Share

Part 10

Helena mulai merasa tubuhnya remuk. Selama sepuluh hari ini ia benar-benar harus pintar membagi waktu. Antara bekerja, menjaga Mayra di rumah sakit, dan melakukan kewajibannya di apartemen Felix, termasuk melayani laki-laki tersebut di ranjang. Berhubung kondisi Mayra belum sepenuhnya stabil, makanya Helena memutuskan agar sang adik tetap dirawat di rumah sakit supaya selalu mendapat pemantauan dari tim medis. Demi staminanya agar tetap terjaga, Helena mengonsumsi suplemen setelah Wira menyarankan kepadanya untuk memeriksakan diri.

Sepulangnya dari kantor Helena tidak ke apartemen Felix seperti hari-hari biasanya untuk menyiapkan makan malam atau menghangatkan ranjang laki-laki tersebut. Hari ini Felix diundang makan malam oleh Nyonya Narathama, yang tidak lain adalah ibu kandung Hans di kediaman pribadinya. Oleh karena itu, tanpa membuang waktu, Helena langsung menuju rumah sakit untuk menggantikan Bi Mira menjaga Mayra. Sampai saat ini Helena sengaja merahasiakan kondisi sang adik dari Felix, sebab menurutnya laki-laki tersebut tidak berhak mengetahui kehidupan keluarganya lebih dalam. Cukup masalah sang ibu tiri yang secara sengaja menjualnya saja diketahui oleh Felix.

“Len,” Diandra memanggil Helena yang tengah duduk sambil memejamkan mata di bangku tunggu di depan ruang perawatan Mayra.

Helena menoleh pelan ketika mendengar suara yang memanggil namanya. Ia tersenyum saat Diandra telah berdiri di sampingnya sambil menenteng sebuah paper bag. “Bi Mira sudah sampai rumah, Dee?” tanyanya setelah Diandra duduk di sampingnya.

Diandra mengangguk. “Aku sudah meminta beliau agar langsung beristirahat usai makan malam. Bi Mira pasti lelah setelah hampir seharian menjaga dan menemani Mayra di rumah sakit,” jawabnya.

Setelah Wira dan Sonya memberinya izin, akhirnya sejak seminggu lalu Diandra pindah ke rumah Helena. Ia sangat beruntung karena Bi Mira juga antusias menyambut kedatangannya.

“Kamu tadi masak apa?” tanya Helena ingin tahu.

Bi Mira mengatakan jika Diandra sangat ringan tangan. Pekerjaan rumah seperti menyapu, mengepel, dan memasak lebih sering dikerjakan oleh Diandra jika perempuan tersebut sedang tidak kuliah. Apalagi kini Bi Mira lebih sering menghabiskan waktunya di rumah sakit untuk menjaga Mayra, keberadaan Diandra jelas sangat membantu sekaligus meringankan beban wanita paruh baya tersebut.

“Aku hanya membuat semur ayam dicampur kentang untuk makan malam. Aku juga sudah membawakannya untukmu.” Diandra memperlihatkan paper bag yang sejak tadi masih setia dipegangnya. “Tapi sebelumnya aku minta maaf, jika rasa masakanku tidak seenak buatan Bi Mira atau kamu,” imbuhnya merendah.

Helena tertawa renyah mendengar perkataan merendah Diandra. “Rasa masakanku juga tidak selalu enak, Dee. Kadang hambar atau keasinan,” timpalnya. “Nanti kita makan malam bersama ya,” ajaknya.

Diandra menyetujui ajakan Helena, sebab ia juga belum makan malam. “Oh ya, Mayra tidur?” tanyanya. “Benarkah Mayra besok mau menjalani cuci darah, Len? Aku tahu dari Kak Wira tadi,” tanyanya kembali.

“Benar, Dee.” Meski menjawab pertanyaan Diandra dengan nada tenang, tapi ekspresi sedih Helena tidak bisa disembunyikan dari wajahnya. “Kasihan Mayra, ia sudah sangat ingin keluar dari rumah sakit dan kembali bersekolah, tapi sayang keadaannya sedang tidak memungkinkan,” sambungnya yang diikuti helaan napas.

“Len, apakah Mayra akan selamanya menjalani cuci darah?” tanya Diandra penuh rasa iba.

