Share

kamar 313

Petugas hotel tersebut mengantarkanku hingga depan kamar tempat ku menginap, kamar ini cukup luas untuk ku tempati sendiri. Aku menginap di lantai tiga, sedangkan hotel ini sendiri terdiri dari delapan lantai.

Setelah membersihkan diri dan mengganti pakaianku dengan baju yang nyaman untuk istirahat, seperti biasa setiap hari aku selalu memberi kabar orang rumah tentang kegiatanku seharian, termasuk apa yang barusan aku alami.

Dan tentu saja begitu mendengarkan ceritaku, ibuku sontak melarang ku untuk berangkat. Beliau yakin bahwa yang aku temui di toilet tadi bukanlah manusia seperti kami, lantas untuk apa aku memenuhi undangannya untuk datang ke acara yang belum jelas.

Setelah menutup panggilan tersebut, pikiranku semakin liar kemana-mana. Aku sudah berusaha untuk memejamkan mata, namun kantuk tak juga datang. Tayangan di televisi juga membuatku bosan, hingga kemudian telfon di kamar itu berdering yang membuatku terkejut.

"Selamat malam bapak Bayu, mohon maaf sudah menganggu istirahatnya. Saya ingin memberitahukan bahwa ada pesanan dari kamar 313 untuk bapak menghubungi balik ke kamar beliau."

"Iya selamat malam mbak, tapi saya tidak ada teman atau kenalan yang sedang menginap di tempat ini mbak?"

"Iya bapak, pesannya seperti itu, kami hanya menyampaikan."

"Hmm... Baik mbak, jadi ini saya tinggal pencet nomer kamarnya saja ya?"

"Benar sekali bapak, atau bisa juga langsung kami sambungkan. Di pesan atas nama bapak William ya pak."

Brakkk

Tanganku gemetar, aku segera meloncat dari tempat tidurku dan menjauh dari telfon itu. Keringat dingin membanjiri tubuhku, tanpa berpikir panjang aku langsung berlari. Saking paniknya, semua barang-barang ku tinggalkan, bahkan pintu kamarku pun ku tinggal dalam keadaan tidak terkunci.

Saat aku berlari, lorong lantai tiga terasa begitu sunyi. Pantas saja karena hari sudah tengah malam, para tamu hotel ini kemungkinan besar sudah terlelap dalam tidurnya.

Langkahku terdengar menggema diseluruh lorong, namun meskipun aku sudah berlari, entah mengapa aku tak kunjung sampai juga. Lift yang seharusnya tak seberapa jauh dari kamarku, tiba-tiba seolah berkilo-kilo meter jaraknya.

Aku begitu lega ketika akhirnya aku sampai juga di sedan lift yang ku tuju, namun suasana kembali mencekam ketika lift dalam keadaan kosong.

Aku menekan tombol angka satu dengan tangan gemetar, karena tujuanku adalah loby.

Ting.

Bunyi lift tertutup seolah menambah kengerian ini, suasana di dalam lift terasa begitu dingin. Aku memeluk diriku sendiri dalam kengerian. Entah mengapa, meskipun lift ini kosong namun aku merasa tidak sendiri. Aku merapatkan tubuhku kedinding, berharap lift segera terbuka.

Namun harapanku tinggal harapan, ketika tiba-tiba lampu mati. Aku semakin dicekam oleh rasa ketakutan.

"Aaahhhhh.... Tolong!!"

Aku berteriak, menjerit, bahkan menangis, walaupun aku tahu bahwa apa yang ku lakukan adalah hal yang sia-sia.

Dadaku terasa sesak. Lalu tangisku benar-benar terhenti, bahkan nafasku pun ku tahan, ketika di telingaku seolah ada bernafas dan berbisik.

Sstttt....

Rasanya saat itu aku ingin pingsan saja, untuk melarikan diri dari keadaan ini. Aku sudah hampir menangis ketika lampu akhirnya menyala kembali dan tak lama kemudian pintu lift terbuka.

Badanku sudah lemas, jangan tanya lagi bagaimana keadaan jantungku. Dengan sisa-sisa tenaga aku berjalan kearah resepsionis.

"Selamat malam bapak, ada yang bisa saya bantu?"

"Ya! Saya mau crosscheck tentang pesanan yang meminta saya untuk menghubungi kamar nomer 313, saya merasa tidak ada teman yang menginap di hotel ini."

Petugas resepsionis tersebut diam untuk beberapa saat dan memperhatikanku seolah sedang memikirkan sesuatu.

"Maaf bapak, tapi saya tidak menghubungi kamar berapapun, dan tidak ada permintaan untuk menghubungi kamar tersebut."

"Ya memang bukan kamu, tapi teman kamu. Perempuan ynag menghubungi saya!"

"Bapak, yang sedang bertugas malam ini adalah saya. Dari jam sembilan sore tadi hingga besok pagi jam enam. Dan saya belum meninggalkan tempat duduk saya hingga saat ini pak. Jadi mustahil jika ada petugas lain yang menghubungi bapak."

Aku terpaku dengan jawabam petugas didepanku, lalu siapa yang menghubungiku barusan? Ingin rasanya aku tak percaya dengan jawabannya, namun mustahil pria didepanku ini berbohong.

"Tapi saya barusan menerima pesan untuk menghubungi kamar tersebut. Sekarang coba di check dulu, kamar tersebut di pesan atas nama siapa!?"

Aku masih menyimpan harapan walaupun hanya kecil, bahwa lelaki yang bernama William itu adalah manusia biasa seperti diriku. Namun sepertinya harapanku tinggal harapan ketika petugas tersebut justru keluar dari mejanya dan menghampiriku.

Petugas tersebut menuntunku untuk duduk di sofa yang tak jauh dari meja resepsionis dan memberiku sebuah air mineral. Entah hanya perasaanku atau itu yang terjadi sebenarnya, petugas tersebut terlihat panik ketika aku menyebutkan kamar nomer 313 tersebut.

"Baiknya bapak minum dulu dan tenangkan diri bapak."

Aku terima minuman yang diberikan kepadaku, lalu ku habiskan dalam sekali tenggak.

"Tolong jawab saya, kamar 313 dipesan atas nama siapa?"

"Bapak, untuk saat ini kamar tersebut kosong. Bapak tenangkan diri bapak dulu lalu saya antarkan bapak kembali ke kamar bapak untuk istirahat. Mungkin saat ini bapak terlalu capek."

Apakah benar aku salah? Tapi semua yang ku alami ini terlalu nyata. Aku cukup lama berada di lobby dan ditembai oleh petugas resepsionis tersebut, hingga kemudian ketika aku sudah merasa cukup tenang, petugas yang lain mengantarkanku kembali ke kamar.

Namun ternyata ketegangan tidak berakhir disitu, ketika di kamarku ada jejak-jejak kaki berlumpur, dan juga bau kamper seperti mayat yang begitu menyengat, dan kali ini bukan cuma aku yang mengalami.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status