Share

6. Lima Tahun

“Mau ke mana?”

Retno baru saja membuka pintu kamarnya, ketika melihat Lintang berjalan menuju tangga. Hari masih pagi, tapi gadis itu sudah terlihat rapi dengan kemeja dan celana jeans. Tidak lupa, ada sebuah tas ransel yang menggantung di balik punggung.

Sungguh tidak mencerminkan keanggunan seorang wanita sama sekali. Bagaimana bisa Retno mengatakan setuju, ketika Ario mengusulkan untuk mengganti calon menantu mereka kala itu.

Lintang mendesah tidak ketara. Ia segera memutar tubuh, lalu menghampiri Retno yang baru menutup pintu. “Saya izin mau pulang ke rumah dulu.”

“Tapi kamu belum sarapan.” Retno menatap Safir yang juga baru keluar dari kamarnya.

“Saya bisa sarapan di rumah nanti.” Lintang hanya melirik pada Safir yang terus berjalan menuju tangga, lalu kembali menatap ibu mertuanya.

Retno mengangguk dan tidak mungkin juga ia melarang Lintang untuk pulang ke rumahnya sendiri. “Pamit sama Raga dulu.”

“Iya, Bu.” Lintang mengangguk, lalu meraih tangan kanan Retno dengan cepat dan mencium punggung tangannya. “Saya pergi dulu, makasih.”

Lintang bergegas menuruni tangga, dan mendapati Rama tengah makan ditemani seorang wanita muda berseragam biru. Lintang menebak, wanita itulah yang bernama suster Eni yang bertugas untuk merawat Rama.

“Tante mau ke mana?” Rama yang tadinya duduk sambil bermain mobil remote controlnya, segera beranjak menghampiri Lintang.

“Tante mau pulang.” Lintang berjongkok, lalu mengusap sudut bibir Rama yang sedikit belepotan. Kemudian tatapan Lintang mengarah pada Eni, lalu memberi wanita itu anggukan ramah. “Tos dulu.”

Rama diam. Tidak menyambut telapak tangan Lintang yang sudah berada di depan wajahnya. “Nanti ke sini lagi?”

“Iya, nanti siang ke sini lagi,” jawab Lintang meraih tangan kanan Rama lalu menepukkan telapak mungil itu ke tangannya. “Daah, Rama.”

“Mari, Sus!” seru Lintang kembali tersenyum lalu berlari menuju ruang perpustakaan. Lintang segera melangkan ke ruang kerja Raga yang pintunya tidak tertutup rapat.

Sebelum memasuki ruangan tersebut, Lintang mengetuk pintunya terlebih dahulu.

“Masuk!”

Begitu mendengar suara Raga, Lintang segera masuk dan melihat Safir sudah duduk di sofa panjang dengan menyilang kaki. Lintang hanya melirik sekilas, dan terus melangkah melangkah untuk menghampiri Raga yang berada di meja kerjanya.

Lintang berdiri tepat bersebrangan dengan Raga, lalu berkata, “Mas, saya mau pulang ke rumah dulu.”

“Ya.” Sama seperti tadi, Raga menjawab tanpa menatap Lintang sama sekali. Fokusnya hanya pada berkas yang berada di meja.

“Lo, kalau mau pulang, ya, pulang aja kali,” sahut Safir dengan entengnya. “Nggak usah caper sama mas Raga.”

“Safir!” Raga mengangkat wajah dengan seruan keras menatap sang adik. “Dia, kakak iparmu.”

“Kita semua juga sudah tahu kenapa dia bisa jadi anggota keluarga di sini,” balas Safir kesal, karena Raga lebih membela Lintang. Sakit hatinya pada Biya saja belum usai, kini Raga pun ikut membela Lintang.

“Ehm.” Lintang berdehem untuk menyela dan tidak berniat menanggapi Safir. “Saya juga sekalian mau ke kantor, ajuin resign.”

Raga menatap Lintang. Jika diingat lagi, baru kali ini Raga benar-benar menatap wajah Lintang dari dekat. Bila diperhatikan lagi, paras Lintang sebenarnya manis. Gadis itu hanya kurang merawat diri, itu saja. “Oke, tapi kirimi aku nomor rekeningmu sekarang.”

“Nomor rekening?” Tanpa ingin bertanya alasannya, Lintang buru-buru melepas satu sisi tas ranselnya untuk mengambil ponsel. Tidak ingin menunda-nunda, Lintang juga langsung mengirimkan Raga nomor rekening pada pria itu. “Sudah, Mas.”

“Oke, pergilah.” Raga kembali menunduk untuk melanjutkan membaca dokumen yang berada di mejanya. “Sebentar lagi aku transfer uang bulananmu.”

“Oh.” Walau sempat terkejut dan bengong sejenak, tapi Lintang tidak akan menolak pemberian Raga. Bukankah, memberi nafkah lahir merupakan kewajiban pria itu sebagai seorang suami?

“Makas—”

“Pagiii …”

Sebuah sapaan merdu dari arah pintu membuat semua orang melarikan matanya menuju asal suara.

“Pagi, Fay!”

Satu balasan kompak itu terlontar dari mulut Raga dan Safir. Sedangkan Lintang, hanya menggumamkan balasan tersebut dan tidak menyuarakannya.

“Kapan datang?” tanya Safir sambil menepuk sisi kosong yang ada di sampingnya.

