Share

BAB-15

Author: Kanunu
last update Last Updated: 2025-05-14 00:19:04

Langit sore menua dalam warna kelabu. Angin melintas pelan di sela dedaunan yang menggantung di luar jendela. Di ruangan kecil itu, Ainsley terjaga, tubuhnya masih lemah, tapi pikirannya jauh dari damai. Wajah Valenha tertidur di kursi di samping ranjangnya—lelaki itu tertidur dalam posisi yang tak nyaman, seolah tak rela beranjak darinya walau untuk sekadar meluruskan tubuh.

Napas Ainsley tak teratur dibalik pejaman matanya. Suara jeritan itu kembali menggema di telinganya.

Flashback Beberapa tahun lalu.

“Ainsley! Cepat ke dapur! Ibumu itu lamban sekali!”

Suara berat itu menghantam seperti pukulan. Ainsley yang baru pulang sekolah berlari masuk rumah dengan napas tertahan. Pintu masih terbuka saat ia melihat ibunya terjatuh di lantai dapur, tangannya memeluk perut, tubuhnya gemetar.

“Ayah! Berhenti!” Ainsley berteriak, tapi pria itu—berbadan besar, mata merah karena alkohol, dan tangan kotor karena kerja kasar—mengacuhkannya.

“Ayahmu yang cari uang! Perempuan macam dia tak tahu
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Under The Moonlight - Love the Law    BAB-16

    Pagi itu datang dengan kabut tipis yang menggantung rendah, seolah langit pun menahan napas menyambut langkah baru mereka. Di sebuah ruangan kecil di lantai dua toko buku, Valenha duduk di depan layar laptop dengan beberapa catatan berserakan di atas meja. Ia sedang menunggu panggilan tersambung. Ainsley duduk di seberangnya, mengenakan hoodie kelabu dan celana panjang. Luka tembakannya mulai mengering, namun masih terasa saat disentuh. Tangannya memeluk bantal kecil, tapi sorot matanya tajam dan fokus. “Namanya Elric,” kata Valenha tiba-tiba. Ainsley mengangkat alis. “Siapa?” “Orang yang akan kuberitahu untuk mengambil rekaman itu. Teman lama, mantan jurnalis investigasi. Dia kini bekerja diam-diam sebagai penelusur data dan informan independen. Bisa dipercaya, dan yang terpenting, dia tidak mudah terdeteksi.” Ainsley mengangguk perlahan. “Dia tahu risikonya?” “Dia hidup untuk risiko. Dia pernah menyusup ke jaringan penyelundup organ di Karachi. Mengambil rekaman, menyela

  • Under The Moonlight - Love the Law    BAB-15

    Langit sore menua dalam warna kelabu. Angin melintas pelan di sela dedaunan yang menggantung di luar jendela. Di ruangan kecil itu, Ainsley terjaga, tubuhnya masih lemah, tapi pikirannya jauh dari damai. Wajah Valenha tertidur di kursi di samping ranjangnya—lelaki itu tertidur dalam posisi yang tak nyaman, seolah tak rela beranjak darinya walau untuk sekadar meluruskan tubuh. Napas Ainsley tak teratur dibalik pejaman matanya. Suara jeritan itu kembali menggema di telinganya. Flashback Beberapa tahun lalu. “Ainsley! Cepat ke dapur! Ibumu itu lamban sekali!” Suara berat itu menghantam seperti pukulan. Ainsley yang baru pulang sekolah berlari masuk rumah dengan napas tertahan. Pintu masih terbuka saat ia melihat ibunya terjatuh di lantai dapur, tangannya memeluk perut, tubuhnya gemetar. “Ayah! Berhenti!” Ainsley berteriak, tapi pria itu—berbadan besar, mata merah karena alkohol, dan tangan kotor karena kerja kasar—mengacuhkannya. “Ayahmu yang cari uang! Perempuan macam dia tak tahu