Helena mengangguk lemah. “Selama belum mendapatkan donor ginjal, Mayra seumur hidup akan menjalani cuci darah, Dee,” jelasnya nelangsa. “Meski tidak ada hubungan darah yang mengikat kami, tapi aku sangat menyayanginya dan sudah menganggapnya seperti adik kandungku sendiri. Aku berjanji pada diriku sendiri akan mencarikan donor ginjal untuknya, agar ia bisa sembuh dan beraktivitas seperti sedia kala,” imbuhnya.

Perkataan Helena membuat Diandra terkejut sekaligus mengerutkan kening. ”Maksudmu?” tanyanya tidak paham.

“Mayra adalah anak dari ibu tiriku bersama mantan suaminya. Setelah ayahku meninggal, ia pergi entah ke mana dan meninggalkan Mayra begitu saja,” Helena menceritakan sedikit mengenai kebenaran hubungannya dengan Mayra kepada Diandra. “Bahkan, tanpa sepengetahuanku, wanita yang tidak pantas disebut ibu itu tega menjualku untuk melunasi utang-utangnya sekaligus memenuhi hasrat berjudinya,” batinnya menambahkan.

Selain terkejut, Diandra terharu mendengar secuil kisah pahit Helena. Ia merangkul pundak Helena sebagai bentuk rasa simpatinya. “Aku yakin Mayra pasti mendapatkan donor ginjal dan bisa sembuh, Len,” ujarnya menyemangati.

“Terima kasih, Dee.” Helena menyusut sudut matanya yang mulai basah. “Ngomong-ngomong, apakah kamu sudah memasukkan lamaran ke butik yang aku beri tahukan tempo hari?” tanyanya mengalihkan topik pembicaraan.

Diandra mengangguk penuh antusias. “Kemarin lusa aku mendatangi butik tersebut dan tadi pagi Bu Santhi menghubungiku. Besok aku diminta datang kembali. Beliau ingin membicarakan mengenai desain-desain gaun malam yang aku buat dan serahkan padanya,” tuturnya dengan mata berbinar.

Helena ikut senang mendengar penuturan Diandra. Ia pun mengacungkan dua jempol tangannya. “Sepertinya pihak butik mulai tertarik dengan karya-karyamu, Dee,” pujinya.

“Semoga saja, Len. Aku masih perlu banyak belajar dari Bu Santhi yang sudah berpengalaman di bidang fashion. Semoga nanti beliau bisa membimbingku dalam menghasilkan sebuah karya. Dengan kata lain, di butik tersebut aku bisa bekerja sambil belajar,” ungkap Diandra penuh harap.

“Pasti, Dee. Dari yang aku dengar, katanya Bu Santhi itu orangnya ramah dan tidak pelit ilmu,” ucap Helena. “Ingat traktirannya ya kalau kamu sudah pasti diterima di butik tersebut,” sambungnya bercanda.

“Tenang saja,” Diandra membalasnya sambil terkekeh. “Len, ayo ke dalam. Aku mau melihat Mayra, siapa tahu ia sudah bangun,” ajaknya.

Helena mengangguk dan mengikuti Diandra berdiri. “Oh ya, Dee, saat kamu pulang nanti pakai mobilku saja,” suruhnya sebelum membuka pintu ruang rawat Mayra.

Diandra menggeleng sambil tersenyum. “Aku nanti pulang bareng Kak Wira,” tolaknya halus. “Jika jam bertugasnya sudah selesai, Kak Wira bilang mau menyusulku ke sini sebelum kita pulang,” beri tahunya.

“Aku lupa jika hari ini Wira ada shift sore,” ucap Helena sambil tertawa pelan. “May, Kak Dee datang menjengukmu,” beri tahunya kepada Mayra yang ternyata sudah bangun setelah ia dan Diandra memasuki ruangan.

“Hai, May,” Diandra menyapa Mayra dengan riang dan melambaikan tangannya.

Mayra yang tengah duduk dan menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang tersenyum mendengar sapaan Diandra. Ia membalas sapaan Diandra dengan ikut melambaikan tangannya. Ia sangat senang karena Diandra kembali menjenguknya.

“Sama siapa, Kak?” Mayra bertanya setelah Diandra berdiri di sisi ranjangnya.

“Sendiri, May,” Diandra menjawab setelah menyempatkan diri mengecup kening dan pipi Mayra.

