“Ini ruanganmu, Mas.” Biya masih saja tidak ikhlas, melihat Raga berada di jajaran direksi Media Kita. Seharusnya, Anwar bisa lebih percaya dengan kemampuan Biya, daripada melimpahkan puncak kepemimpinan pada Raga. Lagi pula, Raga sama sekali tidak punya pengalaman dalam mengurus perusahaan yang mobilitasnya sangat tinggi seperti Media Kita. “Ruangan Maha ada pas di depan sana, dan ruang kerjaku ada di sebelah kananmu. Kita punya connecting door, jadi kamu nggak perlu keluar kalau mau temui aku.” “Oke, terima kasih.” Raga manggut-manggut sambil melihat dekorasi ruang kerja, yang dulunya digunakan oleh Anwar. Sesekali, Anwar juga masih menyempatkan diri untuk berkunjung dan menerima beberapa tamu di ruangannya setelah memutuskan pensiun. Itu yang Raga dengar dari Biya sepanjang mereka berjalan ke lantai atas. “Oke!” Biya juga mengangguk. “Aku juga sudah hubungi orang IT dan minta dibuatkan e-mail perusahaan buat Mas Raga.” “Terima kasih.” “Sama-sama.” Biya mengangguk formal tanpa me
“Tapi setelah ada di tanganku, Media Kita nggak akan balik ke keluarga kita!” Biya menggeram setelah mengulang ucapan Raga. Ia tengah mengadu pada sang mama via telepon, setelah akhirnya Indri mengangkat panggilan darinya. Entah ke mana perginya Indri, sampai-sampai tidak langsung mengangkat panggilan dari Biya sedari tadi. “Begitu kata mas Raga, Ma. Jadi, papa sama Mama itu sudah ditipu mentah-mentah sama dia. Jangan-jangan, ini usulannya Lintang, karena mau balas dendam sama kita.”Indri menghela kecil di ujung sana. Terkadang, sikap Biya memang kelewatan, tetapi hal itu dilakukan semata-mata untuk mencari perhatian Anwar. “Jaga bicaramu, Bi.”“Mama nggak percaya sama aku.” Biya berdiri dari kursi kerjanya, lalu menendang sisi kaki meja dengan ujung pantofelnya. “Aku ini baru bicara sama mas Raga di ruangan papa, dan dia sendiri yang ngomong begitu ke aku.”“Biar, nanti mama yang ngomong ke Raga.” Lagi-lagi, Indri menghela dan kali ini lebih panjang. “Dan tolong jangan bicarakan ini
“Sebenarnya aku, tuh, keberatan Mas Raga gantiin Bapak.” Karena Lintang sangat paham dengan sepak terjang Anwar dahulu kala, maka ia semakin tidak relah melepas Raga bekerja di Media Kita. Jam kerja yang tidak menentu, lama-lama bisa membuat kesehatan Raga menurun. Lintang khawatir, Raga nantinya jatuh sakit karena mengurus perusahaan yang kinerjanya 24 jam non stop. Raga memang tidak 24 jam penuh berada di kantor, tetapi, bila berkaca dengan Anwar dahulu kala, pria itu kerap pulang hingga larut malam. Hal itulah yang tidak diinginkan Lintang. Seperti saat ini, Raga baru sampai rumah ketika jam dinding sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Rama bahkan sudah tertidur lelap di tempat tidur Lintang. Sementara Mana, belum juga menutup mata karena masih asyik dengan dunianya sendiri. “Aku jadi mikir, kalau Biya memang nggak capable megang Media Kita, terus siapa yang mau nerusin?” Melihat kondisi pernikahan Biya dan Maha, sepertinya tidak ada kandidat lain yang bisa diajukan kecuali Rag
“Mas, dokternya sabtu ada, tapi prakteknya pagi, jam tujuh.” Intan memberitahu Safir, setelah pria itu keluar dari kamar mandi sambil mengusap rambut basahnya. Tidak hanya Safir yang berakhir dengan rambut yang basah pagi hari ini, tetapi Intan pun sama.Intan tidak pernah menduga, kehidupan pernikahan mereka setelah mendapat terjangan badai, ternyata bisa seindah saat ini. Walaupun sikap Safir masih terlihat menjaga sesuatu dan tidak semanis dulu, tetapi Intan percaya pria itu pelan-pelan mulai belajar mencintainya.Karena itulah, Intan selalu berusaha untuk menjadi istri yang baik di hadapan Safir, meskipun ia bukanlah wanita yang sempurna bagi sang suami. Intan hanya ingin menunjukkan, bahwa rasa cintanya pada Safir sangatlah tulus dan tidak memandang harta seperti yang pernah dituduhkan padanya dahulu kala.“Oke, nggak papa.” Melihat satu setel baju rumah sudah disiapkan Intan di tempat tidur, Safir pun melepas satu-satunya kain yang membalut tubuhnya tanpa canggung di depan Intan
