“Game hari ini,” ucap Mita yang duduk disamping Indira “Kemarin kamu dijemput?”
“Ya, haduh game aja ini? Moga aku kuat.”Mita menggenggam tangan Indira “Kalau capek istirahat aja, bilang sama senior-senior pasti dikasih.”Melangkah ke halaman belakang perpustakaan, tempat yang digunakan untuk permainan. Indira tidak tahu permainan apa yang akan mereka lakukan, berbicara dengan Mita dan teman-teman yang lain sambil menunggu para senior datang.“Kemarin aku lihat kamu sama Mas Fajar.” Lia membuka suaranya yang diangguki Indira “Kalian dekat?”“Nggak juga, cuman temani aku sampai dijemput.” Indira memberikan jawaban sebenarnya.“Dewasa dia, kriteria aku banget.” Lia mengatakan dengan ekspresi bahagia.Indira saling menatap dengan Mita yang hanya bisa mengangkat bahu, mereka baru mengenal Lia jadi tidak tahu seperti apa dia sebenarnya. Indira sendiri tidak terlalu mengenal Fajar dengan baik, mereka baru bertemu kemarin dan tidak berbeda jauh dengan senior yang lain.“Katanya dia MA,” ucap Lia yang membuat Indira dan Mita menatap bingung “Mas Fajar.”Senior datang tidak lama kemudian, memberikan beberapa instruksi membuat pembicaraan mereka terhenti. Mendengarkan instruksi yang diberikan membuat mereka berjalan ke kelompoknya kemarin, Indira bersama dengan Sinta menjadi satu kelompok dan mereka duduk bersebelahan. Instruksi sudah diberikan membuat mereka langsung melakukan apa yang diminta, melakukan permainan.Perminan yang dilakukan dengan kelompok lain, dimana satu orang berada didalam dan satu lagi diluar, bagaimana caranya mereka tidak ketangkap satu sama lain. Permainan yang mereka lakukan memang seru dan menyenangkan, Indira melupakan satu hal yaitu penyakitnya yang membutuhkan istirahat. Permainan berlangsung lama, setelah permainan mereka diberikan penjelasan tentang permainan yang baru saja mereka lakukan.“Capek banget,” ucap Shinta yang diangguki Indira.“Kamu pucet,” bisik Mita yang sejak kapan berada disamping Indira.“Nggak papa, bentar lagi juga udah tenang.” Indira menenangkan Mita.“Minum kamu mana?” tanya Mita membuat Indira hanya menggelengkan kepalanya “Kamu nggak ambil?”Indira menggelengkan kepalanya “Nggak kuat kesananya.”“Aku ambilin kalau gitu.” Mita berdiri untuk mengambil air.“Ini buat kamu,” ucap salah satu senior cewek paling cantik, Suci.Indira menatap minuman yang ada dihadapannya, mengalihkan pandangan kearah Mita yang hanya mengangkat bahu. Indira memilih tidak peduli dengan langsung membuka dan meminumnya.Indira mendengar senior memberikan tugas dengan mencari kata yang berhubungan dengan psikologi, membagi tugas dengan yang lain dan Indira mendapatkan bagian menunggu untuk mencatat kata yang mereka temukan. Mereka langsung jalan setelah mendapatkan instruksi untuk memulai sekarang juga, suasana sepi membuat Indira menatap sekitar dimana hanya beberapa anak saja.“Kita berdua yang ada disini,” ucap Lia yang langsung duduk disamping Indira.“Ya, kamu juga bagiannya sama kaya aku?” menatap Lia yang ada disampingnya.Lia menganggukkan kepalanya “Mereka ngasih tugas yang kita nggak tahu apa-apa tentang psikologi, kasih sedikit clue gitu apa aja bukan langsung begini.”“Ya, namanya orientasi. Kita bukan lagi sekolah jenjangnya lebih tinggi jadi nggak harus dicekoki sama materi tapi kita yang harus mencari sendiri.” Indira memberikan alasan masuk akal.