Wanita cantik, bernama Fayra itu segera menghampiri Safir dan duduk di sebelahnya. Menatap bingung sejenak, pada gadis yang berdiri di depan meja kerja Raga.

“Tadi malam!” Fayra berseru sambil menepuk paha Safir. “Aku langsung cari tiket waktu papa bilang mas Raga yang nikah kemarin! Bukannya kamu! Jadi, gimana ceritanya?”

Safir berdecih. “Begitu dengar Raga yang nikah, langsung buru-buru cari tiket pulang. Gue yang sudah ngasih undangan dari seminggu lalu, malah bilang nggak bisa datang.”

Fayra terdiam karena tidak bisa langsung memberi jawaban pada Safir. Namun, ia cepat-cepat mengalihkan topik obrolan. “Aku sempat dikirimin foto nikahan mas Raga sama papa. Tadinya, aku kira ceweknya cantik, makanya mas Raga mau-mau aja dinikahkan sama dia. Tapi, ah! Jauh banget bedanya sama almarhumah.”

Safir menatap Lintang dengan tawa. Cenderung mengejek sebenarnya, dan Safir tidak akan menutupi hal tersebut. “Orangnya ada di depan, lo, Fay!” telunjuk Safir mengarah pada Lintang. “Namanya Lintang! Saudara tirinya Biya.”

Fayra menutup mulutnya yang terbuka dengan kedua tangan. Menatap gadis yang bernama Lintang dengan perasaan yang tidak bisa ia ungkapkan. “Sorry, aku kira kamu karyawannya mas Raga, atau kurir yang lagi ngantar dokumen penting. Terus, muka kamu sama yang difoto juga kayaknya beda jauh. Jadi, sorry banget, ya.”

Tawa Safir semakin menggelegar puas mendengar ucapan Fayra.

“Mas Raga serius mau jadiin dia ibu sambung keponakanku?” Fayra berganti menatap Raga. Bisa-bisanya Fayra yang cantik paripurna tanpa cela, ternyata kalah dengan Lintang yang sungguh tidak ada apa-apanya dengan dirinya. Apa yang dilihat Raga dari Lintang sehingga pria itu mau menikahi gadis itu. Padahal, kedua keluarga sempat menawarkan Raga untuk turun ranjang dan menikahi Fayra demi Rama, tapi pria itu menolak dengan tegas.

“Lintang,” panggil Raga dan gadis itu pun menoleh seketika. “Pergilah.”

Lintang mengangguk. Namun, ia tidak langsung pergi karena tatapannya berhenti sejenak pada Fayra. Dari ucapannya, Lintang menebak wanita itu adalah saudara dari mendiang istri Raga.

“Kenapa disuruh pergi?” Fayra beranjak dari samping Safir untuk menghampiri Lintang. Ia mengulurkan tangan tanpa ragu dan memperkenalkan diri. “Fayrani Adnan. Aku biasa dipanggil Fay atau Fayra.”

“Lintang,” balasnya sambil menyambut uluran tangan Fayra. Dari ucapan, ekspresi, serta gestur tubuh Fayra, Lintang sudah bisa mengambil kesimpulan, wanita itu tidak menyukainya sama sekali.

“Apa di kamarmu nggak ada kaca?” Fayra tersenyum tipis. Mundur satu langkah, untuk menelisik penampilan Lintang dari ujung flat shoesnya yang tidak bermerek, sampai ujung rambut yang dikuncir kuda. Wajah Lintang pun tidak luput dari tatapan selidik Fayra. “Harusnya kamu bisa berpakaian lebih pantas karena sudah jadi menantu keluarga Sailendra.”

“Saya mau pergi ke gudang, jadi nggak mungkin saya pake gaun atau rok kurang bahan seperti …” Dengan sengaja, Lintang menatap rok span, yang jatuh pada pertengahan paha kaki jenjang wanita itu. Sebenarnya, Lintang enggan mencari keributan, tapi karena ucapan Fayra sangat tidak mengenakkan, maka ia merasa harus membalasnya.

“Itu!” Dengan entengnya, Lintang menunjuk paha Fayra tanpa senyuman.

“Lintang,” tegur Raga dengan segera karena melihat aura panas di depan mata. Jika dibiarkan, perdebatan yang ada bisa menjadi semakin besar. “Pergilah dan jangan buat keributan di ruang kerjaku.”

Tatapan Lintang tertuju datar pada Raga. Apa pria itu tidak dapat melihat dan mendengar semua yang baru saja terjadi di depan mata? Ucapan pria itu seolah mengatakan bahwa Lintanglah yang menjadi biang keributan yang terjadi.

Namun, sudahlah. Kalau Lintang bisa bertahan hidup selama 24 tahun bersama keluarga Dewantara yang hampir menganggapnya tidak ada, maka ia juga pasti bisa bertahan dengan keluarga Sailendra.

Sabar.

Paling lama lima tahun. Setelah itu, Lintang akan keluar dari rumah tersebut dan bisa hidup dengan … bebas.

Komen (10)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
semiskin itukah lintang sehingga g mampu merawat diri atau terlalu berhemat
goodnovel comment avatar
Ati Husni
lintang kamu kuat
goodnovel comment avatar
Sitti Madinah Suleiman
bagus.... gadis yang pemberani ...️...️...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status