Bagai petir menyambar di tengah teriknya sinar matahari. Jantung berasa hendak lompat dari tempatnya. Aku sakit, hati ini terlalu rapuh mendengar suara lembut Abang Mail pada wanita lain. Bagaimana bisa dia secepat itu ke teras? Bukankah tadi masih terbaring di kamar?
'Ya Allah, kuatkan aku.'
Kuseka air mata yang tiba-tiba jatuh. Aku menuju teras bersama amarah yang sudah berada di ubun-ubun. Janjiku pada diri sendiri, mereka akan kuberikan hadiah berupa pukulan dahsyat menggunakan sapu yang berada di belakang pintu.
Namun, apa yang kulihat nyatanya tidak seperti yang kudengar. Aku bingung, berdiri tegak seperti orang linglung. Sapu yang tadinya ingin kuambil akhirnya tidak jadi.
Puspa berdiri seorang diri di teras. Ia memainkan sebuah benda pipih canggih yang disebut HP. Jika Puspa sendirian, lantas suara siapa yang begitu mirip dengan suara suamiku? Dan pergi ke mana pemilik suara itu? Rasanya tidak mungkin aku berhalusinasi.
Tidak mungkin! Batinku bicara.
"Eh, Marina kok bengong?" Puspa mengajak bicara, ia tersenyum.
"Hmm?" Aku menatapnya, lalu menatap ke sekeliling rumah.
Mataku sibuk mencari sosok pemilik suara yang mampu membuat seluruh tubuh panas akan emosi yang dicipta. Puspa yang tampak bingung mengikuti arah pandanganku.
"Kamu mencari apa, serius benar?" tanya Puspa.
Puspa wanita yang membeli rumah mewah di depan rumah kami itu tampak benar-benar tidak mengerti denganku. Ia tampak bingung melihatku celingak-celinguk.
"Kamu tadi bicara sama siapa?" tanyaku balik tanpa memberikan gelasnya yang sudah kuisi gula.
"Bi–bicara? Maksudnya gimana?" Keningnya berkerut seolah-olah memang tidak tahu yang kumaksud. Tapi mendengar ia terbata di awal kata, aku curiga dia menyembunyikan sesuatu.
"Tadi aku mendeng ...."
Tak kulanjutkan ucapan ketika Abang Mail muncul sembari merenggangkan otot-otot leher dan lengan, seperti sedang berolahraga saja. Wajahnya juga basah. Mungkin baru saja mencucinya.
"Oh, Puspa rupanya? Kirain siapa yang mengetuk pintu awal pagi? Ada apa Pus?" Bang Mail bicara seperti sudah lama kenal dengan Puspa.
Ia tampak akrab, berbeda denganku yang tidak pernah ingin mengakrabkan diri dengan Puspa. Selain malu karena tidak sepadan, juga dikarenakan Puspa berlagak sok tajir. Sebenarnya dia sombong, tapi jika memerlukan sesuatu, dianya akan berbaik hati, berkata lembut. Aku tahunya dari tetangga sebelah.
Aku terdiam menyimak. Mereka larut dalam obrolan ringan. Tidak sadar akan keberadaanku di sini.
"Ekhem, kalian udah lama kenal?" Pada akhirnya aku bertanya. Hati mulai panas. Padahal tadi sudah agak dingin.
"Enggak, kok. Kemarin suamimu numpang di mobilku. Motornya mogok di jalanan. Enggak apa-apa'kan sesekali numpang bareng aku?" Puspa tetap tersenyum manis sesekali menyelipkan anak rambutnya di samping telinga.
Yang demikian itu mampu membuatku merasa semakin panas di antara yang panas. Dia sengaja menebar pesona di depan suamiku. Ingin rasanya kutabok mukanya pakai gula ini.
"By the way, aku pulang dulu, yah. Ibu di rumah menunggu."
Belum sempat aku menjawab pertanyaan itu, dia malah kembali bicara hingga urunglah sudah niat untuk mengatakan satu atau dua patah kata. Padahal ingin kuberkata 'tidak baik bagimu memberi tumpangan pada suami orang sesering mungkin. Nanti dicap murahan ingin merebut suami orang.'
Ah, gagal sudah niat untuk membuatnya tersinggung.
Tanpa merasa malu, Puspa meraih gelas dari tanganku padahal belum kuberi. Ia pamit tanpa berterima kasih. Sementara itu, Abang Mail langsung putar badan ke dalam.
