Aku duduk di atas pelaminan rumah Iin. Pelaminan khas Melayu yang didominasi warna kuning ini sudah hampir selesai seluruhnya. Tradisi di kampung kami, jika ada seorang gadis yang hendak menikah, maka pemuda-pemudi akan berkumpul selama tiga malam berturut-turut untuk menghias rumah pengantin.
“Ra, engkau dipanggil Heri. Dio nak minta tolong buat janur. Cumo engkau yang bisa buat janur.” Bibah-temanku memberi tahu. Aku mengangguk dan meninggalkan hamparan kain yang akan digunakan untuk menghias dinding rumah Iin.
Aku mendekati Heri yang sedang duduk di teras rumah Iin. Dia sibuk merangkai janur yang akan dipasang di simpang jalan sebelum masuk gang rumah kami.
“Kenapo, Her?” Aku duduk di sebelahnya.
“Payah betul, Ra. Tolonglah. Cepat selesai, cepat balek. Aku dah penat ni.” Heri memasang wajah memelas.
Aku mengangguk dan membantunya merangkai janur. Aku dan Heri mengobrol ringan mengenai teman-teman kami yang satu persatu melepas masa lajang. Menebak-nebak setelah ini siapa lagi yang akan menyusul.
“Ra, itu Tengku Asnawi agaknyo?” Heri menunjuk seorang pria paruh baya yang tampak gagah dengan setelan jas berwarna hitam, dan peci menutupi kepalanya.
“Eh, iyo. Ngapo dio ke rumah aku, Her?“ tanyaku heran.
“Mano aku tahu, elok engkau balek. Bio aku pasang janur dekat simpang tu,” saran Heri.
Aku mengikuti saran Heri. Jika seorang Tengku Asnawi ke rumah, berarti ada hal penting yang akan beliau sampaikan. Terlebih, Bah adalah seorang camat yang baru saja dilantik bulan lalu. Apakah Bah ada masalah? Mendadak aku takut jika Bah akan mendapat masalah dalam pekerjaannya.
Bah duduk di depan Tengku Asnawi dengan takzim. Aku mengintip dari balik tirai. Memasang telinga agar bisa mendengar apa saja yang mereka bicarakan.
Emak tampak sibuk hilir-mudik mengantarkan minuman dan penganan ke hadapan Tengku Asnawi. Wajah Emak pun gugup, sebab belum pernah ada pejabat tinggi mampir ke rumah kami.
“Apa gerangan Tengku sampai ke sini?” tanya Bah dengan gugup.
“Santai sajo, Mat. Ngapo lah engkau gugup?”
“Tekejut sayo Tengku sampai di sini, memijakkan kaki di gubuk sayo ni.”
“Itulah, Mat. Aku nak becakap pasal Asman.”
“Asman? Ape hal dengan Asman?"
“Asman tu keponakan aku, Mat. Dio ado hati dengan anak engkau. Siapo namonyo anak gadis engkau?”
“Herawati, Tengku. Era biasonyo kami panggil dio.”
“Ha, budak tulah ha. Satu orang anak perempuan engkau kan?”
“Iyo, Tengku.”
Jantungku rasanya berhenti berdetak. Bang Asman memang pandai, dia mengirim pamannya yang tak mungkin ditolak Bah untuk melamarku. Jika seorang Tengku Asnawi yang datang ke rumah, Bah tak mungkin berkata tidak untuk lamarannya.
“Aku ni datang atas namo Asman lah, Mat. Macam mano menurut engkau, jika aku melamar Era untuk Asman?”
Aku semakin khusuk menguping pembicaraan dua lelaki itu. Aku ingin tahu, apa jawaban Bah.
“Eh, maaf, Tengku. Tapi aku nak menyekolahkan Era di kota, bulan Agustus nanti aku anto (antar) dio ke kota.”
