Pukul delapan malam. Jakarta mulai melambat, tapi tidak dengan denyut kehidupan Ayuna.
Ia membuka pintu kamarnya perlahan, mencoba tidak membangunkan Hana—keponakan kecilnya yang sudah seperti anak kandung sendiri. Tapi seperti biasa, anak itu sedang menunggu di atas kasur dengan boneka kelinci lusuh di tangan.
“Tante... kamu lama banget,” gumam Hana dengan mata mengantuk.
Ayuna tersenyum, meletakkan tas kerja dan langsung duduk di pinggir kasur. “Maaf ya sayang, tante lembur.”
Hana mendekat, menggenggam tangan Ayuna. “Tante capek?”
“Capek banget,” Ayuna terkekeh, mengacak rambut keponakannya yang lembut. “Tapi lihat kamu sehat, aku senang.”
Hana masih terlalu kecil untuk tahu bahwa Ayuna rela bekerja apapun demi biaya hidup mereka berdua dan demi mempertahankan rumah orang tuanya. Orangtuanya—adik Ayuna meninggal karena penyakit yang sama dengan ibunya dulu dan suaminya—sudah lama tidak pulang kerumah sejak insiden Aqil datang. Sejak itu, Ayuna menjadi segalanya untuk Hana.
Ia menatap mata bulat polos itu, lalu mencium kening Hana. “Besok tante temenin kamu ke sekolah ya, sebentar aja. Abis itu tante kerja lagi.”
Hana mengangguk antusias. “Aku gambar tante sama kelinci kemarin. Di buku gambar!”
Ayuna tertawa pelan. Dunia Hana—sebersih dan sesederhana itu. Ayuna tidak mau membuatnya kotor
Keesokan paginya, Ayuna datang terlambat beberapa menit ke kantor karena harus mengantar Hana ke sekolah. Ia bergegas masuk lift sambil merapikan blazer, berharap Aqil tidak terlalu mempermasalahkan.
Namun saat ia masuk ke ruang kerja Aqil, pria itu langsung menatapnya.
“Kamu terlambat,” ujarnya, datar seperti biasa.
“Saya harus antar keponakan saya ke sekolah,” jawab Ayuna cepat.
“Kamu bisa minta orang lain—”
“Saya nggak punya orang lain,” potong Ayuna, lebih cepat dari yang ia sadari.
Hening.
Aqil menatapnya dengan ekspresi yang sulit dibaca. Untuk beberapa detik, Ayuna nyaris menyesal telah membentaknya. Tapi pria itu malah berdiri, berjalan ke jendela, lalu bertanya tanpa menoleh, “Keponakanmu... tinggal bersamamu?”
Ayuna mengangguk. “Sejak adik saya meninggal. Hana baru tujuh tahun, ayahnya tidak kembali semenjak kamu datang kerumah hari itu.”
“Berarti kamu bekerja demi dia?”
Ayuna menahan diri agar tak menjawab dengan sarkas. “Saya bekerja demi kami berdua. Saya butuh uang, tapi Hana butuh saya lebih dari itu.”
Tak ada respons. Lalu pelan-pelan, Aqil membuka lacinya dan mengambil sesuatu—sebuah kotak kecil berisi camilan sehat, yang biasa ia bawa sendiri.
“Ambil ini. Untuk Hana,” katanya pelan.
Ayuna menatapnya kaget. “Kenapa kamu...”
“Saya hanya tidak ingin kamu datang ke kantor dalam keadaan lapar dan mengurus semuanya sambil pusing.”
“Saya nggak minta dikasihani.”
“Saya juga nggak sedang mengasihani. Ini cuma... sedikit bentuk pengertian terhadap manusia."
Aqil ingat Ayuna bilang dia bukan robot, tapi dia adalah manusia yang punya perasaan. Jadi mungkin ini salah satu bentuk memperlakukannya sebagai manusia
.
Untuk pertama kalinya, Ayuna kehabisan kata. Pria ini... bisa juga punya sisi manusia, rupanya.
Sepulang kerja, Ayuna pulang membawa camilan itu dan meletakkannya di meja kecil tempat Hana biasa menggambar. Anak itu langsung bersorak.
