Kutatap wajah Bang Mail penuh selidik. Dia yang tengah kebingungan hanya bisa mengalihkan pandangan seolah-olah takut menatapku.
Aku memicingkan mata, menatapnya lekat tanpa bersuara. Tak sabar rasanya ingin mendengar alasan yang akan dikatakannya. Sedetik kemudian, kudekatkan diri padanya, mendongak tak henti menatap.
"Uang?" tanyaku memastikan. Tetap setia pada kepura-puraan. "Abang punya uang?"
Dapat kulihat bagaimana ekspresi Bang Mail ketika kutanya soal uang yang dimaksud. Sepintas ia melihatku, lalu kembali berpaling. Emosi mulai terlukis di wajah tampan itu. Yang demikian membuat hati ini senang.
"Abang punya uang?" Sekali lagi aku bertanya. "Uang dari mana, Bang? Bukannya Abang bilang enggak punya uang? Dipinjam teman."
Aku sengaja mengingatkan semua yang pernah terucap dari mulutnya. Bang Mail harus sadar, harus malu jika yang dilakukan itu tidak baik. Membohongi istri, menyembunyikan uang dari istri itu sangat keterlaluan menurutku. 
Kuikuti Bang Mail. Di lorong dekat penyerahan obat-obatan, nyaris saja aku ketahuan. Untung segera menyadarinya dan langsung ikut mendorong brankar pasien yang tengah didorong oleh suster. Juga ada beberapa orang yang ikut serta sambil menangis memegang tangan pasien yang tak sadarkan diri."Mbak siapa?" Seseorang bertanya. Mungkin keluarga pasien. Kulepas tangan dari brankar itu."Ak–aku, aku salah orang. Maaf," jawabku setelah yakin Bang Mail sudah tak lagi memerhatikan.Aku gegas pergi. Melajukan langkah mencari sosok suami yang belakangan ini menyakiti hati. Hampir setiap ruangan kuperiksa dengan teliti, tapi tidak membuahkan hasil. Tepat di depan ruangan ICU, aku mengintip melalui pintu kaca yang transparan."Kamu berbohong Bang. Yang bersama Abang di rumah sakit ternyata bukan bos Abang," gumamku.Kucoba mengondisikan detak jantung yang kian melaju. Tidakl
Kupersilahkan masuk ke rumah. Tidak baik seorang tamu dibiarkan berdiri di luar. Apalagi sudah mulai malam dan angin pun bertiup kencang hingga dinginnya berasa menembus ke kulit terdalam."Tidak perlu," tolaknya datar. "Sadarkan suamimu."Kalimat terakhir membuatku mengingat beberapa hari yang lalu seorang ibu berkerudung datang mengatakan kalimat yang sama. Jangan-jangan ibu berkerudung itu adalah dia? Dia ibunya Puspa yang pernah menatapku diam-diam di teras rumahnya.Aku tak tahu sedang memikirkan apa di saat netranya mengarah padaku. Dan aku juga tak tahu mengapa ia memintaku menyadarkan Bang Mail."Maksud ibu apa, yah?" tanyaku. Rasa ingin tahu ini begitu besar."Puspa, anakku mencintai suamimu dan suamimu membalasnya. Suruh pria laknat itu bercermin. Dia siapa dan berasal dari keluarga bagaimana? Sadar diri. Anakku tidak sepadan dengannya," jelasnya panjang leb
Aku sangat-sangat terkejut. Terlebih lagi kini aku menginjakkan kaki di halaman rumahnya. Rumah yang tidak lain milik Puspa ini membuat hati terasa nyut-nyut ngeri. Berasa kalah dari seorang pelakor.Aku lambat menyadari semuanya. Jika seandainya dari dulu menyelidiki hubungan antara keduanya, mungkin saat itu juga aku berhemat demi membeli rumah baru yang akan kutinggali seorang diri. Mau bagaimana? Allah belum mempercayaiku untuk memiliki seorang anak."Kamu kenapa, kenal pemilik rumah ini?" tanya Pak Ray.Tidak ada jawaban dari mulut seorang Marina Anggira. Kulajukan langkah keluar dari pekarangan rumah pelakor itu. Meski sejuta tanya bersarang di kepala, aku tetap tinggalkan depan rumahnya.'Pak Ray dan mereka ada hubungan apa yah?' batinku terus bertanya-tanya.Aku ke rumah dengan langkah cepat. Ternyata Bang Mail sedari tadi memerhatikan. Sejak kapan dia pulang?
