Share

Perasaan Asman

Siak Sri Indrapura, 1990

Aku berjalan cepat, melewati sekelompok pemuda yang sedang nongkrong di halaman rumah Emak. Mereka yang sebagian besar adalah kawan abang-abangku, suka sekali menghabiskan waktu sambil bermain gitar di bawah pohon rambutan, yang tumbuh subur di halaman rumah Emak.

Aku baru saja pulang dari rumah Amoy, sahabatku. Biasanya, aku bertandang ke rumah Amoy bersama Iin, tetanggaku, tapi Iin yang akan menikah hari minggu ini, sudah tidak diizinkan kedua orang tuanya keluar dari rumah.

Jadinya, aku sendirian melewati kerumunan lelaki berusia dua puluhan itu. Sedikit gugup tapi aku memberanikan diri. Kehadiran abang-abangku di sana, tidak menghilangkan rasa gugupku.

“Suit, suit.” Entah siapa di antara belasan pemuda itu yang menyuitiku.

“Heh, ngapo ni, miang (genit) betul. Usah engkau ganggu Era. Dio adik perempuan aku satu-satunyo, tu.”

L

Aku dengar suara Bang Arham memarahi seorang temannya.

“Lawo (cantik) betul dio lepas sekolah ni. Nak aku lamar, boleh tak,“ kelakar seorang pemuda yang suaranya cukup keras, sehingga masih bisa aku dengar.

Wajahku pasti sudah memerah, seperti kepiting rebus. Saking gugupnya, aku terjatuh saat akan masuk ke teras rumah.

“Aw,” pekikku. Menahan sakit sekaligus malu. Bisa-bisanya aku terjatuh di hadapan pemuda-pemuda itu.

“Kau tak apo?“ Bang Asman berlari ke arahku. Salah satu sahabat Bang Arham itu mengulurkan tangannya.

Aku menyambut uluran tangan lelaki bertubuh kurus itu. Sontak seluruh anak muda tanggung yang sedang berkumpul, menyoraki kami berdua. Termasuk Bang Arham.

“Time kasih (terima kasih), Bang,” ujarku malu-malu.

“Samo. Kau nak kemano? Buru-buru betul. Pelan sikit jalan tu, jatuh kang, malu.”

“Era nak masuk rumah, Bang. Nak tolong Emak masak. Dah petang hari,” jelasku.

“Aduhai, elok betul kelaku anak gadis satu ni. Bolehlah dipinang lagi ni. Dah bisa ngurus laki.”

“Apolah Abang ni. Dahlah, Era masuk.” Aku berlalu masuk ke rumah, menutupi pipi bulatku yang pasti sudah berubah warna.

Bukan sekali ini saja bang Asman menunjukkan keinginannya untuk menjadi kekasihku. Sering ia mengajak makan bakso, atau sekadar jalan-jalan di tepi Sungai Siak, melihat kapal tangker berlalu lalang.

Aku lebih sering menolak daripada menuruti keinginannya. Selain memang tak memiliki perasaan istimewa dengan sahabat Bang Arham itu, aku juga sudah memiliki kekasih hati. Fahmi namanya. Lelaki berkulit hitam manis itu sudah lama mengikat hatinya dengan hatiku.

Sayangnya, Emak seolah tak memberi restu akan hubunganku dengan Fahmi. Setiap kali lelaki itu datang ke rumah, Emak langsung masuk kamar dan membanting pintu sekeras-kerasnya. Sekali dua kali, Fahmi masih bisa sabar, setelah itu, ia memutuskan untuk tak pernah lagi datang ke rumah.

Saat terakhir mengirimkan surat, Fahmi memberi kabar, bahwa ia telah lulus seleksi calon polisi. Ia memintaku untuk menunggunya lulus. Kelak, ketika ia sudah lulus dari sekolah kepolisian, ia akan melamarku.

Aku menyimpan surat dari Fahmi itu di dalam lemari pakaian. Aku letakkan di tumpukan terbawah, di antara baju-baju yang jarang aku gunakan, karena Emak suka memeriksa lemariku. Sesekali aku kembali membacanya, untuk mengurai rindu yang sudah menenggelamkan separuh hatiku.

“Ngapo macam orang tak sado (sadar) kau ni, Ra. Jangan pulak sampai hangus ikan Mak tu kau buat,” ketus Emak saat melihatku duduk termenung di depan kuali panas.

"Astagfirullah.” Aku kaget mendengar pekikan Emak.

“Cepat sikit kejo (kerja) tu, Ra. Kejab (sebentar) lagi Bah (Ayah) engkau balek. Memayang (marah) orang tuo tu tengok nasi tak ado temannyo. Kau tau Bah kan, dio garang kalau tak sedap ikan yang nak dio makan.”