Melihat interaksi Diandra kepada Mayra, membuat Helena senang sekaligus terharu. Selain Wira dan Sonya, kini Helena mendapat seorang sahabat baru lagi yaitu Diandra. Ia sangat bersyukur karena dipertemukan dengan orang-orang yang tanpa pamrih bersahabat sekaligus bersedia menolongnya.

Walau Helena belum mengetahui jelas mengenai alasan Diandra pergi dari rumah orang tuanya dan lebih memilih menyewa tempat tinggal sendiri, tapi ia tidak berniat menguliknya. Ia yakin Diandra pasti mempunyai alasan khusus, sehingga ia memutuskan pergi dari rumah orang tuanya. Sama seperti dirinya yang mempunyai alasan khusus bersedia menjadi wanita penghangat ranjang Felix hingga detik ini.

***

Jika saja bukan Nyonya Narathama langsung yang mengundangnya untuk makan malam bersama, Felix pasti sudah melayangkan penolakan. Ia akan lebih memilih merilekskan otot-otot sarafnya yang tegang di apartemen setelah lelah beraktivitas di kantor, apalagi Helena selalu siap sedia menemaninya. Felix tidak mungkin menolak undangan makan malam dari wanita yang sudah dianggapnya seperti ibunya sendiri.

Jika bukan karena campur tangan dari wanita tersebut, perusahaan yang Felix dirikan tidak akan berkembang pesat seperti sekarang. Felix tidak memungkiri jika persahabatannya dengan Hans turut andil terhadap kemajuan perusahaannya dalam mendapatkan klien-klien baru, mengingat banyaknya koneksi yang dimiliki oleh sahabatnya tersebut.

Ternyata bukan hanya Felix saja yang diundang untuk makan malam bersama keluarga Narathama, melainkan kekasih dari sahabatnya sendiri juga ikut hadir. Makan malam di satu meja beramai-ramai seperti saat ini, langsung mengingatkan Felix akan keluarganya yang berada di negara seberang. Sudah lumayan lama ia tidak pulang ke tanah kelahirannya untuk bertemu sekaligus bercengkerama dengan keluarganya. Mereka saling menanyakan kabar dan berinteraksi hanya melalui telepon atau video call, terutama dengan orang tuanya. Setelah tumpukan pekerjaannya menipis, ia berjanji akan mengunjungi keluarganya tersebut.

Felix tersadar dari pikirannya saat mendengar Allona memintanya untuk mencicipi menu udang bakar yang terhidang di atas meja. “Terima kasih, Tante,” ucapnya setelah mengambil beberapa ekor udang yang menggugah selera.

“Fel, kenapa kamu tidak mengajak Lenna ke sini untuk makan malam bersama kita? Lagi pula acara makan malam ini bukan bersifat formal. Hanya makan malam biasa,” Lavenia bertanya setelah menelan makanan di mulutnya.

“Lenna?” Allona menatap Felix lekat. Ia tertarik dengan pertanyaan yang diajukan oleh putrinya. Sebab, sudah lama ia tidak mendengar Felix mempunyai teman dekat wanita lagi.

“Helena, Ma. Sekretarisnya Felix,” Lavenia mewakili Felix menjawab pertanyaan yang diajukan ibunya.

Allonna manggut-manggut setelah mengingat sosok wanita yang dimaksud putrinya. “Jadi kalian berpacaran?” tuntutnya pada Felix.

“Tidak, Tante,” Felix menyanggahnya dengan cepat. “Helena hanya sekretarisku saja, Tante,” imbuhnya menegaskan. Ia memberikan tatapan penuh peringatan kepada Lavenia, tapi adik sahabatnya tersebut malah membalasnya dengan senyuman.

“Selain cantik, Tante lihat Helena gadis yang baik dan ramah. Tante ikut senang jika kalian nantinya menjadi pasangan kekasih.” Allona tersenyum dan memberi dukungannya.

“Sebaiknya Mama tidak berspekulasi terlalu tinggi terhadap seseorang, apalagi hanya menilainya dari tampilan luarnya semata,” Hans menyeletuk sambil menatap sang ibu dan adiknya bergantian. “Aku yakin Felix akan menjadikan perempuan baik-baik sebagai kekasihnya.” Hans mengalihkan tatapannya ke arah Felix dan tersenyum penuh arti.