Kutatap tubuh tinggi nan kekar itu. Tersirat curiga di hati paling dalam. Jangan-jangan memang suara tadi milik suamiku. Aku masih sadar, tidak mungkin salah dengar apatah lagi berhalusinasi.
"Bang?" panggilku sembari mengejar.
"Hmm, udah masak?" Bang Mail menoleh, lalu kembali melangkah ke dapur.
"Belum. Ada yang ingin aku tanyakan," kataku usai berada tak jauh darinya. Jarak antara kami sekitar dua meter saja, lumayan dekat dan aku semakin mendekat hingga kini jaraknya hanya tiga langkah saja.
Kutatap dalam mata suami yang telah membersamai selama tiga tahun lebih. Maksud dari tatapan ini adalah ingin mencari kebenaran, ketulusan dan kejujuran di mata elangnya yang mempesona.
"Liat abang, kok gitu amat? Ada yang salah?" Abang Mail melangkah. Kedua bahuku ia pegang dengan sangat lembut. Nyaris saja membuat aku lupa segala yang terjadi.
"Enggak usah semanis ini!" Kutepis kasar tangannya. "Abang 'kan yang tadi bicara sama Puspa di luar? Enggak usah ngeles. Aku dengar, kok."
"Istri abang ngomong apa, sih? Jelas suami masih di kamar. Masa dibilang ada di teras?" Tidak ada tanda-tanda bahwa ia berkata bohong. Bang Mail hanya mengerutkan dahi tanda bingung dengan pertanyaan yang kuberi.
Lagi-lagi aku seperti orang linglung. Mendiamkan diri untuk sekian saat, kemudian segera membuatkan kopi untuk suamiku. Meski marah, tugas seorang istri tetap harus kulaksanakan untuk menggapai ridho-Nya.
****
JANGAN MENGAKU KAYA KALAU KULKAS DUA PINTU SAJA TIDAK PUNYA.
Sebuah gambar kulkas dua pintu dengan caption seperti di atas diunggah Puspa di grup Mari Belajar Memasak. Iya, kemarin sore memang ada mobil mengantarkan kulkas ke rumahnya. Bukan hanya kulkas, tapi satu buah lemari pakaian tiga pintu yang bila kulihat tampaknya harganya jutaan rupiah.
Baru saja diunggah, like dan komentar sudah bejibun. Puspa pasti semakin menyombongkan diri.
[Sombong amat Bu.]
[Ibu Puspa memang terkaya sejagat raya.]
[Jangan senang dulu Bu, kekayaanmu hanya sementara. Istighfar.]
[Tendang dari grup. Ini grup khusus untuk orang yang mau belajar memasak, bukan untuk orang yang suka PAMER.]
Tangan ini gatal untuk ikut meramaikan. Saat sedang mengetik lalu mengirimnya, ternyata postingan itu sudah dihapus olehnya. Mungkin malu dengan komentar para emak-emak yang ada di grup.
Aku tertawa kecil. "Makanya jangan sombong!"
Kuhela napas, HP aku simpan di atas kasur. Selanjutnya aku ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Pagi ini aku ingin ke rumah Jihan, dia pernah mengutang seratus ribu saat akan membeli gamis di pasar. Semoga dia tidak berkecil hati aku tagih.
Usai mandi dan berpakaian, aku pun keluar kamar. Akan tetapi, sesuatu terlupakan di dalam sana. Aku kembali ke kamar, berjalan perlahan ke dekat lemari pakaian. Mondar-mandir dengan tubuh bergetar.
"Ambil enggak, yah?"
