Kana Kobayashi melambaikan tangan dengan senyum lebar yang memperlihatkan deretan giginya yang rapi. Ia membuat gerakan tangan yang menunjukkan kalau dirinya sudah mempersiapkan tempat duduk untuk Izumi. Izumi menyambutnya dengan senyum sambil berlari kecil mendekati Kana.
“Terima Kasih, Kobayashi-san.” Izumi menarik bangku dan mulai duduk disana.
“Panggil Kana saja. Kita sudah cukup dekat sejak masa orientasi bukan?” Ucapan itu cukup menarik perhatian Miyu Maeda yang sudah duduk lebih dulu di sebelah Kana.
“Kau juga boleh memanggilku Miyu, izumi-chan.” Ucap Miyu yang membuat izumi sedikit tersipu.
“Berhenti membuatnya tidak nyaman.” Kana berkata sambil menatap Miyu dengan kesal. Sedetik kemudian ekspresi Miyu berubah cemberut. Gadis yang menyebalkan itu ternyata juga punya sisi imutnya sendiri. Tingkah mereka berdua membuat Izumi menahan tawanya.
“Aku tidak apa-apa kok.” Izumi akhirnya menyerah dan melepaskan tawa kecilnya.
“Sepertinya kau harus siap melihat tingkah-tingkah menyebalkan wanita yang satu ini. Aku sudah terbiasa dengan perilakunya karena aku sudah bersamanya sejak sekolah dasar.” Mendengar Kana berkata begitu, sepertinya Miyu gadis yang baik.
“Tapi kau merindukanku kan saat aku harus pindah sekolah menengah di tahun ketiga ku?” Miyu segera membalas ucapan Kana yang baru saja berhenti seperti sekian detik.
“Terserah kau saja.” Kana menggeleng dan memasang wajah putus asa sambil menatap Izumi seolah memberi tahu Izumi untuk mengabaikan ucapan Miyu. Saat itu suara pintu terbuka menarik perhatian hampir seisi ruangan. Orang yang datang itu membuat hampir seisi kelas hening dan menatap ke arah sumber suara tak terkecuali Izumi. Beberapa gadis di kelas ada yang merapikan rambutnya seketika memastikan penampilannya cukup sempurna untuk di tatap sosok yang datang itu. Beberapa lagi ada yang memberanikan diri untuk menawarinya tempat duduk termasuk Miyu. Izumi sendiri tidak melakukan sesuatu yang berarti, ia hanya menatapnya kemudian mengalihkan pandangannya ke white board. Meski sebelumnya pernah mengobrol ia tidak berfikir untuk menyapanya lebih dulu atau membuat hubungan mereka lebih dekat. Baginya pria itu cukup baik untuk sosok yang baru pernah ia temui tapi wajah pria itu membuat Izumi enggan menatapnya lama-lama. Ia masih belum bisa menghilangkan perasaan takut itu tiap kali menatap wajahnya. Izumi sedikit terkejut saat kursi di sampingnya berdecit. Semerbak aroma parfum yang manly menyeruak memasuki rongga hidung Izumi. Ia tidak perlu memalingkan wajahnya untuk tahu siapa yang duduk di sampingnya, ia sudah tahu siapa sosok itu.
“Bolehkah aku duduk disini, Marigold-san?” Dipanggil dengan cara seperti itu membuat izumi otomatis tersenyum. Ia baru sadar kalau keduanya belum mengetahui nama satu sama lain. Izumi hanya bergumam mengangguk sambil tersenyum.
“Padahal aku yang menyapanya tapi tapi dia malah duduk di samping Izumi.” Gerutu Miyu sambil mengeluarkan buku dari tas dengan gerakan yang sedikit kasar.
“Maafkan aku. Aku lebih suka duduk di tempat yang lebih mudah aku jangkau. Mungkin lain kali aku akan duduk di sampingmu, Nona rambut pirang” Miyu tersentuh mendengar permintaan maaf seperti itu datang dari pria tampan seperti Ishida. Alasan itu cukup masuk akal melihat posisi Miyu ada di tengah barisan sementara kursi yang Ishida duduki ada di sisi paling ujung.
