.....
Aku kembali ke restoran di pagi hari. Pintunya terkunci dan lampunya belum menyala. Restoran masih tutup. Aku memutuskan berjongkok di depan bangunan dan melihat banyak orang berlalu lalang dengan cepat. Mereka terlihat sibuk dengan kehidupan mereka. Apakah semua orang berjalan maju dan hanya aku saja yang mengalami kemunduran? Aku jadi berkecil hati. Aku merasa iri. Mengapa hidup begitu mudah bagi orang lain dan begitu sulit untukku?"Elina?""Ya?" Aku mendongak saat namaku dipanggil.Lucy hampir sampai di hadapanku. Dia memakai mantel abu-abu yang terlihat hangat membungkus kulitnya. Telapak tangannya dilapisi sarung tangan hitam dan lehernya diselimuti craf kunyit yang tebal. Nyaman dan tidak kedinginan. Sekali lagi aku merasa iri atas keberuntungan yang Tuhan berikan pada hambanya yang lain. Mengapa aku tak bisa mendapatkan hal yang sama?"Halo, Lucy," sapaku. Aku tak lagi memanggilnya nyonya sebab dia melarangku semalam.Lucy mengulurkan tangannya, mengajakku berdiri. "Oh Dear, kau pucat sekali," komentarnya.Aku mengulas senyum tipis. Sepanjang malam aku kedinginan dan hidungku tersumbat. Andai saja aku belum menemukan tempat berteduh, mungkin sekarang aku sudah menjadi Olaf, atau mati. Kalau aku mati, apakah Sherry akan menangisi kepergianku? Apakah dia akan menyesal? Bahkan setelah diusir, aku masih mengharapkan secuil perhatian darinya."Ayo masuk!" Lucy menarik tanganku agar mengikutinya. Dia membawaku ke dalam restoran, melewati resepsionis, meja pelanggan, bar, dapur, sampai kami berada di ruang ganti khusus karyawan yang terletak di bagian belakang."Seharusnya kami memiliki seragam dan sepatu cadangan di sini," gumamnya.Dia merogoh-rogoh ke dalam lemari. Dan aku mulai tak nyaman sebab terus merepotkannya. "Aku hanya ingin mengembalikan taplak meja ini," cicitku."Oh, tunggu sebentar." Dia menahanku.Lucy harusnya tak sembarangan mengundang orang asing masuk. Tak peduli apakah dia manager atau bukan, bagaimana kalau aku adalah orang jahat? Apakah dia tak berpikir sejauh itu? Bagaimana kalau sampai ada barang yang hilang? Aku yang selalu waspada saja, masih mudah dikelabui orang."Terimakasih, Lucy. Maaf, kurasa aku harus segera pergi. Taplaknya akan kuletakan di meja resepsionis." Aku hendak berbalik ketika Lucy menahanku lagi."Kubilang tunggu sebentar! Kau tak mungkin berkeliaran dengan pakaian tipis seperti itu. Kau bisa mati. Nah! Ketemu!"Lucy menghampiriku. "Ini ukuran paling kecil. Harusnya muat. Pakailah. Aku akan menunggumu di luar." Dia memberiku satu set seragam dan sepatu sebelum meninggalkanku sendirian.Aku mengamati apa yang dia berikan, masih terkejut karena dia memperlakukanku sebaik ini. Kulihat pantulan diriku di cermin. Ada seorang gadis pucat berpakaian tipis, lusuh, dan kotor, tanpa alas kaki di musim dingin. Aku terlihat menyedihkan. Tak heran Lucy mengkhawatirkanku sampai sebegitunya.Aku segera keluar setelah mengganti pakaian. Lucy sedang menyender di tembok dan terlibat percakapan dengan seseorang di ponselnya. Sepertinya begitu serius, jadi aku mengambil jarak jauh dan menunggu."Aku tau, Will. Aku