“Berarti menurutmu, Helena bukan gadis yang tepat untuk menjadi kekasih Felix?” Deanita yang sedari tadi menjadi pendengar, kini ikut menimpali. Ia merasa ambigu dengan ucapan Hans mengenai Helena. Ia selalu merasa janggal atas sikap atau reaksi kekasihnya tersebut setiap merespons sesuatu yang ada hubungannya dengan Helena.

“Tentu saja tidak. Lagi pula Felix juga tidak menghendaki wanita seperti Helena menjadi kekasihnya. Bukankah perkataanku benar, Fel?” Hans menatap Felix tanpa memedulikan reaksi tiga orang wanita di sekitarnya. “Kamu tidak pantas mencemburui wanita seperti Helena, Dea. Level sekaligus derajat kalian sangat jauh berbeda,” imbuhnya kepada Deanita. Hans seolah bisa membaca apa yang tengah terlintas di benak kekasihnya tersebut.

Andai tidak sedang berada di rumah orang, sudah pasti Felix akan memberikan pelajaran pada mulut kurang ajar Hans yang tidak tahu tempat. Walau Felix menyetujui perkataan Hans, tapi tetap saja situasi dan kondisinya saat ini sangat tidak tepat untuk membahas mengenai hubungannya dengan Helena.

“Interaksiku dan Lenna hanya sebatas hubungan antara atasan dengan bawahan saja, Ve. Sejauh ini hubungan kami juga masih profersional,” Felix berdusta dan menebar senyum, seolah memberikan klarifikasi. Dari sudut matanya ia dapat melihat Hans menyeringai setelah mendengar klarifikasinya yang penuh dusta.

“Tidak baik menghakimi seseorang seperti itu, Hans,” Allona menegur sekaligus mengingatkan putra sulungnya. “Setiap orang mempunyai cara tersendiri dalam memberikan penilaian. Begitu juga dengan kriteria dalam mencari kekasih atau pasangan. Apa yang menurutmu tidak tepat, belum tentu berlaku juga bagi Felix,” imbuhnya menasihati.

Hans hanya mengendikkan bahu tak acuh menanggapi nasihat panjang lebar yang ibunya lontarkan. Ia lebih memilih melanjutkan menyuap makanan di piringnya daripada membuka suara. “Jika Mama mengetahui pekerjaan Helena yang sebenarnya, apakah Mama akan tetap memberikan penilaian seperti itu?” batinnya bertanya.

Melihat sikap apatis putranya, Allona hanya menggelengkan kepala. “Kamu sudah Tante anggap sebagai anak sendiri, Fel. Jadi, apa pun yang terbaik untukmu, Tante tetap akan mendukungnya,” ucapnya kepada Felix sebagai bentuk dukungannya.

“Terima kasih, Tante,” Felix menanggapinya dan mengangguk.

“Ayo lanjutkan lagi makan kalian,” pinta Allona setelah acara makan mereka terjeda oleh perkataan sarkasme Hans.

Sambil mengindahkan ucapan sang ibu, diam-diam Lavenia mengamati secara bergantian wajah tiga orang di hadapannya. “Apakah diam-diam Hans juga mempunyai perasaan terhadap Lenna, padahal jelas-jelas ia sudah menjadi kekasih Dea?” batinnya menerka. “Kenapa aku jadi menyangsikan semua perkataan yang dilontarkan oleh Felix?” sambungnya.

***

Diandra meneguk sirup segar yang dibuatkan Sonya untuknya. Tadi setelah mobil yang dikemudikan Wira meninggalkan rumah sakit, Diandra meminta kepada kekasihnya tersebut untuk tidak langsung mengantarnya ke rumah Helena. Ia ingin membicarakan sekaligus meminta pendapat kepada Sonya dan Wira mengenai keinginannya yang tadi langsung terlintas ketika melihat wajah damai Mayra.

“Dee, kemarin aku bertemu Dea dan kekasihnya di bengkel mobil,” beri tahu Sonya setelah duduk di depan sahabatnya. “Dea menanyakan keadaanmu dan aku memberitahunya bahwa kamu baik-baik saja,” sambungnya hati-hati.

Diandra mengangguk. “Sebenarnya aku dan Dea tidak pernah ada masalah. Hanya karena sikap orang tua kami yang pilih kasih membuatku malas berinteraksi dengannya. Apalagi sekarang kekasihnya itu selalu saja ikut campur, sehingga membuatku semakin malas,” ucapnya menahan kesal.

