Suasana duka masih menyelimuti rumah kami. Emak belum keluar kamar sejak semalam. Abang-abangku yang sudah menikah telah kembali ke rumahnya masing-masing.
Pelaminan pernikahanku telah dilepaskan tadi pagi. Namun, bendera putih masih terpasang di depan rumah. Tenda untuk tamu pun beralih fungsi menjadi tempat berteduh para tamu takziah. Kami bahkan tak tahu Bah dikuburkan di mana. Perempuan berhati iblis itu benar-benar biadab. Dia membawa jenazah Bah, dan tak mengizinkan Bang Arham ikut ke kuburan. Padahal, Bang Arham sengaja datang karena ingin ikut memasukkan jenazah Bah ke Liang lahat. “Buatkan aku sarapan, Ra.” Bang Asman yang baru keluar dari kamar mandi memerintahku. “Beli ajalah, Bang. Tak telap Era masak. Lemah semangat Era sejak Bah tak ado ni.” “Halah, alasan! Aku enggak mau tahu, buatkan aku sarapan. Dari semalam sibuk Bah kau tu aja. Muak aku mendengarnya.” Bang Asman berkata ketus. Aku sampai terduduk di tempat tidur mendengar perkataan tak enak keluar dari mulutnya. Seumur hidup, Bah dan abang-abangku belum pernah membentakku. Hatiku langsung surut saat Bang Asman berkata keras. “Ngapa kau terduduk di situ. Cepatlah buatkan aku sarapan. Jangan malas, Ra. Kau istriku, tugas kau melayani aku.”Tak ingin mendengar apa pun lagi, aku segera ke belakang. Memasak telur sekalian untuk sarapan orang di rumah. Mungkin hanya Bang Asman yang masih memiliki selera makan di rumah ini. Bang Asman duduk seperti raja di meja makan. Biasanya, meja makan itu hanya sebagai pajangan saja, sebab seluruh orang di rumah, lebih suka makan di lantai beralas tikar. “Aku tak biasa makan di bawah,” ujarnya saat aku menyiapkan tikar. Aku mencibir di belakangnya, karena mengingat dia dulu pernah makan bersama keluargaku di lantai. “Telur aja? Tak ada yang lain? Aku biasa sarapan sesuatu yang berkuah.” Ia menepikan piring yang aku sodorkan. “Abang mau apa?” tanyaku dengan hati lelah. “Belikan aku soto.”Aku mengangguk. Sebenarnya, tak pantas aku keluar rumah saat masih berkabung seperti ini. Paling tidak seminggu setelah kematian orang terdekat, barulah keluarga yang ditinggalkan beraktivitas di luar rumah. Namun, aku malas ribut dengan Bang Asman. Jadi, aku pergi membeli soto di ujung jalan. Beberapa tetangga yang kebetulan sedang di luar, memandangku dengan heran. Tatapan penuh tanya itu aku abaikan. Setelah sarapan, Bang Asman merokok di hadapanku. Aku terbatuk beberapa kali saat ia embuskan asap beracun itu ke arahku. “Bang, Era ke dapur, ya. Tak tahan Era menghirup asap rokok, Bang.”“Tak ada tata krama kau, Ra. Laki masih duduk di sini, kau hendak pergi. Oh iya, bereskanlah baju kau. Besok pagi, kita pulang ke Jakarta.”“B-besok, Bang?“ tanyaku. Aku sungguh tak percaya mendengar kata-kata yang keluar dari mulut suamiku itu. Bisa-bisanya dia mengajakku pindah saat duka masih menyelimuti rumah ini. “Iyalah. Mau sampai kapan aku di sini? Kerjaanku menunggu di sana. Jadi, kau siapkanlah barang kau semua. Entah kapan kita bisa kembali ke Siak.”“Astaghfirullah, Bang. Bah baru meninggal semalam. Tak bisa kita tunggu tujuh hari, Bang? Tak pantas rasanya Era pergi dari rumah dalam kondisi seperti ini.” Aku coba membantah Bang Asman.“Ingat, Ra, kau istri aku. Hukumnya wajib kau menuruti perintah aku.”“Iya, Era tahu, Era istri Abang, tapi, pakailah hati Abang sedikit. Bah baru meninggal, setidaknya izinkan Era seminggu lagi di sini sampai kenduri kematian Bah hari ketujuh nanti,” pintaku dengan suara lirih.“Ai, Ngapo pengantin baru masam muko ni?” Emak datang dengan mata bengkak dan wajah pucat pasi.“Tak ado, Mak. Bang Asman baru siap sarapan,” ujarku cepat, takut keduluan Bang Asman menjawab.
