“Pagi Bu Idha.”
Meskipun tidak akan dianggap di keluarga Sailendra, tapi Lintang harus bisa bersikap baik demi menjaga nama baik keluarganya sendiri. Demi keluarga yang telah membesarkan dan memberi semua fasilitas hingga Lintang bisa seperti sekarang.
“Pagi, Mbak Lintang,” balas Idha yang tengah mengangkat ayam goreng dari wajan. “Ngapain ke dapur?”
“Ada yang bisa saya bantu, nggak, Bu?” tanya Lintang sudah berdiri di samping Idha dan memperhatikan apa yang wanita itu lakukan. “Saya nggak bisa masak, tapi kalau bantu-bantu nyiapin apaa, gitu, saya bisa.”
“Eh! Jangan, Mbak!” tolak Idha sedikit terkejut. “Nanti saya dimarahi ibu, sama mas Raga.”
“Mereka nggak bakal marah.” Sadar dirinya tidak dianggap, maka Lintang memiliki pemikiran seperti itu.
“Marah, Mbak!” Idha mengulangi ucapannya dengan penuh penekanan. “Dulu, almarhumah istrinya mas Raga sempat dimarahi waktu bantu-bantu saya di dapur. Jadi, saya nggak mau dimarahin lagi sama ibu.”
Lintang tercenung dan berpikir. Kira-kira, dirinya akan dapat perlakuan sama dengan almarhumah istri Raga?
“Almarhumah istri mas Raga … namanya siapa, Bu?”
“Mbak Tiwi,” jawab Idha sambil mengangkat piring berisi ayam goreng lalu meletakkannya di kitchen island. “Anaknya … itu, lho, Mbak. Pak Eko, wakil ketua MPR periode kemarin.”
Bibir Lintang membulat, tapi tidak mengeluarkan suara sama sekali. Sekarang, Lintang baru tahu jika keluarga Sailendra memang teliti dan secermat itu dalam menikahkan anak-anaknya. Harus ada hal yang menguntungkan dari pernikahan tersebut. Begitulah kesimpulan Lintang untuk saat ini.
“Apa … mas Raga dulu juga dijodohkan, Bu?” selidik Lintang.
“Nggak, Mbak,” jawab Idha cepat. “Mas Raga sama almarhumah sudah pacaran dari zaman kuliah, sebelum nikah sudah sering diajak main ke sini.”
Sudahlah.
Memang tidak ada lagi yang bisa diharap Lintang dari keluarga Sailendra, terutama Raga. Posisinya saat ini hanya untuk mempererat ikatan politik, sampai dua kubu bisa mendapatkan apa yang mereka mau.
Anwar bisa melenggang ke dalam kancah politik dengan bantuan Ario. Begitu pula dengan Ario, akan mendapatkan pencitraan yang bertubi-tubi lewat perusahaan media yang dimiliki oleh Anwar.
Akan tetapi, kedua orangtua itu tidak tahu, bila Raga dan Lintang sudah membuat perjanjian untuk bercerai setelah semua rencana mereka terwujud.
“Oh … ya, udah.” Lebih baik Lintang mengakhiri pembicaraan pagi ini, daripada nantinya Idha terkena masalah karenanya. “Saya, ke depan dulu, Bu.”
“Iya, Mbak.”
Lintang berjalan lesu memasuki ruang keluarga. Ketika hendak menaiki tangga, Lintang berhenti karena melihat Raga sedang melangkah turun.
“Mas, bisa bicara sebentar?” pinta Lintang.
“Hm, bicaralah.” Raga melewati Lintang lalu membuka pintu yang berada di sebelah tangga. Terus melangkah memasuki ruang perpustakaan dan berbelok menuju ruang kerjanya.
Lintang menghela napas, dan buru-buru menyusul Raga di belakang. Ketika sudah memasuki ruang kerja pria itu, Lintang hanya berdiri di tengah ruang tanpa berniat untuk duduk karena belum dipersilakan.
“Mau bicara apa?” tanyta Raga yang sudah duduk di kursi kerja dan baru saja membuka laptopnya. Tanpa menatap Lintang. Raga menyalakan benda persegi tersebut, dan sibuk mengeluarkan beberapa berkas dari dalam laci meja kerjanya.
