Share

Part 9

Walau rasa khawatir dan panik memenuhi benaknya, tapi Helena berusaha keras agar tetap terlihat tenang, mengingat saat ini dirinya masih berada di kantor. Ia tidak ingin gelagatnya dicurigai oleh Felix, sehingga membuat laki-laki tersebut bertanya-tanya. Helena meninggalkan meja kerjanya dan bergegas menuju toilet untuk menenangkan diri agar bisa menemukan alasan yang masuk akal, sebab ia ingin pulang lebih awal.

Saat melihat pantulan wajah pucatnya di cermin besar yang ada di dalam toilet, tiba-tiba sebuah ide terbesit di benaknya. Helena terpaksa akan mengarang sebuah kebohongan tentang dirinya agar Felix percaya dan langsung memberinya izin pulang lebih cepat. Setelah meyakinkan diri, ia mengembuskan napasnya sedikit keras sebelum menemui Felix di ruang kerjanya.

Helena memasuki ruangan Felix setelah ketukan pintunya direspons. Ia melihat Felix sedang serius menatap layar komputernya. “Fel,” panggilnya dengan nada pelan yang disengaja.

Mendengar suara Helena yang tidak seperti biasanya langsung membuat Felix memutus tatapannya pada layar komputernya. “Kamu kenapa, Len?” tanyanya khawatir. Ia langsung menghampiri Helena yang berdiri di hadapannya sambil memegang perut.

“Fel, bolehkah aku pulang lebih dulu? Perutku sakit,” Helena bersandiwara. “Maaf, Fel, aku terpaksa berdusta,” sambungnya dalam hati.

Felix mendesah kesal. “Seharusnya tadi kamu mengindahkan teguranku, bukannya malah menganggap perkataanku angin lalu,” gerutunya sambil tangannya ikut memegang perut Helena. Tadi ia sudah menegur Helena agar tidak kebablasan mencampur sambal dengan bakso yang dipesannya.

“Maaf,” Helena mencicit seraya menundukkan kepala.

“Mau aku antar ke dokter?” Walau masih kesal, tapi Felix tidak memungkiri kekhawatirannya terhadap kondisi Helena. Ia perkirakan perut Helena saat ini pasti terasa sangat perih sekaligus panas.

Helena menggeleng dengan cepat. “Tidak perlu. Setelah minum obat, aku hanya perlu beristirahat,” tolaknya dengan pelan. “Lagi pula kamu masih ada hal penting yang harus dibahas dengan Wisnu dan timnya,” imbuhnya.

“Shit!” Felix mengumpat karena melupakan agenda pentingnya dengan Wisnu. “Kalau begitu aku akan mengantarmu ke apartemenku. Kamu istirahat saja dulu di sana,” suruhnya.

Helena kembali menggelengkan kepalanya. “Hari ini kita ke kantor mengendarai mobil masing-masing, Fel,” Helena mengingatkan dan pura-pura meringis.

Tadi pagi Helena ke apartemen Felix hanya untuk menyiapkan pakaian kerja laki-laki tersebut. Felix ada janji sarapan bersama dengan Hans, sehingga Helena ke kantor mengendarai mobilnya sendiri. “Apakah kamu memberiku izin pulang lebih dulu?” tanyanya memastikan.

“Tentu saja,” Felix menjawabnya cepat. “Sampai di apartemen kamu harus langsung minum obat dan istirahat,” perintahnya tegas dan langsung diangguki Helena.

Sebelum Helena memutar tubuh untuk meninggalkan ruangannya, Felix mendaratkan kecupan ringan pada kening sekretarisnya tersebut.

***

Helena berjalan tergesa menuju ruangan yang diberitahukan oleh Wira setelah ia tiba di rumah sakit. Tadi Wira menghubunginya sekaligus memberitahunya jika Mayra dilarikan ke rumah sakit karena adiknya tersebut tiba-tiba mengeluh nyeri pada dadanya.

Helena mengatur napasnya yang terengah karena berjalan tergesa saat melihat Wira sedang berbicara di telepon. Helena mengangguk saat melihat isyarat yang diberikan Wira ketika tatapan mata mereka beradu. Ia langsung masuk ke ruang rawat Mayra yang pintunya tidak tertutup. Dilihatnya Bi Mira menduduki kursi yang ada di samping brankar Mayra, sedangkan adiknya sendiri tengah berbaring sambil memejamkan mata. Ditepuknya dengan lembut pundak wanita paruh baya yang belum menyadari kedatangannya.

“Wira sudah pulang, Len?” Bi Mira menanyakan sosok Wira setelah menoleh saat merasakan sentuhan di pundaknya.

Helena menggeleng. “Wira masih menelepon di luar,” beri tahunya pelan, agar tidur sang adik tidak terganggu oleh suaranya. “Mayra kenapa, Bi?” tanyanya sambil menatap sang adik yang masih tertidur.

