Sepi.
Satu kata itulah yang ada di benak Lintang ketika memasuki ruang tamu keluarga Sailendra. Tidak ada penyambutan, atau sapaan hangat dari pemilik rumah.
Lintang lantas tersenyum pahit. Memangnya, siapa Lintang hingga pemilik rumah harus menyambut dirinya dengan ramah tamah. Yang mereka pikirkan, hanya nama baik keluarga dan tidak pernah mau tahu dengan perasaan Lintang saat ini.
“Mbak Lintang?” tanya seorang wanita paruh baya yang keluar dari bagian ruang yang lebih dalam, untuk menyambut penghuni baru di kediaman keluarga Sailendra. “Kenalkan, saya Idha, asisten rumah tangga di sini. Subuh tadi, ibu sudah nelpon, kalau Mbak Lintang pagi ini langsung pulang ke rumah. Jadi, ayo ikut saya! Biar saya tunjukin kamarnya mbak Lintang.”
Belum sempat Lintang menjawab, wanita yang baru saja memperkenalkan diri dengan cepat itu, langsung berbalik pergi. Memasuki bagian rumah yang lebih dalam, masih dengan langkah yang tergesa. Untuk itu, Lintang pun bergegas mengikuti Idha dan menyamakan langkahnya.
“Jadi, setelah ruang tamu, kita langsung masuk ke ruang makan sekaligus ruang santai, tapi bukan untuk keluarga,” terang Idha sambil terus saja berjalan menuju ruangan yang selanjutnya. “Karena bapak sama ibu sering ngadain pertemuan di rumah, jadi, dua ruangan depan barusan khusus untuk kegiatannya mereka.”
Lintang mengangguk dan bisa memahami penjelasan Idha. Kemudian, ia melewati pintu geser yang tidak tertutup dan terlihat ruang luas yang cukup lega dengan dipenuhi rak-rak buku di tiap sisi dindingnya. Lintang melihat dua pintu tertutup yang saling berseberangan di kanan kirinya, dan sebuah pintu lagi tepat berada di hadapan.
“Ini ruang perpustakaan.” Idha kembali menjelaskan. “Pintu kanan ruang kerja pak Ario, dan pintu sebelah kiri ruang kerja mas Raga. Terus di depan sana, barulah rumah yang sebenarnya.”
Lintang terus mengikuti Idha melewati pintu selanjutnya. Ruangan selanjutnya, tampak seperti ruang keluarga dengan hamparan karpet yang luas, dan sofa panjang yang mengitarinya.
“Semua kamar anggota keluarga, ada di lantai dua,” jelas Idha lagi sambil menaiki tangga yang terletak di samping kiri pintu.
Lintang ikut menaiki tangga dengan cepat, agar bisa mengimbangi Idha yang sepertinya terlalu bersemangat.
Setibanya di lantai dua, Lintang benar-benar disajikan sebuah ruangan yang tampak seperti taman bermain anak. Nuansa biru dan putih yang begitu kental, menunjukkan bahwa identitas pemiliknya adalah seorang bocah laki-laki.
Kemudian, Idha kembali menjelaskan kamar para pemilik rumah dengan detail. Akan tetapi, langkah Lintang dan Idha terhenti ketika berada di depan kamar Safir. Pintu kamar pria itu terbuka, dan menampilkan sosok Safir yang hanya memakai celana pendek dan kaos oblongnya.
“Siang Mas Safir,” sapa Idha dengan anggukan ramah. “Saya mau tunjukin kamar Mbak Lintang dulu, permisi.”
Sembari kembali melangkah, tatapan Lintang dan Safir saling bertubrukan datar. Keduanya tidak menyematkan senyum, maupun anggukan seperti yang dilakukan oleh Idha. Hanya diam tanpa kata hingga jarak jualah yang harus membuat Lintang lebih dulu memutus tatapan datarnya pada Safir.
“Ini kamar mbak Lintang,” terang Idha sambil membuka pintu yang letaknya harus melewati koridor kecil terlebih dahulu. “Semua baju, dan barang-barang lainnya, sudah saya taruh di tempatnya. Kalau gitu, silakan istirahat karena saya harus ke bawah dulu. Permisi.”
“Makasih, Bu.”
Idah tersenyum dengan anggukan, lalu bergegas pergi kembali ke lantai bawah.
Sedangkan Lintang, langsung memasuki kamar yang besarnya hampir tiga kali lipat dengan kamarnya yang berada di kediaman Dewantara.
