Beranda / Romansa / Under The Blue Light / 1. Night on Buffalo

Share

Under The Blue Light
Under The Blue Light
Penulis: SNYX

1. Night on Buffalo

Penulis: SNYX
last update Terakhir Diperbarui: 2021-07-11 21:55:13

....

Buffalo, 1 November 2020

Aku terhempas. Aspal yang dingin menyambutku. Pipiku memanas bekas tamparan. Sherry berada di depanku, mengamuk dengan kata-kata yang tak pernah kupercaya sanggup dia katakan. Suaranya melengking di setiap tarikan napas dan matanya berkobar penuh amarah. Aku sendiri sudah berkaca-kaca menghadapinya.

"Sherry-"

"Diam, Jalang. Jangan memanggilku dengan mulut busukmu itu!" Dia bahkan tak memberiku kesempatan menjelaskan sama sekali.

Sedangkan aku tak benar-benar mengerti apa yang tengah terjadi, ucapanku selalu tertelan di tenggorokan. Aku masih setengah sadar saat Sherry menjambak rambutku dan menyeretku keluar dari apartemen kami.

"Kau tidur dengannya! Kau menggodanya! Kau merebutnya dariku! Penghianat!" raungnya.

Aku menggeleng lemah. Telapak tanganku masih berusaha meraihnya. "Itu tak benar-"

"Tutup mulutmu!" Sherry mendorongku menjauh. Dia biarkan aku tersungkur ke belakang. Dia melihatku seolah-olah aku begitu menjijikan.

Benar-benar mimpi buruk. Sherry murka. Sedangkan Daniel, kekasih Sherry yang bajingan itu sudah melarikan diri sejak kami tertangkap basah di atas ranjangku. Yang mana aku tak mengerti bagaimana caranya pria itu bisa berbaring di sana sambil memelukku, sedangkan pintu kamar selalu kukunci setiap malam.

"Enyah! Aku membencimu! Aku tak mau melihatmu lagi, Elina!" Sherry membanting pintu apartemen kami kencang.

"Sherry, tidak, kumohon ...." Aku mengetuk pintu apartemen dengan putus asa, memohon agar didengarkan, tapi tak ada kesempatan. Hatiku berdesir kecewa. Aku terus memanggil namanya berkali-kali sampai suaraku tercekat. Pada akhirnya air mataku luluh juga.

Hatiku sakit. Bukan hanya karena aku menerima perlakuannya barusan, tetapi karena pada akhirnya aku tersadar. Persahabatan kami hanya disimpul oleh seutas tali yang rapuh. Dengan mudahnya hubungan kami hancur, bahkan sebelum aku diberi kesempatan memperbaikinya.

Padahal kami baru saja memulai mimpi kami tiga hari lalu dari pinggiran New York ke Buffalo. Aku bahkan belum menemukan pekerjaan yang cocok di kota ini, tapi Sherry sudah begitu tega mengusirku dari apartemen kami.

....

Aku tak memiliki pilihan lain selain menyelusuri jalan setapak di pinggiran kota. Berjalan tanpa alas kaki dengan langkah terseok dan tubuh menggigil. Aku mencari-cari rumah, atau toko yang lampunya masih menyala. Berharap kemurahan hati pemiliknya agar aku dibiarkan berteduh sementara. Kalau sampai tengah malam nanti aku tak menjumpai apapun, maka aku akan berteduh di kotak telepon umum. Itu lebih baik ketimbang harus mati konyol akibat kedinginan.

Suasana di sekitarku begitu sunyi. Di setiap langkah, aku merasa ngeri. Tak ada orang yang berlalu lalang. Di setiap gang-gang kecil yang kulewati, bahaya terasa mengintai. Terlebih, beberapa minggu belakangan kasus penembakan semakin senter terdengar.

