Nayla tak tidur malam itu. Isi kepalanya terus bergerak tanpa arah. Persis seperti kompas yang kehilangan utara.Ponsel masih menyala di tangannya. Dunia mungkin tengah merayakan kehancuran Nathan. Namun, di dalam dirinya justru merasakan kekosongan yang ganjil. Seolah balas dendam itu datang terlalu cepat, terlalu kejam, dan terlalu sunyi.“Nayla.”Suara lirih dari balik pintu nyaris tidak tertangkap rungu. Namun, sunyinya ruang membuat Nayla bisa mendengar dengan cukup jelas bagaimana namanya dipanggil. Meski begitu, bibirnya tetap tidak tergerak untuk menjawab.Pintu kamar tamu itu terkunci. Namun, tentu tidak berlaku untuk si pemilik rumah.Tanpa permisi, Damian memutar handle. Dan benar saja, pintu itu langsung terbuka. Tidak semua kunci bekerja padanya. Beberapa, barangkali, memang memilih menyerah.Di tangan kiri Damian, tergantung satu set pakaian tidur dan perlengkapan pribadi untuk Nayla. Semua dibungkus rapi. Tidak ada
Nathan sekarat.Napasnya memburu. Embusannya tidak teratur, seperti orang yang baru saja dikeluarkan dari air setelah hampir tenggelam. Keringat dingin menetes dari pelipis, menyusuri garis rahang, dan berhenti di leher yang menegang.Lututnya goyah. Tubuhnya limbung. Jantungnya berdebar cepat oleh rasa panik yang tak bisa dia atasi. Emosinya meledak, mengguncang setiap sudut pikirannya."Fucking hell!" bentaknya sambil menendang meja kecil di depannya.Dengan satu hentakan, dia melempar vas kristal di atas meja. Suara pecahnya memenuhi ruangan, tapi tak cukup untuk menyaingi dentuman di dadanya.Tangannya menabrak sisi meja, menjatuhkan laptop dan kertas-kertas kontrak yang baru seminggu lalu ditandatangani. Selembar foto promosi film terbang dan mendarat di lantai, tepat di atas pecahan kaca.“Sialan!”Tumpukan majalah promosi berserakan. Gelas kopi pecah, cairannya menyebar di atas marmer seperti noda malu yang tak bi
Ponsel Nathan bergetar menampilkan notifikasi baru. Matanya tertuju pada beberapa artikel lain, lengkap dengan ratusan komentar yang sudah hinggap dengan cepat. Ibu jarinya lantas terhenti pada satu headline yang paling ramai.‘Nathan Diam-Diam Memiliki Koleksi Video Seks Bersama Selingkuhan.’Dunia seperti runtuh menimpa bahunya. Kepalanya tertunduk, dan untuk sesaat, dia tidak bisa mengingat siapa dirinya. Semua nama, semua gelar, semua prestasi tenggelam di balik tumpukan skandal.Tangannya mengusap wajah. Matanya panas. Setengah menangis, setengah marah. Sebab kehancuran yang kini datang bukan hanya dari satu arah, tapi dari ribuan panah yang dilepaskan bersamaan.Tidak ada yang bisa dia lakukan selain menonton dirinya sendiri jatuh. Dunia maya berubah jadi sidang terbuka. Sedangkan Nayla? Dia bahkan tidak perlu mengatakan satu kata pun untuk membuat Nathan dihabisi.“Bitch!” pekik Nathan.Matanya terpejam sejenak. Dia meneka
Nathan meraih ponsel yang semula teronggok di sofa. Kontak Nayla langsung dibuka. Dia mengetik pesan dengan cepat, kasar, nyaris tanpa jeda.[Nayla, kamu puas sekarang? Ini semua gara-gara kamu! Kamu yang mulai! Foto-foto itu kamu yang sebar, kan?]Tak ada balasan.Dia menekan tombol panggilan. Nada sambung mendengung di telinga. Sekali, dua kali, lalu mati.Nathan memaki sambil mengusap wajahnya dengan telapak tangan yang dingin. Beberapa saat sudah lewat tanpa ada hasil. Layar ponselnya terus menyala, tapi bukan notifikasi dari Nayla, melainkan deretan komen dan pesan bernada mengerikan.Tombol panggil kembali ditekan, tapi masih tidak ada jawaban.Dengan tubuh yang sudah merosot ke lantai, dia membuka ruang percakapannya dengan Nayla lagi. Pesan terkirim satu demi satu, nyaris tanpa jeda. Abjad yang tersusun mengisyaratkan ledakan emosi yang tak bisa dibendung.[Nayla, jawab aku. Apa kamu yang sebar video itu? Aku tah
Entah berbekal keberanian atau kecerobohan, Nathan akhirnya membuka kontak, menelusuri nama wanita itu. Lana, model sekaligus Brand Ambassador parfum yang sempat bekerja sama dengannya beberapa bulan lalu. Jemarinya mengetuk layar dengan gemetar yang berasal dari amarah yang buta.Panggilan tersambung. Nada tunggu terdengar sekali. Dua kali. Lalu tersambung."Nathan?" suara wanita itu terdengar pelan, nyaris seperti bisikan yang masih belum sadar situasi.“Jadi kamu yang membocorkan?!” bentaknya, tanpa salam, tanpa jeda. Suaranya tajam seperti pecahan kaca yang menghantam dinding malam.“Apa?” Lana terdengar bingung.“Jangan pura-pura, Lana. Rekaman di rooftop. Itu malam saat kita di Hotel Avalon, kan? Hanya kita berdua yang tahu soal itu! Apa kamu yang merekam? Atau kamu yang sengaja membuat jebakan dari awal?!”Lana terdiam beberapa detik. Mungkin mencoba mengerti. Mungkin mencoba menahan tangis.“Apakah kamu sudah gil
Layar ponsel adalah satu-satunya hal yang kini menyita fokus Nathan. Jemarinya mencengkeram terlalu kuat, seperti sedang mencekik leher musuh tak kasat mata. Portal berita yang dia baca sedang menyuguhkan penampakan neraka dunia.Video, foto, lalu cuplikan percakapan yang entah bagaimana bisa bocor. Belum lagi beberapa dokumen yang seharusnya tidak jadi konsumsi publik. Semua muncul di linimasa, diseret seperti bangkai yang dipajang di tengah kota.“Apa-apaan ini,” gumamnya lirih, nyaris seperti mendesis.Beberapa menit yang lalu, senyuman masih menghiasi wajah Nathan. Senyum licin seorang pemenang yang baru saja memikat publik dengan permainan kata di depan kamera. Sorot matanya penuh percaya diri, langkahnya mantap seolah dunia sudah jatuh di telapak tangannya. Namun, kini, hanya dalam hitungan menit, semuanya runtuh.Tarikan bibir telah digantikan oleh rahang yang mengeras. Alih-alih menampakkan tatapan yang memikat, bola matanya kini justru te