Home / Romansa / Ujung Senja / Perasaan Asman

Share

Perasaan Asman

last update Last Updated: 2021-05-26 22:26:28

Siak Sri Indrapura, 1990

Aku berjalan cepat, melewati sekelompok pemuda yang sedang nongkrong di halaman rumah Emak. Mereka yang sebagian besar adalah kawan abang-abangku, suka sekali menghabiskan waktu sambil bermain gitar di bawah pohon rambutan, yang tumbuh subur di halaman rumah Emak.

Aku baru saja pulang dari rumah Amoy, sahabatku. Biasanya, aku bertandang ke rumah Amoy bersama Iin, tetanggaku, tapi Iin yang akan menikah hari minggu ini, sudah tidak diizinkan kedua orang tuanya keluar dari rumah.

Jadinya, aku sendirian melewati kerumunan lelaki berusia dua puluhan itu. Sedikit gugup tapi aku memberanikan diri. Kehadiran abang-abangku di sana, tidak menghilangkan rasa gugupku.

“Suit, suit.” Entah siapa di antara belasan pemuda itu yang menyuitiku.

“Heh, ngapo ni, miang (genit) betul. Usah engkau ganggu Era. Dio adik perempuan aku satu-satunyo, tu.”

L

Aku dengar suara Bang Arham memarahi seorang temannya.

“Lawo (cantik) betul dio lepas sekolah ni. Nak aku lamar, boleh tak,“ kelakar seorang pemuda yang suaranya cukup keras, sehingga masih bisa aku dengar.

Wajahku pasti sudah memerah, seperti kepiting rebus. Saking gugupnya, aku terjatuh saat akan masuk ke teras rumah.

“Aw,” pekikku. Menahan sakit sekaligus malu. Bisa-bisanya aku terjatuh di hadapan pemuda-pemuda itu.

“Kau tak apo?“ Bang Asman berlari ke arahku. Salah satu sahabat Bang Arham itu mengulurkan tangannya.

Aku menyambut uluran tangan lelaki bertubuh kurus itu. Sontak seluruh anak muda tanggung yang sedang berkumpul, menyoraki kami berdua. Termasuk Bang Arham.

“Time kasih (terima kasih), Bang,” ujarku malu-malu.

“Samo. Kau nak kemano? Buru-buru betul. Pelan sikit jalan tu, jatuh kang, malu.”

“Era nak masuk rumah, Bang. Nak tolong Emak masak. Dah petang hari,” jelasku.

“Aduhai, elok betul kelaku anak gadis satu ni. Bolehlah dipinang lagi ni. Dah bisa ngurus laki.”

“Apolah Abang ni. Dahlah, Era masuk.” Aku berlalu masuk ke rumah, menutupi pipi bulatku yang pasti sudah berubah warna.

Bukan sekali ini saja bang Asman menunjukkan keinginannya untuk menjadi kekasihku. Sering ia mengajak makan bakso, atau sekadar jalan-jalan di tepi Sungai Siak, melihat kapal tangker berlalu lalang.

Aku lebih sering menolak daripada menuruti keinginannya. Selain memang tak memiliki perasaan istimewa dengan sahabat Bang Arham itu, aku juga sudah memiliki kekasih hati. Fahmi namanya. Lelaki berkulit hitam manis itu sudah lama mengikat hatinya dengan hatiku.

Sayangnya, Emak seolah tak memberi restu akan hubunganku dengan Fahmi. Setiap kali lelaki itu datang ke rumah, Emak langsung masuk kamar dan membanting pintu sekeras-kerasnya. Sekali dua kali, Fahmi masih bisa sabar, setelah itu, ia memutuskan untuk tak pernah lagi datang ke rumah.

Saat terakhir mengirimkan surat, Fahmi memberi kabar, bahwa ia telah lulus seleksi calon polisi. Ia memintaku untuk menunggunya lulus. Kelak, ketika ia sudah lulus dari sekolah kepolisian, ia akan melamarku.

Aku menyimpan surat dari Fahmi itu di dalam lemari pakaian. Aku letakkan di tumpukan terbawah, di antara baju-baju yang jarang aku gunakan, karena Emak suka memeriksa lemariku. Sesekali aku kembali membacanya, untuk mengurai rindu yang sudah menenggelamkan separuh hatiku.

