Menunggu adalah hal paling tidak menyenangkan bagi Sarla. Terlebih, tanpa kepastian yang jelas atas keputusan sudah dibuatnya.
Rasa mual pada sosok pria menyebalkan nan sombong, Wilzton, tak terbendung sejak mereka terakhir berbicara tadi di dalam. Debat tentu mewarnai.
Dirinya diusir paksa dari ruangan tidur pria itu. Tak ada pilihan selain menanti Wilzton keluar. Dan, ia sudah berdiri di depan pintu hampir setengah jam.
Kedua kakinya mendapatkan efek, pegal-pegal. Ia harus segera beristirahat untuk memulihkan tenaga dan pikiran yang masih senantiasa terkuras.
Rasa kantuk juga menyerang karena waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Namun, tidak bisa pergi ke kamarnya. Ia membutuhkan jawaban yang lebih pasti lagi.
Benar, kesepakatan secara tertulis agar semua jelas dan juga memiliki dasar hukum. Jika terjadi masalah yang tak diduga-duga, ia bisa menuntut.
Wilzton Davis tipikal pria yang misterius. Ia tidak bisa merasakan keamanan dekat dengan pria itu. Selalu diterapkan kewaspadaan. Tak akan pernah bisa memercayai Wilzton.
Pria itu juga menyalakan sinyal bahaya di dalam dirinya. Godaan yang terlalu kentara diberikan oleh Wilzton kepadanya.
Terutama mengajak ia untuk tidur bersama. Tidak akan pernah terjadi. Meskipun nanti di dalam kontrak dipersyaratkan, ia punya hak menolak. Tak akan bisa tunduk begitu saja.
"Apa kegiatan dia di dalam sampai belum keluar juga? Menyebalkan." Sarla menggerutu kesal.
"Jangan-jangan dia sudah tidur. Cih." Sarla kian jengkel akan kemungkinan yang muncul di kepala.
Jelas akan kian jengkel jika memang benar apa di pikirannya sampai menjadi kenyataan. Tentu saja ia akan melakukan sebuah tindakan.
Ide pun bisa dengan cepat tercipta. Ingin segera ditunjukkan. Namun, logika masih melarang. Diputuskan untuk menunggu beberapa menit lagi keluarnya Wilzton Devins. Punggung disenderkan di depan pintu.
Pikiran kembali bak benang kusut. Memang belum didapatkan jalan keluar yang pasti atas masalah tengah dihadapinya.
Walaupun, sudah disepakati dengan Wilzton sebuah perjanjian. Namun, bayang kecemasan menghantuinya. Firasat juga tak kian bagus. Dilema juga menghinggapi dirinya.
Terutama, tentang persyaratan bercinta yang sudah sempat disinggung oleh pria itu. Jika sampai benar ada di dalam kesepakatan ditulis nantinya.
Tidak akan pernah bisa diterima. Sungguh konyol serta memberatkan dirinya. Perlawanan sudah pasti ia akan berikan agar bisa membatalkan semua.
"Astagaaa!" Sarla berseru cukup kencang dengan keterkejutan yang begitu besar. Keseimbangan dari tubuhnya pun mengalami goyah seketika.
Hendak jatuh ke belakang, menyentuh lantai yang dingin. Tak dapat dilakukannya antisipasi. Sudah memasrahkan jika harus terjadi.
Kedua matanya pun dipejamkan. Beberapa detik lagi, pantat sudah akan mendarat dengan keras. Ia hanya berharap tak akan menimbulkan sakit ataupun kebas parah.
"Tolong janganlah memelukku terlalu erat, Miss Sarla. Kau membuatku tidak bisa bernapas."
Sarla langsung membuka lebar-lebar kedua kelopak mata. Pusat pandangan pun terarah tepat ke wajah Wilzton. Seringaian diperlihatkan pria itu memuakannya.
Dan, ketika sadar akan apa yang Wilzton sampaikan. Sarla pun mengalihkan perhatian ke tangan kanan dan juga kirinya yang melingkari tubuh kekar pria itu.