“Heh!”
Satu teguran itu, membuat Lintang segera membalikkan tubuhnya cepat. Di bibir pintu, sudah ada Safir yang bersandar sambil bersedekap.
Lintang tidak membalas sapaan Safir, karena pria yang sudah resmi jadi adik iparnya itu ternyata sangat tidak sopan. Yang Lintang lakukan hanya mengangkat sedikit kedua alisnya dengan memberi tatapan tanya.
“Sorry, gue nggak bisa nikahin elo, karena lo bukan tipe gue,” lanjut Safir terus terang.
Lintang tersenyum tipis, dan tidak ingin menanggapi Safir dengan emosi. “Tenang, lo juga bukan tipe gue.”
Safir tertawa kecil, terkesan meremehkan ucapan Lintang. “Sampai kapan pun, lo itu nggak bakal bisa selevel sama Biya.”
“Pastinya.” Lintang mengangguk mengiyakan. “Biya lari dari tanggung jawab, dan gue, berani nerima tantangan buat gantiin dia. Jadi, sampai kapan pun kami memang nggak akan selevel. Ngerti sampai di sini?”
Safir mengumpat keras. Tubuhnya menegak dengan raut wajah tidak ramah. “Jangan main-main sama gue!” telunjuk Safir mengarah tajam pada Lintang, yang selalu bisa membalas perkataannya dengan cara yang begitu menyebalkan. “Lo, di sini itu cuma tumbal. Nggak akan ada yang nganggap lo bagian dari keluarga Sailendra!”
“Terus?” tanya Lintang tetap berusaha santai. Untuk itu, ia berbalik memunggungi Safir dan segera beranjak menuju tempat tidur lalu duduk di tepinya.
Terus?
Sampai di sini, Safir mendadak bingung. Mengapa gadis itu sama sekali tidak terpancing dengan kata-katanya.
“Ya, lo harus ngerti di mana posisi, lo!” balas Safir dengan amarah yang mulai terpancing. Padahal, sedari tadi Lintang hanya bersikap tenang.
“Ya, gue ngerti,” jawab Lintang sudah tidak ingin lagi berdebat dengan pria itu. “Kalau kata sambutannya sudah selesai, tolong pergi dan tutup pintunya.”
Safir kembali mengumpat. Kali ini, Ia benar-benar menutup pintu dengan keras lalu meninggalkan Lintang. Jika saja Biya tidak pergi entah ke mana, pagi ini Safir pasti sudah menikmati bulan madu bersama gadis itu sebagai sepasang pengantin baru.
Lintang menghela kasar nan lega setelah kepergian Safir. Walau sempat terkejut dengan suara pintu yang dibanting begitu keras, tapi Lintang sudah tidak memedulikannya.
--
“Makan malam sudah siap, Mbak,” kata Idha setelah Lintang membuka pintu kamar.
“Saya nggak lapar, Bu.” Lintang menyandarkan tubuhnya pada sisi daun pintu yang terbuka. Siang tadi, Lintang makan seorang diri di meja makan, tanpa ada siapa pun menemaninya. Entah ke mana perginya seluruh keluarga Sailendra, Lintang juga tidak ingin mempertanyakannya pada Idha.
“Tapi bapak ibu sudah ke bawah, Mbak,” sahut Idha lagi.
“Mereka sudah datang?”
“Sudah dari tadi sore,” terang Idha mulai memutar tubuhnya dan bersiap pergi. “Ke bawah, ya, Mbak. Permisi.”
Jelas saja Lintang tidak tahu menahu, karena setelah menghabiskan makan siang, ia hanya menghabiskan waktu di dalam kamar.
Karena ini makan malam pertama keluarga, Lintang harus memberi kesan yang baik. Ia pun segera menutup pintu lalu mengganti piyama tidurnya dengan pakaian yang lebih sopan. Sebuah celana kulot, dan kaos yang sedikit longgar agar lekuk tubuhnya tidak terlihat.
Setelah melihat penampilannya sudah cukup rapi, Lintang segera keluar kamar dan bergegas menuju meja makan.
“Malam,” sapa Lintang berusaha bersikap sopan pada seluruh anggota keluarga yang ternyata sudah berada di bawah.
“Malam.”
Balasan tersebut, hanya dilontarkan oleh Ario dan istrinya. Sementara kedua anak lelaki dari keluarga Sailendra, seolah kompak hanya memberi tatapan datar yang tidak bisa terbaca. Sedangkan bocah kecil yang ada di samping Raga, justru melihat Lintang dengan penasaran.
