Mag-log inHari itu, seperti biasa, aku berjalan menyusuri pantai. Langit menggantung berat oleh awan badai, jenis awan yang akan menurunkan rintik hujan tanpa peringatan. Aku baru saja hendak berbalik arah ketika terdengar sesuatu berdesir dari dalam hutan.Ada sesuatu yang bergerak rendah, cepat, dan liar seperti binatang. Aku terdiam, tak tahu harus melangkah maju atau menghindar.Tiba-tiba, Adrian menerobos keluar dari sisi lain jalan setapak.Segalanya melambat. Dengan linglung, aku menoleh dan melihatnya.Moncong senjata yang memuntahkan api, mendorong peluru membelah udara, memelesat ke arah punggungku. Adrian tidak ragu. Tidak sedetik pun.Dia menerjangku, kedua lengannya terbuka, menghantamku ke pasir, seluruh tubuhnya menutupi tubuhku, melindungiku.Dor! Dor! Dor!Setiap tembakan mengenai punggungnya. Tubuhnya tersentak keras di atasku.Dia mengerang menahan sakit, darah hangat beraroma logam memercik ke telingaku, ke leherku. Panasnya membuatku terdiam di tempat.Seolah dunia tiba-tiba
Aku mengambil kertas pertama. Kosong.Wajah Adrian berubah, dari harapan menjadi kekecewaan tumpul yang merayap perlahan. Aku memberinya senyum tipis."Bukannya kamu sendiri yang selalu bilang ini kehendak Tuhan?"Dia bahkan tidak berkedip. "Lagi."Aku menarik kertas kedua. Masih kosong."Sepertinya kamu harus menunggu setidaknya satu tahun lagi."Adrian menggeleng keras kepala. "Nggak peduli seberapa lama, aku akan tetap menunggu."Tatapannya penuh harap. Sama seperti diriku dulu. Tahun demi tahun.Kertas ketiga ... juga kosong.Alis Adrian berkerut, ekspresi itu, tatapan terluka, tak adil, tak percaya ini benar-benar terjadi.Itu akhirnya meruntuhkan sesuatu di dalam diriku.Air mataku jatuh."Baru beberapa menit …. Cuma beberapa menit dan kamu sudah merasa kesal? Kamu pikir ini bisa ditahan?""Kamu tahu apa yang kurasakan? Berharap setiap tahun, berdoa, lalu dikecewakan setiap kali? Semua menit, jam, tahun itu, apa kamu tahu rasanya seperti apa?" Kamu tahu seperti apa Natal-natalku,
"Aku minta maaf ...." Suara Adrian serak, seperti terkikis habis, matanya merah berurat darah. "Irene, tolong, aku mohon. Beri aku satu kesempatan lagi."Kata-katanya keluar begitu cepat, tanpa beprikir. "Kalau kamu mau menghukumku, nggak apa-apa. Lakukan. Kamu bahkan bisa menyerahkan pada takdir. Undi nama, lempar koin, tukar hidupmu dengan hidupku. Apa pun yang kamu berikan, akan kuterima."Aku terdiam. Sebelum sempat bicara, Julian melangkah ke depanku, suaranya sedingin es. "Cukup, Pak Adrian. Tunjukkan sedikit rasa hormat."Rasa sakit di tatapan Adrian retak, terbakar, berubah menjadi amarah. Dia memaksa menarik napas, menyeret dirinya menjauh dari tepi jurang, lalu menatap Julian."Julian, kamu baru mengenal Irene-ku. Kenapa sekarang pura-pura peduli?"Dia berhenti sejenak, lalu berkata, "Lepaskan dia, dan aku akan memberimu tiga puluh persen saham Keluarga Marsa."Seluruh ruangan langsung gempar.Keluarga Monro sudah lama mengincar pasar utara. Satu saja proyek Keluarga Marsa be
Udara selatan menyelubungiku dengan kehangatan. Di Chica, aku masih terkurung di balik mantel tebal. Sedangkan di Miama, aku melangkah keluar bandara hanya dengan kaus tipis biasa.Orang tuaku sudah menunggu, wajah mereka berseri. Di samping mereka, berdiri seorang pria yang selama ini hanya kulihat di majalah bisnis.Julian Monro.Berbeda dengan Adrian yang kekuasaannya hidup di balik bayangan, Julian adalah pewaris emas, tipe pria yang dibanggakan para ibu dan dipuja di koran-koran.Tunangan baruku.Orang tuaku bahkan menyiapkan mobil terpisah untuk kami berdua agar kami bisa "mengobrol".Setelah bertahun-tahun bersama Adrian, mencintainya dan menunggu pernikahan yang tak pernah datang ....Sekarang, bertemu orang asing yang tiba-tiba dijanjikan akan kunikahi rasanya aneh, seperti menyerahkan diri pada takdir, tetapi entah kenapa ... jantungku justru berdetak kencang.Aku menurunkan suara. "Kamu ... punya aturan? Maksudku ... undian nama sebelum menikah atau semacamnya?"Julian terke
Wanita di dalam apartemen itu menatapnya dengan ekspresi waspada. "Cari siapa?"Adrian terpaku di lorong, rasa dingin merambat naik ke dadanya. "Kamu siapa? Di mana wanita yang dulu tinggal di sini?"Wanita itu berpikir sejenak. "Oh! Bu Irene. Dia pindah ke Maima untuk menikah, 'kan? Tempat ini dia jual lewat agen. Aku yang membelinya."Wajah Adrian seketika pucat. Kemudian, dia menyadari kotak kardus di pelukan wanita itu. Di dalamnya ada semua hadiah yang pernah dia berikan padaku. Hadiah ulang tahun, kejutan hari jadi, dan kenang-kenangan kecil dari kencan pertama kami, semua hal pertama kami.Gaya romantis ala bos mafia yang dulu sering dia gunakan padaku, berubah menjadi harta paling berharga di tangan seorang gadis yang hanya pernah mencintai sekali. Kami adalah cinta pertama satu sama lain. Apa pun yang berasal darinya, bahkan gantungan kunci, kusimpan seolah-olah itu segalanya.Wanita itu tiba-tiba teringat sesuatu. "Oh ya! Bu Irene bilang semua yang dia inginkan sudah dikemas
Kantor Adrian.Adrian menatap undangan pernikahan itu. "Dia ... bukannya seharusnya ada di Maima mengunjungi orang tuanya? Gimana ... gimana tiba-tiba dia bisa jadi pengantin orang lain?"Dia berusaha menghibur dirinya sendiri. "Kecuali ... dia cemburu sama Sera? Apa ini undangan palsu? Cuma untuk menakut-nakutiku?"Namun, adiknya hanya menggeleng pelan. "Waktu aku melihatnya, aku juga terkejut. Aku sudah mengamati kalian berdua selama bertahun-tahun. Irene nggak akan pernah meninggalkanmu. Dia nggak akan menikah dengan orang lain."Dia ragu sejenak, lalu menyarankan dengan suara lembut, "Kenapa kamu nggak meneleponnya saja? Tanyakan langsung."Adrian segera mengambil ponselnya, berpegang pada sisa delusi yang menenangkan dirinya."Benar ... benar, pasti dia kesal hari itu. Aku membela Sera di depannya. Tentu saja dia marah.""Dia menungguku bertahun-tahun, dan tahun ini dia melihat kertas kosong lagi. Dia pasti patah hati. Dan aku nggak menghiburnya. Aku bahkan menyuruhnya minum bersa