“Kita baru dua hari sudah dikasih yang beginian,” ucap Lia yang mempertahankan pendapatnya.“Terus maunya gimana?” tanya senior pria yang sudah dihadapan mereka berdua.“Mas Wahyu,” ucap Lia yang menatap kearahnya.“Kalau bicara dipikir jangan asal njeplak,” omel Wahyu langsung.Indira meringis mendengarnya, memilih menundukkan kepalanya tidak berani menatap senior yang dari kemarin mengisi di tempat mereka. Wahyu kalau tidak salah ketua dari acara ini, beberapa wanita angkatannya mencoba mencari cara untuk mendekatinya, tapi tidak dengan dirinya yang sadar diri tidak mungkin dilihat oleh senior.“Kalian sudah paham apa yang aku bilang tadi?” tanya Wahyu yang menyadarkan Indira jika masih berada dihadapan mereka.“Sudah, mas.” Kami berdua menjawab bersama.“Komting kalian siapa?” tanya Wahyu.“Dito, mas.” Lia yang menjawab.“Suruh nanti ke ruangan saya sama kamu.” Wahyu menatap Indira yang membuatnya terkejut “Datang sama Dito diatas nanti waktu istirahat.”“Ya, mas.” Indira menjawab langsung.Wahyu meninggalkan mereka yang masih tidak tahu harus berbuat apa, menatap satu sama lain dan hembusan nafas lega mereka keluarkan.“Mending kalau ngomong harus hati-hati.” Indira mengingatkan Lia.“Untung nggak dikasih hukuman.”Indira terdiam mendengar kata-kata Lia, hukuman yang belum dikatakan sama Fajar membuatnya bertanya-tanya jenis hukuman apa yang nanti akan diberikan. Menggelengkan kepalanya pelan agar tidak memikirkan terlalu lebih tentang hukuman yang akan diberikan, terlalu sibuk melamun membuat Indira tidak menyadari jika Lia sudah tidak berada disampingnya.“Kenapa menggelengkan kepalanya? Ada yang sakit?”Indira menatap terkejut dengan suara pria disampingnya “Kak Fajar?” mencari keberadaan Lia yang ternyata sedang menuliskan sesuatu.“Kemarin tugasnya tentang tokoh siapa?” tanya Fajar dengan duduk disamping Indira.“Kenapa memang?” tanya Indira balik tanpa menjawab pertanyaan Fajar.“Masih ingat tentang teorinya? Kamu bisa menggunakan kata-kata yang diucapkan tokoh itu.” Fajar menjelaskan detail “Jadi tokohnya?” menatap Indira lembut.“Sigmund Freud.” Indira menjawab langsung.“Kamu tulis aja sambil menunggu teman-teman yang lain,” ucap Fajar memberikan usul.“Memang boleh?” tanya Indira langsung “Nanti kakak laporin kalau aku curang terus dapat hukuman.”“Boleh, kamu ingetin hukuman nanti ke ruangan kemarin.”“Nggak bisa, aku dipanggil sama Mas Wahyu.” Indira langsung menolak.“Kamu kerjain yang aku bilang, nanti ketemu di ruanganku.” Fajar meletakkan botol air mineral disamping Indira “Jangan terlalu lelah, kamu bisa bilang kalau capek dan kita nggak akan kasih hukuman. Diminum biar nggak pucat wajahmu, jangan lupa ketemu di ruangan kemarin buat bicara tentang hukuman. Satu lagi nanti pulang sama aku, tidak ada penolakan.”Indira menatap tidak percaya dengan kata-kata yang Fajar berikan, belum sempat membantah atau mengatakan sesuatu sudah pergi begitu saja. Menatap botol air mineral dengan tatapan tanda tanya, botol pertama didapat dari senior wanita padahal tidak ada yang tahu tentang wajah pucatnya kecuali Mita, sekarang ada botol lain yang diberikan Fajar dengan kata-katanya yang membuat Indira bertanya-tanya. Menggelengkan kepalanya karena sekarang bukan waktunya berpikir tidak-tidak, lebih baik Indira mengerjakan apa yang menjadi tugasnya sesuai dengan usulan Fajar.Menulis beberapa kata yang diingatnya sambil menunggu pesan dari kelompoknya tentang temuan mereka, tidak lama satu per satu mengirim pesan dan kembali. Kelompok yang lain sudah penuh dan mengerjakan tugas mereka, tidak berbeda jauh dengan kelompok Indira yang mulai mendebatkan beberapa hal.