“Duduk di samping Raga,” titah Retno yang melihat Lintang mematung di sudut meja. Gadis itu terlihat bingung, dan tidak tahu harus melakukan apa. “Dan ayo kita makan malam.”
Lintang mengangguk dan segera melakukan perintah dari tuan rumah. Wajar rasanya jika Lintang merasa gugup, ketika pertama kali berada bersama keluarga Sailendra. Wajah-wajah yang baru dikenalnya itu, terasa sangat dingin dan membuat Lintang tidak nyaman.
“Tante siapa?” celetuk Rama yang sedari tadi hanya menatap Lintang. Jika diingat lagi, selama prosesi pernikahannya dengan Raga, Lintang sama sekali tidak melihat Rama ada di ruangan.
“Tante Lintang,” jawab Retno yang duduk diapit oleh Rama dan Safir. “Mulai sekarang Tante Lintang tinggal di sini sama kita. Jadi, Rama baik-baik sama tante, ya.”
Tante.
Ya, Lintang memang tidak perlu berharap agar dipanggil dengan sebutan mama oleh Rama. Lebih baik seperti ini, karena perceraian itu sudah pasti ada di depan mata. Lintang juga tidak perlu berpura-pura baik untuk mengambil hati bocah itu. Seketika itu juga, Lintang kembali teringat ucapan Safir tadi pagi. Lintang, sebenarnya hanya perantara dua keluarga untuk dijadikan tumbal.
“Pak Raga.” Maha segera menyusul Raga, ketika rapat umum yang dihadiri para direktur dan manajer perusahaan selesai dilaksanakan. Ia mensejajarkan langkahnya dengan mudah, saat Raga memperlambat langkahnya. “Bisa kita bicara?” Raga menoleh dan tetap berjalan menuju ruangannya. Ia mengangguk tegas, sembari berkata. “Silakan.” Maha balas mengangguk dan mereka memasuki ruangan Raga dalam ketenangan. Sesaat sebelum masuk, Raga meminta sekretarisnya untuk menghandle semua hal karena ia akan bicara empat mata dengan Maha. “Ada masalah?” tanya Raga tetap bersikap profesional, meskipun ia sudah muak melihat Maha berada di kantor. Namun, sebisa mungkin ia tidak mencampuradukkan hal pribadi, dengan semua hal yang berada di kantor. Maha menghela panjang, lalu duduk pada sofa tunggal yang berhadapan lurus dengan meja kerja Raga. “Seperti yang kita tahu … penetapan hasil pemilu sudah diputuskan MK dan kita tinggal menunggu agenda pengucapan sumpah dan janji—” “Bisa kita langsung ke inti dari p
“A-aku minta maaf, Lin.” Maha dengan segera menghampiri Lintang yang baru saja keluar dari ruang kesehatan. Ruang yang ada di lantai satu tersebut, memang dipersiapkan untuk jalan sehat pagi ini. Sudah ada seorang dokter yang bertugas dan beberapa perawat yang dengan sigap membantu jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. “Mana nggak papa, kan?” Belum sempat Lintang menjawab, pintu ruangan yang biasa digunakan sebagai tempat meeting terbuka. Raga keluar dengan menggendong Mana, yang sudah tidak lagi menangis keras akibat terjatuh dari tangga. Namun, wajah menggemaskan itu masih terlihat sembab dan sesenggukan sambil memeluk sang papa. Di saat Maha dan Biya berdebat, bocah gembul itu ternyata mencoba menaiki tangga kayu yang menuju panggung. Padahal, Maha sedikit lagi mencapai tubuh Mana saat ia melihatnya, tetapi, bocah itu lebih dulu terjatuh, sehingga membuat kehebohan. Bagaimana tidak heboh, jika yang terjatuh adalah putra direktur utama, sekaligus cucu dari pemilik perusahaan.
