Pikiranku bingung. Ingin rasanya aku segera menyusul Vina menuju ke sekolah baru Claudia, tapi di samping itu aku takut juga di sana akan bakalan bertemu dengan Rika. Apa yang harus aku lakukan sekarang?[Apa kamu negur dia, Sayang? maksudku apa kamu negur art-ku?] [Nggak, Mas. Rasanya aku males buat negur. Ntar aku dikira temenan sama ART. Jan nggak lucu] Jawaban dari pesan yang membuat hatiku lega. Setidaknya tidak terjalin komunikasi di antara mereka. Jika mereka berbicara, takutnya Vina memberitahu Rika jika dia adalah kekasihku. Dan akan lebih berbahaya lagi ketika mengetahui ternyata Vina lebih cantik, Rika akan cemburu besar.Karena khawatir aku langsung menelepon Vina."Sayang, kamu nggak usah ladenin dia ya, nggak usah negur-negur juga," ujarku."Lho, kenapa, Mas? Bukannya lebih baik juga kalau aku bisa lebih akrab sama asisten kamu!" Ucap Vina diperseberangan sana."Gini, Vina Sayang, soalnya dia tuh mulutnya rempong, ntar kamu bisa kerepotan sendiri kalau ngeladenin dia ng
"Apaa? Kamu ngobrol sama dia?" Tentu aku kaget dong."Iya, Mas. Biasa aja kali, kedengarannya Mas kaget banget gitu? Aneh."Aku mulai dag dig dug tidak karuan, penasaran dengan apa saja yang sudah mereka obrolkan."Habis kalian obrolin apa aja?" cecarku."Obrolan biasa lah, Mas." Lagi-lagi Vina menjawab."Maaf ya, Vin. Kayaknya Mas gak bisa nyusul kamu ke sana. Mas tunggu di depan gerbang sekolahnya aja, ya!" Aku benar-benar khawatir Rika mencium aroma hubunganku dan Vina.***"Sayang, asisten kamu cantik juga ya. Pakaiannya juga tapi. Kayak bukan asisten aja. Hmm... Apa sehari-hari dia nginep di rumah kamu?" Vina menatapku lekat.Aku menoleh ke arah Vina."Cantik? Dia nggak cantik. Biasa aja sih.""Nggak usah bohong, Mas. Tadi aku perhatiin gerak-geriknya. Dia nggak keluatan kayak pembantu. Jangan-jangan mas nyimpen perasaan suka sama dia." Vina terdengar agak curiga.Apa dia cemburu? Kalau beneran iya, bisa-bisanya Vina cemburu pada wanita seperti Rika. "Mana ada aku ada perasaan
Aku terkejut bukan kepalang mendengar permintaan Vina. Dia mau tinggal denganku?"Sayang, maksudmu tinggal seatap?" aku memastikan."Iya. Seatap. Emang Mas nggak mau kalo aku tinggal bareng di rumah kamu, Mas? Nggak masalah, kan? Lagian rugi mas, rumah gede kok isinya cuma ART yang nungguin. Lebih bagus kalo ajak aku juga. Dengan kayak gitu kita bisa saling mengenal lebih jauh.""Hitung-hitung aku bisa minta tolong sama ART-mu buat mengurus Claudia. Jujur aja, terkadang aku repot banget ngurusin anak sambil kerja. Kalo aku tinggal di rumah kamu, itu si Rika pembantumu bisa bantu antar jemput Claudia, kan?"Ya ampun, bagaimana ini? Sebenarnya aku sama sekali tidak keberatan jika Vina tinggal serumah denganku. Tapi masalahnya, bagaimana nanti dengan Rika? Bisa ngamuk abis-abisan dia. Apalagi kalo dia tahu jika aku bilang dia adalah pembantu. Aduh, itu benar-benar bencana rumah tangga.Padahal dalam hati aku akan sangat senang tinggal seatap dengan Vina, aku bisa memperlakukannya sebagai
Aku menutuskan untuk duduk di kantin menunggu pesanan makan siang. Sementara pikiranku masih letih. Inilah definisi luka tak berdarah. Masih kuingat betul percakapanku kepada seorang perempuan di sekolah Clara kemarin.***"Hai, mau daftarin anaknya disini juga?" tanya perempyan itu agak mencibir."Iya, Mbak.""Ooh, kukira gaji asisten rumah tangga nggak bakalan cukup buat ngebayarin biaya sekolah disini. Soalnya mahal. Mending cari sekolah yang lain yang lebih murah aja." Aku benar-benar dibuat kaget. Apa maksud ucapan perempuan ini?"Maaf, maksudnya apa ya?" Aku tak bisa membunyikan rasa penasaran."Ya maksud aku sebaiknya kamu cari sekolah yang sesuai budget lah ya. Ini sekolah bukan sembarang sekolah. Kamu liat kan tuh di parkiran!" Ia menunjuk ke area parkiran yang banyak berjejeran kendaraan roda empat."Kenapa? Ada apa sama parkiran, Mbak?"Wanita itu tertawa."Harusnya kamu liat dong kalo kendaraan wali kelas disini tuh rata-rata kelas Pajero sport. Artinya ini sekolah horang