Sungguh tidak disangka-sangka. Lalu secara cepat dilepaskan. Dilanjut berjalan menjauh. Walau, masih saling berdiri berhadap-hadapan.
"Aku tidak pernah bermaksud memelukmu. Jangan pernah terlalu percaya diri jika aku ingin dengan sengaja melakukannya." Sarla membalas dengan nada suara yang datar.
"Kau sudah menuliskan kesepakatan?" Sarla mengajukan pertanyaan sembari melihat ke arah tangan kanan Wilzton yang memegang beberapa lembar dokumen.
"Tentu saja sudah selesai. Kau harus menandatangani sekarang."
Sarla tidak memberikan jawaban apa-apa, mulutnya dibungkam. Sedangkan, diambilnya secara cepat perjanjian tertulis tersebut.
Dibaca halaman demi halaman dengan teliti dan serius. Tidak ingin sampai ada yang terlewatkan barang satu pun poin yang diajukan kepadanya.
Mencari juga jika ada kejanggalan dan merugikan bagi dirinya nanti. Namun, belum ditemukannya.
"Apa sesuatu mengganggumu?"
Wilzton melebarkan seringaian, ketika Sarla sudah menatap ke arah matanya. "Katakan saja apa yang membuat kau terganggu. Tapi, aku sudah membuat syarat tidak memberatkanmu."
"Kenapa kau tidak menuliskan tentang syarat bercinta? Atau aku tidak melihat?"
"Rasanya sudah semua aku baca. Dan, aku belum menemukannya. Apa yang kau rencanakan, Mr. Wilzton?"
Ledakan tawa keras dilakukan Wilzton sebagai bentuk reaksinya atas pertanyaan konyol dari Sarla.
Lalu, dengan cepat ditariknya pinggang wanita itu sehingga begitu mendekat ke arahnya.
Wajah pun dimajukan. "Rencanaku? Membuat kau memohon agar aku bercinta bersamamu."
"Aku memang sengaja tidak menuliskannya karena aku yakin bisa membuatmu memintaku untuk mencicipi setiap jengkal tubuhmu dan memberi kepuasan."
.............
"Aku kira kau akan menginap di sana."Sarla langsung berhenti mengunyah kentang di dalam mulut. Hanya sesaat, ketika menggelengkan kepala guna menjawab pertanyaan kakaknya.Sarla pun kembali memasukkan sepotong tomat, tentu selepas menelan kentang. Diperhatikan lekat sosok Christoper. Senyum kakaknya tampak aneh."Apa yang kau pikirkan?" Sarla bertanya curiga."Tentang kemalanganmu, Adikku. Kau pasti merasa kecewa karena tidak bisa bercinta dengan Wilzton."Sarla langsung mendelikkan mata. Menunjukkan bahwa jawaban sang kakak sudah membuatnya jadi begitu terkejut. Memang, tak disangka-sangka.Reaksi yang diberikan sudah pasti menyebabkan tawa sang kakak keluar. Jelas, ia semakin jengkel. Harus diakui Christoper mudah mencandainya."Aku masih tidak percaya adikku ini sekarang tidak anak kecil lagi. Tapi, wanita dewasa yang sudah bisa bercinta. Padahal, dulu kau itu cengeng."Sarla menambah delikan mata. "Kau juga sering bercinta
