Share

Suka Berujung Duka

Aku memakai pakaian adat khas Melayu, Kebaya Laboh berwarna kuning dengan hiasan kepala bernuansa emas. Pakaian ini umum digunakan oleh seluruh pengantin Melayu. Pakaian ini juga sangat cocok melekat di tubuhku. Kulitku yang berwarna kuning langsat, semakin cerah saat memakainya.

Wajahku telah dirias oleh makcik Nur sejak habis subuh tadi. Berbeda dengan riasan saat pinangan pekan lalu, kali ini, makcik Nur menunjukkan kualitasnya sebagai bidan pengantin handal. Aku tidak mengenali wajah sendiri yang terpantul di cermin. Wajahku yang biasa polos tanpa make up, tampak berbeda kali ini, berkilauan seperti ada permata yang ditanam di dalamnya.

Hanya saja kepalaku agak pusing dengan banyaknya perhiasan yang aku gunakan di kepala, pun Kebaya Laboh ini sangat tebal, seperti tak memberi ruang tubuhku untuk bernapas. Makcik Nur menguatkanku, dia bilang, momen ini adalah momen sekali seumur hidup, jadi aku harus tahan menggunakan pakaian adat yang panas.

Dari kamar, aku menyimak prosesi akad nikah. Pengantin Melayu tidak diperkenankan keluar sebelum ijab kabul berlangsung dan dianggap syah oleh para saksi.

Bang Harun yang menikahkanku. Aku yakin, Emaklah yang memintanya. Tak sanggup aku membayangkan wajah Bah yang bersedih. Kasihan Bah, karena satu kesalahan saja, ia dipojokkan oleh semua orang.

Bang Asman mengulangi ijab kabul hingga tiga kali. Terdengar sangat jelas hingga kamarku suaranya yang gugup saat mengatakan ijab kabul.

“Aimak, pertando tak elok,” bisik makcik Nur padaku.

Aku diam saja. Baik atau tidak baik pernikahanku kelak, aku yakin aku tetap tidak bahagia.

Setelah syah, makcik Nur membimbingku keluar. Aku berjalan pelan, melewati saudara dan tetangga yang ingin melihat bagaimana wajah sang pengantin.

Masyarakat daerah sini, masih mempercayai mitos wajah pengantin yang tidak cantik saat akad nikah, berarti si pengantin telah berbuat macam-macam sebelum hari H. Pun jika inai yang dipakai di kuku tidak berwarna merah menyala, maka para orang tua sibuk menyimpulkan bahwa sang gadis sudah tidak suci lagi.

“Lawo betul, Dinda.” Pembawa acara memuji penampilanku. Tentu saja tujuannya untuk menghidupkan suasana.

“Nah, Tuan Asman, pasangkanlah cincin emas tu ke tangan Puan Hera, dah tak sabo agaknyo Puan Hera memakai cincin emas tu.”

Bang Asman memasangkan cincin emas ke jari manisku. Dia tersenyum menatap wajahku yang senantiasa aku tundukkan. Aku tak ingin, ia membaca sedih di mataku.

“Nah, Puan Hera, ciumlah tangan suami tu. Besok-besok, tak payah disuruh lagi, langsung ajo salam, cium, mesralah siket dengan suami tu. Banyak pahala.”

Undangan yang ada di dalam ruangan tertawa, termasuk Bang Asman. Senyum lebar terukir di wajahnya.

Cincin telah tersemat di jariku, kemudian aku diminta untuk menyalami kedua orang tuaku. Bah dan Emak, duduk berdampingan dengan Ayah dan Ibu Bang Asman.

Aku berlutut di hadapan Emak, wanita berkerudung putih itu berurai air mata. Dia memelukku lama, mengucapkan nasihat-nasihat yang bahkan tak dapat kutangkap dengan baik, sakingkan riuhnya suasana.

Setelah Emak, aku berlutut di lutut Bah. Tangis lelaki itu pecah. Dia mencium pucuk kepalaku lama. Tak ada kata yang keluar dari bibirnya. Hanya pelukan lama dan ciuman berkali-kali di wajahku saja.

Selesai bersalaman dengan seluruh  orang tua, makcik Nur membimbing kami untuk duduk di pelaminan. Aku dan Bang Asman duduk bersanding untuk melaksanakan tepuk tepung tawar.

Tepuk tepung tawar adalah prosesi adat Melayu sebagai wujud syukur kepada Allah Sub'hanahu wa ta'ala. Juga sebagai bentuk kegembiraan dan diharapkan dapat menolak bala.

Aku dan Bang Asman duduk dalam diam. Para tetua adat, bergantian menepuk pundak kami dengan tepung beras dan memercikkan tubuh kami dengan air mawar.

Setelah acara tepuk tepung tawar selesai, makcik Nur membawaku dan Bang Asman kembali ke kamar untuk berganti pakaian. Tanpa jeda, setelah akad lanjut acara resepsi.

Dengan sigap, makcik Nur yang kali ini dibantu asistennya, memperbaiki riasan wajahku, juga menukar pakaianku dan Bang Asman dengan pakaian adat Melayu berwarna jingga.

