Ucapan ayahnya bahwa seorang Jose Antonio ingin menikahinya terus bergaung di kepalanya. Hampir semalaman Thalia tidak bisa tidur, meski kedua matanya terpejam.
Karena itulah, di pagi hari ini, Thalia bangun cepat agar bisa bersiap dan mencari tahu jawaban dari pertanyaan yang menggedor-gedor benaknya itu.
Thalia menunggu makhluk bernama Jose Antonio itu di depan gerbang rumah lelaki itu. Rumah yang besar, megah, dan mewah itu memiliki halaman yang sangat luas. Jarak antara pagar gerbang dan pintu rumahnya sekitar 25 meter. Dan, di bawah terik matahari yang semakin memanas, Thalia menunggu dengan bermondar mandir tak karuan.
Sesekali dia mengintip dari celah pagar, adakah tanda-tanda kemunculan Jose. Sudah sepuluh menit berlalu dan Jose Antonio masih belum kelihatan batang hidungnya. Petugas satpam sudah menawarkannya untuk masuk, tapi Thalia tidak mau.
Thalia masih menunggu hingga sepuluh menit berikutnya. Akhirnya pintu gerbang terbuka dan sebuah mobil pick up lusuh keluar melewatinya. Dapat Thalia lihat sosok Jose di balik kemudi. Pria itu tak melihatnya, hanya menatap lurus ke depan.
Herannya, saat pick up Jose melewatinya, Thalia pun tanpa sadar hanya tertegun saja. Setelah pick up itu bermeter-meter menjauh darinya barulah dia sadar dan dia segera berlari mengejar mobil lusuh Jose.
Beruntung baginya, Jose melihatnya dari kaca spion mobil. Pria itu pun memundurkan mobilnya hingga sejajar dengan Thalia. Dia menurunkan kaca mobil dan bertanya heran. "Untuk apa kau berada di sini?"
Thalia yang kesal akan penyambutan Jose menjawab pria itu seraya menatapnya tajam. "Mencarimu!"
"Mencariku? Untuk apa?" Kedua alis tebal Jose, yang menaungi mata elangnya yang tajam, hampir menyatu mendengar jawaban Thalia.
"Membicarakan rencana kita. Bukankah kau menemui ayahku dan meminta restunya-"
"Masuk!" seru Jose ketus dan memotong ucapan Thalia yang masih cukup panjang. "Hal seperti itu tidak boleh dibicarakan di tengah jalan seperti ini!"
Thalia pun masuk ke dalam pick up Jose dengan memberengutkan wajahnya. Siapa juga yang mau mengajaknya bicara di tengah jalan? Huh, Thalia jadi semakin kesal pada Jose.
Begitu pintu mobil sudah menutup, Jose langsung menjalankan mobilnya.
Di dalam, Thalia cukup terpukau pada interior dalam mobil yang ternyata sangat bersih, terawat dan harum. Jika pick up ini tampak lusuh di luarnya, di dalamnya, mobil ini tampak sangat bersih, kinclong, dan tak tergores. Bahkan jok mobilnya terasa lembut dan tak mengelupas sedikitpun.
Mobil melaju lambat dengan mereka berdua yang hanya saling diam. Thalia sendiri tidak berani bersuara lagi karena tadi Jose sudah mengatakan untuk berbicara di tempat lain. Dan sepanjang perjalanan Thalia bertanya-tanya, ke mana pria itu akan membawanya.
Pick up sudah memasuki jalan raya, kemudian berbelok menuju jalan sepi. Thalia mendadak menjadi was-was. Diliriknya Jose dari tempatnya duduk. Wajah pria itu masih sangat serius dan tak berniat berbicara dengannya sedetikpun.
Mobil kembali berbelok, kali ini jelas bahwa Jose tidak membawanya ke pusat kota, melainkan ke tempat yang semakin sepi dan sepi. Thalia semakin waspada.
"Kita mau ke mana?" tanya Thalia kemudian dia merutuki dirinya sendiri. Seharusnya sudah dari tadi dia bertanya. Sungguh, saat ini sudah agak terlambat melontarkan pertanyaan itu.