  • Under The Moonlight - Love the Law    BAB-14

    Gedung itu tampak reyot dari luar, tapi malam ini, ruang bawah tanahnya menjadi medan penebusan dendam. Valenha berdiri dalam bayang, matanya mengawasi pintu besi yang hanya bisa dibuka dari dalam. Ainsley di sampingnya, mengenakan hoodie gelap, wajahnya setegas batu. “Aruon akan masuk lewat pintu belakang. Dia tak pernah percaya pintu utama,” bisik Valenha. “Dan kalau semuanya berjalan sesuai rencana, malam ini kita tak perlu lari lagi,” jawab Ainsley lirih. Langkah-langkah bergaung di lorong sempit. Aruon datang, sendirian, dengan tangan di saku jaket. Tak ada pengawal. Tak ada isyarat waspada. Mungkin karena dia merasa tak ada yang cukup berani untuk menjeratnya. Begitu ia masuk ke ruang utama, Valenha menekan tombol. Pintu tertutup rapat. Kunci otomatis bekerja. Aruon berhenti sejenak, menoleh ke belakang, baru sadar bahwa pintu tak lagi bisa dibuka. Satu detik. Dua. Lalu ia menoleh ke depan—dan mendapati Valenha berdiri di tengah ruangan dengan pistol terarah ke dada.

  • Under The Moonlight - Love the Law    BAB-13

    Sudah beberapa hari berlalu sejak kejadian di lorong sempit malam itu. Luka di tubuh mereka mulai mengering, namun luka dalam hati dan rencana yang belum selesai justru terasa semakin tajam. Di balik tembok-tembok tua toko buku yang kini jadi tempat persembunyian, Valenha dan Ainsley kembali merangkai langkah. Pagi itu, matahari menerobos tirai jendela dengan malas. Ainsley duduk di sofa dengan secangkir teh herbal di tangannya, sementara Valenha berdiri di depan meja, menatap peta kota yang terbentang di permukaan kayu. Jemarinya menyusuri jalur pelarian, titik-titik merah kecil menandai tempat yang pernah mereka lalui dan rencanakan. "Aruon biasa menggunakan gudang tua dekat distrik selatan untuk transaksi gelap," ujar Valenha, suaranya datar namun penuh tekad. Ia menyelipkan sebatang rokok ke bibirnya, tapi tak menyalakannya. Tatapannya gelap, seperti menyimpan bara dendam yang terus menyala. Ainsley mengangguk. "Kita bisa sekap dia di tempat itu. Tapi waktunya harus tepat. D

  • Under The Moonlight - Love the Law    BAB-12

    Udara malam itu menusuk seperti bilah baja. Dingin, tajam, dan menyelinap diam-diam ke tulang. Tapi saat langkah mereka kembali menapaki halaman belakang toko buku yang sunyi, Valenha justru merasa terbakar. Bukan karena luka atau kelelahan, melainkan karena sosok di sampingnya yang terus berjalan tanpa suara—dan tatapan mata yang masih membekas di benaknya. Pintu belakang dibanting tertutup. Valenha berjalan lurus menuju dapur. Ia melemparkan sweater hitamnya ke kursi dan menyalakan lampu dengan gerakan kasar. Tak ada sapa. Tak ada tanya. Punggungnya kaku, seolah satu kata saja bisa membuatnya meledak. Ainsley berdiri di ambang pintu, diam-diam memperhatikan. Napasnya berat tapi tertahan. Ia terlihat letih. “Kau terluka juga?” “Sedikit gores,” gumam Valenha, tanpa menoleh, saat Ainsley akhirnya bertanya tentang luka. Ia membuka lemari, mengambil perban seadanya, lalu duduk. Saat kain itu direbut dari tangannya, Valenha hendak protes, tapi melihat keseriusan Ainsley, ia hanya menga

  • Under The Moonlight - Love the Law    BAB-11

    “Valenha, sebaliknya kau dan aku berpencar,” kata Ainsley di tengah langkah lebarnya bersama Valenha. Napasnya tersendat, matanya waspada menyapu lorong gelap yang seolah menyempit. Di belakang mereka, suara langkah kaki terus mendekat. Entah ke mana Ersya pergi—perempuan itu menghilang seperti embusan angin, dan kini hanya tersisa mereka berdua. “Jika seperti ini, itu sama saja—” “Diam lah, Ai.” Suara Valenha terdengar rendah, hampir geram. “Membiarkanmu berlari sendiri jauh lebih berbahaya.” Ainsley tak bisa membantah. Ia menunduk, membiarkan bibirnya terkatup rapat. Tangan Valenha menggenggamnya begitu erat, seolah ingin menahan seluruh dunia agar tak menjatuhkan satu luka pun padanya. Dan untuk beberapa detik, Ainsley membiarkan tubuhnya diseret oleh kekuatan itu—perlindungan yang tak pernah ia minta, tapi diam-diam ia harapkan Valenha melirik ke arah Ainsley, sekilas, cukup untuk memastikan napas gadis itu masih terjaga. Ia tahu benar, asma Ainsley bisa kambuh kapan saja.