“Ngapo macam orang tak sado (sadar) kau ni, Ra. Jangan pulak sampai hangus ikan Mak tu kau buat,” ketus Emak saat melihatku duduk termenung di depan kuali panas.

"Astagfirullah.” Aku kaget mendengar pekikan Emak.

“Cepat sikit kejo (kerja) tu, Ra. Kejab (sebentar) lagi Bah (Ayah) engkau balek. Memayang (marah) orang tuo tu tengok nasi tak ado temannyo. Kau tau Bah kan, dio garang kalau tak sedap ikan yang nak dio makan.”

Iyo, Mak,” ujarku pelan.

Aku membentangkan tikar pandan di lantai ruang tengah. Setelah salat maghrib, keluarga kami biasanya langsung makan malam.

Emak, Bah, dan lima orang abangku sudah duduk menunggu makanan terhidang. Aku sedikit heran, saat melihat Bang Asman duduk di antara Emak dan bang Arham.

“Kau tengoklah, Man, anak gadis aku semata wayang ni, dio rajin betul. Semuo ni dio yang masak.” Emak memberi tahu Bang Asman, seolah sedang mempromosikan barang dagangannya.

“Iyo, Mak,” jawab bang Asman sopan.

“Sulit cari gadis macam ni zaman sekarang. Muko lawo, masak pandai, mengurus rumah pandai, mengaji pandai. Apo lagi nak dicari,” ujar Emak dengan bangga. Aku yang sedang mondar-mandir menghidangkan lauk tertunduk malu.

Bah tampak tidak senang dengan kata-kata Emak. “Mengapo kau ni, Mah? Macam nak kau jual anak aku kepada Asman.”

Tak ada yang tertawa mendengar perkataan Bah, kecuali Bah sendiri. Mungkin semua tahu, Bah tidak sedang bercanda.

“Apolah Abang ni,” sungut Mak. “Aku cakap kosong ajo samo Asman. Tak ado maksud lain.”

“Hmm, yalah.”

Suasana makan malam kali ini berbeda dari biasanya. Bah lebih banyak diam. Sementara Emak, sibuk menanyakan masalah pekerjaan Bang Asman. Perempuan yang melahirkanku itu tampak semangat menceritakan segala kelebihanku kepada Bang Asman. Entah apa maksud Emak. Aku diam saja. Tak mungkin aku membantah Emak di hadapan semua orang.

“Jadi, Man, Tengku Asnawi itu paman engkau?” tanya Emak pada Bang Asman.

Tengku Asnawi adalah seorang kepala syah bandar yang sangat tenar di kabupaten ini. Kekayaannya melimpah ruah, bahkan sejak dalam kandungan, takdirnya menjadi orang kaya seolah sudah bisa dipastikan.

“Iyo, Mak. Tengku Asnawi tu adik mak Asman.”

“Wow, tentulah emak engkau kayo jugo, ye,” timpal Emak.

“Biaso ajo, Mak. Taklah kayo betul.”

“Ah, suko betul merendah.” Emak menepuk pundak lelaki itu.

“Cakap apolah kau ni, Mah. Tak patutlah betanyo masalah itu depan orang ramai ni.” Bah berkata ketus.

“Ish, apalah Abang ni. Asman ni ado hati dengan Era. Makonyo, nak aku tanyo silsilah keluarga dio. Jangan sampai kito salah pilih jodoh untuk anak gadis satu-satunyo ni.” Emak tersenyum menatapku.

“Apolah kau ni. Macam budak-budak,” bentak Bah pada Emak. Lelaki berkain sarung itu meninggalkan makanannya yang bahkan belum habis separuh.

“Ng alah, dah merajuk pulo orang tuo ni. Ra, kau kawankan dulu Asman makan, aku nak nengok Bah kau sekejab.” Emak meninggalkan kami semua.

“Kau pun yang tidak-tidak, Man,” gerutu bang Arham. “Apolah kau cakap sama Emak aku? Bah tak suko, anak gadis dio ni diganggu orang lain. Kau elok pulak teduduk makan di sini. Apo tak marah Bah aku.”