Bagaimana jika dia dibawa ke tempat persembunyian Jose selama ini? Karena dengar-dengar, seorang Jose Antonio sangatlah misterius. Dia seperti mempunyai kehidupan malam yang kelam, yang sangat berbeda dari pria-pria kebanyakan. Jika pria lain mengisi kehidupan malam di club dengan wanita dan minuman, tidak dengan Jose. Dia tidak berkeliaran di bar. Dia tidak berkeliaran memburu wanita.
Tetap saja, orang-orang mengatakan dia memiliki kehidupan malam yang penuh dengan semacam obsesi gelap. Semacam obsesi terlarang. Apakah dia menculik gadis-gadis kemudian menyekapnya di tempat terpencil kemudian memerkosa dan membunuh gadis-gadis itu?
Apalagi ‘si peselingkuh’ itu pernah bercerita bahwa kakak tirinya sempat tinggal di penjara selama tiga tahun!
Apakah itu karena dia membunuh gadis-gadis perawan setelah memerkosa mereka?! Ya, Tuhan, selamatkan aku!
Begitulah seru hati Thalia semakin tak karuan, menakut-nakuti dirinya sendiri hingga gadis itu menggeleng-gelengkan kepalanya.
Tidak mungkin! Jika dia berlaku seperti itu, sudah pasti ada korban berjatuhan dengan misterius dan pria itu pasti akan segera dicurigai aparat hukum. Pada kenyataannya, tidak ada korban misterius di Bacalar. Sama sekali tidak ada.
"Kenapa kau geleng-geleng kepala?" tanya Jose tiba-tiba.
Thalia tersentak. Tidak menyangka jika pria itu memperhatikannya.
"Kau takut aku menculikmu?" tanya Jose lagi, masih dengan memandang lurus jalanan di depannya, dan senyum aneh tersungging di wajahnya.
Thalia mendeliknya kesal. Kenapa terkaannya bisa setepat itu sih? Untuk mengalihkan pembicaraan Jose, Thalia menanyakan lagi, “Sebenarnya kita mau ke mana?”
"Lihat saja!" sahut Jose datar dan dingin.
Sontak Thalia jadi bertambah kesal tapi sekaligus penasaran. Ditekannya rasa takut yang menderanya tadi. Meski begitu, kali ini, dia diam dan menunggu.
Mobil melaju semakin pelan. Terlebih lagi, kini Jose membawanya memasuki area hutan. Thalia kembali panik.
"Kita mau ke mana sih?" Suaranya sudah naik setengah oktaf.
Sementara itu, Jose hanya tersenyum tipis dari balik setir mobilnya. Thalia semakin was-was.
Pria itu tetap melajukan pick up nya hingga tiba-tiba tertangkap penglihatan Thalia, tepian danau yang tenang nan indah.
Mobil berhenti sebelum mencapai tepian danau. Jose membuka pintu dan turun. Begitu pun Thalia yang ikut turun dengan memandangi danau yang menakjubkan.
Danau yang tenang, dengan airnya yang berwarna biru jernih dan berkilauan seakan memanggilnya untuk menyisiri setiap jengkal tubuh danau. Bebatuan karang yang besar dan tinggi-tinggi di sekeliling danau turun menambah kesan kesendirian yang nyaman di tempat ini.
Jose sudah duduk di kap mobilnya, memantik Zippo, dan membakar rokok. Dihisapnya dengan penuh penghayatan. Dia tidak peduli pada tingkah Thalia yang mengibas-ngibaskan tangannya berusaha mengusir asap rokok yang menghampirinya.
"Kenapa kau mengajakku ke sini?" Thalia bertanya lagi semakin kesal. Sudah berapa pertanyaan yang dia lontarkan tapi tak ada yang dijawabnya.
"Bukankah tadi kau bilang mau bicara? Bicaralah!"
Yang benar saja! Mau bicara saja kenapa harus jauh-jauh ke sini? Bicara bisa di kafe. Simpel. Praktis. Nyaman.