Makcik Nur meriasku lebih lama dan detail. Wajahku tampak semakin bercahaya. Lipstik merah ia pulaskan ke bibirku. Sempurna sudah. Aku akan menjadi pajangan hari ini, dilihat tamu undangan dan orang-orang yang penasaran bagaimana rupa pengantin.

“Cantik betul kau, Ra.” Bang Asman tampak mengagumi wajahku.

“Biaso ajolah, Bang,” jawabku ketus.

“Garangnya.” Senyum Bang Asman memudar melihat sikap ketusku.

“Hai, Ngapo pengantin masam muko  ni? Tak elok duduk besanding nanti.” Makcik Nur menggoda kami.

Aku dan Bang Asman diam saja. Pria itu tampak menahan amarah. Mungkin dia menyesal menikahiku, atau mungkin juga dia benci padaku. Entahlah, apa pun perasaannya padaku, aku tak peduli.

Lelah duduk bersanding seharian, bersalaman dengan ratusan tamu yang datang, memasang senyum palsu saat  berfoto, akhirnya setalah Asar, acara makan beradap pun dilakukan. Kebetulan aku sangat lapar. Aku dan Bang Asman dibawa ke   tempat hidangan disediakan.

Makan beradap adalah salah satu tradisi Melayu, dimana pengantin dan keluarga makan berhadapan, dengan tujuan agar pengantin dan keluarga cepat akrab.

Wajah-wajah bahagia bertebaran di mana-mana. Tamu undangan makan sambil tertawa. Emak tersenyum saat mengobrol dengan ibu Bang Asman. Abang-abangku sibuk ke sana ke mari, berbincang dengan sepupu yang sudah lama tak bersua. Semua bahagia, kecuali aku dan mungkin Bah juga.

Lelaki tua itu duduk di sudut ruangan. Tak ada yang menyapa atau mengajaknya bicara. Bah seperti tidak ada. Beliau termenung sendiri, menatapku yang sedang menjadi ratu hari ini.

Saat kami makan, suara musik yang berasal dari orgen tunggal berbunyi. Aku mendengarkan musik yang dimainkan dengan saksama. Ah, kenapa harus menyanyikan lagu sedih, saat hari bahagia ini?

“Kemana perginya hati.

Kemana hilangnya rasa.

Engkau kan menghilang diri, Sayang, untuk insan yang kau puja.

Kutakkan berkecil hati.

Kutakkan rasa kecewa.

Walaupun perih pilu di hati.

Kau kuiring senyum mesra.

Ingatlah, kau, duhai Jelita, hati ini untukmu saja.

Dhai kasih, sanjungan kalbu, engkau pergi tanpa relaku.

Hatiku kau curi kini, kau bawa pergi bersama.

Kering kini taman sanubari, tiada lagi senyum indah.”

Lagu lawas milik Ahmad Jaiz, dinyanyikan oleh Fahmi di atas panggung. Tanpa melihat pun, aku tahu suara lelaki itu.

Air mataku jatuh tak tertahan. Bagaimana aku tak sedih, Fahmi bernyanyi dengan suara penuh getaran, sesekali isaknya terlepas.

Aku telah melukainya begitu dalam. Bukan hanya dia, aku juga melukai hatiku sendiri. Menusuknya dengan sembilu, dan membiarkan dia membusuk bersama sembilu itu di dalam sana.

Setelah makan beradap selesai, pembawa acara memanggil pengantin ke atas panggung. Ini lazim dilakukan, biasanya sebelum acara usai, pengantin akan mempersembahkan sebuah lagu untuk tamu undnagan.

Aku kesulitan berdiri dengan pakaian adat ini, tetapi, Bang Asman sudah duluan jalan meninggalkanku. Bah datang, beliau membantuku berdiri. Aku memegang tangan Bah erat, dan berdiri perlahan.

Serelah berhasil berdiri, Bah memelukku erat. Sangat erat. Hingga Bah, jatuh lunglai dalam pelukanku.

Bah pingsan saat aku memeluknya. Semua tamu undangan berteriak melihat  Bah pingsan. Lelaki itu tak bergerak, tetapi tubuhnya masih melekat di tubuhku.

“Panggil bidan! Cepat panggil!” pekikku histeris.

Aku meletakkan tubuh Bah pelan di atas lantai, kemudian aku longgarkan celana dan jasnya. Wajah Bah pucat, setitik air menetes dari sudut matanya.

Terasa sangat lama, hingga Bidan Endang datang. Perempuan cantik itu memeriksa Bah.

Aku menunggu dengan gelisah, tak sabar ingin tahu, ada apa dengan Bah.

“Maaf, Bu, pak Rahmat sudah tiada,” ujar perempuan itu dengan suara penuh sesal.

Lengkingan suaraku mungkin tak terdengar sebab suara orgen tunggal masih mengalunkan musik Melayu. Aku menangis histeris melihat tubuh Bah kaku tak bergerak

Setelah itu, semua gelap.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status