“Masalah toko buku yang sempat kita obrolin waktu itu.” Meskipun ragu, tapi Lintang harus mengutarakan niatnya. Jika Anwar dan Ario bisa mengambil keuntungan dari pernikahan ini, mengapa Lintang tidak? “Apa aku bisa pinjam uang buat sewa tempat?”
“Tergantung.”
“Tergantung?” Lintang mengulang ucapan Raga penuh kebingungan.
“Ajukan proposalmu, dan nanti aku lihat bagai—”
“Hah?” Lintang agak terkejut sehingga langsung memotong ucapan pria itu. “Proposal? Kenapa aku harus ajuin proposal?”
“Business is business,” sahut Raga yang sedari tadi belum menatap Lintang sama sekali. Setelah mendapat berkas yang dicarinya, Raga justru memusatkan matanya ke layar laptop. “Kalau sekiranya menguntungkan, aku mau jadi investormu. Tapi, kalau—”
“Makasih.”
“Apa?” Satu ucapan itu akhirnya membuat Raga mengangkat wajah untuk melihat Lintang. “Makasih?”
“Ya, makasih,” ulang Lintang sekali lagi lalu menarik napas dalam-dalam.
“Aku bahkan belum setuju untuk jadi—”
“Nggak perlu, Mas.” Dengan perasaan yang sudah tidak bisa Lintang jelaskan dengan kata-kata, akhirnya ia segera membuat rencana lain saat itu juga. “Kalau semuanya harus dihitung berdasarkan untung rugi, itu berarti, hati nurani Mas Raga sudah benar-benar mati. Saya permisi.”
~~~~
“Tante Lintang! Ayo main sama aku!”
Lintang menghentikan langkah sebentar ketika sudah berada di lantai dua. Ia melihat Rama yang tengah memegang remote control dan tengah memainkannya.
“Kita balapan Tante!” seru Rama sangat antusias sambil terus menggeser tuas remote controlnya.
“Kamu belum mandi?” Setelah melihat Rama masih mengenakan piyama tidur, akhirnya Lintang menghampiri bocah itu dan duduk bersila di sebelahnya. “Emang nggak sekolah?”
“Tunggu sus Eni.”
Bibir Lintang membulat dengan anggukan. Rupanya, Rama memiliki seorang suster yang merawat kesehariannya. Namun, pergi ke mana wanita yang merawat Rama, karena Lintang belum melihatnya sama sekali pagi ini.
“Ngapain nunggu sus Eni?” tanya Lintang lagi.
“Mandi.”
“Ha? Kamu belum bisa mandi sendiri?”
“Aaa …” Rama berhenti menekan tuas remote controlnya, lalu menatap Lintang dengan menggeleng.
Paham dengan jawaban Rama, Lintang kembali memberi bocah itu pertanyaan. “Kenapa nggak belajar mandi sendiri?”
“Nggak bisa!”
“Ya, belajar,” sahut Lintang. “Coba nanti minta diajarin sus Eni mandi sendiri.”
Rama terdiam dan meletakkan satu jari telunjuknya di pelipis, seolah tengah berpikir. “Nanti aku tanya sama sus Eni.”
“Nah, gitu dong!” Lintang segera berdiri setelah berbasa-basi dengan bocah tampan tersebut. Setidaknya, pagi ini ada sosok makhluk menggemaskan yang bisa membuat hatinya merasa bahagia. “Tante ke kamar dulu, ya.”
“Ayo main!” Rama mencekal tangan Lintang agar wanita itu tidak meninggalkannya.
“Nggak mau,” tolak Lintang sambil menjepit hidungnya dengan ibu jari dan telunjuknya. “Rama bauk, belum mandi.”
Wajah Rama seketika berubah datar, terlihat sedih. Rama pun sudah melepas gengaman tangannya, dan berbalik memunggungi Lintang.
Melihat kesedihan tersebut, Lintang buru-buru berjongkok di depan Rama. Lintang tiba-tiba teringat dengan kesendirian yang sudah menjadi temannya sedari kecil. Rama bahkan lebih beruntung karena masih memiliki satu orang suster yang dipekerjakan khusus untuk merawatnya. Sementara Lintang, hanya mengandalkan asisten rumah tangga yang bekerja di kediaman Dewantara.
