Share

Ujung Senja
Ujung Senja
Penulis: Rinanda Tesniana

Prolog

Prolog

Pukul dua belas malam, dan lelaki itu belum pulang juga. Aku lelah mondar-mandir seperti orang gila. Menunggu tanpa kepastian entah kapan dia datang.

Sudah tiga ratus enam puluh lima malam aku habiskan dengan menunggu. Berharap dia sudi menghabiskan malam bersamaku, bercerita tentang apa saja, menebus siang yang kuhabiskan dalam kesunyian.

Pintu rumah terdengar dibuka dari luar. Aku berlari mengejarnya. Ah, rasanya aku sangat haus kasih sayang. Menikah pada usia sangat muda, dan langsung diboyong pindah ke ibu kota, hanya dia tempatku bercerita. Namun, ujungnya selalu sama, ketika dia datang, dia hanya mencari ranjang untuk merebahkan badan, seolah tidak menginginkan aku di sisinya.

“Belum tidur kau, Ra?” tanyanya ketika aku keluar kamar.

“Era tunggu Abang.”

“Jangan tunggu aku.”

“Era bosan, Bang, di rumah terus. Abang kerja sampai malam, Era ingin kuliah tak boleh, ingin kerja pun tak diizinkan,” keluhku.

“Kau ngapa? Mau ngajak bertengkar tengah malam buta ni? Duduk baik-baik di rumah, duit aku kasih. Semua aku penuhi. Tak cukup?”

Air mataku tumpah. Susah payah aku menelusup masuk ke dalam hati lelaki itu. Menumbuhkan cinta yang sama sekali tak ada dari awal.

Bukannya berusaha membuat hatiku mekar, dia malah membunuh rasaku perlahan.

“Asman, mengapa kau sangat ingin menikahiku? Ujung-ujungnya kau malah menyakitiku?” Aku memuntahkan segala sakit yang setahun ini kupendam.

“Kau gila, Ra?” Bang Asman mundur selangkah melihat sikapku.

Aku memang belum pernah menunjukkan perlawanan selama ini. Setahun aku pendam semua, aku tahan semua lara. Kali ini, aku tak sanggup lagi.

“Kau membuat aku gila! Kau renggut habis masa mudaku, kau paksa aku pindah dari tempat kelahiranku. Aku menerimanya, bahkan ketika Bah mati, kau sama sekali tak peduli!” Telanjur, sekalian saja aku katakan semua. “Aku berusaha mencintaimu, Asman, demi rumah tangga yang baru seumur jagung ini! Apa balasanmu? Jangankan membalas perhatianku, bersikap baik pun kau tak pernah!”

“Jaga mulutmu!” desis Asman.

“Setahun aku menjaga mulut, aku sudah tak sanggup. Ceraikan aku!”

“Sampai mati, aku takkan pernah menceraikanmu!”

“Rumah tangga ini seperti neraka bagiku, Asman.”

“Biarlah aku menjalani rumah tangga bagai neraka ini. Biar kita hangus terbakar berdua di dalamnya, asal tak pernah ada kata pisah. Tak ada sejarahnya dalam keluarga besarku, ada rumah tangga yang hancur.”

“Egois!”

“Terserah!”

“Ceraikan aku, Asman!” pekikku pilu.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status