Share

Part 3

Walau matahari sudah bergeser ke arah barat, tapi sinarnya masih cukup terang menyinari bumi. Menepati ucapannya tadi, kini Helena bersama Mayra dan Bi Mira sudah berada di sebuah tempat peristirahatan terakhir milik orang-orang terkasih sekaligus sangat berarti di dalam hidupnya. Selain ingin menyapa ibunya, Helena juga mengunjungi peristirahatan terakhir sang ayah yang makamnya memang bersebelahan. Sebelum mengembuskan napas terakhir, sang ayah meminta padanya agar dikebumikan berdampingan dengan wanita yang telah melahirkan buah cintanya.

Helena mengajak Mayra meletakkan seikat bunga sedap malam di masing-masing gundukan tanah yang dilapisi batu granit. Helena berharap raga-raga yang telah terbaring damai sekaligus tertutup tanah melihat kedatangannya dan menyambutnya dengan pelukan hangat.

Helena hanya diam saat melihat Mayra mengusap ukiran nama yang tertera di atas makam milik sang ibu. Setetes air mata dengan lancang melewati pipinya ketika menyaksikan Mayra mencium nisan milik wanita yang telah melahirkannya.

“Ma, aku dan Mayra memang tidak mempunyai pertalian darah, tapi keluargaku kini hanya gadis kecil yang sekarang sedang membelai pusaramu. Walau perbuatan ibunya yang membuatku menjadi wanita murahan, tapi aku sangat menyayangi Mayra, Ma. Bantulah aku dalam menemukan donor ginjal untuk Mayra, Ma,” Helena memohon dalam hati kepada mendiang sang ibu. “Mayra anak yang malang, Ma. Gadis kecil ini ditinggalkan begitu saja oleh wanita yang sangat tidak pantas disebut sebagai seorang ibu. Bahkan, kini Mayra harus berjuang melawan penyakit yang dideritanya,” imbuhnya dalam hati.

“Nak, jika waktu itu Bibi tidak bertemu dengan orang tuamu, mungkin Bibi akan hidup menggelandang di jalanan hingga kini,” Bi Mira berucap tanpa mengalihkan tatapannya dari kedua makam di depannya. “Bibi hanya orang asing, tapi orang tuamu sangat mengasihi Bibi dan memperlakukan Bibi layaknya keluarga sendiri. Kebaikan dan kemurahan hati orang tuamu akan selalu Bibi ingat hingga akhir hayat. Kamu harus bangga mempunyai orang tua seperti mereka, Len.” Bi Mira mengalihkan fokusnya ke arah Helena sambil menyunggingkan senyumnya.

Tanpa bisa dicegah, air mata Helena semakin banyak jatuh membasahi pipinya yang kini telah memerah, mengingat sudah sejak tadi ia menahan tangis.

“Aku sangat bangga menjadi anak mereka, Bi.” Helena tersenyum dan mengangguk tanpa mengalihkan tatapannya dari kedua makam orang tuanya.

“Setelah orang tuamu beristirahat dengan damai, kini kamu yang melanjutkan kebaikan sekaligus kemurahan hati mereka. Tanpa pamrih kamu tetap membiarkan kami hidup bersamamu. Bahkan, kamu dengan ikhlas merawat sekaligus menjaga Mayra, padahal gadis malang ini jelas-jelas bukan tanggung jawabmu,” ucap Bi Mira sangat pelan, agar pendengaran Mayra tidak berhasil menjangkaunya.

“Aku sama seperti kalian yang sudah tidak mempunyai siapa-siapa lagi. Walau jalan yang aku hadapi kini penuh liku dan sangat sulit, tapi keberadaan kalian selalu memberiku semangat dalam menjalani kehidupan ini. Sekarang kita sudah menjadi satu keluarga baru. Maka dari itu, apa pun yang terjadi pada kalian, kini sudah menjadi tanggung jawabku,” Helena menanggapi ucapan Bi Mira seraya menatap wajah wanita paruh baya di sampingnya.

Bi Mira sangat terharu mendengar  tanggapan Helena. Ia memeluk Helena yang postur tubuhnya memang lebih tinggi darinya. “Terima kasih, Nak. Bibi tidak akan bisa membalas semua kebaikan dan kemurahan hati kalian. Kamu dan orang tuamu,” ujarnya serak.

Helena yang sudah merendahkan sedikit tubuhnya saat Bi Mira memeluknya, kini mengusap punggung wanita paruh baya tersebut. “Dengan menjaga Mayra saat aku tinggal bekerja saja sudah cukup untukku, Bi,” timpalnya.