Waktu berjalan cepat karena Sarla mengisi harinya dengan kesibukan bekerja. Tak terasa sudah dua minggu, sejak ia kembali ke New York.Sarla menempati lagi mansion miliknya yang telah ditinggali selama enam tahun belakangan ini. Tak jauh dari kediaman orangtua dan kedua kakaknya.Sarla lebih banyak berada di kantor, datang pukul delapan. Dan, baru pulang lewat dari jam sepuluh. Pernah juga hingga dini hari, satu minggu lalu.Bukan diakibatkan karena pekerjaan benar-benar banyak atau menumpuk. Hanya saja, memanglah dengan sengaja membuatnya dirinya sibuk.Bertujuan agar tidak terus memikirkan hal lain kurang penting yang dapat menyebabkan timbul perasaan gundah, menyerang kenyamanan.Tentu sangat berkaitan dengan hatinya. Ya, lebih tepat sosok Wilzton. Selalu dapat diingatnya pria itu. Terus muncul begitu saja di dalam benaknya.Sudah berupaya untuk tak memikirkan apa pun yang ada hubungan akan Wilzton. Namun, ia gagal melakukannya. Kenangan
Ayah dan juga ibunya sudah berangkat ke bandara, pukul tiga pagi untuk penerbangan ke Swedia. Akan di sana selama hampir tiga minggu kedepan.Sarla sudah tentu kecewa karena kebersamaan dengan orangtuanya kurang dari 24 jam. Masih tersisa rasa rindu besar pada ayah dan sang ibu.Namun, Sarla memilih mengalah. Ia bukanlah lagi anak kecil. Sudah mendekat ke usia tiga puluhan sebentar lagi. Jadi, harus diutamakan kedewasaan dalam bersikap ataupun berpikir untuk segala hal.Lagi pula, ia telah berjanji akan berubah menjadi sosok wanita yang lebih baik dan berprestasi dalam dunia bisnis. Dengan tekad kuat diwujudkan."Sarla …,"Suara berat yang memanggilnya sangat dikenali dengan betul. Maka, langsung saja bangun dari sofa dan berlari ke arah kakaknya, Charlem.Memeluk dengan erat, saat sudah berada di depan saudara sulungnya itu. Tawa keluar. "Aku rindu.""Aku juga sama. Kau baik-baik saja?"Sarla mengangguk sekali. La
Sarla sadar semangatnya hari ini begitu besar. Ia mempelajari semua buku dan file-file yang diberi oleh Wilzton sebelum pergi dari rumah.Sarla pun merasa bangga sekaligus takjub dengan kemampuannya sendiri karena hampir keseluruhan bahan materi. Banyak ilmu baru didapatkan.Bahkan, ketika masih di universitas, rasanya tidak kompleks dan juga lengkap seperti yang sedang dipelajari, kini. Atau mungkin dirinya tak terlalu bisa menyerap semua pembelajaran dari para dosen.Sarla percaya diri bahwa akan bisa pebisnis yang lebih cakap serta juga cerdik nantinya. Ia ingin ikut mengembangkan beberapa perusahaan ayahnya bersama dengan Christoper dan Charlem.Memang, pengalamannya masih kalah dibanding kedua kakak laki-lakinya. Namun, Sarla yakin akan bisa memanfatkan kesempatan dan peluang.“Selain tampan, dia benar-benar cerdas.”Sarla langsung menutup mulutnya yang baru saja selesai melontarkan pujian untuk Wilzton. Tak disebabkan karen
Wilzton segera meluncur ke kantor, selepas dikabari oleh sekretaris barunya tentang kedatangan Badav Parker. Ya benar, orangtua Sarla. Sekaligus juga mitra bisnis ayahnya.Sudah, tiga tahun belakangan ini, Wilzton mengambil alih tugas sang ayah meladeni para rekanan dan perusahaan. Kedua kakaknya tentu turut andil. Mereka saling membantu.Hanya saja, kunjungan Badav Parker hari ini terasa cukup berbeda. Tidak akan menyangkut soal kerja sama. Pasti punya kaitan dengan Sarla. Wilzton yakin tebakannya benar.Bukan jadi masalah jika memang tak salah. Ia sudah siap melaporkan perkembangan dan perubahan yang ditunjukkan oleh Sarla. Kecuali, fakta tentang mereka sudah bercinta.“Hai, Nak.”