“Ketika pulang sekolah, tiba-tiba Mayra mengeluh dadanya sakit. Karena takut terjadi apa-apa pada Mayra, Bibi pun akhirnya menghubungi Wira,” Bi Mira memberi penjelasan singkat. “Untung saja Wira ada di rumahnya, jadi ia bisa langsung datang dan membawa Mayra ke sini,” sambungnya.

Helena mengangguk. “Aku akan mengucapkan terima kasih padanya, Bi,” ucapnya. “Mumpung aku sudah di sini, sebaiknya Bibi istirahat saja dulu,” sarannya.

Helena hanya tidak ingin jika nanti Bi Mira kurang istirahat dan membuatnya ikut menjadi pasien di rumah sakit. Ia tersenyum saat Bi Mira menyetujui saran darinya. Ia mengambil alih tempat duduk Bi Mira tadi, setelah wanita paruh baya tersebut membaringkan tubuhnya di sofa bed yang tersedia di ruang rawat Mayra.

“Len,” Wira memanggil Helena yang tengah melamun menatap Mayra.

“Apa yang dokter katakan mengenai kondisi adikku?” Helena bertanya tanpa basa-basi setelah menyadari keberadaan Wira di dalam ruangan sang adik.

Wira menepuk pundak Helena, kemudian meremasnya dengan lembut. “Fungsi ginjalnya semakin menurun, dan untuk sementara Mayra harus dirawat inap,” jelasnya sesuai yang diberitahukan dokter.

Helena menangkup wajahnya mendengar pemberitahuan Wira, kemudian mengangguk lemah. “Terima kasih ya, dan maaf merepotkanmu lagi,” pintanya tulus. “Kamu tidak bertugas?” tanyanya.

“Aku jaga malam. Oh ya, nanti Sonya dan Dee mau datang menjenguk Mayra sekalian membawakan seragam kerjaku,” beri tahu Wira. “Katanya, mumpung Dee tidak kerja,” sambungnya.

“Dee masih tinggal di rumahmu?” tanya Helena ingin tahu.

Saat pindah, Wira datang bersama Diandra dan Sonya. Sejak saat itu Helena mengetahui jika ternyata Diandra menumpang tinggal di rumah Wira dan Sonya.

Wira mengangguk. “Sonya jadi ada teman di rumah saat aku tinggal bertugas malam,” ucapnya. “Selain itu, aku juga bisa mengawasi mereka,” imbuhnya.

Helena terkekeh mendengar ucapan Wira sekaligus menyetujuinya. Ia tertawa pelan saat mengingat cerita Sonya yang diceramahi habis-habisan oleh Wira karena membawa Diandra pulang dalam keadaan mabuk. “Risiko hidup dikelilingi gadis-gadis cantik,” celetuknya dan langsung ditanggapi dengkusan oleh Wira.

***

Mayra senang ketika melihat Sonya dan Diandra datang mengunjunginya, apalagi ia diberikan boneka kelinci yang bisa dipeluknya saat tidur. Helena sangat berterima kasih kepada keduanya karena menyempatkan diri menjenguk adiknya. Setelah beberapa saat berbincang-bincang dengan Mayra, Diandra izin ke kantin karena perutnya lapar, mengingat ia belum makan malam. Helena pun ikut ke kantin karena kebetulan juga ia belum makan malam, jadi Sonya yang diminta untuk menemani Mayra di ruang perawatan.

“Bagaimana pekerjaan dan kuliahmu, Dee?” Helena berbasa-basi sambil menikmati soto ayam pesanannya.

“Sejauh ini semuanya masih berjalan lancar, meski aku merasa sering kekurangan waktu untuk tidur,” jawab Diandra jujur dan terkekeh.

“Aku bisa membayangkannya,” Helena menimpali. “Ngomong-ngomong, kamu masih tinggal di rumah Wira?” imbuhnya.

Walau tadi sore sudah menanyakannya kepada Wira, kini Helena ingin mendengar langsung jawabannya dari mulut Diandra.

Diandra mengangguk. “Sebenarnya tidak enak juga berlama-lama tinggal di sana, tapi mau bagaimana lagi. Sampai detik ini aku belum menemukan tempat tinggal yang harga sewanya terjangkau,” ungkapnya.

Helena berhenti menyuap makanannya. Ia terlihat berpikir sambil menatap lekat Diandra di depannya. “Kalau kamu mau, tinggal saja di rumahku. Mumpung di rumahku masih ada satu kamar kosong,” Helena menawari Diandra tanpa ragu. Ia tersenyum ketika melihat kerutan menghiasi kening Diandra karena kebingungan. “Yang tinggal di rumahku hanya Bi Mira dan Mayra, sedangkan aku masih menempati apartemen karena jaraknya lebih dekat dengan kantor,” sambungnya.