“Sekali lagi terima kasih, Nak. Semoga Tuhan selalu melindungi dan memberkatimu, Sayang.” Bi Mira mengusap cairan yang membasahi kedua pipi Helena setelah mengurai pelukannya.

Setelah memastikan tidak ada jejak air mata di wajahnya, Helena menghampiri Mayra yang masih setia berjongkok di sisi makam sang ibu. “May, sudah sore. Ayo kita pulang,” ajaknya setelah menepuk kedua bahu Mayra.

Mayra mengangguk sambil mengulas senyum. “Tante, aku pulang dulu ya. Kapan-kapan aku datang lagi,” pamitnya pada makam yang batu nisannya terukir nama Septia Clara.

“Panggil saja Mama Cla, May. Kakak yakin Mama pasti menyukainya,” Helena mengusulkan.

“Benarkah, Kak?” tanya Mayra dengan sorot mata berbinar.

“Iya,” jawab Helena tanpa ragu.

Dari pancaran sorot mata Mayra, Helena bisa melihat jika sang adik sangat merindukan belaian kasih sayang seorang ibu yang saat ini sudah tidak didapatnya lagi. Ia tersenyum lebar saat melihat Mayra mengaggukkan kepala setelah mendengar jawabannya.

“Mama Cla, sekarang aku pulang dulu ya. Lain kali aku akan mengunjungi Mama lagi,” Mayra berpamitan ulang. Sebelum berdiri menyusul Helena, untuk yang terakhir kalinya ia kembali mengecup batu nisan milik ibu kandung dari kakak tirinya tersebut. “Kak, aku mau berpamitan juga dengan Papa Mike,” pintanya yang langsung diangguki oleh Helena.

“Ma, Pa, aku sangat menyayangi kalian,” gumam Helena sangat pelan.

Helena tidak pernah melarang Mike untuk menikahi wanita bernama Siska Noviana. Semasih wanita tersebut bisa membahagiakan Mike, ia akan mendukung keputusan sang ayah.

Awalnya Helena bersyukur karena sang ayah bertemu dengan wanita yang mempunyai sifat penuh keibuan dan penyayang seperti Siska. Namun pada kenyataannya, penilaiannya tersebut salah besar. Setelah sang ayah meninggal, sifat asli ibu tirinya baru keluar dan yang lebih membuatnya terkejut ia mengetahui bahwa wanita tersebut mempunyai kegemaran berjudi. Helena sangat membenci Siska karena wanita tersebut menjadikannya jaminan di meja judi. Bahkan, wanita culas tersebut menggadaikan rumah peninggalan orang tuanya demi bisa memuaskan hasratnya beraksi di meja judi.

•••

Helena menggeliat saat mendengar alarm ponselnya berbunyi. Helena enggan membuka mata, ia hanya menggerakkan salah satu tangannya di atas nakas untuk mencari keberadaan benda pipih yang suara nyaringnya telah menginterupsi tidurnya. Tanpa mengubah posisi berbaringnya, Helena menatap layar ponselnya. Dengan berat hati Helena harus menyudahi aksinya bergelung hangat di kasur empuknya, mengingat hari ini ia harus kembali menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai seorang bawahan.

“Semangat, Helena,” Helena menyemangati dirinya sendiri saat ia sudah duduk di pinggir ranjang dan mengikat tinggi rambutnya. Sebelum menuju kamar mandi, ia meregangkan sebentar otot-otot tubuhnya.

Seperti kebiasaannya, sebelum berangkat ke kantor dan menjalankan tanggung jawabnya sebagai sekretaris Felix, Helena terlebih dulu akan mendatangi apartemen laki-laki tersebut untuk mengurus segala keperluan sang atasan. Mulai dari menyiapkan setelan kantor yang akan Felix kenakan hingga membuatkan sarapan untuk laki-laki tersebut.

Helena merasa tubuhnya lebih segar setelah hampir setengah jam berada di kamar mandi. Sambil bersenandung pelan ia mengambil setelan yang akan dikenakannya untuk bekerja. Walau Helena mempunyai pekerjaan sampingan menjadi penghangat ranjang sang atasan, tapi saat menjalankan peran dan tugasnya sebagai sekretaris, ia tetap menjaga profersional sekaligus kesopanannya, terutama dalam hal berpakaian. Helena hanya akan mengabaikan harga dirinya saat berada di apartemen Felix dan melayani hasrat laki-laki tersebut, mengingat peran yang ia lakoni sudah berbeda.

