Suara itu datang saat Ayuna baru saja membuka pintu rumahnya sepulang kerja. Ia menoleh dan menemukan sosok Bu Retno—tetangganya yang tinggal di sebelah, wanita paruh baya yang terkenal dengan hobi mengawasi, bukan membantu.
Ayuna mengangguk sopan, meski tubuhnya lelah. “Iya, Bu Retno, ada apa?”
Bu Retno melipat tangan di dada, matanya menatap tajam dari balik kacamata baca yang menggantung di hidungnya.
“Bukan mau ikut campur, tapi saya lihat akhir-akhir ini kamu sering pulang malam. Bahkan kadang dijemput mobil mewah. Anak kecil mana bisa tidur tenang kalau ibunya sibuk ke sana kemari?”
Ayuna menarik napas pelan. “Saya bekerja, Bu. Untuk hidup. Dan Hana sudah saya jaga dengan baik.”
“Ya, saya tahu kamu kerja. Tapi jangan sampai anak kecil tumbuh tanpa contoh yang benar,” ujar Bu Retno, setengah berbisik, setengah menyindir. “Lagian, kamu itu perempuan. Jaga nama baik!”
Ayuna menatap wanita itu dengan tenang, tapi di dalam hatinya, dadanya terasa sesak.
“Kalau Ibu benar-benar peduli, mungkin bisa lebih sering menanyakan kabar Hana, bukan gosip tentang saya.”
Ia melangkah masuk ke kamar, menutup pintu dengan lembut namun tegas. Tangannya gemetar. Bukan karena marah, tapi karena sedih. Dunia memang kejam pada perempuan seperti dirinya—sendiri, berjuang, dan tak punya gelar “istri” atau “ibu kandung” yang bisa jadi tameng.
Malamnya, Ayuna bertemu Vina di warung kopi kecil dekat stasiun. Vina adalah sahabat lamanya sejak SMA, yang kini bekerja sebagai perawat di klinik swasta. Wajahnya selalu ceria, tapi malam itu, matanya penuh rasa ingin tahu.
“Kamu kenapa makin sulit dihubungi, Yun?” tanya Vina, mencelupkan sendok ke es kopi susu.
Ayuna mengangkat bahu. “Kerjaan makin padat.”
“Kerjaan? Atau... cowok?” goda Vina, separuh serius, separuh bercanda.
Ayuna menatapnya sebentar, lalu menghela napas. “Kalau aku cerita, kamu janji nggak akan nilai aku?”
Vina menatap serius. “Aku sahabatmu. Aku nilai, iya. Tapi setelah itu, aku tetap di sampingmu.”
Ayuna akhirnya bercerita. Tentang utang, tentang kontrak. Tentang sosok bernama Aqil Mahendra yang kini jadi pusat dunianya, meski hubungan mereka bukan atas nama cinta. Dan bukan pula ikatan yang mudah dicerna.
Vina terdiam lama setelah mendengarnya. “Kamu tahu risikonya?”
“Tahu. Tapi aku juga tahu rasanya ditinggalin dan harus bertahan demi anak kecil yang nggak ngerti apa-apa.”
“Kalau kamu jatuh cinta?”
Ayuna tercekat.
“Aku nggak punya hak untuk jatuh cinta.”
“Bukan soal hak, Yun. Tapi soal luka. Kamu belum sembuh, dan sekarang kamu ada di situasi yang bisa bikin kamu berdarah lagi.”
Keesokan harinya, kantor Mahendra Corp mulai terasa berbeda. Tatapan rekan-rekan kerja tidak lagi hanya heran. Ada lirikan sinis. Senyum yang dibuat-buat. Bisik-bisik di sudut pantry.
“Ayuna itu siapa sih sebenernya?”
“Dekat banget sama Pak Aqil. Kayak bawa pengaruh, padahal cuma... ya, kamu tahu lah.”
“Aku dengar dia dari keluarga nggak jelas. Tapi Pak Aqil kayak... ngelindungin banget.”
Ayuna berusaha mengabaikan. Tapi semakin hari, gosip makin menyebar. Dan puncaknya terjadi saat ia masuk ruang meeting dan menemukan Vira—rekan divisi PR—menatapnya dengan senyum mencibir.