yang akan menjaminnya. Burgernya akan datang tepat waktu. Oh, tidak. Kau tak perlu datang ke sini dan mengambilnya. Pelanggan adalah raja. Kau adalah raja. Jadi, biarkan aku melayanimu. Oke. Semoga harimu menyenangkan."Lucy mengantongi ponselnya kembali dan mendekatiku. Dia tersenyum. "Tak buruk," ujarnya menilai."Terimakasih banyak sudah membantuku, Lucy," balasku.Dia mengangguk. "Setidaknya kau sedikit hangat sekarang. Jadi apa yang akan kau lakukan? Kudengar Shelter sudah kelebihan muatan semalam. Apa kau tak punya sanak saudara selain teman seapartemenmu itu?"Pernyataan Lucy membuatku gamang. Aku tak punya siapapun di kota ini, selain Sherry. Uang dan barang-barangku juga masih tertinggal di apartemen. Kalau aku kembali, apakah Sherry mau membiarkanku masuk? Aku belum sepenuhnya yakin. Aku takut Sherry mengamuk."Ngomong-ngomong aku sedang mencari pegawai magang untuk menggantikan karyawanku yang cuti selama seminggu." Lucy menyeletuk sambil memperhatikanku. "Well bayarannya tak besar, tapi cukup untuk bertahan hidup."Aku meneguk ludahku. Kebetulan sekali. Saat ini, selain menjadi gelandangan, aku juga tengah mencari pekerjaan. "Apakah aku punya kesempatan?" tanyaku penuh harap. "Aku tak masalah dengan bayaran yang kau berikan. Selama aku tak tidur di jalanan dan bisa makan, itu sudah cukup," tambahku.Lucy menyilangkan tangannya di depan dada. "Kau bisa mencuci piring, menyapu, mengepel dan melayani tamu?""Aku bisa.""Kau bisa bekerja shifting?""Aku akan berusaha."Lucy menepuk bahuku. "Apa kau mengerti manner pelayan? Fast Casual Dinning? Fine Dinning? Jenis-jenis makanan?"Alisku mulai mengkerut. Aku tak tau, tetapi tak mungkin aku menjawab tak tau. Aku sangat membutuhkan pekerjaan ini. "Aku tau sedikit dan aku akan berusaha agar tau lebih banyak lagi. Aku akan mempelajarinya."Lucy mengangguk. Senyumnya melebar. "Bagus. Selamat bergabung, Sweetie!"Aku terdiam saat mendapati Lucy menjabat tanganku. Semudah itu? "Aku diterima?""Well, yeah, tapi jangan senang dulu, kau dalam pengawasanku."Aku mengerti. Tentu saja dia tak akan percaya begitu saja padaku. "Terimakasih sudah mau memberiku kesempatan, Lucy. Aku akan berusaha sebaik mungkin," ujarku.Dia mengangguk. "Kuharap kau memegang kata-katamu, Elina. Aku memang tak tau asal-usulmu, tapi aku pandai menilai orang. Di sini ada banyak CCTV, juga ada perjanjian kerja dan kontrak kerja yang mengikatmu. Kalau kau macam-macam, kau harus siap menerima konsekuensinya.""Aku berjanji akan berusaha keras."Lucy memang baik, tapi dia adalah seorang manager. Manager jelas tak akan bertindak hanya karena belas kasihan saja. Aku akan berusaha menepatinya. Aku tak akan membuatnya kecewa, apalagi sampai membuatnya menyesal telah membantuku......Beberapa hari berlalu. Menjadi pelayan di sebuah restoran bukanlah hal yang buruk. Keuntungan pertama, aku tak akan kelaparan. Kedua, sesekali aku akan mendapatkan tips dari pelanggan. Ketiga, aku akan mengetahui berita paling panas di kota.Sebagai restoran fast casual dinning, tempat ini tak pernah tak ramai di jam makan siang. Salain karena