Aku menunduk. Sebenarnya, aku sangat risih dengan sikap bang Asman. Bukan sekali dua kali aku menolak kehadirannya secara halus, tapi lelaki itu pantang mundur. Kali ini, dia mendekati Emak agar bisa mengambil hatiku.

Bah memang tak suka ada pemuda yang mendekatiku. Beliau over protective memang terhadapku. Dia tak ingin, aku cepat-cepat menikah seperti kebanyakan anak gadis sebayaku kampung ini.

Bah ingin aku sekolah tinggi. Namun, selepas sekolah menengah atas, Bah belum ada kesempatan untuk mengantarkanku ke kota. Padahal dia sudah berjanji, jika sudah ada penerimaan mahasiswa baru, ia akan mendaftarkanku di sekolah keguruan.

“Dahlah, aku balek dulu ya, Ham. Aku kejo (kerja) malam hari ni.” Bang Asman mencuci tangan.

Abang-abangku mengangguk saat Bang Asman mengucapkan salam. Aku menghela napas lega. Kehadiran lelaki itu merusak suasana makan malam yang biasanya harmonis ini.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ujung Senja   Pada Akhirnya

    Aku tak bisa tidur semalaman. Ah, bukan, aku tidur sejak pukul dua belas hingga pukul dua malam. Setelah itu, aku tidak dapat memejamkan mata. Usai Salat Tahajud, aku duduk di depan meja rias, memandang pantulan wajahku di cermin. Aku terkejut saat pintu kamar terbuka. Kak Ainun masuk sambil tersenyum. “Tadi Akak dengo suara keran hidup di kamar mandi engkau, makonyo Akak berani masuk.” “Kakak tak dapat tidur ke? Pasti tak nyaman tidur di lantai,” ujarku dengan rasa tak enak. Para tamu yang harusnya dilayani dengan baik itu malah tidur berimpitan di ruang tengah. Termasuk Mega dan Latifah. “Bukanlah. Kakak senang sangat Fahmi akhirnya menikah dengan engkau.” Kak Ainun duduk di tempat tidurku. Aku menyusul sebab tak enak rasanya duduk berjauhan dari Kak Ainun. “Engkau tahu tak.” Dia memegang tanganku. “Malam itu, di malam pernikahan engkau dan Asman, Fahmi bersujud di k

  • Ujung Senja   Bahagia

    Menjelang hari H, aku memilih tetap bekerja. Tentu saja ke Lolita. Bagiku Lolita adalah tempat kerja sekaligus rumah kedua. Aku sudah terbiasa dengan suasana dan orang-orang yang ada di dalamnya. Malah kadang aku lebih betah di salon daripada di rumah.“Lu kapan mulai perawatan?” Meri mulai bertingkah seperti ibu-ibu yang akan melepas anak gadisnya menikah. Dia sangat nyinyir mengomentari wajahku, kulitku, bahkan area V-ku pun dikomentarinya. Aku jadi ingat saat akan menikah dulu, Emak sampai memanggil bidan pengantin paling hits di kampung agar aku manglingi saat pernikahan. Ah, cepat aku tepis bayangan kelam itu. Hari pernikahanku identik dengan hari terakhir Bah ada di dunia, dan aku benci mengingat itu.“Mulai hari ini, ya? Fahmi tiga hari lagi udah datang, kan? Lu enggak bakal sempat gue apa-apain lagi, Ra.” Nada suara Meri terdengar gemas.“Males, ah. Mahal.” Ak

  • Ujung Senja   Tuduhan-Tuduhan

    Hari-hari berlalu seperti peluru. Siang malam berganti layaknya seorang pelari. Hidupku tergerus oleh kesibukan di rumah dan Lolita. Ah, tepatnya aku yang sangat-sangat menyibukkan diri demi melupakan keraguan yang bermegah-megah dalam hati. Waktu tak memberiku jeda, ia melaju, meninggalkanku dan segala keraguan dalam dada. Aku tahu, aku tak boleh bersikap mencla-mencle begini. Namun, ketiadaan Fahmi di sisi membuatku semakin merasa tak pasti. Aku ingin mundur dari pernikahan yang rasanya semakin tak mampu aku jalani. Aku takut dengan banyak kemungkinan yang bercokol dalam otakku. Hatiku penuh tanya, bisakah aku bahagia? Atau pernikahan kedua ini malah mengikat kakiku lebih rapat? Membuat luka dalam hati semakin berkarat? Entahlah, semua terasa tak pasti. Aku menghabiskan waktu dengan membereskan pekerjaan rumah di lagi hari, saat matahari beranjak naik, aku berangkat ke Lolita. Menyibukkan diri demi mengusir gundah gulana. Seperti saat