“Sewanya?” tanya Diandra tanpa disadarinya.

Helena terkekeh mendengarnya. “Kamu tidak usah memikirkan harga sewa. Walau kamarnya tidak terlalu luas, tapi sayang saja jika dibiarkan kosong,” ungkapnya. “Kamu bisa melihat kondisi kamarnya terlebih dulu, Dee,” sarannya, meski Diandra sudah pernah datang ke rumahnya.

Diandra manggut-manggut mencerna saran dari Helena. “Kalau nanti aku ingin ke rumahmu untuk melihat kamarnya, siapa yang akan menemaniku? Bi Mira di sini menjaga Mayra, sedangkan kamu bekerja,” imbuhnya.

“Nanti aku minta Bi Mira untuk menemanimu. Kabari saja aku kapan kamu ingin melihatnya,” jawab Helena sambil tersenyum.

“Kamu percaya padaku, Len? Padahal kita baru kenal.” Diandra menatap lekat Helena di hadapannya. “Kamu tidak takut jika ternyata aku ini orang jahat?” sambungnya.

Mendengar pertanyaan beruntun Diandra membuat Helena tidak dapat menahan tawanya. “Jika kamu orang jahat, Wira tidak mungkin membiarkanmu berteman dengan sepupu kesayangannya, apalagi sampai mengizinkanmu tinggal di rumahnya. Bahkan, Wira tidak mungkin menjadikanmu sebagai pacarnya,” jawabnya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

Diandra tersipu malu mendengar kalimat terakhir Helena. “Kalau begitu terima kasih sebelumnya ya, Len. Kita baru kenal, tapi kamu sudah sangat baik padaku,” ucapnya tulus dan terharu.

“Sama-sama, Dee. Aku senang bisa membantumu, meski bantuanku itu sangat kecil. Jika kamu tinggal di rumahku, Mayra dan Bi Mira jadi punya teman selama aku tidak pulang,” balas Helena.

Diandra menggangguk. Ia sangat bersyukur karena bertemu dengan orang-orang baik dan bersedia menolongnya tanpa pamrih. Ia tidak menyesali keputusannya meninggalkan rumah yang sejak kecil ditempatinya. Rumah tersebut memang menjadi tempat berteduhnya, tapi ia selalu merasa tinggal sendirian di sana.

“Oh ya, Dee, coba kamu masukkan lamaran kerja di butik ini. Kata temanku, butik ini baru buka beberapa bulan dan kini sedang mencari seorang freelance fashion designer,” beri tahu Helena saat memberikan secarik kertas yang berisi alamat butik tersebut kepada Diandra. Sebenarnya butik tersebut merupakan salah satu klien yang menggunakan jasa perusahaan Felix.

Dengan antusias Diandra menerima secarik kertas yang diberikan oleh Helena. Ia akan mencoba peruntungannya di butik tersebut, apalagi pekerjaan itu sesuai dengan jurusan yang kini ditekuninya. “Aku akan memasukkan lamaran besok dan membawa beberapa desain pakaian yang telah kubuat. Semoga saja pihak butik tertarik pada salah satu karyaku,” ucapnya penuh semangat. “Sekali lagi terima kasih, Len,” sambungnya kembali.

“Jangan lupa traktir aku jika kamu diterima di butik tersebut,” ucap Helena dengan nada bercanda. Ia ikut senang melihat keantusiasan Diandra dan berharap teman barunya itu diterima.

“Pasti,” balas Diandra senang. Ia kembali memandangi secarik kertas di tangannya, senyumnya pun masih mengembang lebar.

***

Helena menghentikan langkah kakinya saat mendengar ponselnya berdering. Ia menghela napas ketika melihat nama orang yang menghubunginya. Setelah meminta Diandra kembali lebih dulu ke ruang rawat Mayra, Helena berjalan menuju taman sambil mengangkat panggilan dari Felix.

“Halo, Fel,” sapa Helena seperti biasanya.

“Bagaimana keadaan perutmu? Sakitnya sudah hilang? Kamu sudah minum obat?”

Tanpa disadari Helena mengulum senyum mendengar pertanyaan beruntun yang Felix lontarkan. Untung ia langsung mengingat kebohongannya tadi saat di kantor kepada Felix agar diizinkan pulang lebih dulu. “Tadi aku sudah minum obat. Sekarang perutku sudah tidak sakit dan jauh terasa lebih baik,” dustanya.

“Baguslah. Besok-besok kalau diperingatkan itu nurut, bukanyan malah diabaikan atau menganggapnya sebagai angin lalu.”

