Pelaminan pernikahanku, berganti dengan kasur tipis sebagai alas jenazah Bah. Kebaya Laboh telah bertukar dengan gamis hitam legam tanda dukacita. Jilbab panjang berwarna sama menutupi kepalaku.
Jenazah Bah terbujur kamu di depan pelaminan. Sungguh malang nasibku, di hari pernikahan yang tak kuinginkan, Bah pergi meninggalkanku sendirian.
Lantunan ayat suci Alquran bergema di dalam rumah. Emak terduduk lemah di samping jenazah Bah. Tangannya memegang tasbih, tetapi tatapannya kosong seperti tak memiliki kehidupan.
Bau bunga rampai dan kapur barus menusuk hidung, aromanya mengalir ke otakku, hingga kepalaku seperti ditusuk ribuan sembilu. Bah akan dimandikan, jenazah lelaki kesayanganku ini segera menuju tempat peristirahatan terakhirnya.
“Ra, dimano Bah engkau nak dimandikan?” tanya makcik Emboh, adik bungsu Emak.
“Kejab (sebentar) Era tengok ke belakang, Makcik. Kalau dapat, di dalam ajolah, kasian Bah kalau mandi terakhir dio kito buat di luo.”
Aku berlalu ke belakang. Di saat seperti ini, meminta pendapat Emak tak bijak dilakukan. Perempuan tua itu tampak sangat terpukul.
Aku mengecek ruangan belakang, cukup luas untuk dijadikan tempat memandikan jenazah Bah. Aku akan diskusi dengan Abang-abangku mengenai teknis memandikan jenazah Bah, yang penting aku sudah punya bayangan, di mana air akan dialirkan.
“Lantaklah (matilah/mampuslah) orang tuo tu, mati dio, kan. Aku dah cakap, usahlah betingkah, nak balek samo Halimah, nak ninggalkan aku? Aku buat nyawa dio tak melekat di badan lagi. Rasolah.”
Langkahku terhenti mendengar percakapan di balik pintu dapur. Suara wanita itu cukup kuat terdengar hingga telingaku.
“Kau gilo, Num. Gilo.” Kudengar suara lain.
“Apo tak gilo aku, Nong? Bang Rahmat nak balek samo Halimah, dio nak ninggalkan aku. Sedap betul Halimah tu. Dunia akhirat tak ikhlas aku dio balek samo Halimah. Daripado aku sakit hati, elok dio aku buat mati.” Suara tawa tertahan menusuk ke dalam telingaku.
“Tapi taklah macam gini, Num. Saat Era menikah, sampai hati kau bersekongkol dengan setan melenyapkan Bang Rahmat.”
“Awas kau Nong, hal ni kau ajo yang tau. Sempat lah ado orang lain tau, kau pun aku buat macam bang Rahmat.”
Walaupun aku awam dengan masalah seperti ini, tetapi aku dapat menyimpulkan, bahwa Bah meninggal dengan cara yang tidak wajar. Seseorang di balik pintu itu telah sengaja menghilangkan nyawa Bah, entah dengan cara apa.
Emosiku memuncak, perbuatan keji ini tak bisa dibiarkan.
Aku menghempaskan pintu dapur sekuat tenaga. Ternyata Makcik Hanum dan Makcik Nong yang berada di sana.
“Era!” pekik mereka bersamaan.
“Biadab!” desisku menahan amarah. Bagaimanapun, aku tak ingin hari kepergian Bah malah menyebabkan tragedi lain di rumah ini. “Semoga Allah memberi bala untuk Makcik. Menjelang Makcik mati, aku tak ikhlas Makcik bahagia. Sengsaralah hidup Makcik, lebih sengsara dari Mak dan Bah aku.” Mulutku tak terkendali mengucap sumpah serapan pada Makcik Hanum.
Wajah wanita ber-makeup tebal itu sontak memutih. Kulit kuningnya berubah pucat.
“K-kau dengo (dengar)?“ gugup ia bertanya.
“Aku dengo semuo. Biadap, Makcik. Tak cukup Makcik merebut Bah aku? Membuat karir Bah hancur? Tak cukup? Harus Makcik hilangkan nyawa Bah? Tak kusangka, Makcik berdekatan dengan ilmu hitam, Makcik teman setan!"
“Apo hal?“ Bang Arham mendadak muncul di belakangku. Mungkin suara ribut ini terdengar hingga ke depan.
