“Berjanjilah, okay?”“Damian, ada apa?” Alih-alih langsung mengiyakan, Nayla justru balik bertanya.Tatapan Damian tertahan. Matanya menyorot wajah Nayla lebih lama dari biasanya, seakan sedang menciptakan ruang untuk mencari jawaban yang aman. Namun, hingga beberapa detik kemudian, yang keluar hanyalah jeda panjang. Garis wajahnya tetap sama. Datar dan terkendali dengan ketenangan yang nyaris dibuat-buat.Bibir Damian sempat terbuka, seperti hendak memberi penjelasan, tapi segera menutup rapat kembali. Rahangnya mengeras sejenak, lalu melembut lagi. Pandangannya sesaat jatuh ke arah meja demi menghindari tatapan Nayla. Rasanya ingin sekali menyapu bersih pertanyaan itu dan menganggapnya seolah tak pernah ada.Masih tak bersuara, tangan kanan Damian mulai mencoba mendistraksi dengan bergerak ke atas meja. Dia kemudian mendorong cangkir teh agar lebih dekat ke posisi Nayla. Namun, Nayla masih setia menunggu jawaban Damian.“Tehmu hampir dingin. Minumlah dulu,” ucapnya pelan, nadanya rin
Pagi yang tenang, tidak menjamin siangnya juga akan tenang. Meja makan tidak lagi penuh piring, hanya gelas air setengah terisi, dan piring kecil dengan potongan buah yang tersisa dua. Nayla sedang berdiri di depan wastafel saat tiba-tiba mendengar Damian mengumpat.“Fuck!”Nayla tersentak kecil dan menoleh dengan cepat. “Ada sesuatu?”Tangan Damian masih menggenggam ponsel. Ada jeda singkat, hanya sedetik saja, saat wajahnya sempat menampilkan kegugupan. Namun, detik berikutnya, dia sudah menegakkan diri. Sikapnya kembali kokoh seolah celah tadi tidak pernah ada.“Tidak ada,” ucap Damian singkat.Nayla hanya mengangkat bahu, lalu kembali ke arah wastafel. Rambutnya diikat ke atas secara asal, beberapa helai lepas menempel di pelipis. Dia tampak masih belum terganggu dengan gerak-gerik Damian yang kali ini sedikit berbeda.Damian duduk di kursi bar dekat meja dapur dengan diam, tapi tegang. Punggungnya tegak dengan satu siku menyentuh meja, seolah menahan tubuhnya agar tidak goyah. Ta
Nayla membaca pelan, kata demi kata, seperti menelan pil tanpa air. Tenggorokannya kering. Di sudut layar, ratusan komentar bermunculan.Dia kemudian memilih untuk lebih baik meletakkan ponsel di pangkuan, lalu menatap lurus pada jarak kosong di hadapannya. Damian menghampirinya tanpa suara, menyentuhkan ujung jarinya pada layar, dan membalik ponsel hingga menghadap ke meja.“Makan dulu,” katanya datar.Nayla hampir mengatakan bahwa dia tidak lapar, bahwa udara pun seperti menolak masuk. Namun, Damian sudah terlebih dulu memaksa sepotong roti untuk mengetuk mulut.Ponsel Nayla kembali bergetar, dan kali ini getarannya seperti terasa sampai ke tulang. Damian menoleh sekali. Berbekal wajah yang sudah tampak jengah, dia lantas mengeluarkan ponselnya sendiri, bangkit dari meja, lalu berjalan menjauh ke halaman belakang.“Andy,” ucapnya, begitu telepon sudah tersambung.“Ya, halo, Damian.”“Bereskan semua nomor yang masuk ke ponsel Nayla. Aku tidak mau ada yang mengganggunya lagi mulai hari
Gambar-gambar kecelakaan itu kembali melintas di kepala Nayla, tapi sekarang tidak lagi memukul. Dia memejamkan mata lebih lama, mengatur napas seperti semalam. Tarik, tahan, lepas. Detak jantungnya mengikuti ritme yang dia pinjam dari dada Damian.Air hangat memukul kulit, membuka pori, meluruhkan sisa lengket air mata. Nayla masih berdiri di bawah pancuran. Kedua telapak menempel di dinding, membiarkan hangat itu masuk ke bahu. Selesai mandi, handuk melilit tubuh dengan rambut yang masih menetes. Di kursi kecil dekat lemari, Damian sudah menaruh kaos longgar dan celana rumah milik Nayla sendiri, tapi sudah diambilkan tanpa perlu diminta. Ada catatan kecil di atasnya yang membuat Nayla menggeleng pelan. ‘Jangan berdandan terlalu cantik, atau kamu akan menjadi hidangan penutup di sarapanku pagi ini.’“Pagi,” ucap Nayla begitu keluar dari kamarnya.Adrian yang sedang berada di ambang pintu belakang tampak menoleh dan memaksakan senyuman. “Pagi, Nayla.”Tak jauh dari Adrian, Damian tid
Pagi datang tanpa drama. Kelopak mata Nayla terasa berat. Baru ketika berhasil membuka matanya lebar-lebar, dia menyadari bahwa Damian sedang duduk di tepi ranjangnya.Nayla mengangkat kepala sedikit. Gambar kecelakaan Nathan semalam kembali melintas. Lampu merah-biru, mobil ringsek, dan garis kuning. Perutnya mengerut. Dia menahan napas sampai rasa mual itu mundur setapak.“Perutmu tidak nyaman?” tebak Damian.Nayla lantas melihat wajah Damian dari dekat. Garis wajah tegas, alis teduh, bibir yang tidak tampak menghakimi ketika sedang diam. Pengawas dan tempat beristirahat dalam satu tubuh sekaligus. Dia memejam lagi, menempelkan dahi ke arah Damian.“Kamu baik-baik saja?” tanya Damian.Nayla mendongak. Ingatan tentang bagaimana hubungan mereka selama ini lantas berputar di dalam benak. Sejak awal, penolakan Nayla terhadap Damian bukanlah penolakan mutlak. Sepertinya, itu hanyalah cara tubuh dan pikirannya melawan sesuatu yang terlalu besar untuk dia akui.Ada sisi dalam dirinya yang
Di ruang tengah, Adrian duduk di sofa dengan tubuh condong ke depan. Kedua sikunya menumpu beban tubuh pada lutut. Lampu di rumah itu hanya menyisakan cahaya tipis dari meja sudut. Adrian terus menunggu, tanpa tahu apa yang sebenarnya dia tunggu. Sesekali, dia mengangkat kepala ke arah koridor. Namun, hening.Ketika akhirnya terdengar langkah pelan, Adrian menegakkan punggung. Damian muncul dari pintu kamar Nayla dengan satu tangan di saku celana. Kemejanya kusut sedikit dan lengan digulung sampai siku.Tanpa memedulikan Adrian yang terus menatapnya, Damian justru berjalan ke arah dapur. Seperti biasa, dia tampak santai, membuka kulkas, mengambil botol air, lalu menenggaknya hingga sisa separuh.“Permainan apa lagi kali ini?” Suara Adrian rendah.Damian tidak terkejut. Dia menoleh sedikit, menatap Adrian di atas bahu. “Apa maksudmu?”“Jadi kecurigaanku selama ini benar? Aku tahu tidak mungkin tidak ada apa-apa di antara kalian. Kamu pikir aku tidak bisa membaca itu?”“Okay. Lalu?” tan