“Kenapa nggak masuk?” Raga sedikit bingung melihat Lintang. Tidak biasanya gadis itu mengirimkan pesan padanya, dan meminta Raga keluar ruangan untuk berbicara empat mata. Ditambah, Lintang menuliskan pesan agar tidak memberitahukan Rama bila gadis itu datang ke rumah sakit. Karena di dalam ruangan masih ada Retno yang menjaga putranya, maka Raga bisa meninggalkan Rama untuk menemui Lintang yang menunggunya di dekat lift. “Sorry, Mas, tapi aku nggak bisa datang ke sini lagi.” Kendati berat, tetapi Lintang sudah mengambil keputusan. Sepanjang hari itu, Lintang selalu saja memikirkan permintaan Rama yang menginginkannya untuk menjadi ibu dari bocah itu. Karena itulah, Lintang harus membicarakan beberapa hal dengan Raga terlebih dahulu. “Dan, tolong kasih penjelasan juga ke Rama.” “Kenapa?” “Karena Rama minta aku jadi mamanya.” Lintang menggeleng tegas, untuk menunjukkan penolakannya. Ia tidak akan mau masuk ke dalam lubang yang sama dua kali. “Dan aku nggak mau ngasih harapan palsu
Gelisah. Hal tersebutlah yang dirasakan Lintang sejak terbangun tengah malam, dan tidak bisa tidur hingga pagi menjelang. Lintang merasa ada yang salah, tetapi tidak mengerti di mana letak kesalahannya. Ia kembali mengingat setiap detail pekerjaan yang dilakukannya kemarin, dan tidak ada yang terlewatkan sedikit pun. Masalah dengan Maha pun sudah Lintang akhiri dengan tegas. Tinggal menunggu pencairan dana saja, dan setelah itu Lintang benar-benar menjadi orang kaya baru. Semua sudah terasa sempurna, kecuali … Rama. Mengapa pikiran Lintang tiba-tiba dipenuhi dengan nama bocah itu? Daripada terus memikirkan hal yang tidak-tidak, lebih baik Lintang bergegas menghabiskan mi instannya lalu pergi ke kantor. Baru juga dua suapan masuk ke mulut Lintang, ia mendengar bunyi ketukan di pagar rumahnya. Dengan malas, Lintang beranjak dari meja makan dan pergi ke depan. Seingat Lintang, ia sudah membayar semua iuran bulanan di lingkungan tersebut, jadi tidak mungkin bila satpam komplek perum
Lintang menghapus air matanya dengan segera, ketika melihat kondisi Rama yang terbaring lemah dan dalam kondisi tertidur. Selang infus yang masih saja menancap, dan bocah itu sampai harus memakai masker oksigen untuk membantu pernapasannya. Bunyi monitor yang berada di ruangan tersebut semakin membuat Lintang cemas, dan menyesali keputusannya untuk menjauh dari Rama.Andai saja ….“Rama …” Lintang menarik napas panjang disertai cairan hendak mengalir keluar dari hidung. Ia menggenggam tangan Rama, dan satu tangan lagi mengusap puncak kepala bocah itu. “Tante di sini, cepat sembuh, ya.”Air mata Lintang kembali menetes, dan merutuk dirinya berulang kali. Walaupun nasib Rama jauh lebih beruntung dari dirinya ketika masih kecil, tetapi naluri Lintang sebagai seorang wanita tetap tidak bisa mengabaikan bocah itu sama sekali.Raga benar. Lintang memang baru sebentar tinggal bersama keluarga Sailendra. Namun, kedekatannya dengan Ramalah yang membuat hati mereka memiliki jalinan kasih yang e
“Kenapa nggak di makan?” Soto yang dimakan Raga sudah habis separuh, tetapi Lintang belum menyentuh miliknya sama sekali. Gadis itu terlihat gelisah, dan tidak bisa duduk dengan tenang. Saat wanita lebih mementingkan perasaan daripada logika, di situlah Raga memanfaatkan semua hal yang ia bisa. Menekan perasaan Lintang melalui kondisi Rama. “Sotonya pasti sudah dingin, mau aku pesankan yang baru?” lanjut Raga. Lintang menggeleng. Selera makannya benar-benar hilang, saat memikirkan dua hal yang sangat bertolak belakang. Di satu sisi, ada kondisi Rama yang dipertaruhkan, dan Lintang tidak bisa membaca masa depan. Ia tidak tahu, hal apa lagi yang bisa menimpa Rama bila Lintang tidak berada di sisi bocah itu. Lintang tidak ingin membawa rasa sesal seumur hidup, bila terjadi sesuatu yang lebih buruk daripada sekadar masuk ke ruang ICU. Namun, di sisi lain, Lintang sudah tidak bisa tinggal satu atap dengan Raga. Demi apa pun itu, Lintang tidak ingin membawa rasa takut dan kekhawatiran ak
