Главная / Romansa / Ujung Senja / Suka Berujung Duka

Share

Suka Berujung Duka

Aвтор: Rinanda Tesniana
last update Последнее обновление: 2021-05-27 11:27:17

Aku memakai pakaian adat khas Melayu, Kebaya Laboh berwarna kuning dengan hiasan kepala bernuansa emas. Pakaian ini umum digunakan oleh seluruh pengantin Melayu. Pakaian ini juga sangat cocok melekat di tubuhku. Kulitku yang berwarna kuning langsat, semakin cerah saat memakainya.

Wajahku telah dirias oleh makcik Nur sejak habis subuh tadi. Berbeda dengan riasan saat pinangan pekan lalu, kali ini, makcik Nur menunjukkan kualitasnya sebagai bidan pengantin handal. Aku tidak mengenali wajah sendiri yang terpantul di cermin. Wajahku yang biasa polos tanpa make up, tampak berbeda kali ini, berkilauan seperti ada permata yang ditanam di dalamnya.

Hanya saja kepalaku agak pusing dengan banyaknya perhiasan yang aku gunakan di kepala, pun Kebaya Laboh ini sangat tebal, seperti tak memberi ruang tubuhku untuk bernapas. Makcik Nur menguatkanku, dia bilang, momen ini adalah momen sekali seumur hidup, jadi aku harus tahan menggunakan pakaian adat yang panas.

Dari kamar, aku menyimak prosesi akad nikah. Pengantin Melayu tidak diperkenankan keluar sebelum ijab kabul berlangsung dan dianggap syah oleh para saksi.

Bang Harun yang menikahkanku. Aku yakin, Emaklah yang memintanya. Tak sanggup aku membayangkan wajah Bah yang bersedih. Kasihan Bah, karena satu kesalahan saja, ia dipojokkan oleh semua orang.

Bang Asman mengulangi ijab kabul hingga tiga kali. Terdengar sangat jelas hingga kamarku suaranya yang gugup saat mengatakan ijab kabul.

“Aimak, pertando tak elok,” bisik makcik Nur padaku.

Aku diam saja. Baik atau tidak baik pernikahanku kelak, aku yakin aku tetap tidak bahagia.

Setelah syah, makcik Nur membimbingku keluar. Aku berjalan pelan, melewati saudara dan tetangga yang ingin melihat bagaimana wajah sang pengantin.

Masyarakat daerah sini, masih mempercayai mitos wajah pengantin yang tidak cantik saat akad nikah, berarti si pengantin telah berbuat macam-macam sebelum hari H. Pun jika inai yang dipakai di kuku tidak berwarna merah menyala, maka para orang tua sibuk menyimpulkan bahwa sang gadis sudah tidak suci lagi.

“Lawo betul, Dinda.” Pembawa acara memuji penampilanku. Tentu saja tujuannya untuk menghidupkan suasana.

“Nah, Tuan Asman, pasangkanlah cincin emas tu ke tangan Puan Hera, dah tak sabo agaknyo Puan Hera memakai cincin emas tu.”

Bang Asman memasangkan cincin emas ke jari manisku. Dia tersenyum menatap wajahku yang senantiasa aku tundukkan. Aku tak ingin, ia membaca sedih di mataku.

“Nah, Puan Hera, ciumlah tangan suami tu. Besok-besok, tak payah disuruh lagi, langsung ajo salam, cium, mesralah siket dengan suami tu. Banyak pahala.”

Undangan yang ada di dalam ruangan tertawa, termasuk Bang Asman. Senyum lebar terukir di wajahnya.

Cincin telah tersemat di jariku, kemudian aku diminta untuk menyalami kedua orang tuaku. Bah dan Emak, duduk berdampingan dengan Ayah dan Ibu Bang Asman.

Aku berlutut di hadapan Emak, wanita berkerudung putih itu berurai air mata. Dia memelukku lama, mengucapkan nasihat-nasihat yang bahkan tak dapat kutangkap dengan baik, sakingkan riuhnya suasana.

Setelah Emak, aku berlutut di lutut Bah. Tangis lelaki itu pecah. Dia mencium pucuk kepalaku lama. Tak ada kata yang keluar dari bibirnya. Hanya pelukan lama dan ciuman berkali-kali di wajahku saja.

