayanku. Tapi, kau sudah hidup bersamaku di sini. Kau sudah mendapatkan semua fasilitas mewah di rumahku." "Jadi, apa tidak boleh aku menerima balasan? Minimal kau dapat menyerahkan tubuh indahmu, Miss Sarla." Wilzton menyeringai. "Baiklah. Anggap saja aku membalas budi. Harus berapa kali aku bersedia untuk kau tiduri?" tanya Sarla dengan tenang. Tak menunjukkan kegugupan. "Haha. Selama gairahmu masih menginginkanku untuk memuaskanmu." Sarla membeliak kaget. "Apa katamu?" "Kau suka bukan? Apa pun yang menyenangkan hatimu akan aku lakukan, Sayang." Sarla kian membelalakan mata. Tambah kesal juga akan ucapan Wilzton yang baginya penghinaan. "Cih, kau kira kau bisa memuaskanku begitu saja?" Sarla dominasikan nada mencibir dan jengkel. "Lebih baik kau lihat dulu permainanku. Baru, kau boleh menilai. Aku jamin aku tidak mengecewakan." …………….. Sarla Maykan Parker harus menanggung akibat dari hidup glamour yang sudah melewati batas. Tak bisa ia hindari hukuman ditentukan oleh keluarganya sendiri. Dibuang ke San Fransisco, tinggal di rumah seorang billionaire muda bernama Wilzton Davis tanpa dibekali sepeser pun uang. Tidak hanya hari-hari harus dilewatinya yang berubah drastis. Namun juga, hati dan hasratnya. Wilzton terlalu tampan dengan paras menawan dan tubuh tinggi atletis. Ditambah sentuhan-sentuhan pria itu yang selalu membakar gairahnya. Sarla tak bisa menahan godaan. Perlahan namun pasti, ia mulai terperangkap. Bergantung pada Wilzton hingga memberikan cinta dan tubuhnya untuk pria itu seutuhnya.
View More"Mommm!"
Setelah menyelesaikan seruannya, Sarla Maykan Parker pun berlari kencang ke arah sang ibu yang sedang berdiri di depan dengan jarak sekitar lima meter, masih dalam areal ruang tamu megah rumahnya.
Senyum kian Sarla kembangkan bersamaan akan kedua tangan direntangkan ke samping. Ia berniat memberikan pelukan, setelah nanti berada di depan sang ibu. Tinggal beberapa langkah lagi sampai.
"Mommm!" Sarla kembali berseru, bahkan lebih kencang dari sebelumnya. Antusiasme meningkat.
"Jangan berani mendekati Mom, Sayang!"
Sarla langsung berhenti berjalan selepas sang ibu mengeluarkan perintah dalam suara begitu tegas. Ia pun berdiri dengan tubuh kaku. Merasakan secara jelas bagaimana ibunya tengah marah lewat sorot mata ditunjukkan memandang dirinya lekat.
Jarak tersisa kurang dari satu meter saja. Atmosfer tak menyenangkan semakin membuat Sarla jadi kurang tenang. Keadaan yang tidak pernah dirinya inginkan alami, yakni menghadapi kemarahan dari kedua orangtuanya. Terutama, sang ibu.
"Mom...," Sarla memanggil pelan. Suaranya lebih rendah. Masih diarahkan tatapan pada ibunya.
"Sudah Mom bilang jangan mendekat, Nak!"
Sarla yang baru dua langkah berjalan ke depan pun harus dihentikannya. Menuruti perintah sang ibu agar tak semakin membuat marah. Ia jelas saja mulai dirundung oleh perasaan takut. Berefek juga pada debaran jantung yang bertambah kencang. Ia belum pernah melihat ibunya bersikap begitu keras
"Mom, apakah sedang marah padaku?"
Sarla mengakui ia sangat bodoh menanyakan hal demikian yang sudahlah jelas ditunjukkan sang ibu. Kemudian, ia memilih membungkam mulut dengan rapat. Menunggu jawaban akan diloloskan ibunya. Ketenangannya semakin tak bisa diberlakukan.
"Jelas saja Mom marah kepadamu, Sarla!"
"Mom, aku ingin minta maaf. Mom pasti marah atas keterlambatan aku pulang bukan? Tadi dari bandara aku diundang ke bar sebentar. Tapi, aku tidak satu gelas pun minum. Aku hanya mencicipi coke. Sungguh aku tidak berbohong. Aku ti--"
Plak!
