Menyerah dengan mudah bukanlah sesuatu yang akan dilakukan. Ia pun bertekad untuk terus menunjukkan perlawanan.
Tidak ada yang menolong menyelamatkan dirinya. Ia tengah sendiri di rumah Wilzton. Tak akan diraih bantuan dari siapa pun. Hanya ia seorang yang mampu melakukannya.
"Bisakah kau berhenti bergerak? Kau pikir jika badanmu tidak berat, Miss Sarla?"
"Aku tidak peduli!" Sarla berseru dengan kencang. Amarahnya semakin meningkat.
Kedua telinga pun tambah memanas karena ejekan dilontarkan oleh Wilzton Davis. Ia tak senang dikomentari tentang bobot dari tubuhnya.
Hal yang baginya sensitif. Tidak akan suka diejek gemuk. Sebab, selama ini sudah dilakukan berbagai macam program menjaga beratnya. Tak bisa diterimanya.
"Lepaskan aku sekarang! Jangan kau pernah berpikir kau akan bisa memaksaku unt--"
Sarla harus menghentikan perkataan akibat dilanda kekagetan besar dirinya dihempas ke kasur Wilzton yang empuk. Ia pun berada dalam posisi berbaring. Sedangkan, pria itu beranjak ke atasnya secara cepat.
Sarla merasa semakin terancam, segera coba untuk bangun. Namun, gagal dilakukannya akibat tubuh didorong kembali.
Bahkan, dua tangan sudah ditekankan dengan kuat oleh pria itu ke kasur. Meski, tak menimbulkan rasa sakit. Tetap saja, harus tetap melawan.
"Mau apa kau, hah? Sudah aku bilang tidak akan mau bercinta denganmu!"
"Kau jangan berani memaksaku! Kau akan kuberi pel--"
"Hahaha. Kau kira aku begitu sangat ingin mencicipi tubuhmu?"
"Kau begitu percaya diri ternyata, Miss Sarla. Tapi, aku tidak akan menampik jika kau membuat diriku menjadi semakin tertarik kepadamu. Aku serius."
Sarla menajamkan tatapan. Namun, ia tidak melontarkan balasan apa pun atas ucapan Wilzton yang bernada godaan kental.
Belum lagi sorot mata nakal ditunjukkan pria itu ke dirinya terang-terangan. Membuat rasa jijik dan muak semakin bertambah.
Andai saja ia tak dibuat kesal, maka kemungkinan untuk memberikan sedikit kekagumannya akan paras pria itu bisa dilakukan.
Dirinya wanita normal. Ketampanan lawan jenis pun dapat diidentifikasikannya masih dengan baik.
"Kenapa kau bengong, Miss Sarla? Wah, kau apakah sedang memikirkan kita berdua bercinta panas?"
"Aku menghujam milikmu yang basah dengan keras. Begitu yang kau fantasikan di dalam kepalamu sekarang?"
Sarla memelototkan mata seraya pandangan yang dipalingkan dari Wilzton, sebab pria itu kian mendekatkan wajah hingga napas berembus di lehernya.
Namun, tidak akan lama. Ia pun kembali memandang Wilzton. Justru semakin tajam menatapnya. Hendak ditunjukkan bahwa ia tak merasa gentar.
Lalu, keterkejutan melanda karena pria itu menempatkan tangan kanan di keningnya. Kehangatan yang nyata akan rasa telapak Wilzton menjalar ke bagian tubuh lainnya. Menimbulkan sensasi aneh juga baginya.
"Kau melakukan apa? Jauhkan tanga--"
"Ternyata aku salah sangka. Aku kira wajah kau pucat karena sedang demam. Tapi, kau tidak panas. Aku bisa bernapas lega."
Sarla menaikkan salah satu alis. Sebab, tak paham akan kalimat-kalimat Wilzton. Tidak bisa dipahami dengan benar. "Apa yang ka--"
Tidak dapat dilanjutkan ucapan untuk yang sekian kali akibat tubuhnya sudah diangkat oleh Wilzton.
Tentu perlawanan langsung saja dilakukan. Namun, tetap tak berhasil. Ia kalah. Tenaganya lebih kecil dari Wilzton.
"Lepaskan aku, Bajingan! Kau akan memaksaku untuk memuaskan rasa penasaranmu akan diriku."
"Kau tidak akan pernah mendapatkan apa yan--"
Sarla kembali harus memotong ucapannya karena terkaget dengan aksi Wilzton yang tiba-tiba menurunkannya di depan ruangan tidur pria itu.
Sarla benar-benar tidak menyangka. Meski demikian, kelegaan semakin besar menaungi. Wilzton pun tak seburuk yang dipikirkannya.
Bukan berarti juga kesiagaan diturunkan. Harus tetap dilakukan mengingat hubungan yang terjadi di antara mereka masih memanas.
Tidak akan luluh hanya sedikit sikap Wilzton bersahabat kepadanya. Bisa saja kelicikan pria itu akan bertambah nantinya.
"Aku akan membuat semua aturan perjanjian. Kau hanya tinggal menerima. Tidak ada protes darimu."
"Tentu, semua akan lebih menguntungkanku. Kau tidak boleh protes. Aku pastikan kau tidak terlalu rugi."
Wilzton menyeringai. "Aku yakin kau tidak akan mengalami hal-hal buruk juga. Tapi, kenikmatan dan kepuasan sebagai wanita."
"Tidak mungkin kau tidak paham dengan apa yang aku maksudkan, Miss Sarla."
"Kau pasti sering mendapatkan dari pria yang kau ajak tidur bersama. Aku tidak kalah hebat."
Sarla membelalak. "Kau akan memutuskan sendiri? Apa kau juga akan menaruh syarat aku harus mau bercinta denganmu? Sungguh, liciknya kau!"
Sarla jelas tambah muak melihat bagaimana seringaian di wajah Wilzton. Ingin sekali ia menggoreskan cakaran-cakaran dengan kuku panjang yang dimiliki. Namun, baru sebatas keinginan terpendamnya saja.
Menunggu adalah hal paling tidak menyenangkan bagi Sarla. Terlebih, tanpa kepastian yang jelas atas keputusan sudah dibuatnya.Rasa mual pada sosok pria menyebalkan nan sombong, Wilzton, tak terbendung sejak mereka terakhir berbicara tadi di dalam. Debat tentu mewarnai.Dirinya diusir paksa dari ruangan tidur pria itu. Tak ada pilihan selain menanti Wilzton keluar. Dan, ia sudah berdiri di depan pintu hampir setengah jam.Kedua kakinya mendapatkan efek, pegal-pegal. Ia harus segera beristirahat untuk memulihkan tenaga dan pikiran yang masih senantiasa terkuras.Rasa kantuk juga menyerang karena waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Namun, tidak bisa pergi ke kamarnya. Ia membutuhkan jawaban yang lebih pasti lagi.Benar, kesepakatan secara tertulis agar semua jelas dan juga memiliki dasar hukum. Jika terjadi masalah yang tak diduga-duga, ia bisa menuntut.Wilzton Davis tipikal pria yang misterius. Ia tidak bisa merasa
Wilzton merasakan kesunyian cukup mencekam, saat masuk ke dalam kamar tidur Sarla. Sedangkan, suasana juga gelap. Tanpa ada nyala lampu yang menerangi.Namun demikian, ia masih tak menemukan kendala berjalan ke ranjang tidur wanita itu dengan langkah santai saja. Seringaian dibentuknya pada wajah. Tatapan lurus ke depan."Miss Sarla!" Wilzton berseru kencang, sengaja.Salah satu sudut bibir semakin dinaikkan. Ia sudah berdiri di samping tempat tidur yang digunakan oleh Sarla.Arah pandang pun telah terpusat penuh ke sosok wanita itu. Tak ada tanda-tanda respons dari Sarla. Walau, volume suaranya terbilang keras. Ia begitu yakin sudah didengar. Tak mungkin tidak."Aku kira kau tidak akan malas lagi. Ternyata, masih saja kau lakukan kebiasaanmu. Cepat bangun! Kau tidak boleh menjadi pemalas."Telinga Sarla langsung memanas karena seruan begitu kencang nan penuh sindiran diucap oleh seseorang.Sangat dikenalinya dengar benar pemilik
Sarla membutuhkan waktu selama lebih dari satu jam untuk menyelesaikan dua pancakes berukuran sedang untuk menu sarapan dirinya dan Wilzton.Ditambah dengan dua gelas jus strawberri yang diminta secara khusus oleh pria itu kepadanya tadi.Semua sudah terhidang di meja makan berbentuk bulat yang cukup besar. Tak ada makanan lainnya tersaji.Dan secara tiba-tiba saja, Sarla mengingat momen sarapan di rumah bersama ayah, ibu, serta sang kakak dengan menu beragam dibuatkan oleh para pelayan. Semua sangat enak, ia rindu.Penyesalan pun juga menyelimutinya atas sikap dan gaya hidup glamour selama ini sudah dijalani. Namun, tak akan berlaku permohonan maaf dari dirinya.Dan, tetap harus menjalani hukuman sebagaimana mestinya yang sudah ditetapkan oleh ayah dan sang ibu. Entah sampai kapan, tak ada kejelasan yang diberitahukan Wilzton.Pria itu masih ingin menunjukkan kemisteriusan pada dirinya. Ia enggan untuk lebih terpancing lagi.Ta
"Kenapa sangat sulit?" gerutu Sarla dalam intonasi yang rendah saja, namun sarat akan penekanan."Kenapa aku tidak bisa menemukan pemecahan? Aku yang bodoh atau bagaimana? Ya ampun!"Sarla memukul kepalanya. "Ayo, berpikir."Sementara, kedua matanya terpusat memandang ke arah tablet dan juga laptop terletak di atas meja. Lebih tepat pada pekerjaan menghitung gambar hotel yang tengah dilakukan.Belum selesai dirinya kerjakan semua. Baru setengah lebih saja berhasil dituntaskan dengan hasil yang tidak diyakini benar."Kenapa dia harus memberikanku pekerjaan yang sulit?""Apakah mau membuatku terlihat semakin bodoh saja, ya? Cih, dia pembullying sejati."Kepala sudah pusing bukan main. Tentu efeknya harus demikian karena kebingungan yang sedang melandanya pun begitu besar. Perlu beristirahat sejenak.Namun, tidak mungkin bisa dilakukan. Ia harus segera menyelesaikan pekerjaan diberikan oleh Wilzton Davis.Waktu
