Nayla hanya mampu menarik napas panjang saat Damian menunduk, menjelajahi setiap inci dirinya dengan ciuman yang semakin panas. Lidahnya, tangannya, tubuhnya, semuanya bicara dalam bahasa yang hanya mereka berdua pahami.Dan malam pun menjadi saksi, ketika gumpalan emosi meleleh menjadi satu. Tidak ada batas. Tidak ada jeda. Hanya dua orang yang terbakar dalam ketertarikan yang terlalu dalam untuk disangkal.Damian tak memberinya ruang untuk bernapas. Sentuhannya bergerak cepat, tapi tak pernah terburu-buru. Dia tahu betul apa yang membuat Nayla bergetar, dan dia memainkannya seperti seorang maestro memainkan alat musik yang paling dikenalnya.“Tubuhmu sangat menyukaiku, Nayla. Lebih dari dia menyukai siapapun,” gumam Damian saat jarinya melingkar lembut di titik paling sensitif.Nayla mengerang. Lengannya melingkari leher Damian, mencoba mencengkeram apa pun yang bisa membuatnya tetap berada di bumi.Namun, … dia melayang.Guncangan pertama menghampirinya seperti badai. Nayla melengk
Tubuh Nayla masih bersandar di dinding ketika Damian kembali menutup jarak. Di antara napas yang masih tercekat, Nayla tahu kalau dia sedang jatuh. Bukan pada cinta, tapi pada kehancuran yang terasa terlalu nikmat untuk ditolak."Aku benci kamu, Damian," desisnya, pelan, nyaris tak terdengar.Damian mengangkat wajahnya dengan satu tangan. Ibu jarinya menyentuh dagu Nayla, memaksa mata mereka bertemu. “Tapi kamu tidak pernah membenci sentuhanku.”Damian memandangi Nayla seperti memandangi mimpi yang tak pernah benar-benar bisa dia miliki. Tangannya menyapu pipi Nayla pelan, lalu turun ke leher, dan berakhir di tulang selangka yang naik turun selaras dengan deru napas."Aku seharusnya menjauh darimu," gumam Nayla, antara sadar dan tak lagi peduli.Damian tak langsung menjawab. Dia mendekat pelan, lalu mencium bagian bawah rahangnya. “Tapi itu mustahil.”“Berhenti berbicara seolah kamu yang berkuasa.”Mendengarnya, tiba-tiba tangan Damian mencengkeram leher Nayla. Ibu jarinya berlabuh di
Satu pesan masuk dari akun seorang wanita yang Nayla kenal. Tanpa sapaan, tanpa basa-basi, dia hanya mengirim satu foto.Nathan.Telanjang.Tertidur di atas ranjang dengan sprei kusut.Dan lengan wanita itu terlihat jelas. Dia berbaring di sampingnya, dan sebagian wajahnya masuk ke dalam frame.Pesan singkat muncul di detik selanjutnya.-[Kamu masih percaya dia? Tapi dia tampak sangat menikmati yang baru saja terjadi di atas ranjang ini.]-Rasa sesak yang tadi sempat mereda, kembali menyerbu dengan kekuatan berlipat. Kali ini lebih dalam. Lebih memalukan. Lebih menyakitkan.Bagaimana tidak? Hal yang paling menertawakan dirinya bukan lagi dunia, tapi orang yang masih dia coba lindungi.Rasanya seperti seseorang baru saja menampar wajahnya dengan besi panas.Bukan hanya karena pengkhianatan itu nyata, tapi karena dia masih sempat berharap. Masih sempat berpikir mungkin Nathan menyesal. Masih sempat mengira dia panta
Kalah.Ya. Nayla akhirnya mengakui kalau dirinya kalah. Dan kekalahan terbesarnya bukan karena dikhianati. Melainkan karena hatinya masih saja mencintai setelah dihancurkan. Perasaan dalam dirinya tidak ikut mati saat kepercayaannya dibakar habis.-Nathan:--[Nayla, aku tahu aku bukan orang yang pantas bicara tentang penyesalan. Tapi malam ini, aku benar-benar merasakannya. Bukan hanya sebagai suami yang gagal, tapi sebagai manusia yang kehilangan rumahnya.]--[Aku tidak akan membela diri. Mungkin semua kata-kataku akan terdengar kosong di telingamu sekarang. Tapi satu hal yang tak pernah berubah, bahkan saat aku hancurkan segalanya adalah kamu. Rasa itu tetap tinggal.]--[Kalau kamu sudah benar-benar marah, aku mengerti. Tapi izinkan aku minta satu hal saja, jangan hapus aku dari hidupmu secepat itu.]-Nayla membaca pesan panjang itu tanpa kedipan. Deretan kata itu tampak berbeda.Pesan Nathan tidak lagi dibungkus amarah, tidak pula dengan kalimat manis palsu yang menggoda untuk dipe
-Nathan:--[Yang ada di media, tidak seperti yang terlihat, Nay. You have to speak up.]-Pesan dari Nathan mau tak mau menarik pandang mata Nayla agar kembali ke layar ponsel. Membacanya, Nayla tersenyum, nyaris tertawa. 'Lucu sekali,' pikir Nayla.Kalimat Nathan terasa seperti naskah murahan. Seolah publiklah yang salah melihat. Seolah kameralah yang terlalu jujur dalam membidik gambar. Padahal, dia masih menggunakan jas yang sama seperti saat duduk di sebelah Nayla tadi. Bahkan, dasi yang dia kenakan masih terpasang rapi seperti saat mendampingi Nayla beberapa jam lalu.Nathan bukan pria bodoh. Namun, sungguh, dia terlalu bodoh jika berpikir kalau dunia akan percaya pada penjelasannya yang lebih buruk daripada narasi karangan seorang balita.-Nathan:--[Kita bisa katakan kalau pertemuan aku dan dia hanya sebatas profesionalitas kerja. Kita harus satu suara agar tidak ada yang curiga.]-Nayla mengusap wajah begitu membaca pesan ke dua. Kini, dia sudah tidak marah. Menangis pun sudah
Nayla dihantam oleh kebisingan yang tak bersuara. Layar ponsel terus berkedip seperti denyut luka yang masih menganga. Notifikasi berdatangan tanpa jeda, menampakkan ratusan komentar yang menyebut namanya di beberapa unggahan foto Nathan bersama seorang wanita yang dia kenal dengan cukup baik.“Apa-apaan ini,” bisik Nayla.Nathan berjalan dengan tangan yang mengalung ke pinggang wanita bergaun hitam. Tubuh mereka yang tak berjarak cukup mendeskripsikan kalau hubungan di antara mereka bukan hanya sekadar kolega. Terlebih, saat mereka tersenyum tanpa ada rasa canggung.Sakit itu datang lagi. Menyelinap diam-diam seperti pencuri, lalu menikam tepat di sayatan yang belum sempat mengering. Mungkin luka itu memang tak bisa sembuh. Tak layak untuk diberi obat.Ya, Nayla memang telah memutuskan untuk pergi. Ya, dia tahu bahwa pernikahan mereka sudah tidak untuk diselamatkan. Namun, tetap saja, hatinya berdarah-darah sederas guyuran hujan.Nayla sudah tahu sejak lama siapa Nathan sebenarnya. D