  • Ujung Senja   Lelaki Patah Hati

    Semakin dekat hari H pernikahan bukannya semakin tenang, aku malah semakin gelisah. Rasanya aku tak siap harus mengikat diri lagi dalam sebuah kehidupan rumah tangga. Terlebih Bang Asman baru setahun pergi. Apa kata orang kalau mereka tahu bulan depan aku akan menikah untuk kedua kalinya? Perempuan berumur 47 tahun yang baru setahun menjanda, menikah lagi. Pasti semua orang menyangka aku yang kegenitan. Aku ingin berkeluh kesah dengan Meri, tetapi sahabatku itu pun tengah sibuk menyiapkan pesta pernikahan putri pertamanya yang akan dilangsungkan Minggu depan. Kata Meri, Lingga berpacu denganku. Aku hanya tertawa mendengar kelakar itu. Mana bisa anak gadis seperti Lingga dibandingkan denganku. Aku ingin bercerita kepada Fahmi, tetapi lelaki itu tampaknya sangat sibuk mempersiapkan kepindahan ke sini. Beberapa barangnya sudah dipaketkan terlebih dahulu. Bah Arham? Sama saja. Dia terlalu bahagia karena tahu aku akan menikah lagi

  • Ujung Senja   Ingin Bahagia

    Kesibukan pagi ini luar biasa di rumahku. Tuhan sangat baik hati. Aku pikir proses pindahanku memerlukan waktu lama, sebab aku hanya mengandalkan Mbak Mur untuk menolong. Namun, Meri datang bersama Andi, Fahmi membawa dua orang temannya, Mbak Mur pun datang membawa anak dan suaminya. Yang mengejutkan, Arif datang beserta Handoko. Semua menolong kami. Aku ingin menangis rasanya karena terharu. Mereka orang baik yang tulus membantu.Setelah semua barang masuk ke dalam pikap, aku memeluk Mbak Mur. Air mata tak dapat aku tahan. Aku sangat sedih berpisah dengan perempuan itu.“Semoga jualannya lancar ya, Mbak.”“Ibu juga ya. Semoga dapat pembantu yang lebih rajin dari saya.” Kami bertangis-tangisan.Seorang petugas bank, yang entah bagaimana ceritanya, mengambil kunci rumah yang aku sodorkan. Aku memandang rumah Bang Asman untuk terakhir kalinya. Tak ada sed

  • Ujung Senja   Menuju Hidup Baru

    Kami tiba di rumah pukul empat sore. Di saat seperti ini, aku baru mengerti mengapa seorang perempuan terkadang sangat rapuh tanpa seorang lelaki. Fahmi menyempatkan diri mencari mobil pikap yang bisa disewa, mencari bok besar agar barang bawaanku bisa disimpan rapi. Banyak hal yang dia lakukan untuk membuat nyaman kepindahanku nanti.Sebelum pulang, aku menyempatkan diri membeli beberapa jenis makanan. Rencana kami untuk pindah besok sepertinya akan direalisasikan. Fahmi bilang, pagi-pagi dia akan ke bank untuk membayar kekurangan uang rumahku. Sementara, aku di rumah membereskan barang-barang yang akan dibawa. Fahmi juga menghubungi beberapa temannya untuk mengirim orang ke rumahku guna membantu pindahan. Aku merasa, Tuhan mengirim dia untuk kemudahan urusanku. Aku sangat berterima kasih dengan Fahmi.“Sekali lagi engkau mengucapkan terima kasih, aku kasih piring cantik.” Dia menggodaku.“Se

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status