“Tak payah, Mat. Untuk apa pulak engkau sekolahkan budak tu tinggi-tinggi. Nanti, Asman yang sekolahkan dio. Keponakan aku tu kan Pegawai Negeri dah, insya Allah, senang hidup Era tu samo Asman.”
“Tapi anak aku masih kecik, Tengku.” Bah masih mencoba untuk menolak.
“Apo pulak kecik. Dah sembilan belas tahun umu (umur) dio kata Asman. Cukuplah tu, Mat. Nak umu berapo lagi kau nikahkan budak tu. Jadi perawan tua kang, menangis kau tiap hari.”
“Iyolah, Tengku, nanti aku cakap dulu samo Era.”
“Kabari secepatnya yo, Mat. Bio aku bawa sanak sedaro aku ke sini. Niat baik harus lekas kito laksanakan.”
Aku tak sanggup lagi mendengar pembicaraan Bah dan Tengku Asnawi. Makin lama, hatiku makin sakit. Aku muak dengan Bang Asman yang memanfaatkan Tengku Asnawi untuk melamarku. Siapa pun di kabupaten ini, takkan bisa menolak permintaan Tengku Asnawi.
Pria itu sangat tersohor hingga ke pelosok. Kekayaannya berlimpah, membuat siapa saja akan patuh pada titahnya. Terlebih, Tengku Asnawi terkenal baik hati, bijaksana dan suka berbagi. Nama beliau benar-benar harum di tengah masyarakat.
Jika Bah benar-benar menerima lamaran dari Tengku Asnawi, bagaimana nasib Fahmi? Dia sudah berjanji akan datang usai pendidikan polisi. Sisa dua bulan lagi, dan lelaki itu akan kembali padaku.
Dia akan menuduhku sebagai pengkhianat. Aku tahu betul bagaimana Fahmi. Dia adalah seorang yang teguh. Tak pernah ingkar janji, setiap kata yang keluar dari mulutnya tak pernah ia dustai.
Aku menghapus air mata saat mendengar teriakan girang Emak dari luar. Pintu kamarku terbuka, Emak muncul sambil tertawa.
“Tengku Asnawi ke sini, Ra. Dio melamar engkau untuk Asman. Alhamdulillah, Nak, keluarga terpandang yang melamar engkau,” ujar Emak. Wanita berkerudung hitam itu memelukku erat.
“Mak apolah. Era tak naklah dengan bang Asman.”
“Apolah engkau ni. Tak bersyukur budak ni e. Kau pike (pikir) keluarga orang tu nak menikahkan anak dio dengan sembarang orang? Bersyukurlah kau, Nak. Senang hidup kau nanti sama dio.”
“Mak, janganlah memaksa,” bantahku.
“Bukan Emak nak memaksa kau, Ra. Kau timbanglah masa depan kau. Kalau menikah kau samo Asman, senang hidup kau.”
“Emak tak ingat Allah? Selamo ni, ado Bang Asman memberi kito makan? Tak ado. Bukan dia penyebab hidup senang, Mak. Allah. Jangan karena dio orang terpandang, Emak jadi menduakan Allah.”
“Astagfirullah budak ini. Aku hentam (pukul) kang, habis kau!” Emak tampak menahan amarah mendengar bantahan demi bantahan yang aku lontarkan.
“Halimah, jangan kau paksa anak aku. Keluolah (keluarlah) kau! Aku nak cakap dengan Era.” Bah mengusir Emak dari kamarku.
Emak bersungut. Wanita berkulit putih itu keluar dengan wajah kesal.
“Nak,” ujar Bah. Pria itu duduk di sebelahku. “Tadi, Tengku Asnawi datang ke sini. Dio membawa amanat dari Asman, nak melamar engkau untuk jadi istri Asman.”
“Era tak maulah, Bah. Era nak sekolah. Bah bilang, nak mengantar Era ke kota untuk sekolah guru.”
Bah menghela napas. Wajahnya seperti menyimpan beban berat. Aku diam saja, tak ingin membantah apa pun kata Bah.