“Waaahhhh... Ini dari siapa?”
Ayuna tersenyum samar. “Dari... seseorang di kantor tante.”
Hana mengangguk polos. “Temen tante orang baik, ya?”
Ayuna terdiam. Teman? Entah bisa disebut begitu atau tidak. Hubungannya dibilang rumit. Mungkin paling tepat adalah tahanan kontrak. Tapi untuk kali ini, ia tidak ingin mengoreksi.
Ruang konferensi di lantai 15 terasa lebih sunyi dari biasanya. Lampu temaram, dan hanya dua cangkir kopi yang tersisa di meja panjang yang belum dibereskan. Ayuna dan Aqil duduk berseberangan. Di antara mereka, kotak kecil yang tadi dibawa Ayuna.Aqil menatapnya, matanya tak melepaskan pandangan sejak mereka duduk. “Kamu mau mulai duluan atau aku?”Ayuna menarik napas panjang. “Aku dulu.”Ia membuka kotak, mengeluarkan kertas kontrak pertama yang dulu ia tandatangani. “Kita mulai dari ini. Selembar kertas yang mengikat semuanya. Tapi juga… yang merusak banyak hal.”Aqil mengangguk pelan. “Aku tahu. Dan aku nyesel.”“Aku juga salah karena menyetujui itu tanpa benar-benar mikir jauh. Tapi saat itu aku butuh... terlalu butuh jalan keluar,” ucap Ayuna. “Aku nggak pernah sangka, dalam prosesnya, aku bakal kehilangan banyak bagian dari diriku sendiri.”Aqil bersandar, tangan dikepal di pangkuan. “Ayuna, aku nggak pernah anggap kamu hanya bagian dari solusi. Aku tahu sejak awal kamu lebih d
Suara notifikasi ponsel berdering bertubi-tubi sejak pagi. Ayuna duduk di tepi tempat tidur, menatap layar dengan ekspresi kosong. Banyak pesan masuk, sebagian dari rekan kerja lama, sebagian dari orang asing yang menyebar simpati sekaligus sindiran.Satu pesan dari Vina membuatnya benar-benar bangkit dari tempat tidur:"Yun, kamu harus lihat ini. Ada video wawancara ibu kandung Aqil di kanal berita gosip. Kayaknya ada hal besar yang dia sembunyiin selama ini."Ayuna membuka tautan yang dikirimkan. Video itu memperlihatkan seorang wanita elegan, berusia sekitar enam puluhan. Wajahnya masih cantik meski dihiasi garis-garis usia. Dialah Bu Arlina, ibu kandung Aqil yang selama ini jarang muncul ke publik.“Aqil selalu anak yang keras kepala,” ucap Bu Arlina di video. “Dan dia punya trauma yang tak semua orang tahu. Ketika ayahnya pergi dari rumah—bukan karena perceraian, tapi karena memilih perempuan lain—Aqil yang menyaksikan semuanya. Usianya baru delapan tahun saat itu.”Ayuna membeku
Pagi itu, Ayuna membuka pintu kontrakan setelah ketukan panjang yang mengganggu. Ia mengira kurir makanan atau tetangga, tapi ternyata...“Nggak nyangka kamu beneran tinggal di tempat seperti ini,” ujar Nabila sambil mengamati interior kontrakan mungil itu dengan ekspresi geli.Ayuna menahan napas. “Kamu datang ke sini tanpa izin. Aku bisa lapor.”Nabila masuk begitu saja, tanpa menunggu dipersilakan. “Silakan. Tapi kamu tahu, aku bisa bikin cerita lebih dulu—tentang perempuan yang ‘diselundupkan’ ke hidup seorang CEO. Kamu tahu seberapa cepat berita itu menyebar?”Ayuna mengepalkan tangan. “Apa sih sebenarnya maumu?”Nabila menoleh dengan senyum miring. “Mudah. Pergi dari hidup Aqil. Serahkan dia padaku. Dengan begitu, semua kembali seperti seharusnya.”“‘Seharusnya’ versi siapa?” Ayuna menyela tajam namun tetap tenang.“Versi dunia yang biasa menerima seseorang seperti aku, dan akan selalu menolak orang seperti kamu,” kata Nabila dingin.Ayuna menghela napas. “Kamu terlambat. Aku su