“Tante ajarin mandi, mau?”
Rama mengangguk penuh keraguan. “Mau.”
“Ayok!” Lintang berdiri sambil mengulurkan tangan pada Rama.
Rama mengangguk dengan senyum kecilnya. Ia meraih tangan Lintang dan bersiap untuk menarik wanita itu menuju kamarnya. Namun, belum ada dua langkah kaki kecilnya itu terayun, suara Safir tiba-tiba memanggilnya.
“Mau ke mana, Ram?”
Rama berhenti dan tidak jadi melangkah. “Mandi.”
“Sus Eni belum datang.” Safir menghampiri Rama, lalu melepas tangan keponakannya yang tertaut pada telapak Lintang.
“Aku mau mandi sama Tante Lintang,” sahut Rama menarik tangannya dari genggaman Safir.
“Tunggu sus Eni aja,” titah Safir dengan menatap sinis pada Lintang. Jika melihat wanita itu, Safir jadi teringat dengan Biya yang tiba-tiba saja meninggalkannya di hari pernikahan. Seketika itu juga, rasa benci Safir pun lantas ia lampiaskan seluruhnya pada Lintang. “Nanti kamu dimarahin papa kalau mandi sama orang lain.”
Orang lain?
Lintang memejam sebentar sambil menarik napas dalam-dalam. Baru sehari berada di kediaman Sailendra, tapi hatinya seolah sudah dibanting dan pecah berkali-kali.
“Kan—”
“Nggak ada, kan, kan,” potong Safir. “Sekarang turun, terus tunggu sus Eni di bawah.”
Sambil mengerucutkan bibir merah nan mungilnya, Rama menatap Lintang dengan kecewa. “Aku ke bawah dulu, ya, Tan.”
“Oke!” Lintang berjongkok di depan Rama, lalu mengangkat telapak tangannya yang terbuka di depan wajah bocah tampan itu. “Tos dulu!”
Rama langsung melakukan apa yang diminta oleh Lintang. Setelahnya, ia segera pergi menuruni tangga untuk melaksanakan titah Safir.
“Jangan cari muka di sini,” ucap Safir setelah melihat Rama menuruni tangga. “Sadar diri, kamu itu cuma pengganti, bukan pemeran utama.”
“Aku tahu,” jawab Lintang lalu menghela pendek. “Tapi, satu yang kamu lupa, kalau pengganti yang ada di depanmu sekarang, sudah jadi pemeran utama sejak dia masuk ke dalam keluarga Sailendra. Ingat itu, baik-baik.”
“Mau ke mana?” Retno baru saja membuka pintu kamarnya, ketika melihat Lintang berjalan menuju tangga. Hari masih pagi, tapi gadis itu sudah terlihat rapi dengan kemeja dan celana jeans. Tidak lupa, ada sebuah tas ransel yang menggantung di balik punggung. Sungguh tidak mencerminkan keanggunan seorang wanita sama sekali. Bagaimana bisa Retno mengatakan setuju, ketika Ario mengusulkan untuk mengganti calon menantu mereka kala itu. Lintang mendesah tidak ketara. Ia segera memutar tubuh, lalu menghampiri Retno yang baru menutup pintu. “Saya izin mau pulang ke rumah dulu.” “Tapi kamu belum sarapan.” Retno menatap Safir yang juga baru keluar dari kamarnya. “Saya bisa sarapan di rumah nanti.” Lintang hanya melirik pada Safir yang terus berjalan menuju tangga, lalu kembali menatap ibu mertuanya. Retno mengangguk dan tidak mungkin juga ia melarang Lintang untuk pulang ke rumahnya sendiri. “Pamit sama Raga dulu.” “Iya, Bu.” Lintang mengangguk, lalu meraih tangan kanan Retno dengan cepat d
“Lin!”Satu sapaan hangat itu, membuat Lintang membalik tubuhnya. Melebarkan mata, begitu pula dengan senyum yang terlukis di bibirnya. Lintang menghampiri pria yang saat ini juga tengah berjalan ke arahnya. “Mas Fajar! Kapan datang?”Lintang mengulurkan tangan lebih dulu, dan pria itu segera menyambutnya dengan ramah.“Sejaman yang lalu.” Fajar menatap Lintang dari ujung rambut, hingga kaki. Tidak ada yang berubah. Tetap cuek, tapi tetap rapi sesuai dengan stylenya. “Kamu resign?”Lintang tersenyum kecil, dipaksakan. “Iya.”“Kenapa?” buru Fajar. “Aku dimutasi ke sini lagi mulai minggu depan, tapi kamu malah resign.”“Capek, Mas, nyales terus.” Lintang menunduk, karena kembali berbohong untuk kesekian kalinya ketika ada yang memberi pertanyaan, kenapa. Ia menatap ujung flat shoesnya seraya menggenggam erat tali ransel yang terulur di depan pundak. “Aku mau buka usaha sendiri. Buka toko buku kecil-kecilan.” Lintang mendongak dan kembali tersenyum. “Entar bantuin, ya! Siapa tahu bisa b
