Share

Mengambil Separuh

Aku terus mondar-mandir di depan lemari. Mata sesekali melirik manja ke gagang pintu tempat pakaian itu. Dilema antara ingin dan rasa takut. 

Mengambil uang milik suami tanpa seizin darinya bukan perbuatan yang baik. Namun, mengingat uang itu sengaja disembunyikan dariku, mungkin tidak berdosa bila selembar atau dua lembar kupindahkan dalam dompet ini. Apalagi aku begitu butuh.

"Ampuni aku ya Allah, ini terpaksa," gumamku gemetar. 

Pintu lemari kubuka lebar. Pelipis mulai basah oleh keringat. Rasa takut yang teramat membuat jantung berdegup. Ini pertama kali aku melakukannya. 

Setelah mencari sekian detik, bahkan hitungan menit, aku tak juga mendapatkan benda itu. Celana suamiku hilang entah di mana. Aku mulai panik. Ke mana agaknya celana itu pergi? Mungkinkah Abang Mail menyembunyikannya di tempat lain?

Tidak. Aku harus menemukan uang itu. Di manapun Abang sembunyikan, aku tetap harus mendapatkannya. Ada banyak barang yang kubutuh. Tentu memerlukan uang untuk segera memiliki barang itu. Terutama keperluan dapur, garam dan beras tinggal sedikit. Paling tidak sampai dua hari saja, sudah pasti akan habis.

Pencarian akhirnya kuakhiri ketika mendengar suara siulan Bang Mail. Aku tidak tahu kenapa priaku itu tiba-tiba pulang. Padahal tadi sudah berangkat kerja. 

Pintu lemari kututup rapat, lalu aku gegas ke depan cermin. Pura-pura memperbaiki make-up, sesekali melirik pintu kamar yang mulai terbuka luas.

"Adek mau ke mana cantik benar?" Bang Mail berdiri di belakang. Menatap wajahku dari pantulan cermin.

"Rumah Jihan," jawabku. "Abang kenapa pulang? Enggak kerja?" tanyaku balik.

"Ada yang abang lupa." Bang Mail duduk di tepi ranjang, ia tampak gelisah.

Ekspresinya itu menimbulkan rasa curiga. Jika ada sesuatu yang dilupa, lantas kenapa tidak segera mengambilnya kemudian pergi?

"Katanya ada yang dilupa, kok diam aja di situ? Enggak lama jam delapan, loh Bang. Enggak takut lambat?" ujarku. 

Aku ingin Bang Mail segera pergi biar leluasa diri mencari keberadaan celananya. Jika terus berada di kamar, bagaimana bisa aku menemukan benda yang isinya sangat kubutuhkan itu?

"Hmm ...." Bang Mail terlihat seperti tak tahu harus berbuat apa. Ia berdiri ketika menyadari aku menatapnya tiada henti.

Selang beberapa saat, Bang Mail berjalan ke lemari. Tangannya mulai bergerak untuk membuka pintu. Akan tetapi, sebuah panggilan telepon berhasil menggagalkan. Ia merogoh saku celana untuk mengambil HP. Setelah itu menyambut baik sang penelepon.

"Baik, aku segera datang."

Hanya kalimat itu yang diucap sebelum akhirnya pamit pergi. Mungkin bosnya yang menelepon. Aku lega, akhirnya bisa kembali melanjutkan pencarian harta karung.

Tadi Bang Mail ke dekat lemari. Aku yakin dia ingin mengambil uang yang sudah disembunyikan. Ini tidak boleh dibiarkan. Bang Mail tidak boleh mengambil semua uang itu. Aku harus mendapatkannya beberapa lembar. Bukankah uang miliknya ada hak aku juga? 

Selama satu bulan ini Bang Mail tidak memberiku uang dengan alasan temannya sudah pinjam. Nyatanya uang itu disembunyikan di dalam gulungan CD. Pintar sekali suamiku.

Setelah melakukan pencarian hampir satu jam, akhirnya gulungan CD berisi uang itu kutemukan di saku jaket yang tergantung. Pantas saja tidak bisa kutemukan, ternyata benar Abang Mail memindahkan ke tempat lain.

Baiklah Abang Sayang, mari kita bermain sebentar. Maafkan kelancangan istrimu ini. Salah sendiri kenapa menyembunyikan uang dari istri yang selama ini percaya, sayang dan cinta mati padamu. 