“Baiklah, aku maafkan.” Miyu bersikap seolah-olah acuh. Ia terlalu gengsi mengakui kalau moodnya tiba-tiba membaik setelah mendengar permintaan maaf Ishida.
Ishida melirik Izumi sesekali selama kelas berlangsung. Dari sisi Ishida, ia hanya bisa melihat rambut hitam Izumi yang tergerai menutupi bagian samping wajahnya. Wanita itu sangat tekun mencatat. Pantas saja ia dapat nilai tertinggi diujian masuk tahun ini. Ishida segera sadar dan menggelengkan kepalanya. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali. Sejauh ini ia hanya menyukai Izumi yang sedang bernyanyi tapi kenapa gadis di sampingnya itu masih menarik perhatiannya meski sedang tidak bernyanyi? Apakah ini hanya implementasi dari rasa gembiranya setelah akhirnya ia bisa mendengar Izumi bernyanyi lagi tempo hari?
“Kana-chan kau sudah membaca grup angkatan departemen kita? Kita akan ikut Nomikai besok malam, kan?.” Miyu menatap penuh permohonan pada Kana.
“Kau juga ikut kan, Izumi? Kita bisa berangkat bersama setelah kelas selesai.” Kana mengabaikan Miyu yang memohon padanya. Ia sudah pasti akan menuruti ucapan Miyu atau gadis itu akan mengamuk saat apa yang ia mau tidak dituruti oleh Kana. Ketiganya berjalan melewati jalan setapak yang di sekelilingnya berdiri pohon-pohon yang cukup rindang.
“Kalau aku jadi kalian, aku akan memilih tidur di rumah.” Miyu melirik Ishida dengan kesal. Lagipula kenapa lelaki itu terus mengikuti mereka bertiga, sih?
“Lihat! Kak Hasegawa juga datang! Pokoknya kita harus ikut.” Miyu yang tadi ada di fase memohon sudah berubah menjadi memaksa.
“Baiklah. Aku akan datang.” Sahutan Izumi disambut gembira oleh Miyu. Kini giliran raut wajah Ishida yang terlihat bimbang. Niatnya untuk tidur di apartemen sedikit goyah saat mendengar jawaban Izumi. Mereka berempat duduk di satu meja setelah selesai mengantre untuk mendapatkan makanan masing-masing. Miyu duduk di samping Kana, di hadapannya Ishida duduk di samping Izumi.
“Sepertinya tadi di kelas aku mendengar Hasegawa-san akan duduk di sampingku. Yah, memang sedikit sekali lelaki yang menepati ucapannya.” Miyu menyindir Ishida secara terang-terangan.
“Hasegawa?” Izumi memasang wajah bingung.
“Hasegawa Ishida. Bagaimana bisa kau belum mengetahui nama lelaki yang dari tadi mengikutimu?” Wajah Kana jauh lebih bingung.
“Ternyata kau tidak sepopuler yang aku kira, Hasegawa.” Miyu tertawa puas sekali. Mood gadis itu benar-benar cepat berubah.
“Maafkan aku. Dari tadi Miyu terus membicarakan Kak Hasegawa jadi yang muncul di fikiranku saat mendengar nama itu adalah Kak Hasegawa dan itu membuatku agak bingung.” Wajah Izumi menunjukkan ekspresi tidak nyaman.
“Tidak apa-apa, Marigold-san. Aku akan memperkenalkan diriku. Aku Ishida Hasegawa. Maaf karena terlambat memperkenalkan diri.” Ishida memutar posisi duduknya menghadap ke Izumi. Ia bahkan sedikit membungkukkan badannya. Izumi menatap Kana dan Miyu bergantian masih dengan wajah tidak nyaman.
