....
Buffalo, 1 November 2020Aku terhempas. Aspal yang dingin menyambutku. Pipiku memanas bekas tamparan. Sherry berada di depanku, mengamuk dengan kata-kata yang tak pernah kupercaya sanggup dia katakan. Suaranya melengking di setiap tarikan napas dan matanya berkobar penuh amarah. Aku sendiri sudah berkaca-kaca menghadapinya."Sherry-""Diam, Jalang. Jangan memanggilku dengan mulut busukmu itu!" Dia bahkan tak memberiku kesempatan menjelaskan sama sekali.Sedangkan aku tak benar-benar mengerti apa yang tengah terjadi, ucapanku selalu tertelan di tenggorokan. Aku masih setengah sadar saat Sherry menjambak rambutku dan menyeretku keluar dari apartemen kami."Kau tidur dengannya! Kau menggodanya! Kau merebutnya dariku! Penghianat!" raungnya.Aku menggeleng lemah. Telapak tanganku masih berusaha meraihnya. "Itu tak benar-""Tutup mulutmu!" Sherry mendorongku menjauh. Dia biarkan aku tersungkur ke belakang. Dia melihatku seolah-olah aku begitu menjijikan.Benar-benar mimpi buruk. Sherry murka. Sedangkan Daniel, kekasih Sherry yang bajingan itu sudah melarikan diri sejak kami tertangkap basah di atas ranjangku. Yang mana aku tak mengerti bagaimana caranya pria itu bisa berbaring di sana sambil memelukku, sedangkan pintu kamar selalu kukunci setiap malam."Enyah! Aku membencimu! Aku tak mau melihatmu lagi, Elina!" Sherry membanting pintu apartemen kami kencang."Sherry, tidak, kumohon ...." Aku mengetuk pintu apartemen dengan putus asa, memohon agar didengarkan, tapi tak ada kesempatan. Hatiku berdesir kecewa. Aku terus memanggil namanya berkali-kali sampai suaraku tercekat. Pada akhirnya air mataku luluh juga.Hatiku sakit. Bukan hanya karena aku menerima perlakuannya barusan, tetapi karena pada akhirnya aku tersadar. Persahabatan kami hanya disimpul oleh seutas tali yang rapuh. Dengan mudahnya hubungan kami hancur, bahkan sebelum aku diberi kesempatan memperbaikinya.Padahal kami baru saja memulai mimpi kami tiga hari lalu dari pinggiran New York ke Buffalo. Aku bahkan belum menemukan pekerjaan yang cocok di kota ini, tapi Sherry sudah begitu tega mengusirku dari apartemen kami.....Aku tak memiliki pilihan lain selain menyelusuri jalan setapak di pinggiran kota. Berjalan tanpa alas kaki dengan langkah terseok dan tubuh menggigil. Aku mencari-cari rumah, atau toko yang lampunya masih menyala. Berharap kemurahan hati pemiliknya agar aku dibiarkan berteduh sementara. Kalau sampai tengah malam nanti aku tak menjumpai apapun, maka aku akan berteduh di kotak telepon umum. Itu lebih baik ketimbang harus mati konyol akibat kedinginan.Suasana di sekitarku begitu sunyi. Di setiap langkah, aku merasa ngeri. Tak ada orang yang berlalu lalang. Di setiap gang-gang kecil yang kulewati, bahaya terasa mengintai. Terlebih, beberapa minggu belakangan kasus penembakan semakin senter terdengar.Kemudian di sudut jalan setelah jembatan penyeberangan, kulihat ada sebuah restoran dengan bingkai pintu yang sedikit terbuka. Lampu restoran juga masih menyala terang meskipun aku tak melihat ada pengunjung di dalamnya. Dengan kepercayaan diri yang kupaksakan, aku masuk ke dalam dengan berhati-hati. Aku langsung disambut oleh seorang wanita berambut brunette, bertubuh sekal, dan bermata cokelat tua yang lebih tinggi beberapa senti dariku."Halo," cicitku.Wanita itu melihatku dari atas ke bawah, lalu dari bawah ke atas. Ketika pandangan kami bertemu, senyum simpul dia berikan. Aku malu, benar-benar malu sampai tak bisa bergerak seinci pun dari tempatku."Sepuluh menit lagi kami tutup," ujarnya.Itu adalah penolakan secara halus. Aku mulai gelisah. "Bolehkah