Share

2. The Restaurant

.....

Aku kembali ke restoran di pagi hari. Pintunya terkunci dan lampunya belum menyala. Restoran masih tutup. Aku memutuskan berjongkok di depan bangunan dan melihat banyak orang berlalu lalang dengan cepat. Mereka terlihat sibuk dengan kehidupan mereka. Apakah semua orang berjalan maju dan hanya aku saja yang mengalami kemunduran? Aku jadi berkecil hati. Aku merasa iri. Mengapa hidup begitu mudah bagi orang lain dan begitu sulit untukku?

"Elina?"

"Ya?" Aku mendongak saat namaku dipanggil.

Lucy hampir sampai di hadapanku. Dia memakai mantel abu-abu yang terlihat hangat membungkus kulitnya. Telapak tangannya dilapisi sarung tangan hitam dan lehernya diselimuti craf kunyit yang tebal. Nyaman dan tidak kedinginan. Sekali lagi aku merasa iri atas keberuntungan yang Tuhan berikan pada hambanya yang lain. Mengapa aku tak bisa mendapatkan hal yang sama?

"Halo, Lucy," sapaku. Aku tak lagi memanggilnya nyonya sebab dia melarangku semalam.

Lucy mengulurkan tangannya, mengajakku berdiri. "Oh Dear, kau pucat sekali," komentarnya.

Aku mengulas senyum tipis. Sepanjang malam aku kedinginan dan hidungku tersumbat. Andai saja aku belum menemukan tempat berteduh, mungkin sekarang aku sudah menjadi Olaf, atau mati. Kalau aku mati, apakah Sherry akan menangisi kepergianku? Apakah dia akan menyesal? Bahkan setelah diusir, aku masih mengharapkan secuil perhatian darinya.

"Ayo masuk!" Lucy menarik tanganku agar mengikutinya. Dia membawaku ke dalam restoran, melewati resepsionis, meja pelanggan, bar, dapur, sampai kami berada di ruang ganti khusus karyawan yang terletak di bagian belakang.

"Seharusnya kami memiliki seragam dan sepatu cadangan di sini," gumamnya.

Dia merogoh-rogoh ke dalam lemari. Dan aku mulai tak nyaman sebab terus merepotkannya. "Aku hanya ingin mengembalikan taplak meja ini," cicitku.

"Oh, tunggu sebentar." Dia menahanku.

Lucy harusnya tak sembarangan mengundang orang asing masuk. Tak peduli apakah dia manager atau bukan, bagaimana kalau aku adalah orang jahat? Apakah dia tak berpikir sejauh itu? Bagaimana kalau sampai ada barang yang hilang? Aku yang selalu waspada saja, masih mudah dikelabui orang.

"Terimakasih, Lucy. Maaf, kurasa aku harus segera pergi. Taplaknya akan kuletakan di meja resepsionis." Aku hendak berbalik ketika Lucy menahanku lagi.

"Kubilang tunggu sebentar! Kau tak mungkin berkeliaran dengan pakaian tipis seperti itu. Kau bisa mati. Nah! Ketemu!"

Lucy menghampiriku. "Ini ukuran paling kecil. Harusnya muat. Pakailah. Aku akan menunggumu di luar." Dia memberiku satu set seragam dan sepatu sebelum meninggalkanku sendirian.

Aku mengamati apa yang dia berikan, masih terkejut karena dia memperlakukanku sebaik ini. Kulihat pantulan diriku di cermin. Ada seorang gadis pucat berpakaian tipis, lusuh, dan kotor, tanpa alas kaki di musim dingin. Aku terlihat menyedihkan. Tak heran Lucy mengkhawatirkanku sampai sebegitunya.

Aku segera keluar setelah mengganti pakaian. Lucy sedang menyender di tembok dan terlibat percakapan dengan seseorang di ponselnya. Sepertinya begitu serius, jadi aku mengambil jarak jauh dan menunggu.

"Aku tau, Will. Aku yang akan menjaminnya. Burgernya akan datang tepat waktu. Oh, tidak. Kau tak perlu datang ke sini dan mengambilnya. Pelanggan adalah raja. Kau adalah raja. Jadi, biarkan aku melayanimu. Oke. Semoga harimu menyenangkan."

Lucy mengantongi ponselnya kembali dan mendekatiku. Dia tersenyum. "Tak buruk," ujarnya menilai.

"Terimakasih banyak sudah membantuku, Lucy," balasku.

Dia mengangguk. "Setidaknya kau sedikit hangat sekarang. Jadi apa yang akan kau lakukan? Kudengar Shelter sudah kelebihan muatan semalam. Apa kau tak punya sanak saudara selain teman seapartemenmu itu?"