“Mak, Asman mau bawa Era ke Jakarta besok pagi. Asman tak bisa cuti lama-lama.”“Ngapo cepat betul, Man? Lewatkanlah dulu tujuh hari Bah, baru pergi ke sana.” Suara Emak bergetar, memohon kepada menantu barunya. “Tak bisalah, Mak. Mana bisa suka-suka kita aja. Kalau Era tak ikut sekarang, berarti Era besok berangkat sendiri. Bisa kau, Ra? Di bandara sendirian?“ “Man, dengolah cakap Emak. Tolonglah, Man. Belum kering tanah kuburan Bah. Setidaknya, bio (biarlah) Era ziarah dulu agak sekali,” bujuk Emak lagi. Aku iba melihat Emak yang memohon kepada Bang Asman. “Kalau Asman bilang tak bisa, ya tak bisa!“ Lelaki itu meninggalkan kami di ruang makan dengan wajah marah. Aku gak sangka, tabiat Bang Asman berubah, bahkan belum lagi dua puluh empat jam kami menikah. “Ya, Allah, Ra, belum lagi kering inai di kuku kau, dah nak pergi kau meninggalkan Emak.” Aku menahan lidah agar tak menyalahkan Emak. Situasi ini terjadi karena salahnya. Andai saja ia tak memaksaku menikah dengan Bang Asman, pasti semua akan berbeda. “Sudahlah, Mak. Macam mana lagi, Era tak bisa berbuat apa-apa.” Aku berusaha menguatkan Emak. “Tak sangko aku, buang tabiat (berubah) si Asman. Sebelum kawin dengan kau, elok sangat, lemah lembut. Sekarang, ngapo macam gini? Astaghfirullah, agaknyo aku salah pilih menantu, Ra.” Sekali lagi, aku menjaga lisanku. Di saat seperti ini, akan sangat mudah menyalahkan Emak, tetapi apakah pantas? Lebih baik aku diam, sebab menghibur beliau pun tak ada gunanya. Kenyataan bahwa aku akan dibawa Bang Asman sudah di depan mata. “Mak, Era ke kamar dulu, ya.” Aku pamit pada Emak. Bang Asman berbaring di kamar dengan wajah kesal. Saat aku masuk, dia langsung membalikkan badan. “Bang, elok Abang kawankan Era ziarah dulu. Besok pagi, tak payah lagi. Dah tenang Era,” kataku dengan lembut. “Mau ziarah ke mana? Macam kau tahu aja kuburan Bah kau di mana.”Perasaanku tertohok sangat dalam mendengar kalimat yang keluar dari mulut Bang Asman. Tega sekali dia menyakiti hatiku sedalam ini. Meskipun aku tak tahu Bah dikuburkan di mana, tetapi lokasi kuburan di kampung ini hanya dua. Jadi, tak payah mencari kuburan Bah ada di mana. Jika tidak ada yang di hulu, tinggal pergi ke hilir. “Jahat betul Abang becakap macam itu.” Aku menghapus air mata yang jatuh ke pipi. “Apa pula jahat? Aku ini orangnya jujur, Ra. Tak suka aku bermanis-manis depan orang. Memang kenyataannya kau tak tahu di mana kuburan Bah. Jadi untuk apa ziarah. Kau doakan saja dia. Tak ada gunanya meratap di kuburan,” ketus Bang Asman. “Bang, Era bukan nak meratap. Era ingin melihat kuburan Bah sebelum Era pergi. Entah kapan kita balek ke sini lagi. Jakarta tu jauh, Bang. Belum tentu setahun sekali kita pijakkan kaki di kampung ini.”“Ah, pandai kali kau menjawab. Sudahlah, kau kemas aja baju kau, bawa semuanya.” “Ngapo bawa semuo, Bang? Macam tak hendak balek ke sini,” gurauku mencoba mencairkan suasana tegang antara kami. “Turuti saja perintahku! Jangan banyak komentar!"Aku diam. Ah, Lagi-lagi aku mengasihani diriku sendiri. Sebagai pengantin baru, sikap Bang Asman jauh dari kata romantis. Apakah ia tak mencintaiku? Lalu, untuk apa ia memilihku?Bah menatapku dengan wajah sedih. Dia berdiri di hadapanku, menggunakan baju koko putih dan peci hitam kesukaannya. Tubuhnya begitu bersih, seperti ada cahaya yang melingkupi tubuh gagahnya.Dia menatapku lama, tanpa kata. Aku pun sama. Dalam hening, mata kami bertautan.“Bah,” ujarku. Bibirku menahan tangis yang seakan mau meledak.Bah menarik tanganku, menyeretku entah ke mana.“Bah.” Aku berusaha menepiskan tangan Bah, tetapi pegangannya terlalu kuat.Setelah berjalan jauh. Bah berhenti dan tersenyum padaku.“Era!” Aku mendengarpekikan dari kejauhan. Suara Bang Asman. Aku menoleh ke belakang.Bang Asman berdiri dengan wajah dingin. “Ikut aku!” titahnya.Bah menggeleng, dia hanya menggeleng sambil menangis tersedu.Tangis Bah makin kencang terdenga