“Ra, Bah tak nak memaksa engkau menikah dengan Asman. Bah sayang kau, Nak. Bah ingin kau sekolah, jadi guru. Itu cita-cita Bah sejak engkau lahir. Tapi, Nak, macam mano kito nak menolak Tengku Asnawi. Bah tak kuasa, Ra.” Bah menyusut air yang menyeruak dari sudut matanya.
Hatiku sedih melihat Bah yang tak bisa berbuat apa-apa.
“Bah, Era sayang Bah. Cuma Bah yang paham perasaan Era. Tolong Bah, Era ingin sekolah,” isak yang sedari tadi aku tahan, akhirnya keluar juga.
“Baik, Nak. Hapus air mato engkau tu. Bah akan cakap samo emak engkau. Dio yang teringin sangat bebesan dengan Tengku Asnawi.”
“Tolong Era, yo, Bah.” Aku memeluk tubuh gagah lelaki itu dengan erat.
“Iyo, Nak. Iyo.” Bah membelai lembut rambutku.
***
Aku tak bisa tidur semalaman. Ah, bukan, aku tidur sejak pukul dua belas hingga pukul dua malam. Setelah itu, aku tidak dapat memejamkan mata. Usai Salat Tahajud, aku duduk di depan meja rias, memandang pantulan wajahku di cermin. Aku terkejut saat pintu kamar terbuka. Kak Ainun masuk sambil tersenyum. “Tadi Akak dengo suara keran hidup di kamar mandi engkau, makonyo Akak berani masuk.” “Kakak tak dapat tidur ke? Pasti tak nyaman tidur di lantai,” ujarku dengan rasa tak enak. Para tamu yang harusnya dilayani dengan baik itu malah tidur berimpitan di ruang tengah. Termasuk Mega dan Latifah. “Bukanlah. Kakak senang sangat Fahmi akhirnya menikah dengan engkau.” Kak Ainun duduk di tempat tidurku. Aku menyusul sebab tak enak rasanya duduk berjauhan dari Kak Ainun. “Engkau tahu tak.” Dia memegang tanganku. “Malam itu, di malam pernikahan engkau dan Asman, Fahmi bersujud di k
Menjelang hari H, aku memilih tetap bekerja. Tentu saja ke Lolita. Bagiku Lolita adalah tempat kerja sekaligus rumah kedua. Aku sudah terbiasa dengan suasana dan orang-orang yang ada di dalamnya. Malah kadang aku lebih betah di salon daripada di rumah.“Lu kapan mulai perawatan?” Meri mulai bertingkah seperti ibu-ibu yang akan melepas anak gadisnya menikah. Dia sangat nyinyir mengomentari wajahku, kulitku, bahkan area V-ku pun dikomentarinya. Aku jadi ingat saat akan menikah dulu, Emak sampai memanggil bidan pengantin paling hits di kampung agar aku manglingi saat pernikahan. Ah, cepat aku tepis bayangan kelam itu. Hari pernikahanku identik dengan hari terakhir Bah ada di dunia, dan aku benci mengingat itu.“Mulai hari ini, ya? Fahmi tiga hari lagi udah datang, kan? Lu enggak bakal sempat gue apa-apain lagi, Ra.” Nada suara Meri terdengar gemas.“Males, ah. Mahal.” Ak
Hari-hari berlalu seperti peluru. Siang malam berganti layaknya seorang pelari. Hidupku tergerus oleh kesibukan di rumah dan Lolita. Ah, tepatnya aku yang sangat-sangat menyibukkan diri demi melupakan keraguan yang bermegah-megah dalam hati. Waktu tak memberiku jeda, ia melaju, meninggalkanku dan segala keraguan dalam dada. Aku tahu, aku tak boleh bersikap mencla-mencle begini. Namun, ketiadaan Fahmi di sisi membuatku semakin merasa tak pasti. Aku ingin mundur dari pernikahan yang rasanya semakin tak mampu aku jalani. Aku takut dengan banyak kemungkinan yang bercokol dalam otakku. Hatiku penuh tanya, bisakah aku bahagia? Atau pernikahan kedua ini malah mengikat kakiku lebih rapat? Membuat luka dalam hati semakin berkarat? Entahlah, semua terasa tak pasti. Aku menghabiskan waktu dengan membereskan pekerjaan rumah di lagi hari, saat matahari beranjak naik, aku berangkat ke Lolita. Menyibukkan diri demi mengusir gundah gulana. Seperti saat