pelayanannya yang cepat dan ramah, menu di sini juga dikenal sebagai makanan yang enak dan murah.Tujuanku kali ini adalah sebuah meja bulat nomor tiga yang diisi oleh empat gadis berpakaian trendi. Mereka cantik, mulus, dan seksi. Kutemukan beberapa pengunjung pria mencuri pandang ke arah mereka beberapa kali."Permisi, Nona," sapaku sesopan mungkin.Mereka tak abai. Mereka sibuk bergosip. Aku bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Ini tak seperti aku suka menguping, tetapi aku memiliki telinga dan mereka bicara dengan suara yang cukup keras, jadi aku tak bisa menghindar."Serius! Kalau kau ingin mendapatkan tas yang sama seperti Kylie Jenner, atau gaun D&G seperti Gigi Hadid, kau harus mencobanya! Kau hanya perlu merekam dirimu saat masturbasi di depan kamera. Wajahmu tak akan terlihat, jadi profilmu aman. Setelah itu kirimkan videomu ke rumah produksi. Mereka akan membayarmu. Gurls, percayalah padaku! Ini aman. Aku sudah mencobanya. Lihat kaos Dior ini. Kalian pikir ini palsu? Aku mendapatkannya dari upah video yang kubuat."Gadis-gadis ini adalah kumpulan orang gila.Aku tak bisa mengontrol ekspresiku. Aku tak bisa menahannya agar terlihat biasa saja. Apa yang ada di hadapanku ini adalah hal yang mengerikan. Rasa takut mulai menjalar ketika wanita di dalam video itu mulai memohon pengampunan di antara tangisnya.Tanganku refleks bergerak sendiri menutup layar laptop. Napasku memburu. Sedetik kemudian aku menyesalinya. Aku lupa pada apa yang William katakan sebelumnya."A-aku, maaf, Mr. adler."Helaan napas terdengar panjang. "Virgin di umur 25. Kau masuk industri ini tanpa tau apapun." Dia benar. Begitulah faktanya. Aku tak akan menyangkal. Dia mengambil jeda panjang sebelum melanjutkan. "Adegan seperti itu sangat banyak di dalam skrip, tapi kau tak akan melakukannya. Bersyukurlah karena kau memiliki stunt performer." William melepas peganganku pada laptop, dan menggenggam erat tanganku. "Kau dingin sekali." Suaranya terasa dekat di telingaku. Itu membuatku sungkan dan ingin bergeser, tetapi aku terapit di antara tubuhnya dan ujung sofa. Jadi ya
"Carla," panggilku sekali lagi. Aku berusaha menangkap mata Carla, tetapi dia menghindari tatapanku. Ketika aku ingin menggapai lengannya, dia lebih dulu menggapai lenganku. Genggamannya erat sekali sampai jari-jarinya memutih."Apa kau menyukainya?"Siapa yang Carla maksud? Apakah William? "Kau tak boleh menyukainya!" "Carla ...." Meskipun dia membuang wajahnya, aku masih bisa melihat sisinya dengan jelas. Rasanya tak tega saat melihatnya mulai berkaca-kaca. Sedikit banyak aku mengerti apa yang dia rasakan. Aku bahkan berharap dihindarkan dari merasakannya. Rasa sakit dari terpaksa berbagi pasangan dengan orang lain, juga harus melihat pasangan melakukan hubungan intim dengan orang lain, merupakan pusaran sakit tanpa henti. Carla pasti merasa ketakutan setiap saat. Kekasihnya bisa kapan saja dirampas dari sisinya.Aku mengambil satu langkah maju. "Apakah yang kau maksud adalah William? Kau tenang saja, dia bukan tipeku." William benar-benar bukan tipeku. Sama sekali bukan tipeku.