“Indira ketemu Mas Wahyu?” Indira menatap Dito yang berada dihadapannya dengan menganggukkan kepalanya “Ayo, buruan.”"Papa belum datang, ma?"Indira menggelengkan kepalanya saat melihat Yudo keluar dari kamarnya dengan mengalihkan pandangan kearah jam yang terpasang di dinding "Satu jam lagi mungkin, sudah kangen?"Yudo menganggukkan kepalanya berjalan mendekati Indira "Papa katanya mau kasih buku baru kalau Yudo nurut omongan mama dan bisa bantu jagain Naila.""Mama sudah bilang sama papa kalau Mas Yudo sudah jadi anak yang baik. Sekarang Mas Yudo harus siap-siap, papa mau ajak makan diluar." Indira memilih meminta Yudo untuk bersiap sedangkan dirinya bersama Naila dengan merapikan penampilan.Indira melihat bibi dengan tas untuk keperluan Naila, Fajar mengajak mereka ke cafe dimana konsepnya sudah berubah. Fajar memberikan tempat untuk anak-anak bermain dan juga buku yang bisa dibaca selama disana, buku yang dibaca harus dengan sepengetahuan karyawan cafe.Suara mobil diluar membuat Indira melangkahkan kakinya keluar dan kalah cepat dengan Yudo yang berla
"Semua akan baik-baik saja, kak." Indira membelai lengan Fajar pelan "Yudo sudah aman sama bibi, kan? Udah minum susunya?" "Adik nggak usah mikir aneh-aneh, fokus kateter aja sekarang." Fajar merapikan anak rambut Indira perlahan.Indira masuk kedalam pelukan Fajar yang memberikan belaian lembut "Aku baik-baik saja."Perawat membawa Indira kedalam ruangan, memberikan ciuman pada seluruh wajahnya sebelum masuk ke ruang operasi. Fajar bersama dengan orang tua mereka berdua, ditemani Ryan dan Rudi. Duduk dengan bersandar pada tembok, beberapa lantunan doa yang diucapkan untuk keselamatan Indira, Fajar tahu jika tidak akan memakan waktu lama tapi proses sampai sadar itu yang membutuhkan waktu lama."Kamu mending kerja aja," ucap Ahmad menepuk bahu Fajar pelan "Disini ada kita berempat sama Ryan, nggak baik ijin terus."Fajar menatap jam yang ada di tangan, perkataan mertuanya memang benar dimana waktunya kembali kerja. Fajar meminta ijin sam
"Aku sih nggak masalah, adik gimana? Yakin?" Fajar bertanya sudah ke berapa kali sebelum memutuskan membawa Yudo ke rumah."Yakin," jawab Indira langsung yang menatap Yudo dalam gendongannya."Kakak kasih nama gih." Indira mengalihkan pandangan kearah Fajar yang hanya diam."Apa ini kode adik siap dengan keputusan apapun nanti setelah keteter?" Fajar bertanya hati-hati tanpa menjawab pertanyaan Indira."Kita lihat nanti, kak. Aku mau fokus sama Yudo dan kateter, tapi kalau kateter siapa yang jaga Yudo?"Fajar mengacak rambut Indira pelan "Kita bicara dulu sama keluarga, tapi orang tua kita pasti akan mendukung apapun keputusan kita nantinya, walaupun memberikan pendapat yang berbeda."Indira menganggukkan kepalanya "Kakak setuju adopsi Yudo, kan?" meletakkan Yudo di ranjang secara pelan "Soalnya dari tadi nggak kasih nama lengkap buat Yudo, takutnya kakak nggak setuju dan nanti aku yang kesannya ngebet banget tapi kakak lempeng."