Setelah pertemuan terakhirnya dengan Raga sore itu, Lintang sudah memutuskan untuk tidak lagi peduli dengan suami di atas kertasnya. Yang terpenting, Lintang selalu bersikap sopan di depan Ario dan Ratna. Selebihnya, Lintang sudah tidak mau merepotkan diri dengan orang yang ada di dalam rumah. Kecuali Rama, bocah tampan ramah yang selalu saja menegur Lintang jika mereka bertemu. Lintang menduga, sifat bocah berusia lima tahun tersebut merupakan turunan dari mendiang mamanya. Tidak mungkin sifat tersebut menurun dari Raga. “Tante mau pergi?” tanya Rama yang kembali menegur Lintang ketika hendak pergi menuruni tangga. “Iya.” Lintang tersenyum seraya menghampiri Rama yang sedang bermain mobil-mobilan dengan Eni. Ia berjongkok di samping Rama kemudian berkata, “Senang tadi di sekolah?” “Aku nggak suka sekolah.” Rama menjawab tanpa melihat Lintang sama sekali. Ia sibuk bermain dengan remote controlnya dan memperhatikan ke mana mobilnya berjalan. Tatapan Lintang reflek tertuju pada Eni.
“Ke mana Lintang?”Sejak Raga memulai makan malamnya, hingga nasi yang ada di piringnya hampir tersisa separo, Lintang belum juga terlihat bergabung di meja makan.“Tante Lintang bobo!” celetuk Rama sambil terus berusaha mengumpulkan nasi serta lauk di piring, ke dalam sendok makannya.Raga menatap tanya pada Retno. Apa yang terjadi selama dirinya pergi keluar kota? Apakah Lintang jatuh sakit, sehingga tidak ikut makan malam saat ini?“Belakangan ini Lintang tidurnya memang cepat,” ujar Retno tidak jadi menyuapkan nasi ke dalam mulutnya. “Dia lagi ada kerjaan sama temannya di luar.”“Kerjaan? Aku sudah suruh dia resign.” Raga meletakkan sendoknya di piring. Sudah tidak lagi berminat untuk melanjutkan makan malam, karena Lintang ternyata tidak mengikuti kemauannya. Apa jumlah uang bulanan yang diberi oleh Raga saat itu ternyata kurang?“Resign?” Rama kembali berceletuk saat mendengar satu kata yang tidak dimengertinya. “Apa itu resign, Opa?” tanyanya pada Ario yang duduk bersebelahan.
“Mau ke mana kamu?” Raga menahan napas, berikut dengan rasa kesal yang mendadak menyelinap saat melihat Lintang hendak menuruni tangga dengan sebuah ransel di punggung. Belum ada satu jam Raga menitahkan agar Lintang tidak lagi pergi bekerja, tapi gadis itu sudah terlihat rapi dan hendak pergi. Lintang berhenti di ujung tangga, lalu memutar tubuh dengan helaan. Ia tertunduk, dan menatap kaki Raga yang terus berjalan ke arahnya lalu berhenti dengan jarak tidak sampai satu meter. “Aku sudah bilang—” “Saya mau nemeni Rama outing di kebun binatang,” ujar Lintang seraya mengangkat wajah merengutnya dengan perlahan untuk menatap Raga. “Kasihan, papanya sibuk sendiri sama kerjaan sampe nggak sempat ngurusin anaknya.” “Maksudmu?” Lintang mengangkat kedua bahunya untuk beberapa saat. Tanpa berminat meneruskan obrolan dengan Raga, ia pun segera melanjutkan langkahnya yang tertunda. Menuruni tangga, untuk menghampiri Rama yang sudah siap dengan pakaian olahraga bersama Eni. “Tante, ayoo!”