aku menumpang satu malam saja? Aku benar-benar meminta tolong, Nyonya.""Apa yang terjadi padamu?""Aku berkelahi dengan teman seapartemenku. Dia mengusirku. Aku tak bisa kembali saat ini. Aku sangat berharap kemurahan hatimu. Hanya malam ini saja," pintaku memohon.Wanita itu menatapku prihatin, tetapi dia tetap menggeleng. "Oh Dear, maafkan aku, tapi aku tak bisa mengizinkanmu."Ini bukan penolakan pertama yang kudapatkan. Salah satu penghuni rumah di Blok seberang bahkan mengusirku dengan begitu kasar. Mereka hampil menghajarku dengan tongkat baseball. Mereka pikir aku adalah pencuri yang berpura-pura menjadi gelandangan."Tapi kau bisa memakai losmen tak terpakai di belakang restoran ini. Well, memang tak ada kasur di sana, tapi kau bisa meminjam taplak meja dari sini sebagai gantinya."Bak diberi secercah harapan, aku mengangguk penuh syukur. "Terimakasih. Ini sudah lebih dari cukup." Ini lebih baik dari pada harus tidur di jalanan.Wanita itu menghela napas panjang. "Sebentar lagi musim dingin. Cobalah mendaftar di Shelter. Kalau kau beruntung, kau akan mendapat tempat tinggal dan pekerjaan. Lebih baik kau memulai hidup baru di sana dari pada, maaf, menggelandang."Aku mengusap lenganku. Kebiasaanku ketika merasa tidak nyaman. "I-iya, terimakasih banyak sudah mau menolongku, Nyonya.".....Wanita yang kupanggil nyonya itu bernama Lucy. Dia adalah manager restoran yang menyelamatkan hidupku malam ini. Dia lembut, murah senyum, dan baik hati. Dia tak hanya memberiku dua lembar taplak meja, tetapi juga memberiku satu porsi burger hangat lengkap dengan minumannya. Setelah aku menceritakan apa yang tengah terjadi padaku, dia memelukku dan mengusap punggungku dengan penuh penghiburan. Katanya, Tuhan sedang mengujiku. Yang harus kulakukan adalah bertahan sampai ujiannya berakhir.Kini aku berada di losmen yang dia janjikan. Mungkin sudah hampir tengah malam, aku tak yakin, tak ada jam di sini. Aku berbaring dengan posisi duduk di sudut ruangan. Taplak meja sudah kugelar menumpuk, tetapi dingin masih terasa menggerogoti tulang. Beberapa kali aku mengubah posisiku, tetapi belum juga mendapat posisi yang nyaman. Kakiku yang lecet terasa perih sekali.Aku kesal pada keadaanku sendiri. Mengapa hidup begitu sulit sekarang? Apakah selama ini aku telah mengambil jalan yang salah? Gadis kampung sepertiku sebaiknya memang tak bermimpi hidup di kota besar. Aku tak tau apa yang harus kulakukan. Diusir oleh Sherry tak pernah ada dalam bayanganku sebelumnya.Tak ada jawaban dari setiap pertanyaan yang kutanyakan, kecuali penyesalan yang semakin menumpuk, juga kemarahan pada diri sendiri. Sementara itu waktu terus berjalan dan aku mulai mengantuk. Sambil memejamkan mata, aku berharap, semoga esok hari menjadi lebih baik lagi...........Aku kembali ke restoran di pagi hari. Pintunya terkunci dan lampunya belum menyala. Restoran masih tutup. Aku memutuskan berjongkok di depan bangunan dan melihat banyak orang berlalu lalang dengan cepat. Mereka terlihat sibuk dengan kehidupan mereka. Apakah semua orang berjalan maju dan hanya aku saja yang mengalami kemunduran? Aku jadi berkecil hati. Aku merasa iri. Mengapa hidup begitu mudah bagi orang lain dan begitu sulit untukku?"Elina?" "Ya?" Aku mendongak saat namaku dipanggil. Lucy hampir sampai di hadapanku. Dia memakai mantel abu-abu yang terlihat hangat membungkus kulitnya. Telapak tangannya dilapisi sarung tangan hitam dan lehernya diselimuti craf kunyit yang tebal. Nyaman dan tidak kedinginan. Sekali lagi aku merasa iri atas keberuntungan yang Tuhan berikan pada hambanya yang lain. Mengapa aku tak bisa mendapatkan hal yang sama?"Halo, Lucy," sapaku. Aku tak lagi memanggilnya nyonya sebab dia melarangku semalam.Lucy mengulurkan tangannya, mengajakku berdiri. "Oh