“Aku sebenarnya pengen banget ndepak Maha dari perusahaan.” Raga menyerahkan Mana pada Biya, yang baru saja menghampirinya. Bocah yang baru bisa berjalan itu, langsung mengulurkan kedua tangan dan minta digendong oleh tante yang selalu memanjakannya. “Tapi, sayangnya dia masih punya saham di sini dan sepertinya Maha nggak punya niat buat jual sahamnya sama siapa pun.” “Jangan lupa, tujuan dia masuk ke perusahaan ini karena papanya juga mau nyalon.” Meskipun bobot Mana semakin bertambah, tetapi Biya tidak bisa untuk tidak menggendong keponakan yang menggemaskan itu. Ia melirik sebentar pada Lintang yang baru keluar dari mobil, lalu kembali fokus pada Raga. “Sama seperti pak Ario, pak Anjas juga butuh media buat pencitraan. Mana sekarang lagi musim-musimnya, kan? Coba kita lihat aja sampai pileg nanti, apa Maha masih mau netap di sini.” “Bapak sama ibu di mana, Bi?” tanya Lintang sudah berusaha untuk berdamai dengan saudara perempuannya. Hubungan mereka memang tidak sedekat layaknya Li
“Ini bukan tempat yang cocok buat malam amal.” Fayra menyilang kaki, sekaligus bersedekap menatap gedung restoran yang ada di hadapannya. Tidak berniat keluar, kendati sopir sang papa sudah membukakan pintu mobil untuknya. “Papa pasti mau ketemu teman lama Papa yang bawa anak, terus mau ngenalin aku sama dia. Iya, kan?” “Fay—” “Apa Papa lupa, aku ini sudah punya pacar.” Fayra menyela dan tetap dalam keadaan tenang. “Apa Papa lupa sama Fajar? Atau, Papa nggak setuju sama dia, karena dia bukan berasal dari … keluarga kayak mas Raga, atau Nino? Begitu?” Eko menarik napas pelan, sembari mengeluarkan ponsel dan segera menghubungi seseorang. Ia masih berada di samping Fayra, tidak akan keluar sampai putrinya itu keluar lebih dulu. “Halo, Bik, tolong bereskan barang-barang Fayra dan langsung bakar malam—” “Papaaa.” Fayar bergerak cepat dan merampas ponsel sang papa, lalu berbicara dengan seseorang yang baru saja dihubungi Eko. “Bik, Bik, barangku jangan diapa-apain. Papa cuma becanda. Ja
“Ehm.” Tati menarik kursi di meja makan, yang berseberangan dengan Fajar. Putranya itu tengah sarapan dengan lahap seorang diri, karena Fikri sudah lebih dulu makan, sementara Tati tidak berselera sejak pertemuannya dengan Eko kemarin siang. “Kamu … minggu-minggu ini ada rencana ke luar kota, nggak, Jar?” “Nggak ada,” jawab Fajar tenang, tetapi mulai curiga. Jika Tati mulai bertanya-tanya tentang sesuatu di luar kebiasaan, pasti ada niat terselubung di balik kalimat tersebut. “Ooo.” Tati manggut-manggut, sembari mengingat ucapan Eko kemarin siang. Pria tua itu berkata, Fajar ada kunjungan ke kantor cabang. Sementar kantor cabang yang Tati tahu, semuanya berada di luar kota. Jika benar begitu, Fajar pasti sudah berpamitan dari kemarin-kemarin, untuk melakukan tugas kantor tersebut. Namun, kenyataannya tidak demikian. Fajar tetap berada di rumah, dan tidak pergi ke mana pun. Bahkan, rencana untuk ke luar kota juga tidak terbersit sama sekali. Itu berarti, Fajar telah membohongi Eko,
Kendati bingung, tetapi Fikri dan Tati tetap menyambut baik uluran tangan pria tua yang baru saja diperkenalkan Raga pada mereka. Entah apa maksud diadakannya makan siang bersama kali ini, tetapi mereka tidak menolak karena merasa penasaran. “Jadi … kita berkumpul di sini dalam rangka apa?” tanya Fikri pada Raga yang duduk berseberangan dengannya. Tidak mungkin pria seperti Raga sekonyong-konyong menghubunginya, lalu mengajak makan siang bersama. Apalagi, Raga meminta untuk tidak mengatakannya pada siapa pun. Cukup Fikri dan istrinya saja yang tahu mengenai makan siang kali ini. Raga menatap tanya pada Eko terlebih dahulu. Apakah pria itu yang akan memberi penjelasan, ataukah Raga saja yang mengatakan maksud pertemuan saat ini. Saat Eko memberi anggukan, serta menaikkan sedikit jemari di tangan kanannya, Raga akhirnya berdiam diri. “Saya, papanya Fayra.” Fikri dan Tati sontak saling lempar pandang. Untuk apa papa Fayra mengajak mereka berdua untuk makan siang secara mendadak se