Selesai bersalaman dengan seluruh  orang tua, makcik Nur membimbing kami untuk duduk di pelaminan. Aku dan Bang Asman duduk bersanding untuk melaksanakan tepuk tepung tawar.

Tepuk tepung tawar adalah prosesi adat Melayu sebagai wujud syukur kepada Allah Sub'hanahu wa ta'ala. Juga sebagai bentuk kegembiraan dan diharapkan dapat menolak bala.

Aku dan Bang Asman duduk dalam diam. Para tetua adat, bergantian menepuk pundak kami dengan tepung beras dan memercikkan tubuh kami dengan air mawar.

Setelah acara tepuk tepung tawar selesai, makcik Nur membawaku dan Bang Asman kembali ke kamar untuk berganti pakaian. Tanpa jeda, setelah akad lanjut acara resepsi.

Dengan sigap, makcik Nur yang kali ini dibantu asistennya, memperbaiki riasan wajahku, juga menukar pakaianku dan Bang Asman dengan pakaian adat Melayu berwarna jingga.

Makcik Nur meriasku lebih lama dan detail. Wajahku tampak semakin bercahaya. Lipstik merah ia pulaskan ke bibirku. Sempurna sudah. Aku akan menjadi pajangan hari ini, dilihat tamu undangan dan orang-orang yang penasaran bagaimana rupa pengantin.

“Cantik betul kau, Ra.” Bang Asman tampak mengagumi wajahku.

“Biaso ajolah, Bang,” jawabku ketus.

“Garangnya.” Senyum Bang Asman memudar melihat sikap ketusku.

“Hai, Ngapo pengantin masam muko  ni? Tak elok duduk besanding nanti.” Makcik Nur menggoda kami.

Aku dan Bang Asman diam saja. Pria itu tampak menahan amarah. Mungkin dia menyesal menikahiku, atau mungkin juga dia benci padaku. Entahlah, apa pun perasaannya padaku, aku tak peduli.

Lelah duduk bersanding seharian, bersalaman dengan ratusan tamu yang datang, memasang senyum palsu saat  berfoto, akhirnya setalah Asar, acara makan beradap pun dilakukan. Kebetulan aku sangat lapar. Aku dan Bang Asman dibawa ke   tempat hidangan disediakan.

Makan beradap adalah salah satu tradisi Melayu, dimana pengantin dan keluarga makan berhadapan, dengan tujuan agar pengantin dan keluarga cepat akrab.

Wajah-wajah bahagia bertebaran di mana-mana. Tamu undangan makan sambil tertawa. Emak tersenyum saat mengobrol dengan ibu Bang Asman. Abang-abangku sibuk ke sana ke mari, berbincang dengan sepupu yang sudah lama tak bersua. Semua bahagia, kecuali aku dan mungkin Bah juga.

Lelaki tua itu duduk di sudut ruangan. Tak ada yang menyapa atau mengajaknya bicara. Bah seperti tidak ada. Beliau termenung sendiri, menatapku yang sedang menjadi ratu hari ini.

Saat kami makan, suara musik yang berasal dari orgen tunggal berbunyi. Aku mendengarkan musik yang dimainkan dengan saksama. Ah, kenapa harus menyanyikan lagu sedih, saat hari bahagia ini?

“Kemana perginya hati.

Kemana hilangnya rasa.

Engkau kan menghilang diri, Sayang, untuk insan yang kau puja.

Kutakkan berkecil hati.

Kutakkan rasa kecewa.

Walaupun perih pilu di hati.

Kau kuiring senyum mesra.

Ingatlah, kau, duhai Jelita, hati ini untukmu saja.

Dhai kasih, sanjungan kalbu, engkau pergi tanpa relaku.

Hatiku kau curi kini, kau bawa pergi bersama.

Kering kini taman sanubari, tiada lagi senyum indah.”

Lagu lawas milik Ahmad Jaiz, dinyanyikan oleh Fahmi di atas panggung. Tanpa melihat pun, aku tahu suara lelaki itu.

Air mataku jatuh tak tertahan. Bagaimana aku tak sedih, Fahmi bernyanyi dengan suara penuh getaran, sesekali isaknya terlepas.

Aku telah melukainya begitu dalam. Bukan hanya dia, aku juga melukai hatiku sendiri. Menusuknya dengan sembilu, dan membiarkan dia membusuk bersama sembilu itu di dalam sana.