“Aku Izumi Nakano. Senang berkenalan denganmu.” Izumi melakukan gerakan yang sama. Hal ini mengundang tawa kecil Kana yang sudah tak bisa lagi ia tahan. Tidak hanya Kana, Ishida juga berusaha menahan tawa kecilnya. Wajah Izumi saat ini benar-benar imut. Kedua pipinya memerah karena tersipu diperlakukan seperti itu oleh Ishida.
“Perkenalan macam apa ini.” Kana menutup kalimatnya bersamaan dengan ia menghentikan tawanya.
“Aku tidak menyangka pria tampan sepertimu bisa melucu.” Miyu menimpali sambil memasukan satu suapan kecil ke mulutnya.
Ishida sedang menggulir ponselnya di akhir pekan yang damai. Damai karena tidak ada yang mengganggunya di apartemen baik ayahnya, istri ayahnya, Kenichi dan Emi. Saking damainya sampai-sampai ia bosan dan ingin pergi ke suatu tempat tapi ia tidak tahu ingin pergi kemana. Matanya menangkap salah satu unggahan dari fanpage Aletheia addict bahwa buku baru Aletheia baru saja terbit dan mulai diperjual-belikan hari ini. Akhirnya ia tahu harus kemana. Ia akan menemui Izumi di café, tidak peduli apakah gadis itu masuk shift pagi atau siang, ketika ia menemuinya sekarang Izumi pasti masih ada di café. Kemudian ia akan mengajak Izumi ke toko buku dengan … mobilnya? Atau menaiki odakyusen seperti waktu itu?Ishida sampai di café setelah menghabiskan setengah jam perjalanan dengan bus. Ia memutuskan untuk pergi menggunakan kendaraan umum. Kencannya dengan Izumi beberapa waktu lalu mungkin tidak berjalan lancar tapi Ishida sangat menikmatinya pergi menggunakan kendaraan umum bersama Izumi. Sebena
Mobil Kenichi berhenti tidak jauh dari Gedung apartemen Izumi. Ia mengenakan ciput dan syal dengan warna senada – cokelat tua, untuk menutupi telinganya dari udara yang masih dingin dipagi hari. Ia buru-buru menyalakan mesin mobilnya saat melihat Izumi keluar dari Gedung. Ia benar-benar berharap Izumi tidak memergokinya karena ia sendiri tidak bisa mengatakan alasan yang tepat yang bisa ia katakan. Ia hanya ingin memastikan gadis itu baik-baik saja selama perjalanan menuju ke café. Mobil Kenichi mengikuti bus yang Izumi naiki. Gadis itu duduk di dekat jendela membuat Kenichi bisa melihatnya dengan jelas. Tangan mungilnya menggeser jendela dan membiarkan wajahnya diterpa angin dan sinar matahari.Kenichi terkesiap saat Izumi turun di halte yang masih jauh dari cafe. Arah langkah Izumi membuat mobil Kenichi memasuki sebuah rumah sakit. Ia buru-buru memarkirkan mobilnya sebelum kehilangan gadis itu di dalam. Mata Kenichi menangkap Izumi yang sedang mengambil nomor antrian di area poli jiw
Kenichi berniat menemui Ishida untuk meminta bantuan laki-laki itu soal kasus yang melibatkan nama Izumi. Tapi sebelum ia berhasil menemui Ishida, matanya menangkap dua sosok yang ia segera tahu siapa mereka meski hanya melihatnya sekilas. Dua sejoli itu sedang berdiri di belakang pagar di salah satu atap Gedung kampus. Benar-benar pemandangan yang memuakkan. Memangnya mereka anak SMA yang kasmaran sampai-sampai berkencan di atap kampus? Kenichi mengeluarkan ponselnya dan menelfon Ishida. Kenichi menyesal telah tanpa sadar memperhatikan semua gerak-gerik keduanya. Kini perasaan aneh di hatinya membuat dadanya terasa sesak. Ia bahkan tidak menyadari kapan nada dering di ponselnya berhenti. Ishida mengabaikan panggilannya bahkan tanpa sekalipun mengecek siapa yang menelfon.“Konnichiwa, senpai!” Minoru dengan nada bergurau menyapa Kenichi sambil menepuk pundaknya.“Astaga! Berhenti mengagetkanku atau kau akan aku makan. Kau tahu aku baru selesai kelas dan belum makan sejak pagi.” Kenich