Sedetik kemudian, suara Jose yang kering dan serak kembali terdengar, di tengah-tengah asap rokok yang mengepul. “Bicaralah!”
Merasa ingin membalas pria itu, Thalia tak langsung menjawabnya. Dia malah semakin menunjukkan bahwa dia tidak menyukai asap rokok pria di depannya ini. Tapi, pria itu seperti tak peduli. Dia tak juga mematikan rokoknya.
"Bicaralah!" Suara serak tapi renyah itu berseru lagi, kali ini dengan kesabaran yang sudah tinggal setengah.
Thalia jadi semakin kesal. "Bukankah seharusnya kau juga berhutang penjelasan padaku? Kau bertemu ayahku dan mengatakan padanya bahwa kau ingin menikahiku. Kenapa?" Ketus suaranya, tanpa dia sadari. Yang mengherankannya adalah bahasanya yang ikutan kaku seperti Jose.
Jose menghisap rokoknya lagi seraya dia memandangi Thalia dengan mata yang menyipit. Kemudian, dia berdeham dulu sebelum menjawab.
"Jika kubilang karena aku mencintaimu, apa kau percaya?”
Thalia berdecak jengah. "Jangan bercanda! Kita tidak saling mengenal! Mana mungkin bisa kau mencintaiku!" Dia sungguh tidak percaya alasan karangan itu.
"Siapa yang berkata jika kita tidak saling mengenal? Buktinya, kau tahu aku kakak tiri Fernando. Kau pun juga pasti tau bahwa aku pria yang seharusnya dihindari oleh setiap gadis yang ada di Bacalar ini, kan? Aku pun mengetahui jika kau anak dari Carlo Teracena, adik dari Camilla."
Thalia berdecak kesal lagi mendengarnya. Pria itu begitu lugas dan santai mengucapkan pikiran negatif orang-orang di sini tentangnya. Termasuk dirinya sendiri yang juga berpikir seperti itu sebelumnya. Bahwa Jose Antonio pria urakan yang seharusnya dihindari.
"Itu hanya tau, bukan mengenal!"
Hening sejenak dan pria itu kembali terkekeh pelan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Oh! Baiklah! Kita belum saling mengenal. Lantas, apa masalahnya?"
"Kenapa kau mau menikahiku?" Thalia semakin frustrasi dengan pembicaraan yang ditarik ulur Jose seperti ini.
Tanpa dia duga, Jose bangun dari duduknya. Tubuhnya yang menjulang tinggi membuat Thalia jadi semakin terintimidasi. Pria itu ternyata hanya membuang puntung rokoknya, menginjaknya hingga hancur, baru kemudian menatapnya lekat-lekat.
“Jadi, kau ingin tau yang sebenarnya?” tanyanya dengan memandang ke arah bawah, kepada Thalia, dengan melipat kedua lengannya di depan dada.
"Ya!" jawab Thalia kesal.
“Baiklah. Akan kukatakan. Hmm, aku datang untuk menjenguk ayahmu. Kemudian, kami mengobrol sebentar, dan di akhir obrolan ayahmu-lah yang memintaku untuk menikahimu. Katanya dia sudah tua, berharap ada seseorang yang menjagamu. Dan karena aku kasihan padanya, jadi aku mengiyakannya.”
“APA?! Jadi maksudmu kau mau menikahiku karena kasihan?”
Alasan macam apa itu? Di seluruh dunia ini, mungkin hanya makhluk tak berbudi satu ini yang melamar dengan alasan kasihan. Rasanya, Thalia ingin meninjunya. Tapi nyatanya, seluruh urat tubuhnya kaku. Dia hanya mampu memandangi Jose dengan tatapan membara penuh murka.
Di hadapannya, Jose masih tetap dengan wajah datarnya. Dia seperti tidak merasa ada yang salah dengan ucapannya.
“Aku tak butuh rasa kasihanmu! Sekarang, lebih baik kau klarifikasikan lagi perasaanmu itu pada ayahku. Karena aku akan lebih senang jika tidak perlu menikah. Apalagi denganmu!”
Di luar dugaannya, Jose menjawab dengan lugas. “Tidak bisa!”
