Share

Uang yang Disembunyikan Suami
Uang yang Disembunyikan Suami
Penulis: Jusiah Mssn

Ha, Uang di Gulungan CD Suami?

"Dua juta?!" 

Aku dikejutkan sebuah penemuan uang yang menurutku sangat banyak. Bagaimana bisa seorang suami melakukan ini pada istrinya? Menyembunyikan uang dalam gulungan celana dalam. Sungguh, menyakitkan lebih dari diselingkuhi. 

Allah.

Aku lemas. Hati berselimutkan kecewa berat, rasa curiga pun meracuni pikiran. Adakah penjelasan yang mampu membuat hati ini menjadi tenang?

Kemarin-kemarin banyak acara nikahan. Dua di antaranya terpaksa tidak kuhadiri karena kehabisan uang. Minta sama suami tapi katanya juga mengalami hal yang sama, tidak punya uang. Lantas, uang di gulungan celananya itu milik siapa? Tidak kusangka setega itu dia padaku.

Kusimpan kembali lembaran merah itu pada tempatnya. Pakaian suami yang tengah kurapikan terpaksa aku akhiri dengan segera. Selanjutnya ke dapur menyiapkan makan malam. 

Tetes demi tetes air mata jatuh membasahi kedua pipi ini. Entah mengapa aku merasa ada sesuatu yang terjadi tapi tidak kuketahui. 

Sembari menumis daun kangkung, aku selalu membayangkan yang bukan-bukan. Jangan-jangan suamiku menyembunyikan uang itu untuk suatu hal. Berjudi, main perempuan atau jangan-jangan tabungan untuk dipakai menikah?

Teringat beberapa bulan lalu suamiku kepergok lirik-lirikan sama tetangga baru. Mungkinkah dugaanku benar, mereka ada sesuatu?

"Ya Allah," keluhku bersama jantung berdegup. "Janganlah Engkau membiarkan hal ini terjadi. Hanya dia yang aku punya."

"Assalamualaikum. Dek, ini abang."

Suara Abang Mail dari luar. Cepat kumatikan api, kebetulan sayur sudah pun matang. Aku berlari kecil membuka pintu usai menyeka air mata. 

Tampaklah suami yang selalu kupuja, kusayang dan kupercaya berdiri sambil tersenyum manis seperti sebelumnya saat melihatku.

Aku tak membalas senyuman itu, rasa kecewa dan sakit hati masih bersemi di lubuk hati. Teringat uang yang sengaja ia sembunyikan. Betapa tidak berartinya aku hingga tak diberitahu soal uang sebanyak itu. Padahal ada banyak keperluan yang harus aku beli.

"Waalaikumussalam," gumamku sebelum akhirnya memilih masuk.

"Dek, ada apa?" tanyanya, menyusul. "Dek, kamu kenapa? Marah sama abang?" 

Mungkin Abang Mail menyadari perubahan sikapku padanya. Ia mengejar sambil terus melempari beberapa pertanyaan.

Aku tidak menggubris, sengaja pura-pura tuli. Namun, Abang Mail tidak menyerah, ia terus bertanya. Bahkan sedikit memaksa sehingga aku membuka suara.

"Aku butuh uang Bang, bedak habis," kataku, berbohong. 

Tatapanku padanya tak pernah menyiratkan adanya kesenangan. Melihat suami bagai melihat seorang pencuri, marah sudah pasti. Tetapi sebisa mungkin aku menahannya.

"Uang? 'Kan kemarin abang udah bilang enggak punya uang. Ini tinggal uang bensin aja, Dek." Abang Mail memperlihatkan isi dompet. Isinya hanya selembar uang biru. 

Ingin rasanya aku menanyakan soal uang yang berada di gulungan celananya. Akan tetapi aku takut bukannya bisa mengobati rasa penasaranku, malah nanti masalah semakin rumit. Bisa jadi Abang Mail akan berbohong, bisa jadi dia mencari alasan tertentu. 

So, biarlah aku mencari tahu tentangnya secara pelan-pelan. Bangkai bila disembunyikan pada akhirnya tercium juga dengan sendirinya. Aku yakin akan terungkap kebenaran di suatu saat.

****

"Assalamualaikum."

Seseorang memberi salam. Entah siapa dan ada apa mendatangi rumah orang sepagi ini. Jangankan buat sarapan, bangun saja belum. Aku masih terbaring di samping suami yang kini tidak lagi kucinta sedalam lautan. Rasaku padanya perlahan menipis gara-gara mendapat lebaran merah yang disembunyikan.

"Assalamualaikum." Kembali suara itu terdengar bersama ketukan pintu berulang-ulang. Sungguh sangat mengganggu.

"Dek, jam berapa, sih? Ganggu aja, tuh orang." Bang Mail tersadar dari alam mimpinya, tapi masih enggan membuka mata.

"Enggak tahu. Aku cek dulu," balasku, beranjak dari tempat tidur.

Aku berjalan membuka pintu. "Waalaikumussalam."

Seorang wanita berambut panjang berdiri membelakangi pintu. Dari postur tubuh, sepertinya aku tahu siapa wanita itu.

"Siapa, yah?" tanyaku pura-pura tidak kenal.

Dia memutar badan, menghadap diriku sambil berkata, "Masa enggak kenal? Aku ini, loh tetangga barumu, Puspa."

Wanita yang memang bernama Puspa itu tersenyum. Di tangannya terdapat sebuah gelas kosong. Entah mau dibuat apa gelas itu. Tidak mungkin untuk diberikan padaku.

"Oh, Puspa? Ayo, masuk Mbak," ajakku.

Tidak baik membiarkan tamu berdiri di luar. Sebagai tetangga yang baik, aku mencoba memperkenalkan diri dengan cara berbuat kebaikan padanya. Kuulas senyum semanis mungkin biar urung niat jika ingin merebut suamiku. 

"Di sini aja, Mar. Begini, gulaku habis. Bisa pinjam satu gelas?" 

Aku terperangah mendengar kalimat yang keluar dari mulutnya. Ini beneran mau pinjam gula? Bukankah dia berasal dari keluarga yang mampu? Cincin, gelang dan kalung semua dimiliki. Jangankan benda sekecil itu, yang besar saja punya. Dia punya mobil mewah. Rumahnya mewah, berdiri kokoh tepat di depan rumah kami. Hanya jalanan sebagai pembatas.

"Marina, boleh enggak? Satu gelas aja, kok." 

"Eh, iya ... sini gelasnya."

Puspa menyerahkan gelas kosongnya padaku. Aku pun ke dapur untuk mengambilkan gula. Setelah itu, aku keluar. Akan tetapi sebelum sampai di teras, kudengar suara milik seorang pria berbicara dengan Puspa. Namun, tak seberapa jelas sebab ia berbisik.

"Aku kangen."

"Jangan gila kamu! Sana pulang."

Aku semakin mendekat dengan perlahan dan suara itu semakin jelas terdengar. Kuelus dada yang mulai sesak. Oh, apakah gula hanya sebuah alasan kedatangannya kemari?

Hatiku panas, jiwa bergejolak. Balok, mana balok? Ingin rasanya kuhadiahkan balok di tengkuknya.

Bersambung

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Senja jingga
love love love pokoknya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status