Miyu terpaksa makan siang seorang diri setelah mendapat kabar kalau Izumi ada kelas pengganti mendadak dan Kana tidak masuk kuliah karena akhirnya gadis itu menyerah terus-terusan menahan sakit giginya dan memutuskan untuk ke dokter. Ia sedang mengantre untuk mengambil minuman ketika tangan kanannya sibuk memegang ponsel dan tangan sebelah kirinya berhati-hati memegang seporsi nasi dan daging babi pedas. Ia terus memerhatikan ponselnya sampai tiba-tiba orang di depannya berbalik secara mendadak sampai menabraknya dan bajunya basah kuyup oleh minuman yang tumpah dari gelas lelaki itu.Miyu ternganga. Puluhan kata-kata umpatan di kepalanya sudah mengantre untuk di keluarkan tapi semua kata-kata itu menguar begitu saja saat mengetahui siapa lelaki yang menyebabkan kekacauan itu.“Oh astaga! Maafkan aku, aku tidak berhati-hati.” Laki-laki itu berusaha membersihkan baju Miyu menggunakan tisu.“Kak Minoru?”“Maeda-san?”Miyu duduk seorang diri di cafetaria setelah beberapa saat lalu Mi
Izumi turun dari bus lalu langkahnya berbelok ke sebuah jalan yang tidak begitu besar. Ia menyusuri jalan itu dengan buku dan tas tangannya. Ia hampir saja terjatuh saat kaki kanannya tidak sengaja menginjak tali sepatu sebelah kiri dan membuatnya terlepas. Ia pasti sudah sangat lelah sampai-sampai konsentrasinya menurun. Ia berhenti lalu mengikat tali sepatunya. Saat itu tanpa sengaja ia mendengar langkah kaki yang berhenti di belakangnya. Apakah ini hanya firasatnya saja? Ia tidak berani menoleh ke belakang apapun yang terjadi. Apakah badannya yang letih membuatnya berhalusinasi lagi? Setelah kejadian dua tahun silam, selain mimpi buruk yang kerap datang ia juga sering beranggapan kalau seseorang mengikutinya dari belakang tiap kali ia sedang berjalan sendirian terutama saat hari mulai gelap seperti ini. Ia melanjutkan langkahnya kali ini dengan tempo yang lebih cepat. Beberapa saat kemudian ia menghentikan langkahnya secara tiba-tiba. Ia baru saja ingin memastikan kalau apa yang ta
Suara pintu terbuka terdengar bersamaan dengan langkah Ritsuko yang mengendap-endap. Ia memberanikan diri memasuki ruangan itu setelah mengetahui suaminya tidak pulang untuk beberapa hari. Ia membuka lemari, mencari bindex file yang ia lihat saat ia tidak sengaja menemukan surat laporan kepolisian. Setelah selesai dengan dua lemari besar di belakang meja kerja suaminya, Ia beralih ke lemari yang lebih kecil di dekat pintu masuk. Itu satu-satunya lemari yang belum ia periksa. Ia menghabiskan waktu setidaknya lima belas menit untuk mencarinya di lemari terakhir.Ritsuko baru saja keluar dan menutup pintu ruang kerja suaminya tetapi sesuatu membuat tubuhnya tersentak.“Apa yang kau lakukan?” Suara itu datang tepat dari arah belakangnya. Ritsuko berbalik dengan wajah cemas yang ia buat-buat.“Aku tidak sengaja menghilangkan cincinku beberapa hari yang lalu, aku tidak begitu yakin kapan tepatnya … mungkin saat aku membantu ayahmu membereskan file-file yang sudah tidak terpakai” Ritsuko mem