Semakin dekat hari H pernikahan bukannya semakin tenang, aku malah semakin gelisah. Rasanya aku tak siap harus mengikat diri lagi dalam sebuah kehidupan rumah tangga. Terlebih Bang Asman baru setahun pergi. Apa kata orang kalau mereka tahu bulan depan aku akan menikah untuk kedua kalinya? Perempuan berumur 47 tahun yang baru setahun menjanda, menikah lagi. Pasti semua orang menyangka aku yang kegenitan. Aku ingin berkeluh kesah dengan Meri, tetapi sahabatku itu pun tengah sibuk menyiapkan pesta pernikahan putri pertamanya yang akan dilangsungkan Minggu depan. Kata Meri, Lingga berpacu denganku. Aku hanya tertawa mendengar kelakar itu. Mana bisa anak gadis seperti Lingga dibandingkan denganku. Aku ingin bercerita kepada Fahmi, tetapi lelaki itu tampaknya sangat sibuk mempersiapkan kepindahan ke sini. Beberapa barangnya sudah dipaketkan terlebih dahulu. Bah Arham? Sama saja. Dia terlalu bahagia karena tahu aku akan menikah lagi
Kesibukan pagi ini luar biasa di rumahku. Tuhan sangat baik hati. Aku pikir proses pindahanku memerlukan waktu lama, sebab aku hanya mengandalkan Mbak Mur untuk menolong. Namun, Meri datang bersama Andi, Fahmi membawa dua orang temannya, Mbak Mur pun datang membawa anak dan suaminya. Yang mengejutkan, Arif datang beserta Handoko. Semua menolong kami. Aku ingin menangis rasanya karena terharu. Mereka orang baik yang tulus membantu.Setelah semua barang masuk ke dalam pikap, aku memeluk Mbak Mur. Air mata tak dapat aku tahan. Aku sangat sedih berpisah dengan perempuan itu.“Semoga jualannya lancar ya, Mbak.”“Ibu juga ya. Semoga dapat pembantu yang lebih rajin dari saya.” Kami bertangis-tangisan.Seorang petugas bank, yang entah bagaimana ceritanya, mengambil kunci rumah yang aku sodorkan. Aku memandang rumah Bang Asman untuk terakhir kalinya. Tak ada sed
Kami tiba di rumah pukul empat sore. Di saat seperti ini, aku baru mengerti mengapa seorang perempuan terkadang sangat rapuh tanpa seorang lelaki. Fahmi menyempatkan diri mencari mobil pikap yang bisa disewa, mencari bok besar agar barang bawaanku bisa disimpan rapi. Banyak hal yang dia lakukan untuk membuat nyaman kepindahanku nanti.Sebelum pulang, aku menyempatkan diri membeli beberapa jenis makanan. Rencana kami untuk pindah besok sepertinya akan direalisasikan. Fahmi bilang, pagi-pagi dia akan ke bank untuk membayar kekurangan uang rumahku. Sementara, aku di rumah membereskan barang-barang yang akan dibawa. Fahmi juga menghubungi beberapa temannya untuk mengirim orang ke rumahku guna membantu pindahan. Aku merasa, Tuhan mengirim dia untuk kemudahan urusanku. Aku sangat berterima kasih dengan Fahmi.“Sekali lagi engkau mengucapkan terima kasih, aku kasih piring cantik.” Dia menggodaku.“Se