Kemudian di sudut jalan setelah jembatan penyeberangan, kulihat ada sebuah restoran dengan bingkai pintu yang sedikit terbuka. Lampu restoran juga masih menyala terang meskipun aku tak melihat ada pengunjung di dalamnya. Dengan kepercayaan diri yang kupaksakan, aku masuk ke dalam dengan berhati-hati. Aku langsung disambut oleh seorang wanita berambut brunette, bertubuh sekal, dan bermata cokelat tua yang lebih tinggi beberapa senti dariku.

"Halo," cicitku.

Wanita itu melihatku dari atas ke bawah, lalu dari bawah ke atas. Ketika pandangan kami bertemu, senyum simpul dia berikan. Aku malu, benar-benar malu sampai tak bisa bergerak seinci pun dari tempatku.

"Sepuluh menit lagi kami tutup," ujarnya.

Itu adalah penolakan secara halus. Aku mulai gelisah. "Bolehkah aku menumpang satu malam saja? Aku benar-benar meminta tolong, Nyonya."

"Apa yang terjadi padamu?"

"Aku berkelahi dengan teman seapartemenku. Dia mengusirku. Aku tak bisa kembali saat ini. Aku sangat berharap kemurahan hatimu. Hanya malam ini saja," pintaku memohon.

Wanita itu menatapku prihatin, tetapi dia tetap menggeleng. "Oh Dear, maafkan aku, tapi aku tak bisa mengizinkanmu."

Ini bukan penolakan pertama yang kudapatkan. Salah satu penghuni rumah di Blok seberang bahkan mengusirku dengan begitu kasar. Mereka hampil menghajarku dengan tongkat baseball. Mereka pikir aku adalah pencuri yang berpura-pura menjadi gelandangan.

"Tapi kau bisa memakai losmen tak terpakai di belakang restoran ini. Well, memang tak ada kasur di sana, tapi kau bisa meminjam taplak meja dari sini sebagai gantinya."

Bak diberi secercah harapan, aku mengangguk penuh syukur. "Terimakasih. Ini sudah lebih dari cukup." Ini lebih baik dari pada harus tidur di jalanan.

Wanita itu menghela napas panjang. "Sebentar lagi musim dingin. Cobalah mendaftar di Shelter. Kalau kau beruntung, kau akan mendapat tempat tinggal dan pekerjaan. Lebih baik kau memulai hidup baru di sana dari pada, maaf, menggelandang."

Aku mengusap lenganku. Kebiasaanku ketika merasa tidak nyaman. "I-iya, terimakasih banyak sudah mau menolongku, Nyonya."

.....

Wanita yang kupanggil nyonya itu bernama Lucy. Dia adalah manager restoran yang menyelamatkan hidupku malam ini. Dia lembut, murah senyum, dan baik hati. Dia tak hanya memberiku dua lembar taplak meja, tetapi juga memberiku satu porsi burger hangat lengkap dengan minumannya. Setelah aku menceritakan apa yang tengah terjadi padaku, dia memelukku dan mengusap punggungku dengan penuh penghiburan. Katanya, Tuhan sedang mengujiku. Yang harus kulakukan adalah bertahan sampai ujiannya berakhir.

Kini aku berada di losmen yang dia janjikan. Mungkin sudah hampir tengah malam, aku tak yakin, tak ada jam di sini. Aku berbaring dengan posisi duduk di sudut ruangan. Taplak meja sudah kugelar menumpuk, tetapi dingin masih terasa menggerogoti tulang. Beberapa kali aku mengubah posisiku, tetapi belum juga mendapat posisi yang nyaman. Kakiku yang lecet terasa perih sekali.

Aku kesal pada keadaanku sendiri. Mengapa hidup begitu sulit sekarang? Apakah selama ini aku telah mengambil jalan yang salah? Gadis kampung sepertiku sebaiknya memang tak bermimpi hidup di kota besar. Aku tak tau apa yang harus kulakukan. Diusir oleh Sherry tak pernah ada dalam bayanganku sebelumnya.

