Share

Panik

Tepat jam enam, aku mulai berkutat dengan peralatan dapur. Memotong ayam menjadi beberapa bagian dan membersihkan sayur untuk kujadikan jamuan makan malam nanti.

Sambil mengerjakan tugas, seketika teringat dengan uang milik suami yang sudah aku belanja. Jujur, aku tidak enak hati, merasa bersalah. Akan tetapi, rasa itu berusaha kulawan sekuat hati.

Uang itu ada hak aku di dalamnya, tidak salah mengambil separuh. Aku yakin tidak akan dosa seorang istri mengambil uang suaminya yang bisa dikategorikan sebagai suami pelit.

Iya, pelit. Aku baru sadar, selama satu bulan ini Bang Mail berbohong. Setiap aku minta uang selalu mendapat jawaban 'tidak ada' sudah dipinjam orang. 

"Astaghfirullah, ya Allah." Rasanya batinku tertekan.

Untuk mengisi paru-paru yang kembali terasa sesak, aku menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya lagi. Selanjutnya berusaha fokus pada pekerjaan yang kulakukan.

Selesai membersihkan potongan-potongan ayam, bumbu yang sudah halus aku masukkan di wajan. Menumis hingga harum, lalu memasukkan potongan ayam. 

"Sepertinya enak," gumamku ketika bumbu dan ayam sudah tercampur rata. Baunya juga sangat menggugah selera.

Sambil menunggu ayam matang, aku menumis sayuran yang juga sangat disukai Bang Mail. Daun sawi, tauge dicampur tempe adalah sayur campur yang menjadi favoritnya sedari dulu. Apalagi jika ditambahkan sedikit irisan cabe rawit. Kata Bang Mail mertua yang lewat di depan kita tak akan terlihat oleh mata. Seenak itu.

Tidak terasa waktu berjalan begitu cepat. Alhamdulillah semuanya sudah selesai. Aku menata makanan di atas meja, lalu gegas mengambil tudung saji untuk menutupnya.

Panggilan dari Allah telah terdengar. Tak lama lagi waktu salat maghrib tiba. Aku buru-buru ke kamar untuk bersiap.

Usai salat, sebuah notifikasi W******p masuk di HP-ku. Setelah memeriksanya, ternyata dari Jihan.

[Mar, suamimu udah pulang?]

Aku mengerutkan kening. Tumben Jihan bertanya soal suamiku. Ada apa? Karena penasaran, aku pun langsung membalas pesan itu.

[Belum, Han. Kenapa?] Entah mengapa jantungku berdebar laju. Feelingku mengatakan ada sesuatu hal yang terjadi.

[Jino kembali demam, aku sekarang di rumah sakit. Tadi aku enggak sengaja melihat suamimu bersama seorang wanita. Kupikir kamu, eh ternyata bukan.] 

Isi pesan ketiga yang dikirim sahabatku nyaris membuat diri ini terjengkang. Laju debaran jantung seiring sesaknya dada seakan ingin melenyapkan nyawa seketika itu juga. 

Aku lemas. 

[Salah lihat kali, Han? Enggak mungkinlah suamiku. Jangan-jangan orang lain.] Aku berusaha untuk tidak percaya. 

[Semoga saja, sih ... tapi kalau dilihat-lihat emang suamimu kok. Suamimu enggak punya kembaran 'kan?]

Aku tak membalas pesan itu. Kusimpan HP di atas kasur. Aku lemah tak berdaya. Cobaan apa ini? Jika benar Bang Mail bersama seorang wanita, sudah pasti wanita itu adalah Puspa. Buat apa mereka di sana?

Jika benar-benar itu terjadi, berarti yang bicara sama Puspa di teras juga adalah Bang Mail. Sepintar itu mereka mempermainkan aku. 

Lihat saja Bang, aku tidak akan membiarkan kamu menang dalam permainan ini. Batinku bicara.

Kukepal tangan kuat-kuat. Rasa-rasanya ingin kuhujani belati di perutnya yang mirip roti sobek itu. Ingin kucakar wajahnya yang menjadi penyebab wanita tergoda. Ketampanannya akan aku rusak.

Oh, aku ... aku hanya bisa berhalusinasi. Nyatanya aku tak mampu melakukan hal itu. 

Tok ... tok ... tok ....

Ketukan pintu berulang-ulang menyadarkan aku dari lamunan. Buru-buru membuka mukena, menyimpannya di pinggir ranjang, lalu keluar menuju pintu utama. Aku yakin itu Bang Mail. 

Akan tetapi, jika beneran Bang Mail kenapa cara mengetuknya beda? Tak memberi salam pula. 