Emak menghapus air mata yang menganak sungai di pipinya. Wanita tua itu memegang pipiku dengan kedua belah telapak tangannya. Tangannya bergetar dan dingin, ah, aku paham bagaimana rasanya menjadi dia. Baru saja ditinggalkan suami tercinta, sekarang anak perempuan satu-satunya pun harus pergi.“Cepatlah sikit, terbang nanti pesawat tu cemano (gimana)?” bentak bang Asman.Tangis Emak makin keras. Bahunya sampai berguncang hebat. Aku memeluknya, berusaha mengalirkan ketabahan ke aliran darahnya. Inilah takdir yang telah aku pilih, tak mungkin untuk mundur.“Era berangkat, Mak, do’akan Era banyak rezeki, bisa sering pulang tengok Emak.”Emak mengangguk tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Duka dalam matanya terlihat jelas. Entah apa yang memenuhi benak wanita yang telah melahirkanku itu, mungkin dia menyesal karena menyetujui pernikahanku dengan Bang Asman, atau mungkin dia merasa t
10Menjadi istri seorang Asman Chairi, aku dipaksa menjadi mandiri, dewasa, dan mengambil keputusan sendiri. Asman tak memiliki waktu untuk mendengar keluhanku, pun memberi pendapat untuk masalah-masalah yang aku hadapi.Hidup kami berjalan seperti air mengalir, tenang. Sangat tenang. Tepatnya aku berusaha untuk tetap tenang menghadapi sikap tak peduli lelaki itu.Hari, minggu, bulan, aku habiskan dalam kesendirian. Bang Asman lebih banyak menghabiskan waktu di tempat kerja—atau tempat lain yang aku tidak tahu—dari pagi buta hingga tengah malam.Awal mula pindah ke Jakarta, aku masih berharap dia berubah menjadi lebih baik. Setiap hari aku bangun lebih awal untuk membuatkan dia sarapan, melepas dia bekerja, dan hal lain yang lazim dilakukan suami istri. Aku berusaha sangat keras untuk melembutkan hatinya, membuat dia bisa mencintaiku. Paling tidak, bersikap baik padaku.Namun
Aku memegang benda pipih berwarna putih itu dengan tangan bergetar. Garis dua di bagian tengahnya membuat napasku nyaris putus. Hamil? Aku hamil? Bagaimana bisa? Selama ini aku sengaja mengkonsumis pil KB tanpa sepengetahuan Bang Asman. Aku berpikir untuk apa memiliki anak jika rumah tangga yang kami jalani ini jauh dari kata bahagia. Kehadiran anak dalam rumah tangga yang gersang, hanya akan membawa malapetaka. Kasihan anakku nanti. Dadaku sesak dengan sesal. Mengingat-ingat apakah aku lupa meminum pil KB sialan itu? Rasanya tidak. Aku sengaja menaruhnya di meja rias agar tak pernah lupa. Bang Asman pun pernah melihat pil itu, dan dia tidak pernah keberatan. Bagaimana aku akan memberi tahu hal ini padanya? Sedangkan kami sudah seminggu tidak bertegur sapa. Jangan tanya mengapa, karena jika aku ceritakan, seolah aku adalah wanita paling durhaka di dunia karena membuka aib suami seenaknya. Namun bisa aku pastikan, tak banyak w