“Tidak bisa? Kenapa tidak bisa? Kau hanya perlu bicara kepada ayahku!” hardik Thalia dongkol.
“Tetap tidak bisa!” Wajah Jose sedari tadi memang teramat serius dan tak ada tanda-tanda dia bercanda sedikit pun.
Thalia pun semakin tersulut emosinya. “Kenapa tidak bisa?”
“Karena aku sudah mengiyakan permintaan ayahmu. Dan pria sejati sepertiku tidak akan plin plan dengan menarik kembali ucapanku atau pun mengubah jawabanku, terlebih lagi pada pria tua yang sedang terbaring sakit.”
Thalia merasakan kembali gejolak amarahnya yang membuatnya ingin meninju pria di depannya ini. Tangannya sampai terkepal erat karena menahan rasa itu. Mengiyakan permintaan Pap, katanya? Pria sejati, katanya?
“Aku tidak perlu rasa kasihan darimu!” seru Thalia marah.
“Aku tidak peduli.”
“Ubah keputusanmu!” Thalia semakin frustrasi.
“Tidak akan.”
“Lalu apa maumu?!” Thalia hampir saja berteriak.
“Mauku adalah kau tetap menikah denganku. Terimalah keinginan ayahmu. Mungkin juga sudah menjadi takdirmu untuk hidup menua bersamaku.”
“Apa?” Thalia sungguh tak habis pikir bagaimana bisa makhluk di hadapannya ini mengucapkan semua kata itu seakan-akan mereka memang ditakdirkan bersama. Amarah kembali menyelubunginya. Dan bayangan sapuan kasar bibir Jose dengan aroma alcohol yg begitu memualkan tertayang kembali di benaknya.
“Aku tidak mau denganmu!”
“Kenapa tidak mau?”
“Kau … menjijikkan!” ucapnya mengacu pada ingatannya 8 tahun silam.
Namun pengertian Jose berbeda dari apa yang dimaksud Thalia. “Aku menjijikkan?” ulang Jose tak percaya jika gadis itu bisa mengatakan tentangnya seperti itu. Dengan hati seakan tertusuk ribuan paku, dia balas menatap sengit pada Thalia.
“Ya! Aku mungkin menjijikkan. Tapi setidaknya, aku bukan peselingkuh ataupun orang bodoh yang diselingkuhi sampai 1 tahun lebih tapi tidak tau sama sekali!” seru Jose meledeknya.
Thalia melotot mendengar sindiran Jose.
“Kau!” sergahnya tertahan.
Masih banyak lahar amarah yang ingin dimuntahkan Thalia pada Jose, hanya saja lidahnya tak sanggup lagi berkelit mendengar hinaan Jose yang diarahkan padanya. Terlebih lagi karena apa yang pria itu ucapkan benar adanya.
Thalia memandangi pantulan dirinya di dalam cermin. Dalam balutan gaun pengantin putih dengan kilau0 berlengan panjang, dengan kerah yang mencapai leher, dia merasa tak percaya bahwa dirinya bisa terlihat memukau. Terlebih lagi riasan wajah yang dipolesnya hanyalah riasan sederhana, yang biasa dia gunakan sehari-hari. Rasanya masih sulit dipercaya, baru seminggu yang lalu dia bertemu dengan Jose, kini dia akan menikah dengan pria itu. Dan yang membuat pernikahan ini mungkin terwujud hanya dalam waktu seminggu hanyalah karena mereka menyelenggarkannya dalam kesederhanaan. "Kau pastilah pengantin tercantik di Bacalar, Thalia," ucap Ramona, salah satu sahabat karibnya semasa sekolah, selain Gabriella dan Alodia, berbisik di telinganya. Tatapan mereka saling bertaut di dalam cermin namun Thalia tersenyum sendu pada sahabatnya itu. "Untuk apa jadi pengantin tercantik jika pernikahan ini tidak pernah kuinginkan. Apalagi dia yang akan menjadi suamiku. Dia sa