Sarla terkejut bukan main sebab pipi bagian kirinya menerima tamparan yang cukup keras dari sang ibu. Ia benar-benar tak menyangka akan mendapat perlakuan kasar. Namun, tidak mungkin untuknya memprotes karena sang ibu sedang begitu emosi.
"Jangan membela dirimu, Nak! Bukan masalah kau pergi ke bar atau minum sampai mabuk. Hal lain yang sudah membuat Mom begitu marah padamu."
Sarla menelan air ludah dengan cukup susah payah guna membasahi kerongkongan yang kian kering. Mata sudah berkaca-kaca. Rasa takut tentu bertambah seiring menajamnya mata sang ibu. Namun, ia sudah bertekad memberi penjelasan secara detail sebagai senjata andalan.
"Masalah apa Mom? Aku akan jelaskan sem--"
"Mom juga tidak membutuhkan penjelasan apa pun darimu, Nak. Bukti-bukti sudah cukup, Sarla! Kau sungguh keterlaluan menghabiskan uang satu juta dollar dalam waktu satu bulan! Mom kecewa."
Air mata Sarla semakin deras keluar. Penglihatan pun mulai mengabur. "Aku minta maaf, Mom. Ak--"
"Mom sudah memutuskan hukuman yang akan kau terima. Mom dan Dad tidak bisa lagi menolerir gaya hidupmu yang mewah. Kau harus diberi pelajaran, Nak. Supaya kau bisa lebih sadar akan kesalahan yang sudah kau lakukan. Tolong berubahlah."
Sarla membelalakan mata. "Mom akan memberi aku hukuman sepeerti apa? Kenapa terdenga--"
"Kau akan kami asingkan ke rumah Mr. Davis, Nak. Kau akan belajar banyak di sana. Kau baru boleh kembali setelah kau mau berubah, Sarla."
"Mr. Davis, tolonglah kemari."
Sarla segera saja mengikuti arah pandang sang ibu yang tertuju ke arah salah satu ruangan tidur tamu, masih terletak di lantai satu. Dan, berjarak sekitar enam meter dari tempat dirinya serta juga sang ibu sedang berdiri. Degupan jantung semakin tak bisa menentu. Terus berdetak dengan kencangnya.
Tak berselang lama, sepasang mata Sarla jelas menangkap sosok pria berpostur tinggi, perparas tampan, dan menyeringai keluar dari dalam kamar tersebut. Ia terpesona. Semakin tak mampu untuk dialihkan perhatian, saat pria itu mendekatinya.
"Senang bisa bertemu denganmu, Miss Sarla. Tapi, maaf aku harus membuat kau pingsan dulu."
Sarla butuh waktu lebih dari lima detik untuk dapat memahami makna ucapan baru didengarnya. Ia pun hendak menyahut. Namun, tak sempat karena merasakan kantuk luar biasa. Tepat setelah, mulut dibekap oleh pria itu menggunakan sapu tangan. Ia langsung memejamkan mata, terhuyung ke depan.
"Mr. Davis, aku memercayaimu. Tolong buat putri kami berubah. Aku tahu kau bisa melakukannya."
"Baiklah, Bibi. Percayakan semua padaku."
"Aku kira kau akan menginap di sana."Sarla langsung berhenti mengunyah kentang di dalam mulut. Hanya sesaat, ketika menggelengkan kepala guna menjawab pertanyaan kakaknya.Sarla pun kembali memasukkan sepotong tomat, tentu selepas menelan kentang. Diperhatikan lekat sosok Christoper. Senyum kakaknya tampak aneh."Apa yang kau pikirkan?" Sarla bertanya curiga."Tentang kemalanganmu, Adikku. Kau pasti merasa kecewa karena tidak bisa bercinta dengan Wilzton."Sarla langsung mendelikkan mata. Menunjukkan bahwa jawaban sang kakak sudah membuatnya jadi begitu terkejut. Memang, tak disangka-sangka.Reaksi yang diberikan sudah pasti menyebabkan tawa sang kakak keluar. Jelas, ia semakin jengkel. Harus diakui Christoper mudah mencandainya."Aku masih tidak percaya adikku ini sekarang tidak anak kecil lagi. Tapi, wanita dewasa yang sudah bisa bercinta. Padahal, dulu kau itu cengeng."Sarla menambah delikan mata. "Kau juga sering bercinta
