Share

5. Pemeran Utama

“Pagi Bu Idha.”

Meskipun tidak akan dianggap di keluarga Sailendra, tapi Lintang harus bisa bersikap baik demi menjaga nama baik keluarganya sendiri. Demi keluarga yang telah membesarkan dan memberi semua fasilitas hingga Lintang bisa seperti sekarang. 

“Pagi, Mbak Lintang,” balas Idha yang tengah mengangkat ayam goreng dari wajan. “Ngapain ke dapur?”

“Ada yang bisa saya bantu, nggak, Bu?” tanya Lintang sudah berdiri di samping Idha dan memperhatikan apa yang wanita itu lakukan. “Saya nggak bisa masak, tapi kalau bantu-bantu nyiapin apaa, gitu, saya bisa.”

“Eh! Jangan, Mbak!” tolak Idha sedikit terkejut. “Nanti saya dimarahi ibu, sama mas Raga.”

“Mereka nggak bakal marah.” Sadar dirinya tidak dianggap, maka Lintang memiliki pemikiran seperti itu.

“Marah, Mbak!” Idha mengulangi ucapannya dengan penuh penekanan. “Dulu, almarhumah istrinya mas Raga sempat dimarahi waktu bantu-bantu saya di dapur. Jadi, saya nggak mau dimarahin lagi sama ibu.”

Lintang tercenung dan berpikir. Kira-kira, dirinya akan dapat perlakuan sama dengan almarhumah istri Raga?

“Almarhumah istri mas Raga … namanya siapa, Bu?”

“Mbak Tiwi,” jawab Idha sambil mengangkat piring berisi ayam goreng lalu meletakkannya di kitchen island. “Anaknya … itu, lho, Mbak. Pak Eko, wakil ketua MPR periode kemarin.”

Bibir Lintang membulat, tapi tidak mengeluarkan suara sama sekali. Sekarang, Lintang baru tahu jika keluarga Sailendra memang teliti dan secermat itu dalam menikahkan anak-anaknya. Harus ada hal yang menguntungkan dari pernikahan tersebut. Begitulah kesimpulan Lintang untuk saat ini.

“Apa … mas Raga dulu juga dijodohkan, Bu?” selidik Lintang.

“Nggak, Mbak,” jawab Idha cepat. “Mas Raga sama almarhumah sudah pacaran dari zaman kuliah, sebelum nikah sudah sering diajak main ke sini.”

Sudahlah. 

Memang tidak ada lagi yang bisa diharap Lintang dari keluarga Sailendra, terutama Raga. Posisinya saat ini hanya untuk mempererat ikatan politik, sampai dua kubu bisa mendapatkan apa yang mereka mau.

Anwar bisa melenggang ke dalam kancah politik dengan bantuan Ario. Begitu pula dengan Ario, akan mendapatkan pencitraan yang bertubi-tubi lewat perusahaan media yang dimiliki oleh Anwar.

Akan tetapi, kedua orangtua itu tidak tahu, bila Raga dan Lintang sudah membuat perjanjian untuk bercerai setelah semua rencana mereka terwujud.

“Oh … ya, udah.” Lebih baik Lintang mengakhiri pembicaraan pagi ini, daripada nantinya Idha terkena masalah karenanya. “Saya, ke depan dulu, Bu.”

“Iya, Mbak.”

Lintang berjalan lesu memasuki ruang keluarga. Ketika hendak menaiki tangga, Lintang berhenti karena melihat Raga sedang melangkah turun. 

“Mas, bisa bicara sebentar?” pinta Lintang.

“Hm, bicaralah.” Raga melewati Lintang lalu membuka pintu yang berada di sebelah tangga. Terus melangkah memasuki ruang perpustakaan dan berbelok menuju ruang kerjanya.

Lintang menghela napas, dan buru-buru menyusul Raga di belakang. Ketika sudah memasuki ruang kerja pria itu, Lintang hanya berdiri di tengah ruang tanpa berniat untuk duduk karena belum dipersilakan.

“Mau bicara apa?” tanyta Raga yang sudah duduk di kursi kerja dan baru saja membuka laptopnya. Tanpa menatap Lintang. Raga menyalakan benda persegi tersebut, dan sibuk mengeluarkan beberapa berkas dari dalam laci meja kerjanya.

“Masalah toko buku yang sempat kita obrolin waktu itu.” Meskipun ragu, tapi Lintang harus mengutarakan niatnya. Jika Anwar dan Ario bisa mengambil keuntungan dari pernikahan ini, mengapa Lintang tidak? “Apa aku bisa pinjam uang buat sewa tempat?”

“Tergantung.”

“Tergantung?” Lintang mengulang ucapan Raga penuh kebingungan.

“Ajukan proposalmu, dan nanti aku lihat bagai—”

“Hah?” Lintang agak terkejut sehingga langsung memotong ucapan pria itu. “Proposal? Kenapa aku harus ajuin proposal?”

“Business is business,” sahut Raga yang sedari tadi belum menatap Lintang sama sekali. Setelah mendapat berkas yang dicarinya, Raga justru memusatkan matanya ke layar laptop. “Kalau sekiranya menguntungkan, aku mau jadi investormu. Tapi, kalau—”

“Makasih.”

“Apa?” Satu ucapan itu akhirnya membuat Raga mengangkat wajah untuk melihat Lintang. “Makasih?”

“Ya, makasih,” ulang Lintang sekali lagi lalu menarik napas dalam-dalam.