Hari sudah gelap saat mereka tiba di kediaman keluarga Berbardo. Pemandangan megahnya rumah itu membuat Thalia melupakan sejenak ketidakhadiran keluarga besar Berbardo di pernikahannya dengan Jose yang digelar dengan sederhana. Tidak ada satu pun dari keluarga Berbardo yang menghadiri pernikahan sederhana mereka karena mereka semua harus menghadiri pernikahan Fernando dan Gabriella yang diselenggarakan di gedung hotel bintang lima termewah di kota mereka. Jose tidak mengatakan apa-apa tentang hal itu. Pun Thalia tidak berkomentar. Dia tidak mau ambil pusing. Toh, dia menikah dengan Jose Antonio semata-mata hanya karena memenuhi keinginan ayahnya. Hanya senyum di wajah ayahnya-lah yang dia pedulikan. “Kita sudah sampai,” ucap Jose saat mobil berhenti tepat di depan tangga putih yang mengarah ke teras depan dengan pintu utama yang berwarna putih berkilau. Thalia turun dari mobil dan dengan segera langkah kakinya terasa berat memasuki rumah itu. Tuntunan
“Kasih sayang dan cinta. Dua hal itu yang sangat kurang dalam hidupmu, bukan?” Ucapan Thalia itu jelas menyinggungnya. Meskipun Jose tidak merasa terlalu sakit hati, tapi itu jelas menyinggungnya. Thalia benar, mereka tidak saling mengenal, tapi kenyataan bahwa gadis itu tahu sedikit banyak tentang dirinya, pastilah kalau bukan karena mendengarkan rumor yang beredar, dia pasti mendengar dari Fernando sialan. Jose menarik napas dalam-dalam, mengisi paru-parunya dengan oksigen, agar tubuhnya tidak mendidihkan amarah. Entah kenapa, dia merasa istrinya itu tidak akan menjadi sosok yang mudah, yang penurut. Padahal, dua hal itu adalah yang paling dia inginkan agar tidak terjadi percekcokan yang membuatnya mengeluarkan keberingasannya. Dia sangat mengetahui dirinya sendiri. Terpicu amarah sedikit saja, keinginan untuk membuat lawannya babak belur sangatlah besar. “Gantilah pakaianmu, sebentar lagi makan malam,” kata Jose pada akhirnya, setelah d
‘Fiuuuuh! Ya ampun!’ seru Thalia di dalam hatinya sendiri. Gadis itu juga mengerjap-ngerjapkan matanya yang masih tak mampu menepis bayangan akan otot-otot bisep yang terawat dengan baik di tubuh suami di atas kertasnya tadi. Hampir seluruh tubuh Jose yang tertutupi oleh baju, dipenuhi dengan tato. Tato naga di punggungnya, tato wajah ibunya di lengan kanannya, serta tato bergambar pedang samurai di lengan kirinya. Tato! Ya, tentu saja! Jose Antonio sangat bertolak belakang dengan Fernando. Jika Fernando bertubuh ideal dengan wajah yang selalu ramah, Jose bertubuh besar, berotot, bertato, dan memancarkan aura liar yang mengerikan. Masalahnya, tato-tato itu juga… memesona. Seperti penggabungan seni dan pemberontakan. Dan itu semua ada di tubuh Jose. Thalia menepis kuat semua pemikirannya itu. Bagaimana bisa dia menyebut makhluk itu memesona? Tidak! Dia tidak boleh mengubah pendapatnya tentang suami di atas kertasnya itu. Jose Antonio adalah pri
“Kita tetap tidur satu ranjang setiap hari!”Kata-kata Jose itu terus bergema dalam benak Thalia meskipun dia sudah memejamkan kedua matanya selama lebih dari satu jam. Rasa frustrasi sudah menderanya karena dia tak kunjung jatuh tertidur, sedangkan malam sudah semakin larut. Terlebih lagi, besok adalah hari di mana ayahnya akan dioperasi. Dan operasinya dijadwalkan besok pagi.Bagi Thalia, sungguh konyol syarat yang diminta suami di atas kertasnya itu. Baginya, Jose sama dengan meminta ‘minyak’ di saat Thalia melarang ‘api’.Lagipula, bukan hal yang nyaman tidur satu ranjang dengan makhluk satu itu. Sekalipun ranjang ini berukuran king size, tapi tubuh Jose sendiri sudah memakan tempat lebih dari separuh ranjangnya. Thalia bagai anak kucing yang bergelung di tepian ranjang mereka, tidur memunggungi Jose, tanpa bergerak sedikitpun.Thalia kesal sampai ke ubun-ubunnya. Dan semua itu membuatnya tak mampu ber
