Share

Under The Blue Light
Under The Blue Light
Penulis: SNYX

1. Night on Buffalo

....

Buffalo, 1 November 2020

Aku terhempas. Aspal yang dingin menyambutku. Pipiku memanas bekas tamparan. Sherry berada di depanku, mengamuk dengan kata-kata yang tak pernah kupercaya sanggup dia katakan. Suaranya melengking di setiap tarikan napas dan matanya berkobar penuh amarah. Aku sendiri sudah berkaca-kaca menghadapinya.

"Sherry-"

"Diam, Jalang. Jangan memanggilku dengan mulut busukmu itu!" Dia bahkan tak memberiku kesempatan menjelaskan sama sekali.

Sedangkan aku tak benar-benar mengerti apa yang tengah terjadi, ucapanku selalu tertelan di tenggorokan. Aku masih setengah sadar saat Sherry menjambak rambutku dan menyeretku keluar dari apartemen kami.

"Kau tidur dengannya! Kau menggodanya! Kau merebutnya dariku! Penghianat!" raungnya.

Aku menggeleng lemah. Telapak tanganku masih berusaha meraihnya. "Itu tak benar-"

"Tutup mulutmu!" Sherry mendorongku menjauh. Dia biarkan aku tersungkur ke belakang. Dia melihatku seolah-olah aku begitu menjijikan.

Benar-benar mimpi buruk. Sherry murka. Sedangkan Daniel, kekasih Sherry yang bajingan itu sudah melarikan diri sejak kami tertangkap basah di atas ranjangku. Yang mana aku tak mengerti bagaimana caranya pria itu bisa berbaring di sana sambil memelukku, sedangkan pintu kamar selalu kukunci setiap malam.

"Enyah! Aku membencimu! Aku tak mau melihatmu lagi, Elina!" Sherry membanting pintu apartemen kami kencang.

"Sherry, tidak, kumohon ...." Aku mengetuk pintu apartemen dengan putus asa, memohon agar didengarkan, tapi tak ada kesempatan. Hatiku berdesir kecewa. Aku terus memanggil namanya berkali-kali sampai suaraku tercekat. Pada akhirnya air mataku luluh juga.

Hatiku sakit. Bukan hanya karena aku menerima perlakuannya barusan, tetapi karena pada akhirnya aku tersadar. Persahabatan kami hanya disimpul oleh seutas tali yang rapuh. Dengan mudahnya hubungan kami hancur, bahkan sebelum aku diberi kesempatan memperbaikinya.

Padahal kami baru saja memulai mimpi kami tiga hari lalu dari pinggiran New York ke Buffalo. Aku bahkan belum menemukan pekerjaan yang cocok di kota ini, tapi Sherry sudah begitu tega mengusirku dari apartemen kami.

....

Aku tak memiliki pilihan lain selain menyelusuri jalan setapak di pinggiran kota. Berjalan tanpa alas kaki dengan langkah terseok dan tubuh menggigil. Aku mencari-cari rumah, atau toko yang lampunya masih menyala. Berharap kemurahan hati pemiliknya agar aku dibiarkan berteduh sementara. Kalau sampai tengah malam nanti aku tak menjumpai apapun, maka aku akan berteduh di kotak telepon umum. Itu lebih baik ketimbang harus mati konyol akibat kedinginan.

Suasana di sekitarku begitu sunyi. Di setiap langkah, aku merasa ngeri. Tak ada orang yang berlalu lalang. Di setiap gang-gang kecil yang kulewati, bahaya terasa mengintai. Terlebih, beberapa minggu belakangan kasus penembakan semakin senter terdengar.

Kemudian di sudut jalan setelah jembatan penyeberangan, kulihat ada sebuah restoran dengan bingkai pintu yang sedikit terbuka. Lampu restoran juga masih menyala terang meskipun aku tak melihat ada pengunjung di dalamnya. Dengan kepercayaan diri yang kupaksakan, aku masuk ke dalam dengan berhati-hati. Aku langsung disambut oleh seorang wanita berambut brunette, bertubuh sekal, dan bermata cokelat tua yang lebih tinggi beberapa senti dariku.

