Share

Menggali Informasi

Aku menatap jam yang sudah menunjukkan pukul tiga dini hari, aku bersiap untuk melanjutkan istirahat ku yang terganggu.

Setelah kejadian tadi, aku mendapat fasilitas untuk pindah kamar. Kejadian yang cukup traumatik untukku. Bayangkan saja, jika di kamar kalian tiba-tiba ada jejak kaki berlumpur yang misterius dan juga kamar yang beraroma kamfer seperti bau mayat.

"Hmm... Mohon bapak tenang dulu, saya bantu bapak mengemasi barang-barang bapak. Kami akan membukakan kamar eksekutif untuk bapak yang letaknya ada di lantai satu."

Seolah mengerti ketakutanku, begitu petugas tersebut melihat jejak kaki misterius di seluruh lantai kamarku, dengan suara gugup dan gemetar langsung menawariku untuk pindah kamar dan membantuku mengemasi barang-barangku dengan cepat.

Kami segera meninggalkan kamar itu dalam kengerian, tanpa berani menoleh kebelakang. Meskipun kami sama-sama merasa seolah ada yang mengawasi gerak gerik kami, namun kami mencoba mengabaikannya dengan terus berjalan cepat menuju lift.

Saat menunggu lift terbuka, tanpa sengaja aku menoleh ke sudut ruangan, tepatkan berjarak dua kamar dari tempatku berdiri.

Rupanya kamar 313 ada di sudut ruangan itu, seolah kamar itu adalah sebuah kamar terlarang, pintunya digembok dari luar dengan gembok yang cukup besar. Jadi mustahil jika ada yang menginap di kamar itu. Kepanikanku semakin memuncak.

***

Aku sudah berusaha untuk tidur dan melupakan kejadian barusan. Dikamar ini aku merasa jauh lebih aman, karena kamar ini jaraknya tak seberapa jauh dari Loby.

Namun aku tetap tak juga berhasil untuk benar-benar tidur walaupun badanku rasanya sudah sangat lelah sekali. Hingga sayup-sayup ku dengar adzan subuh berkumandang, kesadaran baru mulai menghilang.

Ku fikir ketika bangun dari tidurku, hari sudah sore karena badanku benar-benar lelah. Namun nyatanya aku salah, jam delapan pagi aku sudah bangun dan segar kembali. Ku putuskan untuk kebawah mengambil sarapan dan mencari segelas kopi untuk menjernihkan kepalaku.

Kejadian kemarin masih terngiang-ngiang dan mematik rasa penasaranku. Setelah menyelesaikan sarapanku, aku ingin mencari angin segar sekaligus menghisap rokokku serta memikirkan apa yang sebenarnya terjadi.

Namun saat kakiku melangkah, mataku justru menatap petugas resepsionis yang berjaga semalam. Lelaki itu sedang memainkan ponselnya seolah sedang menunggu seseorang.

Aku berjalan menghampirinya.

"Mas, mau pulang?"

Lelaki itu mendongak menatapku lalu tersenyum.

"Iya pak, ini lagi nunggu dijemput istri saya. Maklum kendaraannya cuma satu, jadi gantian. Kebetulan rumah saya juga tidak jauh dati sini."

Aku mengangguk dan menawarkan rokok kepadanya, namun ditolak dengan halus. Peraturan di hotel ini, karyawan dilarang merokok di area hotel.

Kami mulai berkenalan, namanya Putra dan sudah memiliki seorang anak yang beranjak remaja. Mungkin usianya sekitar sepuluh tahun diatasku.

"Mas Putra sudah lama kerja disini?"

"Sudah lumayan pak, sejak saya baru lulus D1 perhotelan. Saat itu saya sedang kerja praktek disini, eh malah di terima kerja terus disini."

"Jangan panggil pak, Bayu saja mas. Saya jadi merasa tua sekali."

Kami tertawa.

"Kalau mas Putra sudah lama kerja disini, berarti mas Putra tahu dong tentang kamar 313 dan seorang lelaki keturunan Tionghoa yang bernama William."

Seketika lelaki didepanku terdiam, bibirnya yang tadi tertawa lebar seketika pudar dan menyisakan ketegangan. Matanya menatap sekeliling seolah ingin memastikan bahwa tidak ada yang mendengar obrolan kami.

"Mas Putra?"

"Bagaimana mas Bayu bisa tahu nama itu?"

"Kemarin saya bertemu dengan lelaki yang mengenalkan dirinya sebagai William di kamar mandi yang berada diujung hall, dan beliau mengundang saya untuk mengisi acara pernikahannya. Malam ini."

Mas Putra terlihat semakin tegang dan matanya kembali memperhatikan sekitarnya.

"Sebenarnya ada apa ini mas? Sejak pertemuan itu, saya merasa seolah diteror. Semalam mas Putra tahu sendiri kalau saya menerima panggilan telfon yang meminta saya untuk menghubungi kamar 313 atas permintaan bapak William. Selain itu, mas Putra tahu sendiri kan apa alasan saya ganti kamar?"

Mas Putra mengambil nafas berat dan menatapku, seolah sedang menimbang sesuatu.

"Sebenarnya ini bukan ranah saya mas, saya tidak boleh menceritakan ini kepada tamu. Tapi sepertinya memang ada pesan yang bapak William ingin sampaikan kepada mas Bayu, mungkin dengan begini pak William akan tenang."

"Tidak jauh dari sini, sekitar lima ratus meter, ada warung kopi kecil di selatan jalan. Namanya kopi teras. Saya tunggu mas Bayu disana. Maaf, saya tidak berani menceritakan semua itu disini."

Aku mengangguk dan paham betul, setelah itu mas Putra pamit pulang lebih dulu dan aku akan menyusul dibelakang.

Akhirnya, sebentar lagi aku akan menemukan jawaban atas peristiwa-peristiwa yang kualami kemarin.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status