Raga dan Maha berdecak bersamaan, ketika mereka dengan terpaksa berada di lift yang sama. Raga yang baru saja berbelok menuju koridor lift, akhirnya masuk serempak dengan Maha tanpa ada orang lain lagi bersama mereka. “Jadi, kamu mau menguasai Media Kita juga?” Maha memutar tubuhnya, lalu bersedekap menatap Raga. Ada dendam tersendiri di hati Maha, karena Lintang akhirnya mau diajak rujuk kembali dengan sang suami yang jelas-jelas sudah melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Lintang bisa memaafkan Raga dengan mudahnya, bahkan saat ini pernikahan mereka terlihat sangat bahagia dan sedang menyambut anak keduanya. Sementara Maha, bahkan tidak pernah dilirik sedikit saja oleh Lintang. Padahal, Maha tidak pernah melakukan kekerasan pada gadis itu selama ini. Maha memang pernah berada di belakang Biya dan mendukung gadis itu saat merundung Lintang, tetapi itu sudah sangat lama sekali. Bahkan, Maha tidak pernah menyentuh satu helai rambut Lintang sama sekali. Namun, mengapa gadis itu tida
“Maaf, Pak Anwar, tapi ada sedikit kabar yang nggak mengenakkan dan harus saya sampaikan.”Siang hari itu, Raga datang seorang diri ke rumah sakit tanpa ditemani Lintang. Karena Mana mendadak rewel dan tidak mau melepaskan diri dari Lintang, maka Raga dengan terpaksa menjenguk Anwar seorang diri, di hari libur seperti sekarang.Berhubung kondisi Anwar juga semakin membaik, maka Raga akhirnya berani untuk menyampaikan evaluasi sementara, yang sudah dapatkan selama dua minggu berada di Media Kita. Sebelumnya, Raga juga sudah meminta izin pada Indri terlebih dahulu, agar tidak ada salah paham dan prasangka di antara mereka.Anwar mengangguk pelan. Kali ini, ia sudah pasrah dengan semua keputusan yang diambil Raga untuk perusahaannya. Anwar sadar, kondisinya tidak lagi seperti dulu. Ia tidak bisa berpikir terlalu berat, mengingat kesehatannya yang bisa saja menurun tiba-tiba. “Silakan.”“Maaf, tapi kita memang belum bisa mempercayakan Media Kita dengan Biya.” Entah kemana perginya Biya. P
“Safira bagus, biar namanya sama dengan papanya.”Intan segera menggeleng, tidak setuju dengan usulan Safir karena ia punya pilihan sendiri. “Aku mau namain Permata.”“Heh! Denger—““Yang lembuuut, Mas.” Intan kembali cemberut, karena Safir terkadang masih saja bicara dengan nada tinggi. Padahal, sebelum ia dinyatakan hamil dan masih “berpacaran” dengan Safir, pria itu selalu bersikap manis padanya. Tidak seperti sekarang, yang terkadang suka meninggikan suaranya tanpa sadar. Benar-benar seperti dua kepribadian yang berbeda, dan Intan masih saja sering dibuat bingung akan hal tersebut. “Jangan kasar begitu ngomongnyaaa. Nggak enak di denger.”Safir menarik napas dalam-dalam. Mencoba mengontrol nada bicaranya sedikit lebih lembut. Safir juga tidak tahu, mengapa ia tidak bisa memperlakukan Intan dengan lembut dan manis seperti dahulu kala.“Tan, denger—““Panggilnya pake sayang, Mas,” putus Intan sembari beranjak dari tempat tidur, lalu membuka pintu yang menuju kolam renang. Setidaknya
“Maaf, aku tadi pagi nggak ikut jemput ke rumah sakit.” Lintang meletakkan Mana di tempat tidur, tepat di samping Anwar yang sudah pulang dari rumah sakit. Kondisi Anwar sudah kembali membaik, sehingga bisa pulang tetapi harus tetap melakukan kontrol rutin. Lintang datang tanpa Raga, karena sang suami benar-benar sedang sibuk melakukan perombakan di perusahaan. “Aku malas ketemu Biya.” Untuk hal yang satu ini, Lintang tidak akan menutupinya di depan Anwar. Karena Indri juga tengah pergi ke dapur, maka Lintang bisa dengan bebas mengatakan hal tersebut di depan ayahnya sendiri. Anwar tersenyum, lalu membawa Mana ke pangkuannya. Namun, baru satu detik bayi tersebut berada di pahanya, Mana langsung menggeliat dan ingin kembali berada dengan bebas di tempat tidur. “Dia nggak mau dipangku kalau cuma diam, Pak,” ujar Lintang kemudian duduk di tepi tempat tidur untuk menjaga Mana. “Kecuali kalau digendong atau ditaroh stroller sambil jalan. Kalau di kamar, dia lebih suka main sendiri begini