Setelah makan beradap selesai, pembawa acara memanggil pengantin ke atas panggung. Ini lazim dilakukan, biasanya sebelum acara usai, pengantin akan mempersembahkan sebuah lagu untuk tamu undnagan.

Aku kesulitan berdiri dengan pakaian adat ini, tetapi, Bang Asman sudah duluan jalan meninggalkanku. Bah datang, beliau membantuku berdiri. Aku memegang tangan Bah erat, dan berdiri perlahan.

Serelah berhasil berdiri, Bah memelukku erat. Sangat erat. Hingga Bah, jatuh lunglai dalam pelukanku.

Bah pingsan saat aku memeluknya. Semua tamu undangan berteriak melihat  Bah pingsan. Lelaki itu tak bergerak, tetapi tubuhnya masih melekat di tubuhku.

“Panggil bidan! Cepat panggil!” pekikku histeris.

Aku meletakkan tubuh Bah pelan di atas lantai, kemudian aku longgarkan celana dan jasnya. Wajah Bah pucat, setitik air menetes dari sudut matanya.

Terasa sangat lama, hingga Bidan Endang datang. Perempuan cantik itu memeriksa Bah.

Aku menunggu dengan gelisah, tak sabar ingin tahu, ada apa dengan Bah.

“Maaf, Bu, pak Rahmat sudah tiada,” ujar perempuan itu dengan suara penuh sesal.

Lengkingan suaraku mungkin tak terdengar sebab suara orgen tunggal masih mengalunkan musik Melayu. Aku menangis histeris melihat tubuh Bah kaku tak bergerak

Setelah itu, semua gelap.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ujung Senja   Pada Akhirnya

    Aku tak bisa tidur semalaman. Ah, bukan, aku tidur sejak pukul dua belas hingga pukul dua malam. Setelah itu, aku tidak dapat memejamkan mata. Usai Salat Tahajud, aku duduk di depan meja rias, memandang pantulan wajahku di cermin. Aku terkejut saat pintu kamar terbuka. Kak Ainun masuk sambil tersenyum. “Tadi Akak dengo suara keran hidup di kamar mandi engkau, makonyo Akak berani masuk.” “Kakak tak dapat tidur ke? Pasti tak nyaman tidur di lantai,” ujarku dengan rasa tak enak. Para tamu yang harusnya dilayani dengan baik itu malah tidur berimpitan di ruang tengah. Termasuk Mega dan Latifah. “Bukanlah. Kakak senang sangat Fahmi akhirnya menikah dengan engkau.” Kak Ainun duduk di tempat tidurku. Aku menyusul sebab tak enak rasanya duduk berjauhan dari Kak Ainun. “Engkau tahu tak.” Dia memegang tanganku. “Malam itu, di malam pernikahan engkau dan Asman, Fahmi bersujud di k

  • Ujung Senja   Bahagia

    Menjelang hari H, aku memilih tetap bekerja. Tentu saja ke Lolita. Bagiku Lolita adalah tempat kerja sekaligus rumah kedua. Aku sudah terbiasa dengan suasana dan orang-orang yang ada di dalamnya. Malah kadang aku lebih betah di salon daripada di rumah.“Lu kapan mulai perawatan?” Meri mulai bertingkah seperti ibu-ibu yang akan melepas anak gadisnya menikah. Dia sangat nyinyir mengomentari wajahku, kulitku, bahkan area V-ku pun dikomentarinya. Aku jadi ingat saat akan menikah dulu, Emak sampai memanggil bidan pengantin paling hits di kampung agar aku manglingi saat pernikahan. Ah, cepat aku tepis bayangan kelam itu. Hari pernikahanku identik dengan hari terakhir Bah ada di dunia, dan aku benci mengingat itu.“Mulai hari ini, ya? Fahmi tiga hari lagi udah datang, kan? Lu enggak bakal sempat gue apa-apain lagi, Ra.” Nada suara Meri terdengar gemas.“Males, ah. Mahal.” Ak