Tak ada jawaban dari setiap pertanyaan yang kutanyakan, kecuali penyesalan yang semakin menumpuk, juga kemarahan pada diri sendiri. Sementara itu waktu terus berjalan dan aku mulai mengantuk. Sambil memejamkan mata, aku berharap, semoga esok hari menjadi lebih baik lagi.

.....

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Under The Blue Light   18. S & M

    Aku tak bisa mengontrol ekspresiku. Aku tak bisa menahannya agar terlihat biasa saja. Apa yang ada di hadapanku ini adalah hal yang mengerikan. Rasa takut mulai menjalar ketika wanita di dalam video itu mulai memohon pengampunan di antara tangisnya.Tanganku refleks bergerak sendiri menutup layar laptop. Napasku memburu. Sedetik kemudian aku menyesalinya. Aku lupa pada apa yang William katakan sebelumnya."A-aku, maaf, Mr. adler."Helaan napas terdengar panjang. "Virgin di umur 25. Kau masuk industri ini tanpa tau apapun." Dia benar. Begitulah faktanya. Aku tak akan menyangkal. Dia mengambil jeda panjang sebelum melanjutkan. "Adegan seperti itu sangat banyak di dalam skrip, tapi kau tak akan melakukannya. Bersyukurlah karena kau memiliki stunt performer." William melepas peganganku pada laptop, dan menggenggam erat tanganku. "Kau dingin sekali." Suaranya terasa dekat di telingaku. Itu membuatku sungkan dan ingin bergeser, tetapi aku terapit di antara tubuhnya dan ujung sofa. Jadi ya

  • Under The Blue Light   17. Bury Your Head in The Sand

    "Carla," panggilku sekali lagi. Aku berusaha menangkap mata Carla, tetapi dia menghindari tatapanku. Ketika aku ingin menggapai lengannya, dia lebih dulu menggapai lenganku. Genggamannya erat sekali sampai jari-jarinya memutih."Apa kau menyukainya?"Siapa yang Carla maksud? Apakah William? "Kau tak boleh menyukainya!" "Carla ...." Meskipun dia membuang wajahnya, aku masih bisa melihat sisinya dengan jelas. Rasanya tak tega saat melihatnya mulai berkaca-kaca. Sedikit banyak aku mengerti apa yang dia rasakan. Aku bahkan berharap dihindarkan dari merasakannya. Rasa sakit dari terpaksa berbagi pasangan dengan orang lain, juga harus melihat pasangan melakukan hubungan intim dengan orang lain, merupakan pusaran sakit tanpa henti. Carla pasti merasa ketakutan setiap saat. Kekasihnya bisa kapan saja dirampas dari sisinya.Aku mengambil satu langkah maju. "Apakah yang kau maksud adalah William? Kau tenang saja, dia bukan tipeku." William benar-benar bukan tipeku. Sama sekali bukan tipeku.

  • Under The Blue Light   16. Adam & Lilith

    ....."Terimakasih." "Sama-sama, Sir." Baru saja aku berinisiatif menekan tombol masuk saat kami tiba di depan lift. Dengan tangan yang penuh kantong berisi hamburger, William pasti kesulitan. Tak kusangka William akan berterimakasih padaku setelahnya. Seperti anjing yang baru dipuji setelah berhasil melakukan teknik baru, aku merasa senang."Pagi Will, El!" Aku menoleh saat mendengar suara Carla dari kejauhan. Kupencet tombol lift agar lift tak segera menutup dan menunggunya. Wanita itu berjalan cepat sambil menenteng mantelnya. Ketika dia tiba di hadapan kami, tungkainya langsung berjinjit dan lengannya meraih leher William. Mataku melebar, napasku tertahan. "Terimakasih burgernya, Will. Punyaku dengan ekstra acar, 'kan?" "Periksa sendiri. Jangan berteriak. Ini masih pagi." Baru saja Carla mengecup pipi William. Meskipun cepat, tetapi persis di hadapanku. Dan aku, merasa sedikit tak nyaman. Entah mengapa, aku merasa tak rela......"Baringkan tubuhmu, Will," intruksi Clive. W