Pagi itu, apartemen Ayuna terasa sunyi. Hana sudah berangkat sekolah bersama Ibu Nur yang kini justru sering membantunya, setelah dulu nyaris jadi sumber masalah. Ayuna berdiri di depan cermin, memandangi wajahnya yang tampak lelah—mata sembab dan kulit pucat tak bisa disembunyikan dengan riasan tipis.Kata-kata Bu Rumi masih terngiang jelas dalam kepalanya. Tentang cinta. Tentang keberanian. Tentang ketidakadilan yang harus dihadapi sendiri.Teleponnya berdering. Nama Vina muncul di layar. Ayuna ragu sejenak, lalu menjawab.“Yun, gue harus bilang sesuatu,” kata Vina tanpa basa-basi. “Hari ini, nama lo muncul di grup kantor Mahendra Creative. Ada gosip lo dibilang jadi ‘simpenan’ bos besar. Lo ngerti artinya?”Ayuna membeku.“Aqil...?”“Dia nggak ngomong apa-apa. Tapi orang-orang mulai tanya-tanya. Beberapa ada yang nyari tahu siapa lo sebelum kerja jadi kontrakannya. Gila, Yun. Gila banget.”Ayuna menarik napas panjang. “Vina, kalau ini makin besar... gue nggak bisa nyeret lo juga ke
Malam itu, Ayuna duduk sendiri di balkon rumahnya. Hana sudah tidur, dan Vina baru saja pulang. Ia menatap langit Jakarta yang kelam, lampu-lampu terlihat samar dari balik tirai tipis yang bergerak perlahan. Di tangannya, surat pengunduran diri dari beasiswa masih terlipat rapi. Ia belum benar-benar menyerahkannya—meski dalam hati, ia sudah mulai melepaskan banyak hal. Lalu ponselnya berbunyi. Sebuah pesan dari nomor tidak dikenal masuk: “Besok pukul 10 pagi. Café Nostalgia, Jl. Suryo. Datanglah sendiri. – Nabila.” Ayuna memandangi layar itu lama. Dalam benaknya, terngiang ucapan Vina beberapa hari lalu: "Kadang, lo harus tahu siapa musuh lo sebenarnya, Yun. Bukan cuma dari kata-kata, tapi dari caranya tersenyum didepan lo , sambil nyiapin pisau dari belakang." Keesokan paginya, Ayuna datang ke kafe itu dengan jaket panjang dan syal, mencoba menyamarkan dirinya dari perhatian publik. Nabila sudah duduk di pojok, dengan segelas kopi latte dan kacamata hitam besar seperti selebrita
Sudah seminggu lamanya sejak Ayuna memutuskan mengambil jarak diantara mereka berdua. Tidak ada pesan dari Aqil, tidak ada tugas dadakan atau meeting dadakan yang harus di ikuti , atau entah tugas tugas lain yang sebenarnya hanya basa basi untuk bertemu. Bahkan tidak ada tanda-tanda keberadaan pria itu di media sosial. Ayuna duduk di meja kerja kecilnya, mencoba menulis ulang resume. Ia memutuskan untuk kembali mencari pekerjaan tetap. Kontraknya dengan Aqil belum selesai secara hukum, tapi untuk saat ini, Ayuna memilih berdiri sendiri. Vina datang sore itu, membawa dua gelas kopi dingin dan ekspresi khawatir yang tak bisa disembunyikan. “Lo yakin mau balik kerja, Yun? Kontrak lo masih berjalan.” Ayuna mengangguk sambil memandangi layar laptopnya yang kosong. “Justru karena masih berjalan. Aku nggak mau hidup cuma nunggu di balik status itu. Kalau semua ini cuma sementara, setidaknya aku udah siap.” Vina duduk di ujung ranjang, menatapnya lekat-lekat. “Gue ngerti sih... tap