Tatapan Minoru terlihat jengkel. Kenichi langsung mengetahui alasannya setelah mengikuti mengikuti arah pandangan Minoru.
“Apa kau tidak bisa memperingati adikmu agar memberiku ruang untuk mendekati belahan jiwaku itu?” Minoru memasukkan satu suapan besar ke mulutnya dengan kasar.
“Ia terus menempel pada gadis itu seperti perangko.” Minoru melanjutkan ucapannya sambil mengunyah – membuat serpihan kecil dari mulutnya berhamburan keluar.
“Aish! Kau harus pilih akan mengunyah atau menggerutu lebih dulu. Kalau begini lalat saja enggan menghinggapimu apalagi seorang gadis.” Minoru hanya bergumam tidak jelas sambil mengunyah setelah mendapat omelan dari Kenichi. Diam-diam Kenichi masih memperhatikan Ishida. Ia mengetahui semua teman ishida – setidaknya sampai sebelum hubungannya dengan Ishida memburuk sejak enam bulan terakhir. Ia yakin belum pernah melihat Ishida sedekat ini dengan seorang gadis. Apakah masa puber Ishida baru dimulai sehingga ia mulai tertarik dengan seorang gadis?
Seorang wanita paruh baya mengambil sebungkus marshmallow tapi tangannya berbenturan dengan tangan seseorang. Wanita itu menoleh, raut wajahnya berubah haru.
“Ritsuko-sensei” Suara itu dibarengi dengan pelukan yang begitu erat.
“Izumi, aku tidak menyangka akan bertemu denganmu disini.” Keduanya berpelukan seperti kakak dan adik yang sudah lama tidak bertemu.
“Aku merindukanmu.” Izumi melepas pelukan itu dengan linangan air mata.
Keduanya duduk di depan Brothermart – Minimarket yang tidak jauh kampus Izumi. Selain sebagai guru selama Izumi home schooling, baginya sosok Ritsuko adalah seorang kakak. Ia satu-satunya orang yang menemani Izumi untuk keluar dari masa-masa sulit – selain ibunya.
“Aku turut berduka atas kepergian ibumu. Aku minta maaf karena belum sempat mengunjungimu semenjak hari itu. Aku baru saja tiba di Keio tiga hari yang lalu.” Wanita paruh baya itu mengenakan setelan blazer dan rok pencil dengan warna senada. Wajahnya tampak sepuluh tahun lebih muda di umurnya yang sudah memasuki kepala empat.
“Terimakasih, Ritsuko sensei. Bertemu disini denganmu cukup membuatku senang. Kau tampak lebih segar semenjak jadi relawan.” Izumi tidak bisa menyembunyikan perasaan senangnya. Ia terus tersenyum sepanjang mengobrol dengan wanita itu.
“Mengajar bagiku sudah seperti kebutuhan. Meski aku hanya mengajar hal-hal dasar soal membaca disana, rasanya seperti aku mendapat pengalaman paling berharga tiap kali berhasil mengajar sesuatu.” Wanita itu tampak mengenang pengalamannya beberapa hari lalu saat ia berada di daerah terpencil dimana penduduknya masih belum tersentuh kemajuan dunia Pendidikan.
“Aku harap bisa sepertimu suatu saat nanti. Oh ya, ngomong-ngomong apakah kau ada urusan di sekitar sini?”
“Aku sedang menunggu..” Sebelum wanita itu selesai bicara, telfonnya berdering.
Kenichi hampir keluar dari mobil untuk menjemput ibunya karena menurutnya wanita itu terlalu lama untuk sekedar membeli snack. Baru saja ia meraih pintu mobil, matanya terpaut pada sosok yang keluar bersamaan dengan ibunya dari dalam minimarket. Bagaimana bisa dua wanita itu saling mengenal? Ataukah sesuatu terjadi di dalam dan membuat keduanya terlibat obrolan kecil? Kenichi memilih menunggu ibunya di dalam mobil yang terparkir agak jauh dari minimarket. Beberapa kali Kenichi melirik ibunya tapi ia tidak menemukan tanda-tanda obrolan itu akan berakhir. Karena terlalu lama, ia memutuskan untuk menelfon ibunya.
“Ibu, anakmu sudah hampir mati kehausan di mobil tapi ibu lebih memilih untuk bergosip.”
Kenichi menutup ponsel setelah ibunya setuju untuk segera kembali. Wanita itu memasuki mobil dengan shopping bag berisi air mineral dan beberapa snack.
“Aku tadi secara kebetulan bertemu dengan mantan murid home schoolingku, maaf ya Ken-chan.” Wanita itu mengulurkan sebotol air mineral yang sudah ia buka tutupnya. Kenichi meraih botol itu dan mulai meneguk isinya sambil mengangguk sedikit, akhirnya ia mengetahui alasan dua wanita itu saling berbincang. Ibunya memang sangat pengertian. Pertanyaan Kenichi sudah terjawab sebelum ia benar-benar menanyakannya.