Pernyataan Lucy membuatku gamang. Aku tak punya siapapun di kota ini, selain Sherry. Uang dan barang-barangku juga masih tertinggal di apartemen. Kalau aku kembali, apakah Sherry mau membiarkanku masuk? Aku belum sepenuhnya yakin. Aku takut Sherry mengamuk.

"Ngomong-ngomong aku sedang mencari pegawai magang untuk menggantikan karyawanku yang cuti selama seminggu." Lucy menyeletuk sambil memperhatikanku. "Well bayarannya tak besar, tapi cukup untuk bertahan hidup."

Aku meneguk ludahku. Kebetulan sekali. Saat ini, selain menjadi gelandangan, aku juga tengah mencari pekerjaan. "Apakah aku punya kesempatan?" tanyaku penuh harap. "Aku tak masalah dengan bayaran yang kau berikan. Selama aku tak tidur di jalanan dan bisa makan, itu sudah cukup," tambahku.

Lucy menyilangkan tangannya di depan dada. "Kau bisa mencuci piring, menyapu, mengepel dan melayani tamu?"

"Aku bisa."

"Kau bisa bekerja shifting?"

"Aku akan berusaha."

Lucy menepuk bahuku. "Apa kau mengerti manner pelayan? Fast Casual Dinning? Fine Dinning? Jenis-jenis makanan?"

Alisku mulai mengkerut. Aku tak tau, tetapi tak mungkin aku menjawab tak tau. Aku sangat membutuhkan pekerjaan ini. "Aku tau sedikit dan aku akan berusaha agar tau lebih banyak lagi. Aku akan mempelajarinya."

Lucy mengangguk. Senyumnya melebar. "Bagus. Selamat bergabung, Sweetie!"

Aku terdiam saat mendapati Lucy menjabat tanganku. Semudah itu? "Aku diterima?"

"Well, yeah, tapi jangan senang dulu, kau dalam pengawasanku."

Aku mengerti. Tentu saja dia tak akan percaya begitu saja padaku. "Terimakasih sudah mau memberiku kesempatan, Lucy. Aku akan berusaha sebaik mungkin," ujarku.

Dia mengangguk. "Kuharap kau memegang kata-katamu, Elina. Aku memang tak tau asal-usulmu, tapi aku pandai menilai orang. Di sini ada banyak CCTV, juga ada perjanjian kerja dan kontrak kerja yang mengikatmu. Kalau kau macam-macam, kau harus siap menerima konsekuensinya."

"Aku berjanji akan berusaha keras."

Lucy memang baik, tapi dia adalah seorang manager. Manager jelas tak akan bertindak hanya karena belas kasihan saja. Aku akan berusaha menepatinya. Aku tak akan membuatnya kecewa, apalagi sampai membuatnya menyesal telah membantuku.

.....

Beberapa hari berlalu. Menjadi pelayan di sebuah restoran bukanlah hal yang buruk. Keuntungan pertama, aku tak akan kelaparan. Kedua, sesekali aku akan mendapatkan tips dari pelanggan. Ketiga, aku akan mengetahui berita paling panas di kota.

Sebagai restoran fast casual dinning, tempat ini tak pernah tak ramai di jam makan siang. Salain karena pelayanannya yang cepat dan ramah, menu di sini juga dikenal sebagai makanan yang enak dan murah.

Tujuanku kali ini adalah sebuah meja bulat nomor tiga yang diisi oleh empat gadis berpakaian trendi. Mereka cantik, mulus, dan seksi. Kutemukan beberapa pengunjung pria mencuri pandang ke arah mereka beberapa kali.

"Permisi, Nona," sapaku sesopan mungkin.

Mereka tak abai. Mereka sibuk bergosip. Aku bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Ini tak seperti aku suka menguping, tetapi aku memiliki telinga dan mereka bicara dengan suara yang cukup keras, jadi aku tak bisa menghindar.

"Serius! Kalau kau ingin mendapatkan tas yang sama seperti Kylie Jenner, atau gaun D&G seperti Gigi Hadid, kau harus mencobanya! Kau hanya perlu merekam dirimu saat masturbasi di depan kamera. Wajahmu tak akan terlihat, jadi profilmu aman. Setelah itu kirimkan videomu ke rumah produksi. Mereka akan membayarmu. Gurls, percayalah padaku! Ini aman. Aku sudah mencobanya. Lihat kaos Dior ini. Kalian pikir ini palsu? Aku mendapatkannya dari upah video yang kubuat."

Gadis-gadis ini adalah kumpulan orang gila.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status