Iyo, Mak,” ujarku pelan.

Aku membentangkan tikar pandan di lantai ruang tengah. Setelah salat maghrib, keluarga kami biasanya langsung makan malam.

Emak, Bah, dan lima orang abangku sudah duduk menunggu makanan terhidang. Aku sedikit heran, saat melihat Bang Asman duduk di antara Emak dan bang Arham.

“Kau tengoklah, Man, anak gadis aku semata wayang ni, dio rajin betul. Semuo ni dio yang masak.” Emak memberi tahu Bang Asman, seolah sedang mempromosikan barang dagangannya.

“Iyo, Mak,” jawab bang Asman sopan.

“Sulit cari gadis macam ni zaman sekarang. Muko lawo, masak pandai, mengurus rumah pandai, mengaji pandai. Apo lagi nak dicari,” ujar Emak dengan bangga. Aku yang sedang mondar-mandir menghidangkan lauk tertunduk malu.

Bah tampak tidak senang dengan kata-kata Emak. “Mengapo kau ni, Mah? Macam nak kau jual anak aku kepada Asman.”

Tak ada yang tertawa mendengar perkataan Bah, kecuali Bah sendiri. Mungkin semua tahu, Bah tidak sedang bercanda.

“Apolah Abang ni,” sungut Mak. “Aku cakap kosong ajo samo Asman. Tak ado maksud lain.”

“Hmm, yalah.”

Suasana makan malam kali ini berbeda dari biasanya. Bah lebih banyak diam. Sementara Emak, sibuk menanyakan masalah pekerjaan Bang Asman. Perempuan yang melahirkanku itu tampak semangat menceritakan segala kelebihanku kepada Bang Asman. Entah apa maksud Emak. Aku diam saja. Tak mungkin aku membantah Emak di hadapan semua orang.

“Jadi, Man, Tengku Asnawi itu paman engkau?” tanya Emak pada Bang Asman.

Tengku Asnawi adalah seorang kepala syah bandar yang sangat tenar di kabupaten ini. Kekayaannya melimpah ruah, bahkan sejak dalam kandungan, takdirnya menjadi orang kaya seolah sudah bisa dipastikan.

“Iyo, Mak. Tengku Asnawi tu adik mak Asman.”

“Wow, tentulah emak engkau kayo jugo, ye,” timpal Emak.

“Biaso ajo, Mak. Taklah kayo betul.”

“Ah, suko betul merendah.” Emak menepuk pundak lelaki itu.

“Cakap apolah kau ni, Mah. Tak patutlah betanyo masalah itu depan orang ramai ni.” Bah berkata ketus.

“Ish, apalah Abang ni. Asman ni ado hati dengan Era. Makonyo, nak aku tanyo silsilah keluarga dio. Jangan sampai kito salah pilih jodoh untuk anak gadis satu-satunyo ni.” Emak tersenyum menatapku.

“Apolah kau ni. Macam budak-budak,” bentak Bah pada Emak. Lelaki berkain sarung itu meninggalkan makanannya yang bahkan belum habis separuh.

“Ng alah, dah merajuk pulo orang tuo ni. Ra, kau kawankan dulu Asman makan, aku nak nengok Bah kau sekejab.” Emak meninggalkan kami semua.

“Kau pun yang tidak-tidak, Man,” gerutu bang Arham. “Apolah kau cakap sama Emak aku? Bah tak suko, anak gadis dio ni diganggu orang lain. Kau elok pulak teduduk makan di sini. Apo tak marah Bah aku.”

Aku menunduk. Sebenarnya, aku sangat risih dengan sikap bang Asman. Bukan sekali dua kali aku menolak kehadirannya secara halus, tapi lelaki itu pantang mundur. Kali ini, dia mendekati Emak agar bisa mengambil hatiku.

Bah memang tak suka ada pemuda yang mendekatiku. Beliau over protective memang terhadapku. Dia tak ingin, aku cepat-cepat menikah seperti kebanyakan anak gadis sebayaku kampung ini.

Bah ingin aku sekolah tinggi. Namun, selepas sekolah menengah atas, Bah belum ada kesempatan untuk mengantarkanku ke kota. Padahal dia sudah berjanji, jika sudah ada penerimaan mahasiswa baru, ia akan mendaftarkanku di sekolah keguruan.

“Dahlah, aku balek dulu ya, Ham. Aku kejo (kerja) malam hari ni.” Bang Asman mencuci tangan.

Abang-abangku mengangguk saat Bang Asman mengucapkan salam. Aku menghela napas lega. Kehadiran lelaki itu merusak suasana makan malam yang biasanya harmonis ini.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status