Gadis-gadis ini adalah kumpulan orang gila. Begitu pikirku."Gurls, percayalah padaku. Ini aman. Aku sudah mencobanya. Lihat kaos Dior ini. Kalian pikir ini palsu? Aku mendapatkannya dari upah video yang kubuat." Aku meletakan makanan secepat yang aku bisa. Benar-benar. Apakah urat malu mereka sudah putus? Mereka yang mengumbar privasi, tapi aku yang merasa malu di sini."Apakah ada lagi yang bisa saya bantu, Nona?" tanyaku sambil mengangkat nampan. "Pelayan, jauhkan minuman itu dari tasku. Kau tak akan mampu mengganti rugi kalau sampai minuman itu mengotorinya."Ditegur seperti itu, aku segera memindahkan posisi minumannya. "Maafkan saya. Ada lagi, Nona?""Tidak. Pergilah. Kami akan memanggilmu kalau butuh sesuatu. Ini tipsnya. Belilah kemeja baru. Penampilanmu di balik apron itu menyedihkan." Salah seorang dari mereka, yang berkuku lentik berwarna pink barbie mengusirku dengan kibasan tangan. Aku berusaha mengulas senyum tipis. "Jangan sungkan memanggil saya kembali. Selamat menik
"Jalang, berhenti membuat drama! Lunasi hutangmu. Jangan sok amnesia, atau kau mau kubuat benar-benar amnesia?!"Salah seorang dari mereka meletakkan kakinya di kepalaku. "Kuberi waktu tujuh hari lagi dari sekarang. Kalau sampai hari itu kau tak mengembalikannya-" Pria itu tak melanjutkan kalimatnya, tetapi tangannya membuat gestur pistol dan menembakan pistol itu ke kepalaku. "Mati saja. Organ dalam sialanmu seharusnya cukup mengganti uang yang kau pinjam!" "Jangan kabur! Kau tak bisa bersembunyi! Kami akan mengejarmu sampai mati!" gertak pria yang satunya lagi. Kemudian mereka pergi setelah menendang pot bunga berkali-kali, menghancurkan pagar apartemen, dan melempariku dengan tanaman yang sudah mati. Aku termenung. Tak sanggup bangkit. Aku tak menyangka, juga kebingungan. Aku hanya duduk diam dengan kepala berdenyut yang terasa seperti mau pecah."Elina." Sampai kudengar seseorang memanggilku dari kejauhan. Aku mendongak. Azumaya berjalan dari rumah seberang dengan hati-hati. Dia
.....Setelah pernyataan cinta dari Azumaya, aku segera pamit dari hadapannya sambil menarik koperku keluar. Tak baik untukku belama-lama di sana. Aku tak sepolos itu sampai tak bisa berpikir kalau aku baru saja menghancurkan hatinya dengan penolakan.Selama perjalanan menuju losmen, aku tak merasa aman sama sekali. Aku terus berusaha menutupi diriku dan menunduk. Aku takut rentenir itu mengikutiku sampai losmen dan membuat kekacauan di sana."Elina? Kenapa sudah kembali? Apa ada hal buruk yang terjadi?" Lucy memanggilku ketika dia tak sengaja melihatku berjalan di gang samping restoran menuju losmen.Aku mengusap lenganku. "Sherry tak ada di sana, jadi aku kembali."Lucy melirik koper yang kubawa. "Kau sudah melakukan hal yang benar. Tak baik tinggal bersama orang yang bertempramen buruk. Kau membawa seluruh barang berhargamu juga 'kan? Jangan tinggalkan sepeserpun untuknya. Dia tak berhak menerima kebaikanmu."Aku mengangguk. Tak mungkin aku menceritakan hal yang sebenarnya pada Lucy