Selama setengah jam terakhir, Thalia hanya mondar mandir gelisah di koridor depan ruangan operasi. Ayahnya sudah berada di dalam sana selama lima jam dan belum ada tanda-tanda dokter keluar dari sana. Semua yang menunggu semakin diliputi kekalutan. Terlebih lagi Thalia, yang benak dan hatinya masih terngiang-ngiang segala ucapan Jose tadi. Meskipun beberapa jam telah berlalu, tetapi darahnya masih meletupkan didihan amarah yang diakibatkan kata-kata pria itu. “Bagaimana operasinya, Dok?” seru Camila saat dilihatnya pintu ruangan operasi dibuka dan dokter baru melangkah keluar dari sana. Thalia dan Ramona, reflex ikut berdiri dengan jantung berdebar-debar menanti kabar dari sang dokter. “Operasinya sukses,” kata sang dokter. “Ayah kalian bertahan dengan penuh semangat. Sebentar lagi akan dipindahkan ke ruang recovery. Saya rasa, untuk saat ini, satu orang saja yang menjaganya. Karena beliau masih belum bisa bangun terlalu lama. Beberapa hari lagi, saat kondisinya mulai stabil barula
Penerangan di dalam ruangan tidak terlalu banyak. Juga meja dan kursi yang tersedia tidaklah banyak. Hanya beberapa saja ala kadarnya untuk pengunjung yang ingin minum meredakan ketegangan. Hanya saja, suara hiruk pikuk, yang awalnya samar-samar, terdengar semakin jelas seiring dengan langkah kaki Jose yang semakin jauh masuk ke dalam. Hanya ada beberapa orang yang hilir mudik di sana. Tak menggubris semua itu, dengan langkah lebarnya, Jose menuju tangga dan turun ke bawah, ke ruang bawah tanah. Suara hiruk pikuk –teriakan, makian, sorakan, serta tepuk tangan- membahana semakin jelas dari sana. Begitu kakinya menjejak lantai di bawah sana, beberapa orang yang berdiri di dekat sana langsung menyapanya. “Hei, Jose! Kenapa kau tidak datang kemarin malam?” Adriano, teman yang selalu ada baginya saat berada di area club ini, menghampirinya. Entah pria itu mempunyai radar atau antenna, setiap kali Jose datang, seramai apapun situasi club, pria berusia 28 tahun ini selalu tahu, dan selal
“Oh my God! Kau yang jadi istrinya Jose?” Tawa Maritza menggelegar seketika. Maritza adalah adik kelasnya, dua tahun di bawahnya. Thalia pernah bertemu Maritza sewaktu dulu dia masih bersama Fernando. Gadis itu baik terhadapnya … dulu. Sekarang, gadis berambut blonde itu terlihat terkejut mendapati fakta bahwa Thalia-lah yang menikah dengan kakak tirinya. Tawanya menggelegar seketika. “Hahaha … kau yang jadi istrinya si monster itu? Hahaha.” Thalia terkesiap mendengar kata ‘monster’ yang merujuk pada Jose. Kenapa kata julukannya sama dengan yang dia gunakan? Pantas saja suami di atas kertasnya tadi mendeliknya tajam saat mendengarnya menyebutnya monster. Rasa bersalah menyelinap di hatinya, sedikit. Tapi Thalia tidak punya waktu untuk memikirkan perasaan Jose saat itu. Dia terkejut akan tawa yang menggelegar dari mulut Maritza, adik iparnya itu. Kenapa dia tertawa sih? Dari sudut ruangan, terlihat wanita paruh baya yang wajahny