Sarla sudah bangun sejak pukul enam. Tidurnya tak dapat nyenyak. Bukan karena pikiran disita oleh banyak hal, tetapi disebabkan keberadaan Wilzton.Mereka masih tidur bersama di kasur yang sama, walau percintaan telah selesai sejak tengah malam. Wilzton bahkan terus memeluk dengan erat. Pria itu sudah lama jatuh ke alam mimpi.Wajar jika Sarla merasa begitu gugup dan tak bisa larut dalam tidur yang lelap. Terlebih, mereka telah melewatkan malam panas nan membara.Rasa lelah serta kantuk pun dengan mudahnya hilang oleh kegugupan. Degupan jantung semakin mengalami peningkatan dalam dekapan Wilzton.Dan, tak muncul niatan untuk melepas pelukan pria itu. Karena, begitu hangat. Meskipun, tidak akan terlalu baik bagi ketenangan irama jantungnya.Sarla belum bisa memahami betul bagaimana rasa yang sesungguhnya ia punya untuk Wilzton. Cinta atau sekadar kekaguman dengan tingkat tinggi?Pria itu pantas untuk diidolakan. Kelebihan Wilzton banyak. Mula
Wilzton sudah meningkatkan suhu mesin pendingin ruangan di kamar tidurnya ini, namun ia tetap saja merasa gerah. Ingin melepas kaus dikenakan.Sebenarnya tidak keluar banyak keringat. Karena memang belum memasuki musim panas yang terasa menyengat. Justru baru awal bulan Maret.Apa yang sedang Wilzton rasakan murni reaksi tubuhnya sebagai pria dewasa oleh rangsangan. Tentu berefek pula pada gairahnya yang bangkit.Pikiran juga semakin tidak dapat dikontrol. Dalam artian menghindari hal-hal yang bersifat sensual. Justru muncul fantasi-fantasi semakin nakal.Sosok Sarla tanpa mengenakan sehelai benang pun menjadi tokoh utama di dalam imajinasinya. Sebab, wanita itulah yang sudah membuat dirinya jadi berhasrat. Menginginkan percintaan panas.Pengekangan hawa nafsu selama beberapa tahun agar tak memiliki hubungan sebatas di ranjang saja bersama wanita, bukan perkara yang mudah untuk Wilzton kendalikan. Tetapi, sejauh ia telah berhasil.Mung
Sarla merasakan pergantian waktu begitu lama dari siang hingga malam. Perasaan tidak tenang pun masih mengganggu dirinya.Tak ingin melakukan apa-apa, hanya diam saja di dalam kamar. Tugasnya dalam mempejari dokumen-dokumen bisnis tidak dilanjutkan. Konsentrasinya sungguh lenyap.Memang kedatangan Gerret sangat memberi pengaruh kepadanya. Walau, mereka hanya berjumpa sebentar saja. Tetapi, tetap saja kata-kata pria itu membekas untuknya. Selalu dipikirkan. Walau, logika terus menolak menerima.Terlepas bagaimana sifat negatif Gerret yang dulu sudah memicu berakhirnya jalinan asmara di antara mereka. Masih tetap ada rasa percaya yang tersisa pada pria itu. Tak akan mungkin sang mantan kekasih mengutarakan hal yang bohong.Bodohnya, ia tidak terlalu senang saat Gerret berjanji akan segera menolongnya lepas dari Wilzton.Rasa antusias pada dirinya sudah tentu wajib tercipta karena akan dapat pulang. Bertemu dengan ayah dan ibunya yang sudah dirindukan
Sarla hanya berganti pakaian, tak menggunakan lotion pada tubuhnya. Ia benar-benar segera bergegas menuju ke lantai teratas mansion Wilzton. Ya, ke kamar tidur utama.Tujuannya tentu ingin menemui pria itu. Menanyakan soal sebuah kartu debit milik Wilzton yang ditemukan di atas mejanya tadi. Harus dikonfirmasi alasan pria itu menaruh benda tersebut di kamarnya. Tak ingin salah persepsi.Pesan apa pun tidak ditinggalkan oleh Wilzton. Semakin menguatkan rasa bingung dirinya saja. Enggan untuk menarik kesimpulan tanpa mendapatkan penejelasan dari pria itu.Tentu, ia berharap bahwa Wilzton sedang tidak berniat mengerjainya. Mengingat, hubungan di antara mereka berdua baru membaik.Sepertinya tak mungkin pria itu ingin bersikap jahil menggunakan iming-iming uang. Wilzton cukup dewasa."Apa dia sudah berangkat?" Sarla bergumam ragu. Lalu, kepalanya digelengkan. "Dia bilang pergi pukul sepuluh."Setelah menyelesaikan monolog singkatnya, ketukan pad