Pukul dua belas malam lelaki itu pulang. Wajahnya terlihat sangat lelah, tidak seperti biasa. Kadang aku berpikir, apa yang dia lakukan di kantor sehingga selalu pulang tengah malam. Mas Wibi pun bekerja di kantor pemerintahan walaupun jabatannya tidak setinggi Bang Asman, tetapi suami Lina itu selalu tiba di rumah pukul lima sore.Untunglah Lina dan Mas Wibi bukan tetangga yang usil. Mereka diam saja melihat Bang Asman selalu pulang tengah malam. Lina tak pernah bertanya apa pun padaku. Hubungan kami yang dekat tak lantas menjadi alasan untuk mencampuri urusan masing-masing.“Ha, tumben kau menungguku? Dah tak marah?” sindirnya tajam, tanpa menoleh ke arahku.Hatiku bagai diiris sembilu dan ditetesi jeruk nipis saat melihat lelaki itu langsung masuk ke kamarnya. Kami memang sudah seminggu pisah kamar. Aku yang memulai dengan memilih tidur di kamar tamu. Sepertinya Bang Asman merasa ny
Aku terbangun pagi ini dengan pikiran lebih tenang. Rencana kabur itu membuat semangat hidupku menyala kembali. Aku yakin, Bang Asman tak akan mencariku. Malah mungkin dia senang karena aku tak akan lagi menjadi bebannya.Aku melirik jam dinding. Sudah pukul lima subuh. Aku memaksa diri untuk bangun, walaupun kepalaku sedikit pusing. Menurut artikel yang aku baca, ibu hamil memang mengalami pusing pada kehamilan tiga bulan pertama.Setelah ibadah subuh, aku menurunkan koper besar yang ada di atas lemari, membersihkan debu yang menempel di sana, lalu aku memasukkan semua baju ke dalamnya. Tak lupa perhiasan dan barang berharga lain aku kemas dalam tas kecil yang akan aku jinjing nanti.Dadaku sesak dengan rasa bahagia. Meninggalkan Bang Asman dan semua duka di sini seperti sebuah tujuan dalam hidupku kini. Aku rasa, jauh dari kehidupan Bang Asman membuat hidupku lebih bahagia. Kasihan sekali bayi di dalam rahimku jika dia
Debar di dadaku semakin kencang saat mobil memasuki area bandara. Ketakutan mendadak muncul mengingat diri ini belum pernah naik pesawat sendirian.Hilir-mudik orang lalu-lalang, ditambah deru pesawat memenuhi gendang telinga, membuat keberanianku menguap entah ke mana. Lina memarkirkan mobil di tempat menurunkan calon penumpang pesawat.“Sebenarnya aku pengin ngelarang kamu, Ra. Dalam kondisi hamil muda begini, bahaya banget pergi naik pesawat sendiri.” Lina menatapku dengan sorot mata cemas. Tangannya memegang tanganku.Apakah benar perkataan Lina? Aku tak mau mengambil risiko kehilangan bayi di dalam kandungan, tetapi saat mengingat kehidupanku bersama Bang Asman yang bagai dalam neraka, aku membulatkan tekad.“Enggak apa-apa, Na. Tenang aja. Aku kuat kok.”“Kehamilanmu masih terlalu muda, Ra. Aku enggak yakin Bang Asman ngizinin. Kamu kabur?&rdqu
Semalaman aku menyesali keputusan untuk meminta Lina mengantarku ke bandara. Rasanya aku harus mulai menjaga jarak dengan perempuan itu. Dia sudah tahu terlalu banyak.Aku tahu sebagai seseorang yang paling dekat denganku, merasa dirinya sebagai sahabatku, dia ingin menjagaku. Pun karena dia tahu aku sedang hamil muda. Lina mencemaskan janin dalam rahimku sebab dia sangat ingin punya anak. Namun, jika dia sudah ikut campur terlalu dalam seperti ini, bukankah aku berhak menjauh?Pikiranku sarat sesal, juga kerinduan pada kampung halaman. Apakah Emak sehat? Siapa yang memasak di rumah kini? Emak sudah tua, fisiknya tak terlalu kuat untuk bekerja berat. Ditambah pukulan batin yang dia alami sejak Bah menikah lagi, kondisi kesehatan Emak semakin menurun.Pukul satu malam aku masih terjaga. Mataku nyalang menatap dinding berwarna abu-abu yang menjadi batas antara kamarku dan ruangan lain di rumah ini. Rasa hampa menggerogoti