Ishida mendengus kesal di dalam taxi yang membawanya pulang ke apartemen. Jarinya menekan tombol power dan mematikan daya ponselnya setelah mengabaikan belasan – tidak, bahkan puluhan pesan yang masuk dari wanita yang sama sekali ia tidak duga akan menganggunya lagi. Moodnya seketika rusak hari ini.
Bel apartemen yang berdenting terus menerus membuat Ishida memaksa untuk membuka matanya. Ia baru saja bertekad memperbaiki moodnya yang buruk dengan tidur, tapi hal lain malah membuatnya semakin buruk. Ia berjalan dengan gontai kearah pintu dan mengacak-acak rambutnya dengan kasar setelah mengetahui siapa yang datang. Ishida memasang muka datar menatap pria di depannya.
“Silahkan masuk, ayah.” Suara Ishida terdengar sangat datar meskipun ia dan ayahnya – Yoshi Hasegawa, sudah tidak bertemu setidaknya selama dua bulan.
“Apa kau tidak merindukanku setelah lama tidak melihatku?” Pria itu melangkah sembari melihat-lihat seisi apartemen Ishida.
“Aku masih sering melihatmu di internet – sibuk dengan kasus-kasus orang lain.” Ishida membelakangi ayahnya, membuka pintu kulkas dan mengambil sekaleng bir.
“Kau memang sangat mirip dengan kakakmu. Tidak bisa jauh dari bir.” Pria paruh baya itu membuka kaleng dan meneguknya. Keduanya duduk di sofa menghadap ke arah yang sama.
“bedanya aku tidak menggunakan narkoba dan tidak membuat masalah sampai-sampai kau harus mengirimnya ke luar negeri.” Ishida meneguk bir sambil melirik sinis. Ia tidak menyangka kalau hari ini benar-benar akan memporak porandakan moodnya.
“Berhenti naik taxi. Kau harus ke kampus menggunakan mobil mulai besok.” Yosi lebih memilih mengalihkan topik pembicaraan dari bertengkar karena pembicaraan sebelumnya. Ia meletakkan sebuah kunci mobil di atas meja tepat di hadapan Ishida.
“Tentu saja. Kau tidak ingin muncul berita tentang anak kandung ketua kepolisian berangkat ke kampus menggunakan taxi sementara anak tirinya menggunakan mobil mewah, kan?” Yosi juga sudah menduga akan mendengar respon yang kurang baik dari anak keduanya itu. Semenjak kematian ibunya, sikap Ishida padanya menjadi dingin dan semakin dingin lagi setelah ia memutuskan menikahi Ritsuko.
“Aku tahu kau masih belum bisa menerima banyak hal yang terjadi. Tapi ayah harap kau akan mengerti semuanya pelan-pelan.” Yosi beranjak dari tempat duduk, meninggalkan apartemen dan membiarkan Ishida yang masih duduk tak bergeming.
Ishida sedang menggulir ponselnya di akhir pekan yang damai. Damai karena tidak ada yang mengganggunya di apartemen baik ayahnya, istri ayahnya, Kenichi dan Emi. Saking damainya sampai-sampai ia bosan dan ingin pergi ke suatu tempat tapi ia tidak tahu ingin pergi kemana. Matanya menangkap salah satu unggahan dari fanpage Aletheia addict bahwa buku baru Aletheia baru saja terbit dan mulai diperjual-belikan hari ini. Akhirnya ia tahu harus kemana. Ia akan menemui Izumi di café, tidak peduli apakah gadis itu masuk shift pagi atau siang, ketika ia menemuinya sekarang Izumi pasti masih ada di café. Kemudian ia akan mengajak Izumi ke toko buku dengan … mobilnya? Atau menaiki odakyusen seperti waktu itu?Ishida sampai di café setelah menghabiskan setengah jam perjalanan dengan bus. Ia memutuskan untuk pergi menggunakan kendaraan umum. Kencannya dengan Izumi beberapa waktu lalu mungkin tidak berjalan lancar tapi Ishida sangat menikmatinya pergi menggunakan kendaraan umum bersama Izumi. Sebena
Mobil Kenichi berhenti tidak jauh dari Gedung apartemen Izumi. Ia mengenakan ciput dan syal dengan warna senada – cokelat tua, untuk menutupi telinganya dari udara yang masih dingin dipagi hari. Ia buru-buru menyalakan mesin mobilnya saat melihat Izumi keluar dari Gedung. Ia benar-benar berharap Izumi tidak memergokinya karena ia sendiri tidak bisa mengatakan alasan yang tepat yang bisa ia katakan. Ia hanya ingin memastikan gadis itu baik-baik saja selama perjalanan menuju ke café. Mobil Kenichi mengikuti bus yang Izumi naiki. Gadis itu duduk di dekat jendela membuat Kenichi bisa melihatnya dengan jelas. Tangan mungilnya menggeser jendela dan membiarkan wajahnya diterpa angin dan sinar matahari.Kenichi terkesiap saat Izumi turun di halte yang masih jauh dari cafe. Arah langkah Izumi membuat mobil Kenichi memasuki sebuah rumah sakit. Ia buru-buru memarkirkan mobilnya sebelum kehilangan gadis itu di dalam. Mata Kenichi menangkap Izumi yang sedang mengambil nomor antrian di area poli jiw
Kenichi berniat menemui Ishida untuk meminta bantuan laki-laki itu soal kasus yang melibatkan nama Izumi. Tapi sebelum ia berhasil menemui Ishida, matanya menangkap dua sosok yang ia segera tahu siapa mereka meski hanya melihatnya sekilas. Dua sejoli itu sedang berdiri di belakang pagar di salah satu atap Gedung kampus. Benar-benar pemandangan yang memuakkan. Memangnya mereka anak SMA yang kasmaran sampai-sampai berkencan di atap kampus? Kenichi mengeluarkan ponselnya dan menelfon Ishida. Kenichi menyesal telah tanpa sadar memperhatikan semua gerak-gerik keduanya. Kini perasaan aneh di hatinya membuat dadanya terasa sesak. Ia bahkan tidak menyadari kapan nada dering di ponselnya berhenti. Ishida mengabaikan panggilannya bahkan tanpa sekalipun mengecek siapa yang menelfon.“Konnichiwa, senpai!” Minoru dengan nada bergurau menyapa Kenichi sambil menepuk pundaknya.“Astaga! Berhenti mengagetkanku atau kau akan aku makan. Kau tahu aku baru selesai kelas dan belum makan sejak pagi.” Kenich
Miyu terpaksa makan siang seorang diri setelah mendapat kabar kalau Izumi ada kelas pengganti mendadak dan Kana tidak masuk kuliah karena akhirnya gadis itu menyerah terus-terusan menahan sakit giginya dan memutuskan untuk ke dokter. Ia sedang mengantre untuk mengambil minuman ketika tangan kanannya sibuk memegang ponsel dan tangan sebelah kirinya berhati-hati memegang seporsi nasi dan daging babi pedas. Ia terus memerhatikan ponselnya sampai tiba-tiba orang di depannya berbalik secara mendadak sampai menabraknya dan bajunya basah kuyup oleh minuman yang tumpah dari gelas lelaki itu.Miyu ternganga. Puluhan kata-kata umpatan di kepalanya sudah mengantre untuk di keluarkan tapi semua kata-kata itu menguar begitu saja saat mengetahui siapa lelaki yang menyebabkan kekacauan itu.“Oh astaga! Maafkan aku, aku tidak berhati-hati.” Laki-laki itu berusaha membersihkan baju Miyu menggunakan tisu.“Kak Minoru?”“Maeda-san?”Miyu duduk seorang diri di cafetaria setelah beberapa saat lalu Mi
Izumi turun dari bus lalu langkahnya berbelok ke sebuah jalan yang tidak begitu besar. Ia menyusuri jalan itu dengan buku dan tas tangannya. Ia hampir saja terjatuh saat kaki kanannya tidak sengaja menginjak tali sepatu sebelah kiri dan membuatnya terlepas. Ia pasti sudah sangat lelah sampai-sampai konsentrasinya menurun. Ia berhenti lalu mengikat tali sepatunya. Saat itu tanpa sengaja ia mendengar langkah kaki yang berhenti di belakangnya. Apakah ini hanya firasatnya saja? Ia tidak berani menoleh ke belakang apapun yang terjadi. Apakah badannya yang letih membuatnya berhalusinasi lagi? Setelah kejadian dua tahun silam, selain mimpi buruk yang kerap datang ia juga sering beranggapan kalau seseorang mengikutinya dari belakang tiap kali ia sedang berjalan sendirian terutama saat hari mulai gelap seperti ini. Ia melanjutkan langkahnya kali ini dengan tempo yang lebih cepat. Beberapa saat kemudian ia menghentikan langkahnya secara tiba-tiba. Ia baru saja ingin memastikan kalau apa yang ta
Suara pintu terbuka terdengar bersamaan dengan langkah Ritsuko yang mengendap-endap. Ia memberanikan diri memasuki ruangan itu setelah mengetahui suaminya tidak pulang untuk beberapa hari. Ia membuka lemari, mencari bindex file yang ia lihat saat ia tidak sengaja menemukan surat laporan kepolisian. Setelah selesai dengan dua lemari besar di belakang meja kerja suaminya, Ia beralih ke lemari yang lebih kecil di dekat pintu masuk. Itu satu-satunya lemari yang belum ia periksa. Ia menghabiskan waktu setidaknya lima belas menit untuk mencarinya di lemari terakhir.Ritsuko baru saja keluar dan menutup pintu ruang kerja suaminya tetapi sesuatu membuat tubuhnya tersentak.“Apa yang kau lakukan?” Suara itu datang tepat dari arah belakangnya. Ritsuko berbalik dengan wajah cemas yang ia buat-buat.“Aku tidak sengaja menghilangkan cincinku beberapa hari yang lalu, aku tidak begitu yakin kapan tepatnya … mungkin saat aku membantu ayahmu membereskan file-file yang sudah tidak terpakai” Ritsuko mem