.....Keesokan harinya, ketika aku baru saja menyambungkan ponselku pada wifi restoran. Aku mendapatkan sebuah email yang mengejutkan. - From: Blue Light Entertaiment - Kepada : Elina Katarina - Subjek : Casting - Selamat! Kamu lolos dan berhak mengikuti tahapan selanjutnya. Datanglah ke Gedung XX di Roomie Street No 23, Buffalo, New York, pada 13 Desember 2020 pukul 03.09 p.m. Bertemu dengan Carla Hamilton. Berpakaian kasual dan jangan terlambat. Jantungku berdetak kencang saat membacanya. Tidakkah itu berarti aku memiliki harapan? Oh, aku merasa lega, tetapi juga takut, salah dan menyesal. Aku sadar kalau jalan yang kupilih ini akan membuatku terperosok jauh ke dalam kegelapan. Namun, tak ada jalan lain sekarang. Aku harus berani maju, atau kesempatannya akan hilang......Aku bersyukur Lucy tak menanyakan banyak hal saat aku meminta izin kepadanya agar bisa pulang cepat hari ini. Dia bilang dia baru saja sampai di bandara Buffalo dari perjalanan bisnis luar kotanya dan tak memi
Aku berusaha melotot dan tak berkedip agar mataku berkaca-kaca, tetapi itu adalah cara paling bodoh saat kusadari Carla berusaha menahan tawanya, disusun William yang menghela napas panjang. Konsentrasikan seketika buyar. Aku menahan maluku dengan terus menatap ke satu titik tanpa berkedip agar air mataku turun."Konyol." Kudengar William bergumam.Aku tak punya pembelaan untuk kegagalanku yang pertama. Aku menghela napas panjang. "Tolong beri aku waktu sedikit lagi," pintaku.William melempar berkas di tangannya ke atas meja. Dia lantas melipat tangannya di depan dada. Wajahnya berkali-kali lipat lebih serius sekarang. "Aku tak punya banyak waktu untuk omong kosong ini. Katakan. Berapa ukuran penis yang bisa kau toleransi?"Pertanyaan itu hampir membuatku lompat dari tempatku dan pulang. "Ti-tidak ada, Mr. Adler.""Apa kau pernah berkencan?" Aku menggeleng. "Tidak." "Berciuman?" "Tidak." "Berpelukan?" "Per-" "Dengan orang yang kau sukai?" Aku menelan kembali ucapanku saat ingin
.....Setelah casting selesai, aku ditinggal sendiri di ruang baca lantai dua. Carla pergi menyiapkan Medical Check-Up dan mengurus kontrak kerja. Sedangkan William, pria itu terakhir kali masih berada di ruang casting. Dia tak bangkit dari kursinya saat kami pergi. Novel Insider berada di hadapanku, masih terbuka di atas meja. Belum selesai kubaca. Aku berhenti membacanya beberapa menit lalu. Bukan karena novel itu terlalu vulgar, melainkan karena novel itu terlalu 'sakit'. Secara singkat Insider bercerita tentang Rex Lender, seorang pria dari keluarga agamis yang memiliki apa yang disebut 'monster' di dalam dirinya. Kemudian dia bertemu dengan seorang gadis bernama Gabriella Hargate. Gadis naif yang harus menjadi wadah untuk memuaskan 'monster' itu. Tak ada romantisme yang kutemukan, kecuali rasa sakit sepihak yang gadis itu rasakan. Juga tak ada ending yang bahagia, sebab gadis itu berakhir dibuang.Ironinya, gadis itu akan diperankan olehku. Gabriella Hargate yang naif dan penuh
Aku tak memiliki sesuatu yang patut disombongkan demi menolak tawaran William. "Deal," ujarku. Kulihat senyum William merekah setelahnya."Kapan aku bisa mulai bekerja, Sir?" tanyaku."Kapan kau punya waktu luang?" Satu-satunya waktu luang yang kumiliki adalah saat mendapatkan libur dari restauran. "Aku libur di hari Kamis dan Jumat." "Datanglah Kamis ini." "Baik, Sir."Ketika melihat William menyentuh lembar katalog lagi, aku merasa butuh penegasan sekali lagi. Aku takut kupingku melewatkan hal-hal yang penting. Aku takut itu dapat berpotensi memberiku masalah di masa depan. Setelah penipuan yang Sherry lakukan, aku harus lebih berhati-hati lagi."Mr. Adler, aku benar-benar hanya perlu berfoto dengan alat-alat ini saja, benar?"William menaikan alisnya. Wajahnya menawan saat dia menahan tawa. "Iya. Hanya itu, tapi kalau kau mau mencoba, silakan." Aku menggelengkan kepalaku kencang. "Tidak perlu. Terimakasih," tolakku cepat. Aku tak sanggup menatapnya lebih lama lagi, jadi aku men