“Kamu cepet banget naik ya. Aku aja butuh tiga tahun buat bisa duduk di rapat besar,” katanya dingin.
Ayuna menatapnya datar. “Mungkin karena posisi aku bukan diukur dari jabatan, tapi kepercayaan.”
Vira tersenyum miring. “Iya. Kepercayaan... atau kedekatan?”
Di dalam hatinya, Ayuna bertanya-tanya. Apakah ia sedang berada di jalan yang benar? Apakah kontrak ini sepadan dengan semua tekanan, cibiran, dan kemungkinan hancurnya hati sekali lagi?
Tapi suara Hana, tawa kecilnya, dan wajah polos yang menanti di rumah... itu yang menahannya tetap melangkah.
Belum bisa berhenti. Belum saatnya pergi.
Ruang konferensi di lantai 15 terasa lebih sunyi dari biasanya. Lampu temaram, dan hanya dua cangkir kopi yang tersisa di meja panjang yang belum dibereskan. Ayuna dan Aqil duduk berseberangan. Di antara mereka, kotak kecil yang tadi dibawa Ayuna.Aqil menatapnya, matanya tak melepaskan pandangan sejak mereka duduk. “Kamu mau mulai duluan atau aku?”Ayuna menarik napas panjang. “Aku dulu.”Ia membuka kotak, mengeluarkan kertas kontrak pertama yang dulu ia tandatangani. “Kita mulai dari ini. Selembar kertas yang mengikat semuanya. Tapi juga… yang merusak banyak hal.”Aqil mengangguk pelan. “Aku tahu. Dan aku nyesel.”“Aku juga salah karena menyetujui itu tanpa benar-benar mikir jauh. Tapi saat itu aku butuh... terlalu butuh jalan keluar,” ucap Ayuna. “Aku nggak pernah sangka, dalam prosesnya, aku bakal kehilangan banyak bagian dari diriku sendiri.”Aqil bersandar, tangan dikepal di pangkuan. “Ayuna, aku nggak pernah anggap kamu hanya bagian dari solusi. Aku tahu sejak awal kamu lebih d
Suara notifikasi ponsel berdering bertubi-tubi sejak pagi. Ayuna duduk di tepi tempat tidur, menatap layar dengan ekspresi kosong. Banyak pesan masuk, sebagian dari rekan kerja lama, sebagian dari orang asing yang menyebar simpati sekaligus sindiran.Satu pesan dari Vina membuatnya benar-benar bangkit dari tempat tidur:"Yun, kamu harus lihat ini. Ada video wawancara ibu kandung Aqil di kanal berita gosip. Kayaknya ada hal besar yang dia sembunyiin selama ini."Ayuna membuka tautan yang dikirimkan. Video itu memperlihatkan seorang wanita elegan, berusia sekitar enam puluhan. Wajahnya masih cantik meski dihiasi garis-garis usia. Dialah Bu Arlina, ibu kandung Aqil yang selama ini jarang muncul ke publik.“Aqil selalu anak yang keras kepala,” ucap Bu Arlina di video. “Dan dia punya trauma yang tak semua orang tahu. Ketika ayahnya pergi dari rumah—bukan karena perceraian, tapi karena memilih perempuan lain—Aqil yang menyaksikan semuanya. Usianya baru delapan tahun saat itu.”Ayuna membeku
Pagi itu, Ayuna membuka pintu kontrakan setelah ketukan panjang yang mengganggu. Ia mengira kurir makanan atau tetangga, tapi ternyata...“Nggak nyangka kamu beneran tinggal di tempat seperti ini,” ujar Nabila sambil mengamati interior kontrakan mungil itu dengan ekspresi geli.Ayuna menahan napas. “Kamu datang ke sini tanpa izin. Aku bisa lapor.”Nabila masuk begitu saja, tanpa menunggu dipersilakan. “Silakan. Tapi kamu tahu, aku bisa bikin cerita lebih dulu—tentang perempuan yang ‘diselundupkan’ ke hidup seorang CEO. Kamu tahu seberapa cepat berita itu menyebar?”Ayuna mengepalkan tangan. “Apa sih sebenarnya maumu?”Nabila menoleh dengan senyum miring. “Mudah. Pergi dari hidup Aqil. Serahkan dia padaku. Dengan begitu, semua kembali seperti seharusnya.”“‘Seharusnya’ versi siapa?” Ayuna menyela tajam namun tetap tenang.“Versi dunia yang biasa menerima seseorang seperti aku, dan akan selalu menolak orang seperti kamu,” kata Nabila dingin.Ayuna menghela napas. “Kamu terlambat. Aku su