"Halo," cicitku.

Wanita itu melihatku dari atas ke bawah, lalu dari bawah ke atas. Ketika pandangan kami bertemu, senyum simpul dia berikan. Aku malu, benar-benar malu sampai tak bisa bergerak seinci pun dari tempatku.

"Sepuluh menit lagi kami tutup," ujarnya.

Itu adalah penolakan secara halus. Aku mulai gelisah. "Bolehkah aku menumpang satu malam saja? Aku benar-benar meminta tolong, Nyonya."

"Apa yang terjadi padamu?"

"Aku berkelahi dengan teman seapartemenku. Dia mengusirku. Aku tak bisa kembali saat ini. Aku sangat berharap kemurahan hatimu. Hanya malam ini saja," pintaku memohon.

Wanita itu menatapku prihatin, tetapi dia tetap menggeleng. "Oh Dear, maafkan aku, tapi aku tak bisa mengizinkanmu."

Ini bukan penolakan pertama yang kudapatkan. Salah satu penghuni rumah di Blok seberang bahkan mengusirku dengan begitu kasar. Mereka hampil menghajarku dengan tongkat baseball. Mereka pikir aku adalah pencuri yang berpura-pura menjadi gelandangan.

"Tapi kau bisa memakai losmen tak terpakai di belakang restoran ini. Well, memang tak ada kasur di sana, tapi kau bisa meminjam taplak meja dari sini sebagai gantinya."

Bak diberi secercah harapan, aku mengangguk penuh syukur. "Terimakasih. Ini sudah lebih dari cukup." Ini lebih baik dari pada harus tidur di jalanan.

Wanita itu menghela napas panjang. "Sebentar lagi musim dingin. Cobalah mendaftar di Shelter. Kalau kau beruntung, kau akan mendapat tempat tinggal dan pekerjaan. Lebih baik kau memulai hidup baru di sana dari pada, maaf, menggelandang."

Aku mengusap lenganku. Kebiasaanku ketika merasa tidak nyaman. "I-iya, terimakasih banyak sudah mau menolongku, Nyonya."

.....

Wanita yang kupanggil nyonya itu bernama Lucy. Dia adalah manager restoran yang menyelamatkan hidupku malam ini. Dia lembut, murah senyum, dan baik hati. Dia tak hanya memberiku dua lembar taplak meja, tetapi juga memberiku satu porsi burger hangat lengkap dengan minumannya. Setelah aku menceritakan apa yang tengah terjadi padaku, dia memelukku dan mengusap punggungku dengan penuh penghiburan. Katanya, Tuhan sedang mengujiku. Yang harus kulakukan adalah bertahan sampai ujiannya berakhir.

Kini aku berada di losmen yang dia janjikan. Mungkin sudah hampir tengah malam, aku tak yakin, tak ada jam di sini. Aku berbaring dengan posisi duduk di sudut ruangan. Taplak meja sudah kugelar menumpuk, tetapi dingin masih terasa menggerogoti tulang. Beberapa kali aku mengubah posisiku, tetapi belum juga mendapat posisi yang nyaman. Kakiku yang lecet terasa perih sekali.

Aku kesal pada keadaanku sendiri. Mengapa hidup begitu sulit sekarang? Apakah selama ini aku telah mengambil jalan yang salah? Gadis kampung sepertiku sebaiknya memang tak bermimpi hidup di kota besar. Aku tak tau apa yang harus kulakukan. Diusir oleh Sherry tak pernah ada dalam bayanganku sebelumnya.

Tak ada jawaban dari setiap pertanyaan yang kutanyakan, kecuali penyesalan yang semakin menumpuk, juga kemarahan pada diri sendiri. Sementara itu waktu terus berjalan dan aku mulai mengantuk. Sambil memejamkan mata, aku berharap, semoga esok hari menjadi lebih baik lagi.

.....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status