"Kemana, tuh orang?" Mata mengarah ke pintu kamar yang jaraknya dekat dengan dapur.
Lama aku menunggu teriakan dari Bang Mail, tapi tidak sedikitpun ia bersuara. Jangankan suara, orangnya saja sama sekali tidak muncul. Mungkin Abang belum sadar yang kupakai belanja adalah uang miliknya.
Padahal aku tidak sabar ingin melihat bagaimana reaksinya. Tidak sabar ingin tahu untuk apa uang itu dan apa alasannya menyembunyikannya dariku.
Akh, gagal. Bang Mail beneran tidak muncul.
Kuangkat piring bekas tempat makan kami ke wastafel. Mencuci semuanya, lalu mengemas sisa-sisa makanan lainnya untuk kemudian kututup kembali menggunakan tudung saji. Setelah kerjaan beres aku menuju kamar.
Pintu kubuka secara perlahan. Tampak Bang Mail sedang duduk melamun di tepi ranjang. Wajahnya terlihat sangat sedih. Aku tidak tahu masalah apa yang sedang dihadapi hingga ia tampak sesedih itu. Tadinya kupikir sudah tidur, ternyata tidak.
"Ekhem." Aku sengaja berdehem. Bang Mail pun terkesiap.
"Marina?" kejutnya sambil memperbaiki posisi duduk. Ia menatapku lekat. "Marina, jalan-jalan yuk!"
Aku menoleh melihatnya.
Abang mengajak jalan, apa ini mimpi? Apakah aku masih ia tempatkan di hatinya atau ini hanyalah sebuah trik untuk membuatku tak menyimpan rasa curiga?
Bang Mail, sedang merencanakan apa dirimu? Tidakkah engkau tahu betapa sakitnya hati ini? Batinku berucap.
"Tumben Abang mengajak jalan?" selidikku, berusaha tenang walau hati resah.
"Salahkah seorang suami mengajak istrinya jalan?" Dia malah balik bertanya. Kedua tanganku ia raih, tapi gesit kutepis.
"Enggak salah, Bang. Aneh saja menurutku." Sebenarnya ingin kutanyakan semua perihal uang dan soal yang dikatakan Jihan barusan.
Benarkah Bang Mail ke rumah sakit bersama seorang wanita?
"Aneh bagaimana?" tanyanya. Dia memang pria yang suka banyak tanya.
Menyebalkan. Mungkin tak perlu lagi aku menunda waktu. Aku harus menanyakan semuanya. Jika tidak, masalah ini akan terus menghantui pikiranku, akan membuat hatiku tidak tenang.
"Abang tadi ke rumah sakit?" Aku bertanya.
Mata elang milik suami kutatap tanpa berkedip. Baru kali ini aku berani menatapnya lama. Itu karena hatiku sedang sedih dan sedikit emosi. Kebenaran ingin segera kuketahui biar ada solusi dari masalah yang aku hadapi.
Sedangkan Bang Mail sendiri tampak terkejut dengan pertanyaan yang kutujukan padanya. Ia tak tahu harus bicara apa. Mungkin sedang memikirkan bagaimana aku bisa tahu dirinya dari rumah sakit.
"Abang enggak perlu tahu siapa yang memberitahu. Ngapain ke rumah sakit?" Lagi-lagi aku bertanya hal yang sama.
"Bos abang minta ditemani ke rumah sakit," jawabnya lancar.
"Bos Abang wanita atau laki-laki?" selidikku, penuh curiga.
Jihan bilang Bang Mail bersama seorang wanita di rumah sakit sedangkan Bang Mail bilang yang bersamanya di rumah sakit itu adalah bosnya. Aku mau tahu seberapa jujur dia padaku. Jika dia jujur, pasti akan mengatakan wanita.
"Wanita. Kamu jangan banyak pikir. Bos abang sudah bersuami. Kebetulan suaminya ke luar kota jadi enggak ada yang temani. Jadilah abang yang diminta temani ke sana." Bang Mail menjelaskan tanpa aku minta. Syukurlah dia berkata jujur.
Kutarik selimut, menutup semua tubuh. Namun, Bang Mail menyingkap selimutku.
"Marina, ayolah ... kita enggak pernah jalan-jalan. Abang butuh refreshing, plis." Bang Mail merayu.
"Maaf, Bang. Aku mengantuk."
Tak lagi kuhiraukan dirinya. Aku menutup mata. Bukan tidur, bukan ... aku hanya tidak ingin bicara dengannya. Ada banyak hal yang aku pikirkan tentang suamiku itu. Bisa dikata saat ini pikiranku sedang mengembara.
Hingga pada akhirnya aku merasakan sebuah hembusan napas dari depan. Kuyakin suamiku berada dekat dengan wajah ini. Aroma tubuh dan napasnya sangat kukenal.
Beberapa saat kemudian, aroma itu menghilang dan detik berikutnya kudengar suara lemari terbuka.
'Jangan-jangan ....'