Pagi itu, apartemen Ayuna terasa sunyi. Hana sudah berangkat sekolah bersama Ibu Nur yang kini justru sering membantunya, setelah dulu nyaris jadi sumber masalah. Ayuna berdiri di depan cermin, memandangi wajahnya yang tampak lelah—mata sembab dan kulit pucat tak bisa disembunyikan dengan riasan tipis.Kata-kata Bu Rumi masih terngiang jelas dalam kepalanya. Tentang cinta. Tentang keberanian. Tentang ketidakadilan yang harus dihadapi sendiri.Teleponnya berdering. Nama Vina muncul di layar. Ayuna ragu sejenak, lalu menjawab.“Yun, gue harus bilang sesuatu,” kata Vina tanpa basa-basi. “Hari ini, nama lo muncul di grup kantor Mahendra Creative. Ada gosip lo dibilang jadi ‘simpenan’ bos besar. Lo ngerti artinya?”Ayuna membeku.“Aqil...?”“Dia nggak ngomong apa-apa. Tapi orang-orang mulai tanya-tanya. Beberapa ada yang nyari tahu siapa lo sebelum kerja jadi kontrakannya. Gila, Yun. Gila banget.”Ayuna menarik napas panjang. “Vina, kalau ini makin besar... gue nggak bisa nyeret lo juga ke
Malam itu, Ayuna duduk sendiri di balkon rumahnya. Hana sudah tidur, dan Vina baru saja pulang. Ia menatap langit Jakarta yang kelam, lampu-lampu terlihat samar dari balik tirai tipis yang bergerak perlahan. Di tangannya, surat pengunduran diri dari beasiswa masih terlipat rapi. Ia belum benar-benar menyerahkannya—meski dalam hati, ia sudah mulai melepaskan banyak hal. Lalu ponselnya berbunyi. Sebuah pesan dari nomor tidak dikenal masuk: “Besok pukul 10 pagi. Café Nostalgia, Jl. Suryo. Datanglah sendiri. – Nabila.” Ayuna memandangi layar itu lama. Dalam benaknya, terngiang ucapan Vina beberapa hari lalu: "Kadang, lo harus tahu siapa musuh lo sebenarnya, Yun. Bukan cuma dari kata-kata, tapi dari caranya tersenyum didepan lo , sambil nyiapin pisau dari belakang." Keesokan paginya, Ayuna datang ke kafe itu dengan jaket panjang dan syal, mencoba menyamarkan dirinya dari perhatian publik. Nabila sudah duduk di pojok, dengan segelas kopi latte dan kacamata hitam besar seperti selebrita
Sudah seminggu lamanya sejak Ayuna memutuskan mengambil jarak diantara mereka berdua. Tidak ada pesan dari Aqil, tidak ada tugas dadakan atau meeting dadakan yang harus di ikuti , atau entah tugas tugas lain yang sebenarnya hanya basa basi untuk bertemu. Bahkan tidak ada tanda-tanda keberadaan pria itu di media sosial. Ayuna duduk di meja kerja kecilnya, mencoba menulis ulang resume. Ia memutuskan untuk kembali mencari pekerjaan tetap. Kontraknya dengan Aqil belum selesai secara hukum, tapi untuk saat ini, Ayuna memilih berdiri sendiri. Vina datang sore itu, membawa dua gelas kopi dingin dan ekspresi khawatir yang tak bisa disembunyikan. “Lo yakin mau balik kerja, Yun? Kontrak lo masih berjalan.” Ayuna mengangguk sambil memandangi layar laptopnya yang kosong. “Justru karena masih berjalan. Aku nggak mau hidup cuma nunggu di balik status itu. Kalau semua ini cuma sementara, setidaknya aku udah siap.” Vina duduk di ujung ranjang, menatapnya lekat-lekat. “Gue ngerti sih... tap