Usai mengenakan pakaian formalnya dan memoles wajahnya dengan riasan tipis, Helena memeriksa clutch-nya untuk memastikan barang bawaannya tidak ada yang tertinggal. Helena sangat jarang, bahkan hampir tidak pernah bisa ikut sarapan bersama Mayra dan Bi Mira, karena ia takut terlambat tiba di apartemen Felix

•••

Helena memarkirkan mobilnya di basement setelah tiba di gedung apartemen yang ditempati Felix, seperti perintah laki-laki tersebut setiap ia datang. Sebenarnya letak apartemen atasannya tersebut cukup dekat dari tempat tinggalnya, sehingga Helena tidak membutuhkan waktu lama untuk menjangkaunya.

Setelah turun dari mobil, Helena bergegas memasuki lift di basement  yang menghubungkannya ke lantai unit apartemen Felix berada.

“Selamat pagi, Pak,” sapa Helena sopan saat melihat Felix sedang berjalan di atas treadmill. Helena cukup terkejut melihat atasannya tersebut sudah bangun saat ia membuka pintu apartemen.

Mendengar sapaan formal Helena, Felix mengetatkan rahangnya di tempat. “Hm,” balasnya datar dan tanpa menoleh.

Helena mencoba untuk tetap tenang setelah mendengar nada bicara Felix yang tidak bersahabat. “Tumben sudah bangun, Pak?” Helena berbasa-basi untuk mencairkan suasana. Helena memang sudah mengantongi kode akses apartemen Felix, jadi ia tidak harus menunggu dibukakan pintu untuk melakukan tugasnya.

“Buatkan nasi goreng,” perintah Felix datar tanpa menanggapi pertanyaan basa-basi Helena. Ia menyudahi langkah kakinya yang bergerak beraturan di atas treadmill.

“Baik, Pak,” Helena menjawab setenang mungkin. “Bapak mau sarapan atau mandi dulu?” tanyanya saat melihat Felix sudah turun dari treadmill.

“Sarapan,” jawab Felix sambil berjalan ke arah balkon.

“Baik, Pak, saya akan segera menyiapkan makanan yang Bapak minta,” ujar Helena dan bergegas menuju dapur. “Jika bukan karena masih sangat bergantung pada uangnya, sudah jauh-jauh hari aku mengundurkan diri menjadi asisten rumah tangganya,” gerutunya dalam hati.

Saat menyadari belum ada nasi putih yang siap diolah, Helena menyusul Felix ke balkon dan memberitahukannya. Helena tidak mau menerima amukan Felix karena dianggap terlalu lama membuat menu sarapan seperti yang diinginkan oleh laki-laki tersebut.

“Pak, karena belum ada nasi yang siap diolah, jadi saya harus memasak beras terlebih dulu,” beri tahu Helena jujur.

Felix menatap Helena tanpa ekspresi setelah membalikkan badan. “Saya akan mandi,” ujarnya datar. Ia langsung melewati Helena dan berjalan menuju kamarnya.

Helena hanya mengendikkan bahu dan menatap punggung Felix yang mulai menjauh. Helena kembali ke dapur untuk memasak beras, sebelum ia menyusul Felix ke kamar dan menyiapkan setelan kerja yang akan digunakan oleh laki-laki tersebut.

•••

Mematuhi perintah yang dititahkan Felix, hari ini Helena ke kantor mengendarai mobilnya sendiri. Biasanya ia dan Felix menggunakan mobil yang sama ketika berangkat menuju kantor, tapi pengecualian untuk hari ini. Walau benaknya bertanya-tanya mengenai perubahan sikap Felix yang tidak seperti biasanya, tapi Helena tetap memendamnya. Ia melaksanakan setiap perintah yang dikeluarkan oleh mulut Felix agar dirinya tetap berada pada zona aman.

Helena meletakkan clutch yang dibawanya terlebih dulu sebelum menyalakan komputer setelah tiba di meja kerjanya. Sambil menunggu komputernya bisa dioperasikan, ia menyiapkan beberapa laporan yang harus diserahkan kepada Felix untuk diperiksa. Selain memberikan laporan, Helena juga akan menyampaikan kepada atasannya tersebut mengenai jadwalnya hari ini. Sesuai jadwal yang tertulis pada buku agendanya, hari ini atasannya tersebut hanya memiliki dua pertemuan dengan rekan bisnisnya.

Helena merapikan pakaiannya sebelum meninggalkan meja kerjanya. Dengan tenang ia mengetuk pintu ruang kerja Felix. Setelah mendapat respons dari dalam ruangan, ia pun langsung masuk. Sambil berjalan menghampiri meja kerja Felix, Helena memerhatikan wajah tanpa ekspresi laki-laki yang tengah sibuk menatap layar laptopnya.

“Pak, ini laporan yang harus Bapak periksa.” Helena menyerahkan beberapa map berisi laporan.