Kuambil lima lembar uang merah, memindahkannya ke dompet. Setelah itu sisanya aku simpan kembali. Gulungan CD aku pindahkan lagi ke tempat lain biar Bang Mail tidak menemukannya. Biarkan dia mencari sampai mengungkap alasan mengapa dia melakukan hal itu. 

Aku gegas pergi usai menyimpan gulungan CD dalam kasur yang sengaja kurobek, lalu menjahitnya kembali. Dengan begitu, aku yakin benda itu aman di tempat semedinya.

****

"Marina, aku minta maaf uangnya belum ada. Semalam anakku demam, terpaksa deh uang yang ingin aku berikan ke kamu aku pakai lagi beli obat. Maaf banget, yah." Jihan tampak merasa bersalah. Ia berkali-kali meminta maaf.

Jino anaknya yang masih berumur empat tahun duduk dipangkuan Jihan. Anak itu benar-benar pucat, tapi sudah tak demam lagi. Alhamdulillah.

Aku sebagai teman sangat memahami. Uang itu akhirnya kuikhlaskan, toh sudah punya uang dari dalam gulungan CD. Uang itu akan kupakai belanja di pasar. 

"Enggak apa-apa, pakai aja. Nanti enggak usah dibayar, kasih Jino aja untuk jajan. Lekas sembuh yah, Jino. Tante pulang dulu." Aku pamit.

"Marina, beneran kamu kasih?" Mata Jihan mengembun.

"Iya, aku ikhlas," balasku tersenyum.

"Semoga Tuhan memberkati. Terima kasih, Mar," kata Marina sambil mengusap air mata yang tiba-tiba jatuh. Aku mendekapnya sebelum benar-benar pergi. 

Meski beda agama, kami tetap menjalin hubungan persahabatan yang sangat baik. Aku mengerti dia, dia juga mengerti aku. Kami sudah lama kenal dan saling bertukar cerita. Jihan adalah korban KDRT. Sudah berkali-kali minta cerai tapi suaminya enggan. Sekarang mereka masih hidup dalam satu atap. Suaminya jarang pulang. Dengar dari cerita Jihan, suaminya juga selingkuh.

Aku pamit. Saat ini tujuanku adalah ke pasar untuk membeli keperluan dapur. Dalam perjalanan, teringat beberapa minggu yang lalu.

Andai aku tidak terlambat datang ke tempat kerja hari itu, mungkin sampai kini masih bekerja. Aku dipecat hanya gara-gara lambat satu kali. Bosnya terkesan sombong dan peduli amat kondisi orang.

Entah ke mana lagi aku mencari pekerjaan supaya bisa mendapatkan uang. Mengharap gaji suami tampaknya tidak mungkin lagi. Sekarang dia sudah tidak seperti dulu. Gajinya disembunyikan. Aku tidak dapat apa-apa.

Tiba di pasar, aku langsung ke toko kosmetik di seberang jalan. Kubeli semua make-up yang kuperlukan. Pokoknya aku harus puas berbelanja. Setelah itu barulah masuk pasar. Menembus keramaian menuju penjual ayam. 

"Bang, ini harganya berapa?" tunjukku pada seekor ayam yang dibersihkan, tinggal dipotong-potong saja.

"Satu ekor empat puluh ribu Mbak," jawabnya.

"Aku ambil dua, yah." 

Bapak tua itu memasukkan ayam dua ekor dalam plastik, lalu memberikannya padaku usai menyerahkan uang pas sebagai bukti pembayaran.

Setelah itu, aku membeli sayuran kemudian langsung naik ojek pulang ke rumah. Tepat jam sebelas lewat, aku akhirnya tiba. 

"Ini uangnya Pak. Terima kasih, yah."

"Sama-sama." Tukang ojek melaju meninggalkan depan rumah.

Sebelum masuk, aku melirik ke arah rumah dua tingkat milik Puspa. Di sana ada seorang ibu tengah berdiri di teras sambil memandang kemari. Mungkin dia ibu dari wanita menyebalkan itu.

Aku gegas masuk sambil membawa barang belanjaan. Tidak sabar rasanya menunggu kepulangan Bang Mail. Dia pasti kaget melihat semua ini. Ayam akan aku masak rica-rica kesukaannya. Pokoknya malam ini adalah malam yang akan membuatnya menyimpan sejuta tanya.

"Kapok kamu Bang. Mulai sekarang aku enggak akan tinggal diam."

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status