“Bang,” isakku pecah di hadapan Bang Arham. “Abang tau, Bah kito diguna-guna samo perempuan berhati iblis ni, Nurma. Sampai Bah mati dibuatnyo. Tak cukup Bah menderita, Emak menderita, dibuatnya keluarga kita semakin menderita, Bang.” Aku memeluk Bang Arham.
“Astaghfirullah, tak patut kau menuduh, Ra.” Bang Arham malah menyalahkanku.
“Ya, Allah, Ham. Ngapo pula aku yang disalahkan. Macam mano pun, aku ni istri Bah engkau sekarang. Tak patut Era menuduh aku.” Makcik Nurma memasang ekspresi sedih di wajahnya.
Rasanya aku ingin mencakar wajahnya yang penuh kepalsuan itu.
“Ra, janganlah buat kelaku. Mayat Bah masih tebujur lagi di rumah ni, kau macam ni pula,” bisik Bang Arham di telingaku.
“Bang, ngapo tak pecayo samo Era?” rintihku.
“Ya Allah,” pekik Makcik Hanum tiba-tiba.
Tanpa sadar, aku menampar mulutnya. Setelah sadar, amarahku makin menjadi. Aku menjambak rambutnya. Perempuan berhati iblis ini layak mendapatkan balasan, bahkan ini belum setimpal dengan perbuatannya.
Lama aku menganiaya perempuan yang tidak melakukan perlawanan itu. Tetangga sampai sibuk melerai kami.
Aku berdiri dengan dada yang terasa sesak. Perempuan jalang itu kusut masai. Pakaiannya compang-camping, rambut indahnya terurai menutupi separuh wajahnya. Aku puas.
“Allah.” Perempuan itu berlari ke dalam rumahku.
Aku berlari mengikuti langkahnya, sebab aku takut ia berbuat macam-macam pada jenazah Bah.
“Kak, tolong aku.” Makcik Hanum bersimpuh di kaki Emak. “Izinkan jenazah Bang Rahmat disemayamkan di rumah aku, Kak. Tak sanggup aku di sini, Era menuduh yang bukan-bukan, Kak.”
“Jangan, Mak!“ ujarku keras. “Jangan Mak izinkan dio bawa jenazah Bah. Dio yang bunuh Bah, Mak.” Aku meraung di hadapan perempuan yang telah melahirkanku itu.
“Apo kau ni? Jenazah Bah masih teletak di situ, kau betingkah macam orang gila.” Emak berkata ketus padaku.
“Lihat aku, Kak. Era mengentam (memukuli) aku tadi. Dio tuduh aku yang bunuh Bah dio. Aku tak rela, Kak. Biolah jenazah Bang Rahmat di rumah aku ajo, Kak. Kalo di situ, tak ado yang akan berbuat jahat samo aku. Tak ado orang becakap menyakitkan hati aku.” Perempuan pendusta itu memohon pada Emak.
“Tak bisa, Nurma. Aku tak izinkan.” Emak berkata tegas.
“Kakak izinkan atau tidak, aku tetap bawa jenazah Bang Rahmat. Aku ni istri dio yang sah, Kak. Asal Akak tahu, sebelum meninggal, Bang Rahmat nak menceraikan Akak. Tapi belum sempat lagi, dio dah tak ado. Aku yang lebih berhak, bukan Akak.” Makcik Hanum berteriak seperti orang kesetanan.
“Astaghfirullah, Num, engkau istighfar. Di depan jenazah, jangan macam orang gilo kelaku kau. Duduk elok-elok, menangis Bang Rahmat di alam sana menengok engkau macam ini.”
Emak berusaha menyadarkan Makcik Hanum. Para tetangga sudah berkerumun di pintu rumah. Suara orang mengaji pun tidak terdengar lagi, berganti dengan riuh rendah suara orang yang ingin tahu, ada kejadian apa di rumah kami.
“Tak peduli! Sekarang jugo aku bawa jenazah laki aku. Akak jangan tahan. Kau jugo.” Wanita itu menunjuk wajahku. “Mulut kau tu, kau jago elok-elok. Jangan asal menuduh! Jangan harap kau boleh menengok jenazah Bang Rahmat!“
Tak ada yang kuasa menolak Makcik Hanum. Emak yang biasanya sangat egois pun seperti membiarkan saja semua ini terjadi.