  • Under The Moonlight - Love the Law    BAB-10

    Ainsley berdiri di depan cermin panjang, mengenakan gaun berwarna hitam keabu-abuan yang dipilihkan Ersya. Gaun itu menjuntai anggun, dengan potongan sederhana namun berkelas. Rambutnya disanggul rendah, menyisakan beberapa helaian di pelipis yang sengaja dibiarkan liar. Sekilas, ia tampak seperti bagian dari dunia yang mewah itu—sebuah dunia yang terlalu terang bagi seorang buronan. "Tak nyaman?" tanya Ersya, masuk ke kamar hotel dengan senyum lembut. Ainsley menoleh, tersenyum kecil. “Seperti sedang mencoba menjadi seseorang yang bukan aku.” “Kadang, untuk bertahan hidup, kita memang harus menjadi topeng yang berjalan.” Jawaban itu menusuk lebih dalam dari yang seharusnya. Ainsley memandangi Ersya—dengan gaun merah marun, sepatu berhak tinggi, dan rambut yang disanggul anggun. Wanita itu tampak sempurna, namun sorot matanya tetap membawa kesepian yang sama seperti malam pertama mereka berbicara di kafe. “Siapa kau, Ersya, sebelum menjadi... semua ini?” tanya Ainsley pelan. Ers

  • Under The Moonlight - Love the Law    BAB-09

    Ainsley menatap undangan yang baru saja diletakkan Ersya di pangkuannya. Kertas putih gading itu berkilau samar dalam cahaya kafe. Di pojok kanan bawahnya tercetak nama besar Gazerad Private Foundation Gala – For The Families of Justice. “Acara keluarga,” kata Ersya santai, menyeruput teh herbalnya. “Tak terlalu ramai. Hanya beberapa petinggi hukum, pengusaha tua, dan orang-orang yang terlalu malas untuk peduli siapa kau, selama kau membawa senyum dan sepatu yang mengilap.” Ainsley mengulas senyum. “Dan kau ingin aku datang sebagai apa? Teman? Pendamping? Mata-mata?” Ersya tertawa kecil. “Teman. Setidaknya untuk malam itu.” Jawaban itu harusnya menenangkan. Tapi bagi Ainsley, justru membuat dadanya makin sesak. Karena makin lama ia berdiri di dekat Ersya, makin kabur batas antara peran dan kenyataan. Ia tak lagi yakin apakah kedekatan ini demi Valenha… atau demi hatinya sendiri. “Ayahmu akan hadir?” “Tentu saja.” Suara Ersya mendadak datar. “Dia yang membiayai semuanya. Ta

  • Under The Moonlight - Love the Law    BAB-8

    Tiga hari setelah gala itu, Ainsley kembali berdiri di depan toko buku Valenha—seperti biasa, saat langit mulai menggelap dan jalanan kota berubah lebih sunyi. Di tangannya, sebuah buket kecil bunga liar dan secangkir kopi hangat dari kedai seberang. Ia mendorong pintu kaca yang berderit halus. Valenha ada di dalam, berdiri di balik meja kasir sambil membalik halaman buku tua. Saat melihat Ainsley, alisnya sedikit terangkat. "Bunga?" tanyanya, menatap buket kecil itu. “Untuk kamu. Tapi kamu bisa pura-pura itu hiasan,” jawab Ainsley ringan. “Ersya menyukainya waktu aku bawa tadi siang, jadi aku beli dua.” Valenha memejamkan mata sejenak. “Kau mulai akrab dengannya?” Ainsley mengangguk, duduk di kursi baca yang menghadap jendela. “Kami pergi ke kafe tadi. Dia cerita tentang ibunya yang meninggal waktu dia umur sembilan tahun. Dan… tentang kesepiannya.” Valenha tak menjawab. Ia hanya menatap Ainsley lama, seperti mencoba membaca isi pikirannya. Tapi Ainsley menatap balik tanp

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status