“Bu …” Eni mencolek lengan Lintang yang tengah berdiri di sebelahnya. Selama kegiatan edukasi berlangsung, para orangtua atau pengasuh yang mendampingi para murid, bisa melakukan hal apa pun dengan bebas. Tepat ketika kegiatan selesai, barulah mereka bisa mendampingi para murid dan melakukan kegiatan bebas. “Apa saya nggak salah lihat?” Telunjuk Eni tertuju pada ujung jalan yang mengarah ke tempat mereka. Lintang menoleh. Ia pun sempat mengerjap beberapa kali ketika melihat seorang pria dengan kemeja hitam lengan panjang dan celana bahan berwarna krem. Pria itu berjalan pelan, seolah tengah menelisik sesuatu di sekitarnya. “Sus!” Lintang mencengkram tangan Eni tanpa sengaja. Hal tersebut hanya pergerakan reflek, karena masih tidak percaya dengan yang dilihatnya saat ini. “Setan bukan, sih?” “Kakinya napak, Bu,” sahut Eni sempat menelan ludah ketika melihat majikannya dari kejauhan. “Lagian, mana ada setan siang-siang begini.” “Tapi ngapain mas Raga ke sini?” Lintang memutar tubuh,
“Tante, gendong.” Lintang spontan menatap Raga dengan mulut ternganga. Bila ingin jujur, permintaan Rama barusan sungguh memberatkannya. Kaki Lintang sudah terlampau lelah berjalan, tapi Rama justru meminta gendong padanya. Mengapa bukan pada Raga saja? “Papa, kan, sudah nawari naik kereta dari tadi.” Melihat tatapan memohon, serta wajah lelah Lintang, Raga akhirnya berjongkok di samping Rama yang tengah mengulurkan tangan pada gadis itu. “Tapi kamu malah minta jalan kaki.” “Aku ngantuk, Pa,” kata Rama menoleh sebentar pada Raga, tapi posisi tubuhnya tetap mengarah pada Lintang. Pun dengan tangan yang sudah memegang sisi pinggang gadis itu. “Sama Papa aja.” Detik berikutnya, tubuh kecil Rama sudah berada di gendongan Raga. Tidak ada satu menit Raga dan Lintang kembali melangkah dalam diam, kepala Rama yang terjatuh di pundak itu, akhirnya tertidur lelap. “Saya tahu rasanya jadi Rama.” Akhirnya, Lintang membuka suara untuk berbicara pada Raga. Sepanjang perjalanan menyusuri kebun
Safir tidak melangkahkan kaki ke mana pun setelah menutup pintu mobilnya. Ia berdiam diri, menatap mobil Raga yang baru memasuki pekarangan rumah mereka. Semakin mobil Raga mendekat, Safir semakin mengerutkan dahinya. Jika ingin menajamkan pandangan, maka yang duduk pada kursi penumpang di samping Raga adalah Lintang. Apa Safir tidak salah lihat? Atau, itu semua hanya halusinasi semata? Sayangnya, tidak. Ketika mobil Raga telah terparkir tidak jauh dari tempat Safir berdiri, ia melihat Lintang keluar dan tatapan mereka sempat bersirobok untuk beberapa saat. Mulut Safir sempat terbuka, ketika melihat tatapan datar gadis yang tampak sedikit berbeda. Hanya berselang hitungan detik, Raga pun juga keluarga dan menatap Safir yang berjalan ke arahnya. “Biya ketemu?” Pertanyaan Raga tersebut sontak membuat Lintang tidak jadi meneruskan langkah. Apa itu berarti, Safir pergi keluar kota bukan karena urusan pekerjaan seperti Raga, melainkan mencari keberadaan Biya? Safir menggeleng, sambil