  • Under The Blue Light   15. Piece of Shit

    "Perhatikan kalimatmu."Para pemuda itu mundur ketika William maju selangkah. Salah seorang dari mereka berbisik pada temannya yang berdiri paling depan. "Apa kau gila, Matt?" Yang paling depan berdecak. "Ayolah, dia hanya pria tua. Kalian takut padanya?!" "Lihat tatonya, Matt. Dia baru saja menghabisi Jese. Sekarang dia akan menghabisi kita." Aku mendengar jelas bisik-bisik dari para pemuda itu. Inginku melerai mereka dengan cara menarik lengan William menjauh, tetapi aku juga tak memiliki keberanian menahan pria itu saat tatapan menusuknya tak sengaja terarah kepadaku.William mengambil bola yang masih memantul rendah di trotoar. Ekspresinya kaku. Aku menatap pria itu horor. Jangan sampai dia berbalik melakukan kekerasan karena itu akan menjadi bumerang baginya. "Mr. Adler, sudah cukup.""Diam di sana dan belajarlah cara menghadapi para pecundang itu. Semakin kau lemah, semakin mereka akan menindasmu." William mendesis padaku.Aku membeku.William mengembalikan bola itu dengan lem

  • Under The Blue Light   14. White Supremacy

    .....Apa yang kupikirkan tentang rasisme? Apa yang Gabriella Hargate pikirkan tentang rasisme? Apa yang kami berdua pikirkan tentang rasisme? Setelah membaca Insider lebih jauh lagi, kusadari bahwa kami memiliki pandangan yang hampir sama terhadap isu tersebut. Sebab perasaan yang dia tuturkan di dalam novel, aku pun ikut merasakannya. Sebagai seorang perantauan di negeri orang, aku pernah mengalami apa yang pernah dialaminya......Tiga jam sebelumnya.Kamis ini, tepatnya pada pukul tujuh lewat lima belas menit, aku sudah menunggu bus di depan halte dengan secangkir cokelat hangat. Tujuanku adalah Gedung XX untuk menyelesaikan tahapam terakhir dari proyek 'Eve and Lilith'. Masih dua puluh menit lagi sampai bus tujuanku datang. Aku masih memiliki waktu untuk bersantai, sekedar duduk sambil menghirup udara segar dan mendengarkan musik di ponselku. Tak lama orang-orang mulai berdatangan. Mereka mengisi bangku-bangku kosong di kanan dan kiri. Dengan sigap aku mengambil tas di sebelahku

  • Under The Blue Light   13. Comfort Zone

    "Suka?" tanya William. Aku mengangguk. "Terimakasih." Sebenarnya aku tak begitu menyukai makanan, atau minuman yang terlalu manis, juga terlalu asam, tetapi tak mungkin aku menggelengkan kepalaku sekarang. Aku sedang menumpang di mobilnya dan aku harus menghormatinya."Ambil saja kalau kau mau," tawarnya.Aku menggeleng. "Tidak. Ini punya Carla." "Dia tak akan keberatan." "Tidak, terimakasih, Sir." Dia mengedikan bahunya. "Oke." Carla, ya? Kalau diingat-ingat lagi, sejak awal William dan Carla memang terlihat dekat. Mereka saling memanggil dengan nama kecil. Mereka berasal dari kota yang sama dan juga bekerja di bidang yang sama pula. Dari bagaimana Carla bercerita tentang William dengan penuh kebanggaan, aku jadi menebak-nebak kedekatan di antara mereka. Lalu permen stroberi di pangkuanku ini, tidakkah itu mengindikasikan suatu hubungan yang spesial? Mungkinkah mereka sepasang kekasih? Kalaupun itu mungkin, ini tak ada hubungannya denganku."Apa kau selalu seperti ini?" "Sepert