Daun pintu kubuka lebar sambil mencari sosok manusia yang sengaja mengetuk berulang-ulang. Tidak jauh dari pintu berdiri seorang wanita berkerudung hitam membelakangiku. 

Aku tidak tahu siapa wanita itu, tapi dilihat dari pakaian dan sepatu yang dikenakan, aku yakin dia berasal dari keluarga kaya.

"Maaf, cari siapa?" tanyaku pelan.

"Sadarkan suamimu," balasnya lalu buru-buru pergi bersamaan dengan munculnya Bang Mail mengendarai motor bututnya.

Aku tak sempat mengejar. Bang Mail menghalangi. Padahal ingin bertanya maksud dari ucapannya. 

"Sudahlah, enggak penting. Ayo masuk. Enggak lama lagi akan hujan. Ayo di sini dingin!" ajak Bang Mail, sedikit memaksa seperti tidak ingin jika aku bicara sama wanita itu.

"Abang kenal wanita itu?" tanyaku penuh selidik.

"Kenal? Ya enggaklah. Udah abang mandi dulu, yah." Bang Mail mengecup keningku lalu gegas ke kamar. Aku hanya terdiam sambil memandangi punggungnya hingga ia benar-benar tak terlihat lagi.

Luruh air mata ini, masih tidak percaya dengan semua yang terjadi. Jika pada akhirnya Bang Mail memilih bersama wanita lain, lalu bagaimana denganku? 

Aku hidup sebatang kara. Kedua orangtua sudah lama meninggal dalam kebakaran beberapa tahun silam. Waktu itu aku pulang dari rumah teman, rumahku sudah habis terbakar. Ibu dan ayah tidak sempat diselamatkan. 

Jika suatu hari Bang Mail melupakan diri ini, bagaimana aku bisa hidup? Rumah ini rumah miliknya. Sudah pasti aku akan terusir.

"Lagi mikirin apa, sih?" Aku terkejut mendapat pelukan dari Abang. 

Dia melingkarkan kedua tangannya di perut ini. Dagu ia sandarkan di bahuku. Aroma maskulin di tubuhnya begitu menusuk hidung. Jujur, aku merindukan perlakuan ini.

"Jangan terlalu banyak pikir. Abang enggak mau istri abang yang cantik ini sakit gara-gara pikirannya ada di mana-mana." Bang Mail mengecup rambutku yang tertutup jilbab.

Aku membuka tangannya dari perut. "Aku lapar," ucapku tanpa menatapnya.

Langkah kupercepat menuju meja makan. Kubuka tudung saji lalu duduk memulai acara makan malam yang akan membuat perut kenyang. 

"Wow, makanan enak, nih." Bang Mail duduk. 

Dia memindahkan nasi ke piringnya, lalu mengambil lauk pauk yang menjadi kesukaannya. Bang Mail sangat nafsu. Beberapa kali nambah dan itu membuatku sangat senang. Soal makan, suamiku memang juaranya.

'Bang, benarkah Abang mengkhianatiku? Apa salah dan dosaku, Bang?' 

Tidak terasa mata mengembun. Aku mencondongkan tubuh, pura-pura menggaruk kaki. Padahal ingin menghapus air mata yang tiba-tiba jatuh tetes demi tetes.

"Dek, enak sekali. Semua ini kamu yang masak?" tanyanya tanpa melihat ke arahku. Bang Mail fokus ke makanannya.

"Bukan. Ini dari Puspa," balasku cepat dengan mimik wajah serius.

Kulihat suamiku seketika berhenti mengunyah. Ia segera minum lalu menatapku dalam. Bang Mail seperti tidak suka makanan itu padahal sudah memakannya banyak.

"Ini kamu yang masak?" ulangnya. Wajahnya tampak begitu serius.

"Iya," jawabku lalu makan dengan santai.

"Marina, apa yang salah denganmu?" tanyanya lagi, tampak kesal.

"Enggak ada. Abang kenapa?" tanyaku balik.

"Abang ke kamar dulu." Bang Mail beranjak pergi. Aku tak menggubris. Kunikmati makan malamku seorang diri. 

"Dek, dapat uang dari mana untuk membeli semua ini? Kamu 'kan enggak kerja." Bang Mail muncul lagi. Itu berhasil membuat makanan yang ingin kumasukkan dalam mulut tidak jadi. 

Aku mendongak menatapnya sambil tersenyum. 

"Aku enggak kerja dan Abang enggak kasih uang. Pikirlah di mana agaknya aku mendapatkan uang," ucapku, lalu lanjut makan.

Sementara itu, Bang Mail mempercepat langkahnya ke kamar. Aku yakin sebentar lagi dia akan berteriak memanggil namaku. 

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status