"Rika, kamu nampak lesu sekali. Apa kamu lagi sakit?" Pak Rangga menegurku. Meski baru beberapa bulan menjadi atasan di kantor kami, tapi Pak Rangga tidaklah bertindak sok bossy. Malah dia nampak berbaur dengan seluruh bawahan-bawahannya."Tidak, Pak. Aku gak sakit. Cuma kekelahan sedikit." terpaksa aku berbohong. Tidak mungkin juga kan aku menceritakan aib rumah tanggaku padanya."Kalo kondisi badan kamu lagi kurang fit, kamu istirahat aja dulu. Nggak apa-apa." tanggapnya. "Makasih, Pak. Insyaallah aku masih kuat untuk melanjutkan kerja." imbuhku.siang ini, sepulangnya dari kantor, tujuanku adalah rumah Bu Darma, untuk membayar sewa kontrakan kami.kontrakan, listrik, dan air, semua akulah yang harus memikirkannya,Mas Valdi terlalu sayang jika uangnya harus membantu. Tapi tak apa, ini hanya beberapa bulan saja sebelum aku membuang laki-laki yak tahu diri tersebut."Bu, ini aku mau bayarin sewa rumah." Aku berkata setelah berbasa-basi."lho, kemarin kan udah di bayarin, untuk tiga
"Mas! Gimana ini? Aku beneran hamil, Mas!" Vina terisak.Aku menarik Vina untuk menuju ke dalam pelukanku. Kuekus perutnya yang masih terlihat datar.Sebuah harapan besar muncul di benak. Aku membayangkan bayi laki-laki lucu berada di antara kami. Seperti kata ibu, anak laki-laki adalah penerus keluarga. Oleh karena itu kehadiran anak laki-laki sangat didambakan oleh ibu.Kuharap Vina bisa memenuhi impian ibu. Memberi keturunan laki-laki untukku. Tidak seperti Vina yang hanya mampu melahirkan anak perempuan."Mas, ntar kehamilanku bakalan semakin gede. Bisa maku aku kalo gak keburu dinikahin." Ia meneteskan air mata.Bagaimana ini? Aku juga sangat bingung dibuatnya.Menuntut dinikahi adalah hal wajar untuk vina lakukan. Aku memang harus segera bertanggung jawab. Aku bukan pengecut yang akan melarikan diri dari masalah seperti ini.Tapi, jika aku menikahi Vina, bagaimana dengan Rika? Apa Rika mau menerima takdir? Nanti akan kucoba untuk menjelaskan padanya. "Sayang, sabar dulu. Kamu
[Mas, aku ini sedang hamil! Masa mas gak mau peduli sana aku? Diperut aku ini darah dagingmu, Mas! Apa susahnya kamu dateng ke rumahku] pesan dari wanita yang menjadi selingkuhan suamiku.Dia bilang hamil? Ya ampuun, cepat sekali sepak terjang mereka.[Iya, Sayang. Tapi ini udah malem. Mas lagi ngerjain kerjaan yang tertunda kemarin. Kamu tahu sendiri kan, gara-gara beberapa hari kita liburan, kerjaan Mas jadi numpuk. Jadi Mas harus nyelesein semuanya makan ini.]Oh, rupanya kemarin-kemarin mereka pergi healing. [Mas, aku sebenarnya capeek banget. Mas suruh Rika ke sini dong, ke rumah aku! Karena ngidamku parah banget, aku gak bisa apa-apa. Pakaian numpuk, rumah kotor, Claudia nggak keurus lagi. Tolong deh, Mas! Rugi kalo aku membayar orang lain.]Apa nggak salah baca nih aku? Jadi Vina benar-benar menganggap aku ini ART? Memintaku untuk mengurus rumahnya? No, Vina. Itu hanya ada dalam anganmu.[Vina sayang, mas akan pertimbangkan permintaan kamu. Ntar mas akan bicara sama Rika.][Ak
Bab 32"Tapi kamu nggak kunjung bisa kasih aku anak laki-laki, Rik. Dan Vina udah terlanjur hamil sekarang. Tugasmu sekarang cuma membantuku mengurus Vina, Rik"Aku tak tahu bagaimana sistem otak Valdi hingga bisa membuahkan pemikiran seperti itu."Dulu aku hamil tetap bisa urus diri sendiri, Mas. Lagi pula, kamu berdua yang bikin anak, kenapa harus aku yang kerepotan?" jawabku.Kulihat Mas Valdi diam, matanya menatap ke arah jendela yang masih kubuka, sengaja agar udara yang lebih sejuk mengalir."Rika, kamu kayaknya harus ngaji lagi. Vina itu janda, ia punya anak, menolongnya akan membuahkan pahala besar. Banyak dalil yang menyuruh laki-laki buat nolongin anak yatim. Kamu masih punya rasa kasihan kan? Sesama perempuan harusnya kamu ngerti, Rik. Jangan sampe kamu kufur dengan ngelarang aku buat nikahin Vina!""Siapa yang ngelarang, Mas! Aku persilakan kamu untuk berbuat apapun yang kamu suka, apa utu masih gak cukup?" Aku balik bertanya."Harusnya bukan cuma mempersilahkan tanpa nge