  • Under The Blue Light   12. Candies

    .....Pesta Gogu Hui sudah dimulai satu jam lalu. Karena para wanita dan pria sepakat untuk duduk secara terpisah, maka aku dan teman-teman yang datang bersama William tak serta merta duduk di meja yang sama. Kesempatan itu buatku lega. Setidaknya aku tak perlu melihat wajah setengah kesal William sebab perjalan mobilnya dipenuhi nyanyian dari kru pria.Setiap meja diisi oleh empat orang, kecuali mejaku dan Carla. Kami memilih meja yang hanya berkapasitas dua orang di sudut ruangan. Pertama karena aku menghindari kebisingan. Kedua karena Carla tak ingin berbagi daging untuk lebih dari satu orang."Gedung XX itu sebenarnya bukan kantor pusat kami. Will meminjamkannya secara temporari. Kantor kami berada di Manhattan. Gedungnya lebih bagus dari ini. Kau akan melihatnya saat produksi film dimulai," ujar Carla sebelum mengambil selembar daging mentah dari piring."Kalian berasal dari Manhattan?" tanyaku. "Sebagian besar iya. Aku dan Will termaksud. Nah, Will datang ke sini hanya untuk men

  • Under The Blue Light   11. Adam & Eve

    .....Aku duduk di sofa panjang berwarna putih. Jubah silk-ku sudah dilepas dan hanya meninggalkan bikini yang juga bewarna putih. Wajahku dirias dengan make up tipis dan dihiasi topeng mata cantik dari permata yang juga berwarna putih. Rambutku digerai dan jatuh di bahu. Sedang di leherku, chocker putih menggantung dan talinya digenggaman oleh William."Rileks, Elina. Serahkan saja pada William. Dia pro." Clive menepuk pundakku sebelum mengambil kameranyaBagaimana aku bisa tenang kalau William tengah memangku dengan lengan yang melingkari pinggangku dari belakang. Tolong garis bawahi kalau dia hanya memakai celana panjang putih tanpa atasan dan juga topeng. Dadanya menempel dengan punggungku yang sepenuhnya terbuk.Aku bisa merasakan otot-ototnya yang keras di kulitku, hembusan napasnya yang menerpa leherku, juga jemari besarnya yang bertengger di pinggangku. Belum lagi harum tubuhnya yang begitu memabukkan.Suara jepretan terdengar. Kilatan cahaya membuat pandanganku memburam. Aku m

  • Under The Blue Light   10. Here We Go

    Kalau melihat lagi ke belakang. Aku memang telah melewati banyak momen dalam hidupku dengan sia-sia. Ketakutan akan kegagalan membuatku urung melakukan sesuatu sampai batas maksimal. Ironisnyanya, ketakutan itu lah yang akhirnya membawaku pada kegagalan yang sebenarnya. Tujuan awalku adalah menetap di Amerika dan mengumpulkan banyak uang untuk keluargaku di negara asal, tetapi pada akhirnya aku tak memiliki sepeserpun sebab selalu ragu pada diriku sendiri dan memilih untuk mengikuti apa yang temanku lakukan.Berangkat dari mimpi orang lain, aku menjadi lebih percaya diri dan bekerja keras. Kupikir kalau mimpinya menjadi kenyataan, maka mimpiku juga akan menjadi kenyataan. Ketika waktu berlalu dan dia terbang tinggi dengan sayap yang kami buat, baru lah aku tersadar kalau aku ditinggalkan. Ternyata mimpinya bukanlah mimpiku. Ketika aku berbuat baik kepada orang lain, kuharap aku mendapatkan balasan Yangs setimpal. Namun, kenyataannya tidaklah selalu demikian.Sebenarnya, siapa diriku? A

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status