Waktu berjalan cepat karena Sarla mengisi harinya dengan kesibukan bekerja. Tak terasa sudah dua minggu, sejak ia kembali ke New York.Sarla menempati lagi mansion miliknya yang telah ditinggali selama enam tahun belakangan ini. Tak jauh dari kediaman orangtua dan kedua kakaknya.Sarla lebih banyak berada di kantor, datang pukul delapan. Dan, baru pulang lewat dari jam sepuluh. Pernah juga hingga dini hari, satu minggu lalu.Bukan diakibatkan karena pekerjaan benar-benar banyak atau menumpuk. Hanya saja, memanglah dengan sengaja membuatnya dirinya sibuk.Bertujuan agar tidak terus memikirkan hal lain kurang penting yang dapat menyebabkan timbul perasaan gundah, menyerang kenyamanan.Tentu sangat berkaitan dengan hatinya. Ya, lebih tepat sosok Wilzton. Selalu dapat diingatnya pria itu. Terus muncul begitu saja di dalam benaknya.Sudah berupaya untuk tak memikirkan apa pun yang ada hubungan akan Wilzton. Namun, ia gagal melakukannya. Kenangan
Ayah dan juga ibunya sudah berangkat ke bandara, pukul tiga pagi untuk penerbangan ke Swedia. Akan di sana selama hampir tiga minggu kedepan.Sarla sudah tentu kecewa karena kebersamaan dengan orangtuanya kurang dari 24 jam. Masih tersisa rasa rindu besar pada ayah dan sang ibu.Namun, Sarla memilih mengalah. Ia bukanlah lagi anak kecil. Sudah mendekat ke usia tiga puluhan sebentar lagi. Jadi, harus diutamakan kedewasaan dalam bersikap ataupun berpikir untuk segala hal.Lagi pula, ia telah berjanji akan berubah menjadi sosok wanita yang lebih baik dan berprestasi dalam dunia bisnis. Dengan tekad kuat diwujudkan."Sarla …,"Suara berat yang memanggilnya sangat dikenali dengan betul. Maka, langsung saja bangun dari sofa dan berlari ke arah kakaknya, Charlem.Memeluk dengan erat, saat sudah berada di depan saudara sulungnya itu. Tawa keluar. "Aku rindu.""Aku juga sama. Kau baik-baik saja?"Sarla mengangguk sekali. La
Sarla sadar semangatnya hari ini begitu besar. Ia mempelajari semua buku dan file-file yang diberi oleh Wilzton sebelum pergi dari rumah.Sarla pun merasa bangga sekaligus takjub dengan kemampuannya sendiri karena hampir keseluruhan bahan materi. Banyak ilmu baru didapatkan.Bahkan, ketika masih di universitas, rasanya tidak kompleks dan juga lengkap seperti yang sedang dipelajari, kini. Atau mungkin dirinya tak terlalu bisa menyerap semua pembelajaran dari para dosen.Sarla percaya diri bahwa akan bisa pebisnis yang lebih cakap serta juga cerdik nantinya. Ia ingin ikut mengembangkan beberapa perusahaan ayahnya bersama dengan Christoper dan Charlem.Memang, pengalamannya masih kalah dibanding kedua kakak laki-lakinya. Namun, Sarla yakin akan bisa memanfatkan kesempatan dan peluang.“Selain tampan, dia benar-benar cerdas.”Sarla langsung menutup mulutnya yang baru saja selesai melontarkan pujian untuk Wilzton. Tak disebabkan karen
Wilzton segera meluncur ke kantor, selepas dikabari oleh sekretaris barunya tentang kedatangan Badav Parker. Ya benar, orangtua Sarla. Sekaligus juga mitra bisnis ayahnya.Sudah, tiga tahun belakangan ini, Wilzton mengambil alih tugas sang ayah meladeni para rekanan dan perusahaan. Kedua kakaknya tentu turut andil. Mereka saling membantu.Hanya saja, kunjungan Badav Parker hari ini terasa cukup berbeda. Tidak akan menyangkut soal kerja sama. Pasti punya kaitan dengan Sarla. Wilzton yakin tebakannya benar.Bukan jadi masalah jika memang tak salah. Ia sudah siap melaporkan perkembangan dan perubahan yang ditunjukkan oleh Sarla. Kecuali, fakta tentang mereka sudah bercinta.“Hai, Nak.”