Wilzton masih tidak menyangka jika Sarla akan mampu menghabiskan dua botol wine hanya dalam waktu dua jam saja. Di matanya, wanita itu seperti tidak kuat mengonsumsi minuman beralkohol dengan jumlah yang banyak, paling hanya akan beberapa gelas saja.Ternyata, dugaan meleset. Namun memang tak semua. Ya, kecuali ketahanan Sarla terhadap efek wine yang diminum.Wanita itu mabuk berat dan kehilangan kesadaran, tidak sampai pingsan atau tertidur memang. Tetapi, diajak berkomunikasi mulai sulit."Miss Sarla, apa kau masih terjaga?" tanyanya basa-basi, sebagai pembuktian.Ya, ingin melihat reaksi dari Sarla akan sesuai akan prediksi ataukah tidak. Jika bisa memberi balasan yang tepat, maka kesadaran wanita itu masih bisa bekerja.Tidak perlu repot-repot melibatkan diri untuk mengurus Sarla, dalam artian mengantar ke kamar tidur."Miss Sarla, kau baik-baik saja bukan?" tanyanya ulang, suara lebih dikeraskan.
Sarla sudah merasakan pusing yang teramat pada bagian kepala sejak beberapa menit pasca bangun dari tidurnya.Namun, ia tak bisa membuka kedua kelopak mata yang rasanya begitulah berat. Dipilih untuk tak berusaha lebih keras. Akan sia-sia saja.Sarla pun sudah tahu penyebab dari rasa pusing hebat yang menyerangnya. Ya, karena mabuk.Jika tak salah ingat, ia menghabiskan lima gelas lebih yang berukuran besar. Tidak mengherankan dirinya seperti ini.Namun, tak akan ada penyesalan. Meski juga masalah menimpanya harus tetap dijalankan hingga akhir. Kenyataan yang enggan diingatnya.Hanya akan menimbulkan rasa bersalah dan sesal di dalam dirinya. Teringat pula dengan ayah serta sang ibu.Kerinduan semakin besar. Masih tak ada komunikasi bisa dilakukan, walau lewat telepon. Entah sampai kapan waktunya menghubungi."Siapa yang memelukku?" Sarla pun melontarkan kalimat tanya dengan nada yang begitu terkejut. Bahkan, me
"Jadi, Wilzton sedang tidak ada di kantor? Dia libur atau hanya datang terlambat?"Christoper menaikkan kedua ujung bibirnya secara bersamaan, saat menyaksikan Varoline Roberts yang tertawa. Ia senang melihat ekspresi sekretaris dari sang sahabat, Wilzton Davis.Varoline pun kian memesona di matanya. Kekaguman bertambah. Ia harus mengakui juga ketertarikannya semakin kuat pada Varoline. Ya, sebagai pria dewasa."Maaf, aku tertawa. Maaf juga jika terlihat tidak sopan sikapku ini, Mr. Parker."Christoper ikut tergelak. Tangan kanan dikibaskan dengan gerakan ringan. "Tidak masalah. Kau bebas tertawa tentang apa pun kau inginkan," jawabnya dalam nada menggoda."Kau membalas seperti ini, seolah menegaskan aku tidak punya kesopanan. Tapi tadi kau juga salah, ucapanmu meragukan apa yang aku sampaikan. Kau membalas dengan nada ejekan."Christoper masih tertawa. "Begitulah. Baiklah. Apa kau mau memaafkanku?" tanyanya dalam nada serius. Sudah di
Wilzton tidak bisa menolak ajakan Varoline Roberts untuk makan siang bersama di restoran yang telah cukup sering mereka berdua kunjungi, walaupun jam sudah menunjukkan pukul tiga sore.Lagi pula, ia sedang tidak merasa lapar sama sekali. Namun, masih dihargainya Varoline. Akhirnya ajakan wanita itu diterima. Tentu, dengan rasa curiga muncul.Meski demikian, Wilzton memutuskan untuk tidak bertanya lebih dulu. Mengikuti saja permainan yang disiapkan Varoline.Maksudnya adalah serangkaian pertanyaan akan diajukan oleh wanita itu kepada dirinya. Sudah siap untuk dijawab semuanya tanpa terkecuali. Ia sudah terbiasa untuk bersikap jujur."Jadi, kau tetap tidak mau memberitahuku? Sampai kapan kau akan merahasiakan semua? Ah, tidak seru. Aku tidak suka cara mainmu."Wilzton mengerutkan keningnya. "Apa maksudmu? Aku sungguh tidak paham apa ucapanmu, Kak," jawabnya dengan jujur. Sesuai dengan isi pikirannya sekarang."Kau senang sekali bermain r