....."Terimakasih." "Sama-sama, Sir." Baru saja aku berinisiatif menekan tombol masuk saat kami tiba di depan lift. Dengan tangan yang penuh kantong berisi hamburger, William pasti kesulitan. Tak kusangka William akan berterimakasih padaku setelahnya. Seperti anjing yang baru dipuji setelah berhasil melakukan teknik baru, aku merasa senang."Pagi Will, El!" Aku menoleh saat mendengar suara Carla dari kejauhan. Kupencet tombol lift agar lift tak segera menutup dan menunggunya. Wanita itu berjalan cepat sambil menenteng mantelnya. Ketika dia tiba di hadapan kami, tungkainya langsung berjinjit dan lengannya meraih leher William. Mataku melebar, napasku tertahan. "Terimakasih burgernya, Will. Punyaku dengan ekstra acar, 'kan?" "Periksa sendiri. Jangan berteriak. Ini masih pagi." Baru saja Carla mengecup pipi William. Meskipun cepat, tetapi persis di hadapanku. Dan aku, merasa sedikit tak nyaman. Entah mengapa, aku merasa tak rela......"Baringkan tubuhmu, Will," intruksi Clive. W
"Perhatikan kalimatmu."Para pemuda itu mundur ketika William maju selangkah. Salah seorang dari mereka berbisik pada temannya yang berdiri paling depan. "Apa kau gila, Matt?" Yang paling depan berdecak. "Ayolah, dia hanya pria tua. Kalian takut padanya?!" "Lihat tatonya, Matt. Dia baru saja menghabisi Jese. Sekarang dia akan menghabisi kita." Aku mendengar jelas bisik-bisik dari para pemuda itu. Inginku melerai mereka dengan cara menarik lengan William menjauh, tetapi aku juga tak memiliki keberanian menahan pria itu saat tatapan menusuknya tak sengaja terarah kepadaku.William mengambil bola yang masih memantul rendah di trotoar. Ekspresinya kaku. Aku menatap pria itu horor. Jangan sampai dia berbalik melakukan kekerasan karena itu akan menjadi bumerang baginya. "Mr. Adler, sudah cukup.""Diam di sana dan belajarlah cara menghadapi para pecundang itu. Semakin kau lemah, semakin mereka akan menindasmu." William mendesis padaku.Aku membeku.William mengembalikan bola itu dengan lem
.....Apa yang kupikirkan tentang rasisme? Apa yang Gabriella Hargate pikirkan tentang rasisme? Apa yang kami berdua pikirkan tentang rasisme? Setelah membaca Insider lebih jauh lagi, kusadari bahwa kami memiliki pandangan yang hampir sama terhadap isu tersebut. Sebab perasaan yang dia tuturkan di dalam novel, aku pun ikut merasakannya. Sebagai seorang perantauan di negeri orang, aku pernah mengalami apa yang pernah dialaminya......Tiga jam sebelumnya.Kamis ini, tepatnya pada pukul tujuh lewat lima belas menit, aku sudah menunggu bus di depan halte dengan secangkir cokelat hangat. Tujuanku adalah Gedung XX untuk menyelesaikan tahapam terakhir dari proyek 'Eve and Lilith'. Masih dua puluh menit lagi sampai bus tujuanku datang. Aku masih memiliki waktu untuk bersantai, sekedar duduk sambil menghirup udara segar dan mendengarkan musik di ponselku. Tak lama orang-orang mulai berdatangan. Mereka mengisi bangku-bangku kosong di kanan dan kiri. Dengan sigap aku mengambil tas di sebelahku
"Suka?" tanya William. Aku mengangguk. "Terimakasih." Sebenarnya aku tak begitu menyukai makanan, atau minuman yang terlalu manis, juga terlalu asam, tetapi tak mungkin aku menggelengkan kepalaku sekarang. Aku sedang menumpang di mobilnya dan aku harus menghormatinya."Ambil saja kalau kau mau," tawarnya.Aku menggeleng. "Tidak. Ini punya Carla." "Dia tak akan keberatan." "Tidak, terimakasih, Sir." Dia mengedikan bahunya. "Oke." Carla, ya? Kalau diingat-ingat lagi, sejak awal William dan Carla memang terlihat dekat. Mereka saling memanggil dengan nama kecil. Mereka berasal dari kota yang sama dan juga bekerja di bidang yang sama pula. Dari bagaimana Carla bercerita tentang William dengan penuh kebanggaan, aku jadi menebak-nebak kedekatan di antara mereka. Lalu permen stroberi di pangkuanku ini, tidakkah itu mengindikasikan suatu hubungan yang spesial? Mungkinkah mereka sepasang kekasih? Kalaupun itu mungkin, ini tak ada hubungannya denganku."Apa kau selalu seperti ini?" "Sepert