"Lepas aku bilang!" pintaku, meronta.Sekuat tenaga melawan dan mencoba mencari tahu pemilik tangan kekar itu, tapi semuanya gelap. Aku tidak bisa melihat secara jelas siapa agaknya yang begitu cepat mencekal pergelangan tanganku di tengah gelapnya malam?Aku hanya menduga mungkinkah tangan milik Bang Mail? Dari bau parfum sepertinya dirinya. Akan tetapi, itu belum pasti karena parfum yang digunakan Pak Ray saja mirip dengan yang digunakan suamiku."Lepas!" Tak henti-hentinya melawan hingga rasanya tenaga sedikit terkuras. Aku mulai lelah hingga terpaksa menggigit tangannya."Marina, kumohon jangan pergi. Abang sangat mencintai kamu."Suara itu? Ternyata dia Bang Mail. Berarti dia terbangun tak lama setelah aku pergi.Meski sudah aku gigit, Bang Mail tetap enggan melepas tangan ini. Ia terus memegangnya erat lalu berjalan meraih koper dan HP yang tergeletak di pinggir jalan.Kulihat layar HP retak. Ini semua
Aku membalas senyuman wanita itu. Ia menghampiri Pak Ray, meraih tangannya lalu ia cium dengan takzim."Tumben Mas lambat pulang?" tanyanya, masih dengan senyuman yang menghias wajahnya."Mas liatin Puspa dulu." Pak Ray menjawab. "Oh, iya ... Sayang, kenalkan ini Marina mantan pegawai mas yang akan kembali bekerja."Aku hanya tersenyum ketika istri Pak Ray menatapku. Selang beberapa saat, ia mengulurkan tangan. "Nessa.""Marina." Aku pun menyambutnya."Yuk, masuk!" ajaknya kemudian."Marina ayo." Pak Ray juga mengajak."Ayo masuk Tante," sahut Aura.Aku mengangguk sembari tersenyum lagi dan lagi. Kuikuti langkah mereka sambil menarik koper hingga tiba di ruang tamu dan dipersilakan duduk layaknya tamu terhormat.Dari segi perbuatan, sepertinya Nessa orangnya baik. Apakah saat mengantar Bang Mail menemui Puspa di rumah sakit dia tidak tahu kalau yang diantar sudah beristri? Atau pura-
POV MailSejak kepergian Marina dari rumah, makanku tak terurus, pikiran tak karuan dan tidur pun tak nyenyak. Bukan karena tidur tanpa kasur, tapi karena Marina istriku tak berada di sisi.Jujur, kepergiannya meninggalkan sejuta luka di hati ini. Aku benar-benar kehilangan Marinaku, sosok wanita berstatus istri yang selalu taat akan perintah Allah. Yang selalu menyediakan makanan untukku dan yang selalu ada setiap aku butuh.'Marina abang merindukanmu.'Kulipat dua selimut yang kupakai semalam dengan air mata melaju membasahi pipi. Aku kesepian tanpa Marina. Dia segala-galanya bagiku.Setelah rapi, selimut aku simpan di atas ranjang. Semalam aku tidur di lantai beralaskan selimut. Meski sudah pakai selimut tebal, tetap saja dinginnya malam menembus hingga ke tulang-tulang. Dingin sekali.Sebelum berangkat kerja, pagi-pagi sekali aku harus mengurus Puspa di rumahnya. Mulai dari minumnya hingga makannya. Kadang lelah dan ingin men
Aku sangat marah. Pria berpakaian jas hitam itu kembali kupukul bertubi-tubi usai berhasil melepas diri dari wanita yang memegangku. Rasanya ingin kubunuh saja pria itu. Beraninya merebut Marina. Aku tidak terima!"Bang sudah! Kamu apa-apaan, sih main pukul aja?!" Marina dan wanita yang bersamanya menarik tangan ini barulah aku berhenti memukul. Meski demikian, aku puas sudah membuat wajah pria brengsek itu lebam. Bahkan ujung bibirnya berdarah.Aku tersenyum kecut melihatnya tak berdaya. Berdiri pun sepertinya harus bekerja keras. Ia hanya menatapku tanpa bersuara. Sama sekali tidak marah apalagi melawan. Mungkin karena merasa bersalah.Kutatap Marina penuh emosi. "Jelaskan pada abang maksud dari semua ini?! Kita belum cerai Marina. Bagaimana mungkin semudah itu kamu menerima pria lain?! Jelaskan kenapa?!""Maksud Ab-""Anda siapa? Apa yang perlu dijelaskan?! Marina bekerja di sini dan pria yang kamu pukul itu pelangganku. Sekarang kamu pergi atau
Dada sudah berasa sesak akan kekhawatiran. Ditambah lagi menaiki anak tangga dengan terburu-buru, persis seperti ada yang mengejar. Terus berlari hingga berada di kamar. Demi ingin sampai tepat waktu, rela tenaga terkuras, tetapi malah diri merasa dipermainkan.Puspa tersenyum tanpa melihat keringat dingin di pelipis mulai jatuh bercucuran. Ia tampak bahagia dengan semua yang diperbuatnya. Tanpa sadar telah membuat emosiku terpancing kembali.Bukan tidak suka melihatnya sehat wal'afiat. Akan tetapi, apa yang dilakukannya itu sungguh membuat diri ini kesal. Aku tidak suka dibohongi, diprank atau apalah istilahnya.Kutatap Puspa sambil berkacak pinggang dengan napas yang memburu. Dia lagi-lagi tersenyum dan sesaat kemudian bernyanyi."Happy birthday to you, happy birthday to–""Stop!" marahku dengan suara lantang.Aku benar-benar tidak bisa menahan amarah hingga mengeluarkan suara setinggi itu di depannya.Jika i