"Eyang udah kangen sama kalian berdua, masa harus nunggu ngemis gini."Indira meringis mendengar kata-kata mertuanya, permintaan eyang agar mereka mendatangi rumahnya sama sekali belum bisa terlaksana dan baru memiliki waktu sekarang, lebih tepatnya Fajar memaksa diri untuk mendatanginya bersama tiga orang lainnya."Ryan yakin mau ikut?" suara mertuanya membuyarkan lamunan Indira."Yakin, bu." "Indira jangan dibuat capek, nanti dirumah eyang ada yang bantu jadi jangan nggak enakan disana." Indira memilih menganggukkan kepalanya "Fany, mbaknya dijaga yang benar jangan buat capek.""Indira nggak papa, bu. Nggak usah khawatir. Ibu tenang aja kita akan baik-baik saja nanti di rumah eyang." Indira memeluk mertunya dari samping agar sedikit tenang."Udah semua? Kita berangkat sekarang." Fajar menatap Indira yang menganggukkan kepalanya.Berpamitan pada orang tua Fajar sebelum akhirnya masuk kedalam mobil dengan Fajar sendiri
"Wanita dengan segala ketakutannya."Lemparan tissue mengenai wajah Awang diikuti dengan tatapan tajam, mengalihkan pandangan kearah lain dimana tampaknya lebih enak dilihat."Wajar takut! Kalian para pria akan mencari alasan ketika nanti selingkuh, sudah punya anak aja masih bisa di selingkuhi apalagi ini nggak ada anak." "Aku nggak gitu, Nat. Kamu nggak percaya sama aku?" Fajar menggelengkan kepalanya mendengar kalimat yang keluar dari bibir sahabatnya, Nathali."Kita nggak pernah tahu ke depan bagaimana, sekarang kamu bilang nggak tapi besok atau besok-besoknya nggak ada jaminan." "Kamu dukung Indira melakukan itu semua? Kalian sudah saling bicara? Kapan? Kenapa kamu nggak kasih tahu aku?" Fajar menatap penuh selidik pada Nathali "Kamu support aku atau Indira sih?""Nggak usah drama! Nggak penting pertanyaanmu itu, memang kalau aku jawab akan membuat kamu nggak cari solusi? Kalau aku cerita terlebih dahulu pastinya kamu deng
"Operasi?"Keinginan Indira untuk memberikan anak pada Fajar sudah bulat, mendatangi dokter jantung dan kandungan untuk konsultasi, tanpa sepengetahuan Fajar melakukan beberapa kali pemeriksaan bersama dengan mamanya. Indira melakukan itu semua dengan uang tabungan yang dia dapat dari Fajar tiap bulannya, tidak lupa juga dari bantuan kedua orang tuanya."Operasi apa ini? Jantung?" Indira menganggukkan lalu menggelengkan kepalanya "Terus?""Aku ke dokter sama mama buat konsultasi dan melakukan Ecco macam USG jantung itu, kak. Dokter Markus menyarankan untuk kateter buat lihat dimana letak masalahnya, aku masih cari waktu dan mutusin setelah wisuda jadi karena sudah wisuda aku mau lakuin." Indira menjelaskan dengan sangat singkat."Kenapa nggak bilang? Kapan lakuin itu semua? Bukannya kita sibuk menyelesaikan masalah? Adik juga sibuk ngerjain skripsi, terus uang darimana konsultasi?" Fajar memberikan pertanyaan berturut-turut."Belum sempat