  • Ujung Senja   Tuduhan-Tuduhan

    Hari-hari berlalu seperti peluru. Siang malam berganti layaknya seorang pelari. Hidupku tergerus oleh kesibukan di rumah dan Lolita. Ah, tepatnya aku yang sangat-sangat menyibukkan diri demi melupakan keraguan yang bermegah-megah dalam hati. Waktu tak memberiku jeda, ia melaju, meninggalkanku dan segala keraguan dalam dada. Aku tahu, aku tak boleh bersikap mencla-mencle begini. Namun, ketiadaan Fahmi di sisi membuatku semakin merasa tak pasti. Aku ingin mundur dari pernikahan yang rasanya semakin tak mampu aku jalani. Aku takut dengan banyak kemungkinan yang bercokol dalam otakku. Hatiku penuh tanya, bisakah aku bahagia? Atau pernikahan kedua ini malah mengikat kakiku lebih rapat? Membuat luka dalam hati semakin berkarat? Entahlah, semua terasa tak pasti. Aku menghabiskan waktu dengan membereskan pekerjaan rumah di lagi hari, saat matahari beranjak naik, aku berangkat ke Lolita. Menyibukkan diri demi mengusir gundah gulana. Seperti saat

  • Ujung Senja   Lelaki Patah Hati

    Semakin dekat hari H pernikahan bukannya semakin tenang, aku malah semakin gelisah. Rasanya aku tak siap harus mengikat diri lagi dalam sebuah kehidupan rumah tangga. Terlebih Bang Asman baru setahun pergi. Apa kata orang kalau mereka tahu bulan depan aku akan menikah untuk kedua kalinya? Perempuan berumur 47 tahun yang baru setahun menjanda, menikah lagi. Pasti semua orang menyangka aku yang kegenitan. Aku ingin berkeluh kesah dengan Meri, tetapi sahabatku itu pun tengah sibuk menyiapkan pesta pernikahan putri pertamanya yang akan dilangsungkan Minggu depan. Kata Meri, Lingga berpacu denganku. Aku hanya tertawa mendengar kelakar itu. Mana bisa anak gadis seperti Lingga dibandingkan denganku. Aku ingin bercerita kepada Fahmi, tetapi lelaki itu tampaknya sangat sibuk mempersiapkan kepindahan ke sini. Beberapa barangnya sudah dipaketkan terlebih dahulu. Bah Arham? Sama saja. Dia terlalu bahagia karena tahu aku akan menikah lagi

  • Ujung Senja   Ingin Bahagia

    Kesibukan pagi ini luar biasa di rumahku. Tuhan sangat baik hati. Aku pikir proses pindahanku memerlukan waktu lama, sebab aku hanya mengandalkan Mbak Mur untuk menolong. Namun, Meri datang bersama Andi, Fahmi membawa dua orang temannya, Mbak Mur pun datang membawa anak dan suaminya. Yang mengejutkan, Arif datang beserta Handoko. Semua menolong kami. Aku ingin menangis rasanya karena terharu. Mereka orang baik yang tulus membantu.Setelah semua barang masuk ke dalam pikap, aku memeluk Mbak Mur. Air mata tak dapat aku tahan. Aku sangat sedih berpisah dengan perempuan itu.“Semoga jualannya lancar ya, Mbak.”“Ibu juga ya. Semoga dapat pembantu yang lebih rajin dari saya.” Kami bertangis-tangisan.Seorang petugas bank, yang entah bagaimana ceritanya, mengambil kunci rumah yang aku sodorkan. Aku memandang rumah Bang Asman untuk terakhir kalinya. Tak ada sed

  • Ujung Senja   Menuju Hidup Baru

    Kami tiba di rumah pukul empat sore. Di saat seperti ini, aku baru mengerti mengapa seorang perempuan terkadang sangat rapuh tanpa seorang lelaki. Fahmi menyempatkan diri mencari mobil pikap yang bisa disewa, mencari bok besar agar barang bawaanku bisa disimpan rapi. Banyak hal yang dia lakukan untuk membuat nyaman kepindahanku nanti.Sebelum pulang, aku menyempatkan diri membeli beberapa jenis makanan. Rencana kami untuk pindah besok sepertinya akan direalisasikan. Fahmi bilang, pagi-pagi dia akan ke bank untuk membayar kekurangan uang rumahku. Sementara, aku di rumah membereskan barang-barang yang akan dibawa. Fahmi juga menghubungi beberapa temannya untuk mengirim orang ke rumahku guna membantu pindahan. Aku merasa, Tuhan mengirim dia untuk kemudahan urusanku. Aku sangat berterima kasih dengan Fahmi.“Sekali lagi engkau mengucapkan terima kasih, aku kasih piring cantik.” Dia menggodaku.“Se

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status