Napas Lintang terbuang panjang, saat melihat jumlah nominal akhir yang sudah tercetak di buku tabungannya. Menahan senyum dan kegembiraannya, karena tidak ingin dikatakan norak oleh Maha. Tetap bersikap santai, seolah tidak terjadi hal apa pun di hadapan mata. “Ehm.” Lintang berdehem sambil menutup lagi buku tabungannya. Memasukkan ke dalam tas, lalu menarik napas dalam-dalam. “Sudah selesai, kan?” “Sudah.” Maha menutup tas kerjanya setelah memasukkan semua berkas-berkas pentingnya. “Ayo makan siang.” “Nggak mau,” tolak Lintang sambil menutup resleting tas ranselnya, dan tetap membiarkan di pangkuan. “Aku mau ke rumah sakit.” “Jenguk papamu? Sekalian aja.” “Bukan.” Lintang menggeleng. Berdiri, lalu memakai tas ranselnya. “Aku mau besuk Rama.” “Rama? Anak mantan suamimu yang KDRT itu?” Maha mendadak kesal ketika memikirkan Raga. Ternyata, Lintang tidak serta merta putus hubungan dengan pria itu, walaupun status mereka sudah bercerai. Karena siapa lagi, kalau bukan karena bocah yan
“Mama itu dilema.” Retno menepuk pelan paha Raga, yang terlihat baru saja menggumam dan membuka mata. “Di satu sisi kasihan sama Lintang, dan mama ngerasa seperti manfaatin dia. Tapi, gimana, ya, Ga … kalau Lintang terus-terusan dekat sama Rama, mereka berdua pasti nggak bisa pisah.” “Badanku sakit semua.” Raga mengerang sambil melengkungkan punggungnya. Baru saja bangun dan langsung dicecar kalimat seperti itu, tentunya Raga perlu waktu untuk mencernanya. Untuk itulah, Raga belum bisa menanggapi perkataan sang mama. “Lintang di dalam?” Retno mengangguk. “Kamu pernah bilang, Lintang dekat sama laki-laki, kan?” Raga balas mengangguk, tetapi tidak mengerti dengan maksud sang mama. “Kenapa?” “Mereka sudah pacaran?” tanya Retno lagi. “Nggak sepertinya.” Raga mengusap wajahnya sebentar, lalu menoleh pada sang mama. “Mama ini kenapa?” Retno menghela. Masih memikirkan beberapa masalah yang mungkin saja terjadi ke depannya. “Kalau … Lintang pacaran dengan laki-laki lain, kira-kira Rama g
“Terus, kapan Mama sama papa, nikah?” “A-apa?” Pertanyaan yang dilempar Rama, seketika membuat Lintang tergagap. Apa bocah itu sudah mengerti dengan arti kata menikah? Lintang yakin, pasti ada seorang provokator yang mempengaruhi Rama sehingga bisa bicara seperti itu. Kemudian, ia pun menoleh pada Raga. Dari ekspresi wajahnya, pria juga tampak terkejut dengan pertanyaan Rama. Lintang menyimpulkan, bukan Raga sang provokatornya. Lantas … siapa? “Kapan, Mama sama papa nikah?” ulang Rama memberi pertanyaan yang sama dengan tidak sabar. Lintang menelan ludah dan saling lempar pandang dengan Raga untuk beberapa saat. “Nikah?” Lintang terkekeh garing sambil memijat leher bagian belakangnya. “Kenapa Rama tanyain itu?” Rama mengendik dengan wajah polosnya. “Om Safir bilang ke oma, katanya mama sama papa mau nikah.” Raga mengusap wajahnya sebentar. Ia menatap Lintang yang sedari tadi tampak kebingungan untuk memberi jawaban pada Rama. Untuk satu hal itu, Raga tidak berminat memberi komen
Melelahkan. Mungkin, seperti itulah yang dirasakan para wanita karir di luar sana, ketika status mereka juga merangkap sebagai seorang ibu. Sepulang kerja, Lintang memiliki kegiatan baru, yaitu “mengasuh” Rama. Lintang bukannya tidak suka, tetapi imbas dari semua itu adalah Rama akan semakin lengket dan menempel terus padanya. Kalau sudah begitu, bagaimana Lintang bisa melepaskan diri dari keluarga Sailendra? Terlebih lagi, Rama masih saja bertanya tentang kapan pernikahan antara Lintang dan Raga dilaksanakan. Bahkan, Ario dan Retno tidak bisa menjawab pertanyaan cucu mereka. Sepasang suami istri itu hanya terdiam seribu bahasa, saat Rama kembali bertanya dengan hal yang sama di meja makan. Yang lebih menjengkelkan lagi, Raga lagi-lagi kembali lepas tangan dan menyerahkan semuanya pada Lintang. Sementara Safir, sesekali terlihat melukis senyum sinis dengan wajah meledeknya. “Papa masih sibuk,” jawab Lintang memberi alasan, atas pertanyaan Rama yang masih sama saja. Bocah itu lagi-l