Kubuka mata secara pelan, ternyata dugaanku benar. Bang Mail sedang mengobrak-abrik lemari pakaian. Aku tahu dia pasti mencari CD yang ada uangnya.
Jadi tadi itu dia mengecek apakah aku sudah tidur atau belum. Kenapa baru sekarang dicek? Tadi saat aku masih di dapur kan bisa. Atau jangan-jangan dia baru mengingatnya?
Ingin aku tertawa lepas melihat wajah gelisah milik suami. Dia berkeringat padahal cuaca sangat dingin.
Bang Mail menoleh menatapku. Nyaris saja aku ketahuan pura-pura tidur. Untung cepat-cepat menutup rapat mata ini.
'Kapok kamu Bang. Makanya jadi suami jangan kebangetan!'
***
Aku bangun untuk salat subuh. Tidak akan semelongoh ini jika seandainya yang kulihat bukan pakaian terhambur. Oh, jadi semalam itu Bang Mail kembali bangun mencari uangnya. Tak menyerah juga dia.
Kutarik napas untuk mengurangi perasaan kesal. Pakaian sebanyak itu pasti aku lagi yang bereskan. Ya Allah ....
"Kenapa harus seperti ini Bang? Aku mencintai Abang, tapi begitu tega Abang musnahkan." Wajah suami aku tatap lekat. Tak terasa air mata kembali jatuh.
Aku berjanji ini adalah air mata terakhir yang jatuh untuknya. Selanjutnya akan kutemukan bahagia tiada batas.
Meninggalkan kamar dengan perasaan masih sangat sedih. Aku ke dapur memasak makanan untuk kami makan nanti.
Hanya membutuhkan waktu satu jam lebih, akhirnya makanan sudah siap untuk disantap. Aku berkali-kali melihat ke arah pintu kamar yang masih tertutup rapat. Tidak tahu mengapa Bang Mail belum juga keluar padahal ini sudah mendekati jam tujuh.
Bang Mail harus mandi sebelum ke tempat kerjanya. Harus berpakaian rapi dulu. Kalau belum bangun, nanti akan terlambat. Duh, nih orang kenapa, sih?
Rencananya ingin membangunkan, tapi tepat saat aku ingin membuka pintu ... Bang Mail sudah terlebih dulu membukanya.
Dia menatapku, wajahnya tampak penuh emosi. Aku tahu dia mencurigai istrinya ini. Biarkan saja, aku juga tahu dia tidak akan berani menanyakan keberadaan uang itu.
"Abang kenapa?" Mari berpura-pura tidak tahu-menahu tentang semua yang terjadi.
Bang Mail belum menjawab. Ia masih setia menatapku lekat. Aku bersedekap, menatapnya tak mau kalah.
"Itu pakaian di lemari kenapa bisa seperti itu Bang? Abang pikir aku enggak capek mengemas? Abang, tuh yah enggak pernah perhatian sedikit saja," omelku. Tentu juga pura-pura biar tidak ketahuan.
"Lihat CD abang warna cokelat? Abang simpan di saku jas." Bang Mail memasang wajah serius.
"Warna cokelat? Oh, aku ingat. Astagfirullah, udah kubuang Bang di tong sampah," kataku asal.
"Apa?! Adek tahu enggak, di dalamnya itu ada uangnya," ucapnya laju, lalu menutup mulut dengan kedua tangan.
Nah, keceplosan. Kena kamu Bang.
Bersambung
Marina tak enak hati ketika tahu ternyata Anton benar-benar membelikan tiket untuknya. Ia menatap Anton yang hanya fokus bicara sama Ray.'Aku tahu niatmu bagus Mas, tapi kok aku enggak enak begini? Aku tahu di balik hadiah tiket ini, Mas ingin berusaha membuang perasaan mas padaku sekaligus membayar janji mas tempo hari. Itu bagus untuk kami semua, tapi jujur aku enggak enak banget,' batin Marina."Hadiahnya tiket?" Ray mengeluarkan dua tiket pesawat.Sebenarnya Ray juga tahu Anton berusaha membuang perasaannya terhadap Marina. Akan tetapi, Ray berpura-pura tidak tahu. Ia tidak ingin membalas soal itu. Suatu saat Anton pasti akan menemukan wanita yang jauh lebih baik. Ray yakin."Ya, tiket pesawat ke Dubai untuk kalian. Aku rasa kamu sudah sembuh. Kalian enggak mau berbulan madu? Aku juga sudah pesan hotel untuk kalian, loh di sana," kata Anton, terlihat senang. Meski hatinya ada sedikit kesedihan y
"Jika jalan satu-satunya adalah operasi, tolong disegerakan Dok. Lakukan yang terbaik untuk adikku."Pada akhirnya Anton meminta dokter, Ray dioperasi saja. Ia yakin adiknya pasti akan selamat. Keputusan itu tentu saja sudah disetujui semua keluarga."Baiklah, tapi pihak rumah sakit tidak bisa menjamin keselamatan saudara Bapak. Kepalanya terbentur keras dan banyak kehilangan darah. Sudah pasti kepalanya mengalami luka yang sangat parah," jelas dokter."Aku percaya kuasa Allah," balas Anton, yakin Ray tetap akan selamat. Akhirnya dokter pun gegas menyiapkan peralatan yang akan dipakainya untuk operasi."Ya Allah, selamatkan suamiku, selamatkan suamiku," gumam Marina.Beberapa jam telah berlalu, mereka menunggu hasil. Marina mondar-mandir di depan ruang operasi dengan perasaan takut. Bagaimana jika nanti suaminya tidak selamat? Pikirnya.