“Aku bahkan belum setuju untuk jadi—”

“Nggak perlu, Mas.” Dengan perasaan yang sudah tidak bisa Lintang jelaskan dengan kata-kata, akhirnya ia segera membuat rencana lain saat itu juga. “Kalau semuanya harus dihitung berdasarkan untung rugi, itu berarti, hati nurani Mas Raga sudah benar-benar mati. Saya permisi.”

~~~~

“Tante Lintang! Ayo main sama aku!”

Lintang menghentikan langkah sebentar ketika sudah berada di lantai dua. Ia melihat Rama yang tengah memegang remote control dan tengah memainkannya. 

“Kita balapan Tante!” seru Rama sangat antusias sambil terus menggeser tuas remote controlnya.

“Kamu belum mandi?” Setelah melihat Rama masih mengenakan piyama tidur, akhirnya Lintang menghampiri bocah itu dan duduk bersila di sebelahnya. “Emang nggak sekolah?”

“Tunggu sus Eni.”

Bibir Lintang membulat dengan anggukan. Rupanya, Rama memiliki seorang suster yang merawat kesehariannya. Namun, pergi ke mana wanita yang merawat Rama, karena Lintang belum melihatnya sama sekali pagi ini.

“Ngapain nunggu sus Eni?” tanya Lintang lagi.

“Mandi.”

“Ha? Kamu belum bisa mandi sendiri?”

“Aaa …” Rama berhenti menekan tuas remote controlnya, lalu menatap Lintang dengan menggeleng. 

Paham dengan jawaban Rama, Lintang kembali memberi bocah itu pertanyaan. “Kenapa nggak belajar mandi sendiri?”

“Nggak bisa!”

“Ya, belajar,” sahut Lintang. “Coba nanti minta diajarin sus Eni mandi sendiri.”

Rama terdiam dan meletakkan satu jari telunjuknya di pelipis, seolah tengah berpikir. “Nanti aku tanya sama sus Eni.”

“Nah, gitu dong!” Lintang segera berdiri setelah berbasa-basi dengan bocah tampan tersebut. Setidaknya, pagi ini ada sosok makhluk menggemaskan yang bisa membuat hatinya merasa bahagia. “Tante ke kamar dulu, ya.”

“Ayo main!” Rama mencekal tangan Lintang agar wanita itu tidak meninggalkannya. 

“Nggak mau,” tolak Lintang sambil menjepit hidungnya dengan ibu jari dan telunjuknya. “Rama bauk, belum mandi.”

Wajah Rama seketika berubah datar, terlihat sedih. Rama pun sudah melepas gengaman tangannya, dan berbalik memunggungi Lintang. 

Melihat kesedihan tersebut, Lintang buru-buru berjongkok di depan Rama. Lintang tiba-tiba teringat dengan kesendirian yang sudah menjadi temannya sedari kecil. Rama bahkan lebih beruntung karena masih memiliki satu orang suster yang dipekerjakan khusus untuk merawatnya. Sementara Lintang, hanya mengandalkan asisten rumah tangga yang bekerja di kediaman Dewantara.

“Tante ajarin mandi, mau?”

Rama mengangguk penuh keraguan. “Mau.”

“Ayok!” Lintang berdiri sambil mengulurkan tangan pada Rama.

Rama mengangguk dengan senyum kecilnya. Ia meraih tangan Lintang dan bersiap untuk menarik wanita itu menuju kamarnya. Namun, belum ada dua langkah kaki kecilnya itu terayun, suara Safir tiba-tiba memanggilnya.

“Mau ke mana, Ram?”

Rama berhenti dan tidak jadi melangkah. “Mandi.”

“Sus Eni belum datang.” Safir menghampiri Rama, lalu melepas tangan keponakannya yang tertaut pada telapak Lintang. 

“Aku mau mandi sama Tante Lintang,” sahut Rama menarik tangannya dari genggaman Safir.

“Tunggu sus Eni aja,” titah Safir dengan menatap sinis pada Lintang. Jika melihat wanita itu, Safir jadi teringat dengan Biya yang tiba-tiba saja meninggalkannya di hari pernikahan. Seketika itu juga, rasa benci Safir pun lantas ia lampiaskan seluruhnya pada Lintang. “Nanti kamu dimarahin papa kalau mandi sama orang lain.”

Orang lain?

Lintang memejam sebentar sambil menarik napas dalam-dalam. Baru sehari berada di kediaman Sailendra, tapi hatinya seolah sudah dibanting dan pecah berkali-kali. 

“Kan—”

“Nggak ada, kan, kan,” potong Safir. “Sekarang turun, terus tunggu sus Eni di bawah.”

Sambil mengerucutkan bibir merah nan mungilnya, Rama menatap Lintang dengan kecewa. “Aku ke bawah dulu, ya, Tan.”

“Oke!” Lintang berjongkok di depan Rama, lalu mengangkat telapak tangannya yang terbuka di depan wajah bocah tampan itu. “Tos dulu!”

Rama langsung melakukan apa yang diminta oleh Lintang. Setelahnya, ia segera pergi menuruni tangga untuk melaksanakan titah Safir.

“Jangan cari muka di sini,” ucap Safir setelah melihat Rama menuruni tangga. “Sadar diri, kamu itu cuma pengganti, bukan pemeran utama.”

“Aku tahu,” jawab Lintang lalu menghela pendek. “Tapi, satu yang kamu lupa, kalau pengganti yang ada di depanmu sekarang, sudah jadi pemeran utama sejak dia masuk ke dalam keluarga Sailendra. Ingat itu, baik-baik.”

 

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Ani Kohar
kamu kuat lintang
goodnovel comment avatar
Erni Erniati
duh pengen geprek tuh mukanya Safir. mulutnya tuh lemes kek emak2. suruh pake rok aja..
goodnovel comment avatar
Daanii Irsyad Aufa
lintang juga d paksa kalo kamu lupa safir. jadi yg perlu loe tindak itu ortu loe sendiri. lintang cuma korban d sini
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status