Bersambung
Marina tak enak hati ketika tahu ternyata Anton benar-benar membelikan tiket untuknya. Ia menatap Anton yang hanya fokus bicara sama Ray.'Aku tahu niatmu bagus Mas, tapi kok aku enggak enak begini? Aku tahu di balik hadiah tiket ini, Mas ingin berusaha membuang perasaan mas padaku sekaligus membayar janji mas tempo hari. Itu bagus untuk kami semua, tapi jujur aku enggak enak banget,' batin Marina."Hadiahnya tiket?" Ray mengeluarkan dua tiket pesawat.Sebenarnya Ray juga tahu Anton berusaha membuang perasaannya terhadap Marina. Akan tetapi, Ray berpura-pura tidak tahu. Ia tidak ingin membalas soal itu. Suatu saat Anton pasti akan menemukan wanita yang jauh lebih baik. Ray yakin."Ya, tiket pesawat ke Dubai untuk kalian. Aku rasa kamu sudah sembuh. Kalian enggak mau berbulan madu? Aku juga sudah pesan hotel untuk kalian, loh di sana," kata Anton, terlihat senang. Meski hatinya ada sedikit kesedihan y
"Jika jalan satu-satunya adalah operasi, tolong disegerakan Dok. Lakukan yang terbaik untuk adikku."Pada akhirnya Anton meminta dokter, Ray dioperasi saja. Ia yakin adiknya pasti akan selamat. Keputusan itu tentu saja sudah disetujui semua keluarga."Baiklah, tapi pihak rumah sakit tidak bisa menjamin keselamatan saudara Bapak. Kepalanya terbentur keras dan banyak kehilangan darah. Sudah pasti kepalanya mengalami luka yang sangat parah," jelas dokter."Aku percaya kuasa Allah," balas Anton, yakin Ray tetap akan selamat. Akhirnya dokter pun gegas menyiapkan peralatan yang akan dipakainya untuk operasi."Ya Allah, selamatkan suamiku, selamatkan suamiku," gumam Marina.Beberapa jam telah berlalu, mereka menunggu hasil. Marina mondar-mandir di depan ruang operasi dengan perasaan takut. Bagaimana jika nanti suaminya tidak selamat? Pikirnya.
Sambil tetap mendekatkan HP di telinga, Anton kembali membatin, 'Selamat menempuh hidup baru. Semoga bahagia dunia dan akhirat. Doakan semoga aku bisa move on dari rasa ini. Aku tersiksa melihatmu bersamanya.'Tidak bisa dipungkiri, meski sudah berusaha menerima kenyataan bahwa dirinya bukanlah jodoh Marina, tetapi tetap saja Anton sangat sedih melihat adiknya bersanding dengan wanita idamannya.Terkadang bisikan setan menghasutnya untuk membawa kabur Marina dari pelaminan. Akan tetapi, Anton mampu melawan.'Dia bukan jodohku. Aku percaya, jika jodoh takkan kemana.'"Hai, sama siapa? Tante Soraya dan Bapak mana? Mereka berjanji akan datang, loh."Anton kaget, bahunya ditepuk seseorang yang tidak lain adalah Ray. Saat ini Ray sudah memaafkan Pak Adnan. Anton juga sama.Dua hari yang lalu, Pak Adnan berlutut minta maaf pada Soraya. Minta balik
Sambil tetap mendekatkan HP di telinga, Anton kembali membatin, 'Selamat menempuh hidup baru. Semoga bahagia dunia dan akhirat. Doakan semoga aku bisa move on dari rasa ini. Aku tersiksa melihatmu bersamanya.'Tidak bisa dipungkiri, meski sudah berusaha menerima kenyataan bahwa dirinya bukanlah jodoh Marina, tetapi tetap saja Anton sangat sedih melihat adiknya bersanding dengan wanita idamannya.Terkadang bisikan setan menghasutnya untuk membawa kabur Marina dari pelaminan. Akan tetapi, Anton mampu melawan.'Dia bukan jodohku. Aku percaya, jika jodoh takkan kemana.'"Hai, sama siapa? Tante Soraya dan Bapak mana? Mereka berjanji akan datang, loh."Anton kaget, bahunya ditepuk seseorang yang tidak lain adalah Ray. Saat ini Ray sudah memaafkan Pak Adnan. Anton juga sama.Dua hari yang lalu, Pak Adnan berlutut minta maaf pada Soraya. Minta balik
Tanpa dipersilahkan, pemberi salam langsung masuk. Berjalan pelan ke arah Wiranti, Ray dan Aura."Aku sudah lama mencari keberadaanmu Wiranti. Ternyata kamu di sini. Ray anakmu yang berarti juga anakku. Anak kita," ucapnya sumringah. Akhirnya bisa menemukan anak kedua dari hasil pernikahan kedua.Karena Anton menolak harta warisan darinya. Pak Adnan akan mengalihkan semuanya pada Ray. Ia sangat berharap anaknya itu bisa menerima. Sebab, merasa diri tak lama lagi akan kembali menghadap Tuhan. Pak Adnan tidak mau menyisakan harta untuk istrinya yang saat ini, yaitu Dena. Karena selepas ini pun wanita itu akan diceraikannya. Dena sudah berselingkuh dengan pria lain. Tidak ada kata maaf.Pak Adnan sadar itu salahnya, karena kerap main tangan disebabkan emosi yang tidak terkendali dan semua itu juga karena seringnya Dena menghambur-hamburkan uang. Pak Adnan merasa Dena hanya mencintai hartanya saja.