Aku menjerit melihat jenazah Bah dinaikkan ke mobil pick up, jenazahnya dibiarkan terbaring begitu saja tanpa ada alas. Makcik Hanum duduk di bangku depan. Senyum sinis tersungging di bibir tipisnya saat jenazah Bah berhasil ia bawa dari rumahku.
“Emak, meh (ayo) kito susul.” Aku menangis menarik tangan Emak.
“Engkau dengo kan Hanum tadi cakap apo? Bah engkau nak menceraikan Mak, jadi biolah, aku kabulkan keinginan terakhir Bah engkau. Kalau aku menampakkan wajah burukku di situ, tak tenang nanti Bah engkau, Nak.” Emak menyusut bulir bening yang jatuh di sudut matanya.
“Astaghfirullah,” jeritku tak tertahan.
Mengapa malang nian nasibku? Di hari pernikahanku, Bah pergi untuk selamanya. Wajahnya pun tak dapat aku lihat untuk terakhir kali.
Salahku apa, ya, Allah?
Suamiku tak menampakkan batang hidungnya sedikit pun sejak Bah berpulang. Ke mana lelaki yang sudah menikahiku itu?
Aku menemukannya sedang tertidur di kamar. Wajah polosnya tak menunjukkan emosi apa pun, seolah suasana di rumah ini sedang tidak berduka.
Lelaki macam apa yang aku nikahi ini? Manusiakah dia? Adakah nuraninya? Mengapa saat Bah tiada, ia pun tak ada?
Aku mengambil bantal tipis yang biasa aku gunakan untuk tidur. Pukul sebelas malam, semua sudah terbaring di ranjang masing-masing. Aku memilih tidur di kasur tipis bekas jenazah Bah terbaring tadi. Berharap saat tidur nanti, Bah datang untuk memelukku terakhir kali. Pun aku bisa meminta maaf atas segala salahku padanya
Ya, Allah, aku rindu Bah.
***
Aku tak bisa tidur semalaman. Ah, bukan, aku tidur sejak pukul dua belas hingga pukul dua malam. Setelah itu, aku tidak dapat memejamkan mata. Usai Salat Tahajud, aku duduk di depan meja rias, memandang pantulan wajahku di cermin. Aku terkejut saat pintu kamar terbuka. Kak Ainun masuk sambil tersenyum. “Tadi Akak dengo suara keran hidup di kamar mandi engkau, makonyo Akak berani masuk.” “Kakak tak dapat tidur ke? Pasti tak nyaman tidur di lantai,” ujarku dengan rasa tak enak. Para tamu yang harusnya dilayani dengan baik itu malah tidur berimpitan di ruang tengah. Termasuk Mega dan Latifah. “Bukanlah. Kakak senang sangat Fahmi akhirnya menikah dengan engkau.” Kak Ainun duduk di tempat tidurku. Aku menyusul sebab tak enak rasanya duduk berjauhan dari Kak Ainun. “Engkau tahu tak.” Dia memegang tanganku. “Malam itu, di malam pernikahan engkau dan Asman, Fahmi bersujud di k
Menjelang hari H, aku memilih tetap bekerja. Tentu saja ke Lolita. Bagiku Lolita adalah tempat kerja sekaligus rumah kedua. Aku sudah terbiasa dengan suasana dan orang-orang yang ada di dalamnya. Malah kadang aku lebih betah di salon daripada di rumah.“Lu kapan mulai perawatan?” Meri mulai bertingkah seperti ibu-ibu yang akan melepas anak gadisnya menikah. Dia sangat nyinyir mengomentari wajahku, kulitku, bahkan area V-ku pun dikomentarinya. Aku jadi ingat saat akan menikah dulu, Emak sampai memanggil bidan pengantin paling hits di kampung agar aku manglingi saat pernikahan. Ah, cepat aku tepis bayangan kelam itu. Hari pernikahanku identik dengan hari terakhir Bah ada di dunia, dan aku benci mengingat itu.“Mulai hari ini, ya? Fahmi tiga hari lagi udah datang, kan? Lu enggak bakal sempat gue apa-apain lagi, Ra.” Nada suara Meri terdengar gemas.“Males, ah. Mahal.” Ak