Sarla sudah bangun sejak pukul enam. Tidurnya tak dapat nyenyak. Bukan karena pikiran disita oleh banyak hal, tetapi disebabkan keberadaan Wilzton.Mereka masih tidur bersama di kasur yang sama, walau percintaan telah selesai sejak tengah malam. Wilzton bahkan terus memeluk dengan erat. Pria itu sudah lama jatuh ke alam mimpi.Wajar jika Sarla merasa begitu gugup dan tak bisa larut dalam tidur yang lelap. Terlebih, mereka telah melewatkan malam panas nan membara.Rasa lelah serta kantuk pun dengan mudahnya hilang oleh kegugupan. Degupan jantung semakin mengalami peningkatan dalam dekapan Wilzton.Dan, tak muncul niatan untuk melepas pelukan pria itu. Karena, begitu hangat. Meskipun, tidak akan terlalu baik bagi ketenangan irama jantungnya.Sarla belum bisa memahami betul bagaimana rasa yang sesungguhnya ia punya untuk Wilzton. Cinta atau sekadar kekaguman dengan tingkat tinggi?Pria itu pantas untuk diidolakan. Kelebihan Wilzton banyak. Mula
Wilzton sudah meningkatkan suhu mesin pendingin ruangan di kamar tidurnya ini, namun ia tetap saja merasa gerah. Ingin melepas kaus dikenakan.Sebenarnya tidak keluar banyak keringat. Karena memang belum memasuki musim panas yang terasa menyengat. Justru baru awal bulan Maret.Apa yang sedang Wilzton rasakan murni reaksi tubuhnya sebagai pria dewasa oleh rangsangan. Tentu berefek pula pada gairahnya yang bangkit.Pikiran juga semakin tidak dapat dikontrol. Dalam artian menghindari hal-hal yang bersifat sensual. Justru muncul fantasi-fantasi semakin nakal.Sosok Sarla tanpa mengenakan sehelai benang pun menjadi tokoh utama di dalam imajinasinya. Sebab, wanita itulah yang sudah membuat dirinya jadi berhasrat. Menginginkan percintaan panas.Pengekangan hawa nafsu selama beberapa tahun agar tak memiliki hubungan sebatas di ranjang saja bersama wanita, bukan perkara yang mudah untuk Wilzton kendalikan. Tetapi, sejauh ia telah berhasil.Mung
Sarla merasakan pergantian waktu begitu lama dari siang hingga malam. Perasaan tidak tenang pun masih mengganggu dirinya.Tak ingin melakukan apa-apa, hanya diam saja di dalam kamar. Tugasnya dalam mempejari dokumen-dokumen bisnis tidak dilanjutkan. Konsentrasinya sungguh lenyap.Memang kedatangan Gerret sangat memberi pengaruh kepadanya. Walau, mereka hanya berjumpa sebentar saja. Tetapi, tetap saja kata-kata pria itu membekas untuknya. Selalu dipikirkan. Walau, logika terus menolak menerima.Terlepas bagaimana sifat negatif Gerret yang dulu sudah memicu berakhirnya jalinan asmara di antara mereka. Masih tetap ada rasa percaya yang tersisa pada pria itu. Tak akan mungkin sang mantan kekasih mengutarakan hal yang bohong.Bodohnya, ia tidak terlalu senang saat Gerret berjanji akan segera menolongnya lepas dari Wilzton.Rasa antusias pada dirinya sudah tentu wajib tercipta karena akan dapat pulang. Bertemu dengan ayah dan ibunya yang sudah dirindukan
Sarla hanya berganti pakaian, tak menggunakan lotion pada tubuhnya. Ia benar-benar segera bergegas menuju ke lantai teratas mansion Wilzton. Ya, ke kamar tidur utama.Tujuannya tentu ingin menemui pria itu. Menanyakan soal sebuah kartu debit milik Wilzton yang ditemukan di atas mejanya tadi. Harus dikonfirmasi alasan pria itu menaruh benda tersebut di kamarnya. Tak ingin salah persepsi.Pesan apa pun tidak ditinggalkan oleh Wilzton. Semakin menguatkan rasa bingung dirinya saja. Enggan untuk menarik kesimpulan tanpa mendapatkan penejelasan dari pria itu.Tentu, ia berharap bahwa Wilzton sedang tidak berniat mengerjainya. Mengingat, hubungan di antara mereka berdua baru membaik.Sepertinya tak mungkin pria itu ingin bersikap jahil menggunakan iming-iming uang. Wilzton cukup dewasa."Apa dia sudah berangkat?" Sarla bergumam ragu. Lalu, kepalanya digelengkan. "Dia bilang pergi pukul sepuluh."Setelah menyelesaikan monolog singkatnya, ketukan pad
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments