Share

Janji

Dean memijit kepalanya yang seketika merasa pening. Ternyata bukan ibunya yang dilamar. Tapi, dia sendiri. Sudah 2020, pihak wanita yang melamar pihak lelaki itu tak masalah. Itu namanya emansipasi.

"Om ini hanya menyampaikan amanat Almarhum bapakmu. Kalau kamu mau ya syukur, kalau tidak, ya tidak apa-apa." Pria tua bernama Om Dedi itu ikut bersuara. "Jaman sekarang mana ada yang mau dijodohkan. Pasti Nak Dean juga sudah punya pacar."

Pacar dari hongkong. Yang mau diseriusin aja udah kabur duluan Om. Dean menjawab dalam hati, miris.

"Dean belum punya pacar kok." Tiba-tiba Ibu Lis yang menjawab. Beliau masih tersenyum pada tamunya itu.

"Oh ya. Ha ha ha ...."

Bang***. Maki Dean dalam hatinya lagi. Dia ditertawakan bapak-bapak ini. "Ehm, gini Om. Maaf, bukan maksud saya mau menolak atau ...."

"Biar mereka ketemu dulu aja, Mas Ded. Urusan iya atau tidak itu nanti belakangan. Biasanya kalau sudah saling ketemu, yang awalnya nggak mau bisa jadi mau." sela Ibu Lis seraya meremas dan mencubit tangan Dean.

"Buk ...." Dean akan protes. Saat ini dia sedang tidak mau berurusan dengan yang namanya perempuan. Apalagi pernikahan. Dia ini sedang dalam masa berkabung.

Namun, protesan itu malah mendapat cubitan yang lebih keras lagi. Ibu Lis bukan orang yang mudah diajak berkompromi.

"Ya ya ya, saya mengerti Mbak. Mungkin benar mereka harus bertemu dulu." Pak Dedi berucap lagi. "Kalau begitu saya permisi dulu. Nanti kabari saja kalau Nak Dean sudah siap. Saya nanti yang akan mengurus soal Alya." lanjutnya sambil berdiri dan mengulurkan tangannya untuk berjabat dengan Ibu Lis.

Dean ikut berdiri dan bersalaman dengan pria tua itu. Tak lupa senyum terpaksanya ia pajang lagi.

×

"Dean nggak mau." seru Dean masih duduk tenang di tempatnya. Menunggu ibunya masuk ke rumah setelah mengantar tamu tadi sampai di teras.

"Jangan begitu. Lihat dulu anaknya. Dia kerja di Bank. Cantik." sahut Ibu Lis lalu duduk di tempatnya tadi. Tepat di samping Dean. Tak lupa jempolnya mengacung mantap.

Pria itu melirik ibunya yang juga menatapnya. Senyum beliau masih belum surut. Sepertinya sangat bahagia sekali malam ini. "Kita udah pernah ngomongin ini 'kan, Buk?" Dean mulai serius.

Senyum Ibu Lis pudar. Beliau mengembuskan napas panjang lalu menatap anaknya dengan teduh. Tangan kanannya juga mengusap rambut Dean dengan lembut. "Mas, sudah waktunya kamu mikirin diri kamu sendiri. Adik-adikmu sudah besar. Usaha kita juga Alhamdulillah sudah makin berkembang. Ibu pengen kamu bahagia."

"Dean udah bahagia, Bu. Lintang masih kuliah. Masih tanggung jawabnya Dean." ujar pria itu lalu mengalihkan pandangannya. Tak tahan jika suasana sudah seperti ini.

Ibu Lis menunduk. Beliau sangat tahu tentang Dean dan pendiriannya yang keras. Jika anak itu sudah bilang A, maka harus A. Tidak bisa yang lainnya. "Mas, kalau kamu menikah bukan berarti kamu lepas tanggung jawab dari adik-adikmu. Mereka tetap tanggung jawabmu karena kamu saudara mereka yang tertua. Kalau soal biaya kuliah Lintang, Ibu InsyaAllah bisa menanggungnya. Kontrakan kita udah lumayan penuh. Tiap bulan 'kan kita ada pendapatan dan biaya hidup juga nggak kayak dulu. Mega juga udah kerja. Dia kalau gajian sering ngasih ke Ibu." tutur Ibu Lis lalu menyandarkan punggungnya di sofa. Tak menatap anaknya lagi. "Temen-temenmu sudah menikah semua. Tinggal kamu doang yang belum. Kamu itu sudah waktunya berkembang biak."

Ck. Berkembang biak. Tidak bisakah ibunya itu memilih kata lain.

"Biar Ibu yang atur pertemuan kamu sama Alya." sambung Ibu Lis sambil menoleh lagi. "Ketemu aja dulu, ngobrol. Siapa tahu nanti bisa cocok. Ibu juga sudah pengen cucu."

Dean balas menatap sang ibu. Dia bisa melihat keseriusan itu di sana. Pria itu sebenarnya juga sudah ingin memiliki anak setelah ia sering bertemu Ara dan bermain dengan bocah itu. Ditambah sekarang ada Gibran, dia jadi ingin memiliki seorang jagoan kecil. Tapi, semua itu harus ia tepis ketika mengingat janjinya pada mendiang ayahnya dulu sebelum beliau meninggal. Dean sudah berjanji akan menjaga ibu dan dua adiknya.

Ayahnya meninggal saat ia kelas tiga SMA. Saat ia akan mengikuti ujian nasional. Dean sangat terpukul saat itu. Dia seperti kehilangan satu kaki dan menjadi pincang. Sang ayah adalah pahlawannya. Super hero yang sangat ia kagumi dan banggakan. Ayah yang mengajarinya segala hal.

Kala itu ibunya terlihat kuat dan tegar, tapi tak jarang dia melihat beliau yang diam-diam menangis. Adik-adiknya masih kecil. Yang satu duduk di bangku kelas satu SMP dan yang satunya masih kelas dua SD. Dia sendiri juga butuh biaya besar untuk masuk ke perguruan tinggi. Saat itu dia sudah memantapkan hati untuk tidak kuliah dan memilih bekerja. Agar bisa membantu perekonomian keluarga walaupun dia harus mengubur cita-citanya yang ingin menjadi arsitek. Pendapatan dari kontrakan enam pintu di belakang rumah belum bisa mencukupi kebutuhan dan biaya pendidikan tiga anak sekaligus.

Beruntung ada Pak Ramdan yang mau membiayai pendidikannya. Beliau bilang bahwa bakat Dean harus dikembangkan. Ayahnya Raka itu beberapa kali pernah melihat Dean yang mencoret-coret kertas dan menggambar bangunan ketika tengah berada di kediamannya. Tak seperti Raka yang kuliah di luar negeri. Dia cukup di dalam negeri sambil tetap bisa menjaga ibunya dan mengambil kerja paruh waktu. Pak Ramdan sudah menyekolahkannya dan dia harus tahu diri untuk tidak lebih merepotkan beliau.

Mega, adiknya sudah selesai kuliah dan kini bekerja di salah satu maskapai penerbangan. Sementara Lintang, adiknya yang terakhir masih kuliah dan sedang mengambil jurusan kedokteran. Biayanya tak sedikit dan Dean tidak mungkin membebankan semuanya pada sang ibu. Janjinya pada sang ayah akan berakhir jika dua adiknya itu sudah menemukan pasangan masing-masing dan menikah. Maka akan ada pria lain yang mampu menjaga mereka dan Dean baru akan memikirkan dirinya sendiri.

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status