Hari-hari berlalu seperti peluru. Siang malam berganti layaknya seorang pelari. Hidupku tergerus oleh kesibukan di rumah dan Lolita. Ah, tepatnya aku yang sangat-sangat menyibukkan diri demi melupakan keraguan yang bermegah-megah dalam hati. Waktu tak memberiku jeda, ia melaju, meninggalkanku dan segala keraguan dalam dada. Aku tahu, aku tak boleh bersikap mencla-mencle begini. Namun, ketiadaan Fahmi di sisi membuatku semakin merasa tak pasti. Aku ingin mundur dari pernikahan yang rasanya semakin tak mampu aku jalani. Aku takut dengan banyak kemungkinan yang bercokol dalam otakku. Hatiku penuh tanya, bisakah aku bahagia? Atau pernikahan kedua ini malah mengikat kakiku lebih rapat? Membuat luka dalam hati semakin berkarat? Entahlah, semua terasa tak pasti. Aku menghabiskan waktu dengan membereskan pekerjaan rumah di lagi hari, saat matahari beranjak naik, aku berangkat ke Lolita. Menyibukkan diri demi mengusir gundah gulana. Seperti saat
Semakin dekat hari H pernikahan bukannya semakin tenang, aku malah semakin gelisah. Rasanya aku tak siap harus mengikat diri lagi dalam sebuah kehidupan rumah tangga. Terlebih Bang Asman baru setahun pergi. Apa kata orang kalau mereka tahu bulan depan aku akan menikah untuk kedua kalinya? Perempuan berumur 47 tahun yang baru setahun menjanda, menikah lagi. Pasti semua orang menyangka aku yang kegenitan. Aku ingin berkeluh kesah dengan Meri, tetapi sahabatku itu pun tengah sibuk menyiapkan pesta pernikahan putri pertamanya yang akan dilangsungkan Minggu depan. Kata Meri, Lingga berpacu denganku. Aku hanya tertawa mendengar kelakar itu. Mana bisa anak gadis seperti Lingga dibandingkan denganku. Aku ingin bercerita kepada Fahmi, tetapi lelaki itu tampaknya sangat sibuk mempersiapkan kepindahan ke sini. Beberapa barangnya sudah dipaketkan terlebih dahulu. Bah Arham? Sama saja. Dia terlalu bahagia karena tahu aku akan menikah lagi
Kesibukan pagi ini luar biasa di rumahku. Tuhan sangat baik hati. Aku pikir proses pindahanku memerlukan waktu lama, sebab aku hanya mengandalkan Mbak Mur untuk menolong. Namun, Meri datang bersama Andi, Fahmi membawa dua orang temannya, Mbak Mur pun datang membawa anak dan suaminya. Yang mengejutkan, Arif datang beserta Handoko. Semua menolong kami. Aku ingin menangis rasanya karena terharu. Mereka orang baik yang tulus membantu.Setelah semua barang masuk ke dalam pikap, aku memeluk Mbak Mur. Air mata tak dapat aku tahan. Aku sangat sedih berpisah dengan perempuan itu.“Semoga jualannya lancar ya, Mbak.”“Ibu juga ya. Semoga dapat pembantu yang lebih rajin dari saya.” Kami bertangis-tangisan.Seorang petugas bank, yang entah bagaimana ceritanya, mengambil kunci rumah yang aku sodorkan. Aku memandang rumah Bang Asman untuk terakhir kalinya. Tak ada sed
Kami tiba di rumah pukul empat sore. Di saat seperti ini, aku baru mengerti mengapa seorang perempuan terkadang sangat rapuh tanpa seorang lelaki. Fahmi menyempatkan diri mencari mobil pikap yang bisa disewa, mencari bok besar agar barang bawaanku bisa disimpan rapi. Banyak hal yang dia lakukan untuk membuat nyaman kepindahanku nanti.Sebelum pulang, aku menyempatkan diri membeli beberapa jenis makanan. Rencana kami untuk pindah besok sepertinya akan direalisasikan. Fahmi bilang, pagi-pagi dia akan ke bank untuk membayar kekurangan uang rumahku. Sementara, aku di rumah membereskan barang-barang yang akan dibawa. Fahmi juga menghubungi beberapa temannya untuk mengirim orang ke rumahku guna membantu pindahan. Aku merasa, Tuhan mengirim dia untuk kemudahan urusanku. Aku sangat berterima kasih dengan Fahmi.“Sekali lagi engkau mengucapkan terima kasih, aku kasih piring cantik.” Dia menggodaku.“Se