Helena kembali menarik ke atas sudut bibirnya saat mendengar perkataan laki-laki yang kini sedang meneleponnya. Kini ia duduk di bangku panjang setelah tiba di taman rumah sakit. “Iya, aku tidak akan mengulanginya lagi,” balasnya patuh. “Kenapa sekarang laki-laki ini menjadi sangat cerewet? Biasanya juga bersikap tak acuh,” batinnya heran.

“Sekarang kamu sudah makan?”

Spontan Helena mengangguk, padahal Felix tidak dapat melihatnya. “Sudah,” ucapnya setelah mengingat bahwa mereka sedang tidak bertatap muka. “Bagaimana denganmu? Kamu sudah makan?” tanyanya balik.

“Sudah. Ini aku sedang makan.”

“Aku minta maaf, Fel, karena hari ini tidak bisa membuatkanmu hidangan untuk makan malam.” Helena merasa bersalah.

“Tidak apa. Aku masih bisa memesan beberapa jenis makanan.”

“Baiklah, kalau begitu besok pagi aku akan membuatkanmu sarapan yang istimewa,” ucap Helena. Ia akan membalas kebaikan Felix sekaligus sebagai permintaan maafnya hari ini karena secara sengaja telah berbohong.

“Besok pagi kamu langsung ke kantor saja, tidak usah ke apartemenku. Kita bertemu di kantor.”

Helena mengernyit. “Kamu ada janji sarapan bersama Pak Hans?” tanyanya tanpa sadar. Setahunya hanya Hans yang sering mengajak Felix sarapan bersama.

“Tidak. Aku hanya memberimu waktu lebih banyak untuk beristirahat.”

“Oh,” Helena hanya menjawabnya dengan singkat.

“Ya sudah, kalau begitu kembalilah beristirahat. Sampai bertemu di kantor besok.”

Helena menatap layar ponselnya yang sambungannya baru saja diputus oleh Felix setelah ia mengiyakan ucapan laki-laki tersebut. Ia tidak menyangka jika kebohongannya tadi di kantor membuat Felix menghubunginya hanya untuk menanyakan keadaannya. Tidak biasanya Felix memberinya perhatian, terlebih saat mereka sedang tidak bersama. Tidak ingin terlalu memikirkan sikap Felix yang menurutnya sedikit aneh hari ini, ia bergegas menyusul Diandra ke ruang rawat sang adik. Ia merasa tidak enak hati kepada Sonya karena menjaga Mayra cukup lama.

***

Setelah menyudahi pembicaraannya di telepon, Felix menatap nanar layar ponselnya. Saat rapat tadi bersama Wisnu dan timnya, pikiran Felix kurang fokus sehingga membuat pertemuan tersebut menjadi alot. Penyebabnya tentu saja karena pikiran Felix tiba-tiba tertuju pada keadaan Helena. Wajah meringis Helena karena menahan sakit di perutnya selalu muncul di benaknya.

“Ada apa denganku? Kenapa aku tiba-tiba mengkhawatirkan keadaan Helena? Padahal wanita itu hanya sakit perut karena salahnya sendiri,” Felix bergumam pada dirinya sendiri atas sikap dan tindakan yang baru saja dilakukannya.

“Lalu apa yang aku lakukan baru saja? Meneleponnya sekadar untuk mengetahui keadaannya?” Felix kembali bermonolog sambil menatap ponselnya yang tadi digunakan untuk menghubungi Helena.

“Ingat, Fel, hubunganmu dan Helena di luar kantor hanya sebatas simbiosis mutualisme di atas ranjang. Wanita itu hanya menginginkan uangmu, makanya ia selalu memberikan pelayanan terbaiknya untuk memuaskanmu agar kamu berani membayarnya mahal,” pikiran Felix mulai mengingatkan. “Sikap dan tindakanmu tadi sungguh berlebihan dalam memperlakukannya, Fel,” imbuhnya.

“Tidak, Fel,” batin Felix menentang pikirannya sendiri. “Tidak ada salahnya kamu menanyakan mengenai keadaan Helena, mengingat kalian sudah lumayan lama bersama. Lagi pula Helena juga merupakan salah satu karyawanmu di kantor. Walau selama ini kamu menjadikan Helena sebagai penghangat ranjangmu di luar kantor, tapi ia tidak pernah meminta yang aneh-aneh padamu. Helena berbeda dari jalang-jalang di luar sana yang hanya memanfaatkan tubuhnya untuk mendapatkan uang. Jadi, tindakanmu tadi sudah tepat, Fel,” imbuh batinnya memberi pengertian.

“Diam!” hardik Felix pada dirinya sendiri. “Sekali melacurkan diri, maka selamanya tetap seperti itu,” imbuhnya. Ia meneguk habis sisa air putih di gelasnya agar segala hal tentang Helena enyah dari pikiran atau batinnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status