Tanpa mengalihkan perhatiannya dari laptop di hadapannya, Felix menjawab, “Taruh saja, nanti saya periksa.” Setelah melihat Helena mematuhi perintahnya, ia kembali membuka mulut, “Jadwal saya hari ini.”

“Jam sepuluh Bapak ada janji temu dengan pihak Catharina Queen di Lav Coffee. Jam dua Bapak kedatangan tamu dari pihak YD Furniture,” beri tahu Helena secara rinci.

Felix mengangguk usai mendengar Helena menyampaikan jadwalnya hari ini. “Beri tahu Wisnu untuk datang ke ruangan saya. Ia yang akan menemani saya ke Lav Coffee nanti. Sekarang kamu boleh keluar,” titahnya.

“Baik, Pak. Saya permisi.” Usai berpamitan, Helena meninggalkan ruangan Felix.

Setelah keluar dari ruangan Felix, Helena segera menyambar gagang telepon yang ada di atas meja kerjanya untuk menghubungi Wisnu. Ia menyampaikan perintah yang diterima dari sang atasan kepada kepala tim desain grafis di tempatnya bekerja.

Usai menjalankan tugasnya, Helena menyandarkan punggungnya pada kursi kebesarannya. Baru saja ia mulai menggerakkan jari-jemarinya di atas keyboard sambil menatap layar komputer, tiba-tiba penglihatannya mengabur dan diikuti oleh kepalanya yang sedikit pusing. Ia menghela napas saat menyadari dirinya belum sarapan. Biasanya Helena akan sarapan bersama Felix, seperti permintaan laki-laki tersebut sejak mempekerjakannya. Namun, berhubung tadi Felix mengabaikan keberadaannya, jadi ia tidak berani untuk ikut sarapan bersama laki-laki tersebut.

Helena mengurungkan niatnya untuk berdiri saat pintu ruangan Felix terbuka. Ia menatap Felix yang memasang ekpresi datar.

“Langsung suruh Wisnu masuk setelah ia datang,” perintah Felix tanpa basa-basi.

“Baik, Pak,” Helena berusaha menanggapi perintah Felix dengan nada sewajarnya, sebab pusing di kepalanya semakin ia rasakan.

Setelah Felix kembali memasuki ruangannya, Helena memejamkan matanya sebentar untuk menghalau pusing di kepalanya yang kian terasa. “Apakah kemarahan Felix hingga kini masih berlanjut?” tanyanya pada diri sendiri.

Tidak ingin kepalanya semakin tersiksa oleh rasa pusing, dengan perlahan Helena berdiri dan berjalan menuju pantry yang terletak di pojok lantai tempatnya berada. Ia ingin membuat air putih hangat untuk meredakan pusing kepalanya akibat perut kosong. Helena juga akan mengisi perut kosongnya dengan beberapa keping biskuit yang ia beli sewaktu hari Jumat lalu dan disimpan pada cabinet di pantry.

•••

Wisnu yang telah tiba di lantai tempat atasannya berada mengernyit saat tidak melihat batang hidung Helena duduk di balik meja kerjanya. Ia tidak berani langsung memasuki ruangan Felix, mengingat aturan yang diberlakukan oleh atasannya tersebut. Wisnu mengira Helena sedang berada di dalam ruangan sang atasan, jadi ia memutuskan untuk menduduki salah satu sofa yang tersedia tidak jauh dari meja kerja rekannya tersebut.

Wisnu mengangkat wajahnya saat mendengar suara heels yang mengetuk permukaan lantai. Sudah lebih dari lima menit ia menunggu di sofa empuk yang didudukinya.

“Pagi, Len,” Wisnu memberi salam sebelum berdiri. Ia merasa bingung saat melihat ekspresi dan reaksi yang Helena berikan atas sapaannya. “Kamu kenapa?” tanyanya.

“Sudah dari tadi?” Helena bertanya tanpa memberikan balasan atas sapaan yang Wisnu lontarkan. Ia mengembuskan napas kasar ketika melihat Wisnu menjawab pertanyaannya dengan anggukan kepala. “Langsung masuk saja, Wis. Pak Felix sudah menunggumu di dalam,” pintanya.

“Baiklah, aku menemui Pak Felix dulu,” balas Wisnu tanpa bertanya lebih lanjut. Ia dapat melihat dengan jelas ketakutan yang dipancarkan oleh raut wajah Helena.

Helena mengangguk lemah. “Semoga saja Felix tidak mengetahui jika Wisnu sudah cukup lama berada di luar ruangannya,” batinnya berharap. Tanpa membuang waktu dan tidak memikirkan yang ditakutkannya, ia lebih memilih untuk kembali menyelesaikan pekerjaannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status