Meski Anton sedih karena sebentar lagi wanita yang dicintainya akan menikah, tapi ia berusaha merelakan. Sebab cinta itu memang lebih kepada merelakan, bukan melepaskan ataupun mengumpul keberanian untuk merebut.Keduanya melempar senyum, lalu Anton membalikkan badan berjalan ke sofa. Sedangkan Marina ke dapur untuk minum. Kerongkongannya seketika berasa kering, ia harus minum untuk melegakan tenggorokan.Klakson mobil membuat Marina bergegas keluar, melewati Anton yang kini berdiri di ambang pintu utama."Aku lambat enggak?" tanya Ray, baru saja turun dari mobilnya."Enggak, kok Mas," jawab Marina sambil tersenyum.'Tentang foto tadi, aku kasih tahu mereka enggak, yah?' batin Marina."Ton, kami pulang, yah," pamit Ray."Tunggu, Mas. Ada yang ingin aku katakan pada Mas dan Pak Anton. Mungkin sebaiknya jan
"Bagaimana mungkin?" gumam Marina tak percaya.Foto terus dipandanginya tanpa mengetahui keberadaan Anton tepat di belakang. Foto yang katanya istri kedua Pak Adnan itu ia elus."Kok bisa?" gumamnya lagi."Ekhem."Marina menoleh. "Pak Anton?""Yes, i'm. Itu foto kenapa dilihat-lihat terus? Ntar juga ketemu di hari pernikahan kalian," ujar Anton, membuat Marina mengerjit keheranan. Ia seperti sedang memikirkan sesuatu."Maksudnya?" Marina memberi pertanyaan."Ini foto ibunya Ray bukan? Tante Wiranti," jawab Anton.'Ya Allah, jadi foto orangtua yang kulihat di kamar Aura itu adalah foto ibunya Mas Ray? Itu artinya Mas Ray dan Pak Anton ...?' Marina menatap Anton tanpa berkedip.'Itu artinya Pak Anton ini kakaknya Mas Ray,' lanjutnya membatin."Yang kamu lihat aku sep
Mereka berpencar. Satu ke jendela dapur, satu ke pintu utama dan dua tepat di bawah jendela ruang tamu.Mereka mulai beraksi. Dengan peralatan yang sudah disediakan, keempat pria berwajah mirip-mirip preman itu mulai mengerjakan tugas masing-masing.Mengeluarkan obeng, lalu mencoba mencungkil jendela. Mereka melakukannya penuh kehati-hatian. Namun, pria yang berada di dapur dikejutkan seekor tikus yang lewat hingga ia mengeluarkan suara teriakan."Siapa di sana?" Suara Ray terdengar dari dalam.Pria yang masih kaget gara-gara tikus langsung berlari sebelum ketahuan pemilik rumah. Ia ke depan pintu utama. Benda tajam dan obengnya ditinggal di depan pintu dapur."Goblok!" marah pria yang berusaha membuka pintu utama sambil menjitak keras kepala temannya. Ia meminta kembali mengambil peralatan mereka."Tapi, tapi bagaimana
"Innalilahi wa'innailaihirraji'un," gumam Ray, kemudian dengan sigap ia menangkap tubuh Marina yang tiba-tiba tubuhnya terlihat lemas dan mau jatuh.Sekujur tubuh Marina lemah tak berdaya. Nyaris jatuh pingsan andai tidak ada Ray menangkap tubuhnya."Marina, sadar ayo duduk." Ray membawa Marina bersandar di dinding. Orang-orang melihatnya heran. Mungkin pada bertanya siapa mereka ini hingga sebegitu sedihnya melihat keadaan Puspa dan Ibu Rosma.Suara tangisan terdengar memilukan. Ray menoleh, ternyata Puspa sudah sadar dari pingsannya. Sedangkan saat ini Marina berusaha tetap sadar walau rasanya ingin pingsan dikarenakan mengingat surat Puspa yang memintanya merawat Ibu Rosma. Akan tetapi, nyatanya sudah terlambat."Mas, tolong tenangkan hati Puspa. Kasihan," lirih Marina.Ray tidak bicara sepatah kata pun, ia masih mengingat ketika pembantunya men