Sambil tetap mendekatkan HP di telinga, Anton kembali membatin, 'Selamat menempuh hidup baru. Semoga bahagia dunia dan akhirat. Doakan semoga aku bisa move on dari rasa ini. Aku tersiksa melihatmu bersamanya.'Tidak bisa dipungkiri, meski sudah berusaha menerima kenyataan bahwa dirinya bukanlah jodoh Marina, tetapi tetap saja Anton sangat sedih melihat adiknya bersanding dengan wanita idamannya.Terkadang bisikan setan menghasutnya untuk membawa kabur Marina dari pelaminan. Akan tetapi, Anton mampu melawan.'Dia bukan jodohku. Aku percaya, jika jodoh takkan kemana.'"Hai, sama siapa? Tante Soraya dan Bapak mana? Mereka berjanji akan datang, loh."Anton kaget, bahunya ditepuk seseorang yang tidak lain adalah Ray. Saat ini Ray sudah memaafkan Pak Adnan. Anton juga sama.Dua hari yang lalu, Pak Adnan berlutut minta maaf pada Soraya. Minta balik
Sambil tetap mendekatkan HP di telinga, Anton kembali membatin, 'Selamat menempuh hidup baru. Semoga bahagia dunia dan akhirat. Doakan semoga aku bisa move on dari rasa ini. Aku tersiksa melihatmu bersamanya.'Tidak bisa dipungkiri, meski sudah berusaha menerima kenyataan bahwa dirinya bukanlah jodoh Marina, tetapi tetap saja Anton sangat sedih melihat adiknya bersanding dengan wanita idamannya.Terkadang bisikan setan menghasutnya untuk membawa kabur Marina dari pelaminan. Akan tetapi, Anton mampu melawan.'Dia bukan jodohku. Aku percaya, jika jodoh takkan kemana.'"Hai, sama siapa? Tante Soraya dan Bapak mana? Mereka berjanji akan datang, loh."Anton kaget, bahunya ditepuk seseorang yang tidak lain adalah Ray. Saat ini Ray sudah memaafkan Pak Adnan. Anton juga sama.Dua hari yang lalu, Pak Adnan berlutut minta maaf pada Soraya. Minta balik
Tanpa dipersilahkan, pemberi salam langsung masuk. Berjalan pelan ke arah Wiranti, Ray dan Aura."Aku sudah lama mencari keberadaanmu Wiranti. Ternyata kamu di sini. Ray anakmu yang berarti juga anakku. Anak kita," ucapnya sumringah. Akhirnya bisa menemukan anak kedua dari hasil pernikahan kedua.Karena Anton menolak harta warisan darinya. Pak Adnan akan mengalihkan semuanya pada Ray. Ia sangat berharap anaknya itu bisa menerima. Sebab, merasa diri tak lama lagi akan kembali menghadap Tuhan. Pak Adnan tidak mau menyisakan harta untuk istrinya yang saat ini, yaitu Dena. Karena selepas ini pun wanita itu akan diceraikannya. Dena sudah berselingkuh dengan pria lain. Tidak ada kata maaf.Pak Adnan sadar itu salahnya, karena kerap main tangan disebabkan emosi yang tidak terkendali dan semua itu juga karena seringnya Dena menghambur-hamburkan uang. Pak Adnan merasa Dena hanya mencintai hartanya saja.
Meski Anton sedih karena sebentar lagi wanita yang dicintainya akan menikah, tapi ia berusaha merelakan. Sebab cinta itu memang lebih kepada merelakan, bukan melepaskan ataupun mengumpul keberanian untuk merebut.Keduanya melempar senyum, lalu Anton membalikkan badan berjalan ke sofa. Sedangkan Marina ke dapur untuk minum. Kerongkongannya seketika berasa kering, ia harus minum untuk melegakan tenggorokan.Klakson mobil membuat Marina bergegas keluar, melewati Anton yang kini berdiri di ambang pintu utama."Aku lambat enggak?" tanya Ray, baru saja turun dari mobilnya."Enggak, kok Mas," jawab Marina sambil tersenyum.'Tentang foto tadi, aku kasih tahu mereka enggak, yah?' batin Marina."Ton, kami pulang, yah," pamit Ray."Tunggu, Mas. Ada yang ingin aku katakan pada Mas dan Pak Anton. Mungkin sebaiknya jan