“Mungkin kekasihnya hanya bermaksud melindungi Dea dari seranganmu. Sepertinya kekasih Dea mengira kamu sangat membahayakan.” Sonya tertawa renyah ketika melihat Diandra mendengkus dan melotot ke arahnya.

“Kalian sedang membahas apa? Sepertinya seru sekali,” interupsi Wira yang sudah terlihat segar dan mengenakan pakaian santai.

“Bukan sesuatu yang penting, Kak,” jawab Diandra sambil memberikan isyarat kepada Sonya agar tidak melanjutkannya. “Kak, ada hal yang ingin aku bicarakan dan tanyakan padamu,” Diandra mengalihkan topik setelah Wira duduk di sampingnya.

“Silahkan, Nona.” Wira mengacak gemas rambut Diandra. Ia menatap Sonya untuk mencari tahu, tapi sepupunya tersebut hanya mengendikkan bahu.

“Aku ingin mendonorkan satu ginjalku untuk Mayra. Tidak ada yang memaksaku melakukan ini,” beri tahu Diandra tanpa basa-basi.

Wira dan Sonya terkejut mendengar perkataan Diandra yang di luar dugaannya. Keduanya kompak menatap Diandra intens.

“Hey, kalian jangan menatapku horor seperti itu,” tegur Diandra dan terkekeh.

“Dee, kamu sedang tidak mabuk?” Sonya memastikan tanpa mengubah tatapannya, sebab ia sangat mengetahui Diandra akan berbicara ngelantur hanya saat mabuk.

“Aku masih belum ingin dipecat jadi pacarnya,” Diandra menjawab sambil melirik Wira di sebelahnya yang masih setia menatapnya.

“Aku dan Kak Wira pernah ingin mendonorkan ginjal kepada Mayra. Setelah melakukan serangkaian pemeriksaan dan mengetahui hasilnya, ternyata ginjal kami tidak cocok,” ungkap Sonya sedih. “Jika kamu benar-benar ingin mendonorkan salah satu ginjalmu, aku harap semoga kali ini Mayra beruntung,” tambahnya.

Diandra menanggapi perkataan Sonya dengan anggukan. Ia kembali menolehkan kepalanya ke samping dan menemukan tatapan Wira belum berubah. “Hentikan tatapanmu itu.” Merasa jengah, akhirnya Diandra menutup mata Wira menggunakan kedua tangannya.

Wira menurunkan tangan Diandra yang digunakan untuk menghalangi tatapannya. “Kamu sudah yakin dengan keputusanmu?” Wira bertanya serius sambil menyelipkan helaian rambut Diandra ke belakang telinganya. Ia tidak malu menunjukkan perhatiannya kepada Diandra di hadapan Sonya.

Diandra mengangguk yakin. Ia sudah memikirkan matang-matang keputusannya. “Sebelum mengetahui ginjalku cocok untuk Mayra, aku minta kalian jangan memberi tahu Lenna dulu,” pintanya.

Setelah melihat ketulusan dan keyakinan yang terpancar dari sorot mata kekasihnya, Wira pun tersenyum menyetujui. Ia menarik tengkuk Diandra, kemudian mengecup keningnya dengan lembut. “Katakan padaku jika kamu sudah siap menjalani pemeriksaan untuk mengetahui kondisi kesehatanmu dan kecocokan ginjalmu dengan Mayra,” ujarnya.

“Besok pun aku siap untuk menjalani pemeriksaan,” ucap Diandra yakin. Ia menikmati perlakuan lembut Wira.

“Semoga niat baikmu ini bersambut ya, Sayang,” ungkap Wira dan kembali mengecup kening Diandra. Ia langsung membawa Diandra ke dalam pelukannya.

Sonya yang sedari tadi menyaksikan kemesraan sepasang sejoli di hadapannya pun mengembuskan napasnya dengan kasar. “Hey, aku masih ada di sini. Tolong jangan jadikan aku obat nyamuk,” protesnya dengan ekspresi wajah cemberut.

Diandra tertawa melihat ekspresi wajah Sonya, sedangkan Wira hanya mengulas senyum. Dengan sengaja dan berani, ia malah mengecup singkat bibir Wira sehingga membuat mata Sonya melotot.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status