Anna segera turun cepat-cepat sambil membawa sepatu haknya, dengan dingin ia berjalan pergi ke depan pintu gerbang rumah Reva tanpa menghiraukan Brandon yang masih berada di dalam mobil, tak lama kemudian Reva yang memakai masker terlihat berjalan keluar membukakan pintu gerbang rumahnya, lalu Anna segera masuk, dan akhirnya mobil milik Brandon pun pergi juga.
“Apa? Dia bahkan rela pergi menemanimu naik bianglala?” tanya Reva, lalu ia segera tertawa terbahak-bahak membayangkan CEO tersebut pergi ke tempat umum seperti itu menggunakan jas formalnya.
“Sudah aku lakukan seluruh cara agar membuatnya pergi, dia memang bukanlah pria sembarangan, apa yang sebenarnya dia inginkan?” tanya Anna kesal.
“Entahlah, menurut informasi yang aku terima, seharusnya hari ini adalah kencan pertama dalam hidupnya, jadi mungkin itulah yang membuatnya sabar menghadapimu,” jelas Reva sambil sesekali sibuk memainkan handphonenya.
“Dan satu lagi, mengapa kau tak bilang jika Brandon adalah pemilik perusahaan Rumah Sakit Sentral Medika?” tanya Anna cemas.
“Oh jadi itu nama rumah sakit yang dimiliki oleh keluarganya?” tanya Reva balik.
“Kau juga baru tahu mengenai hal itu?” tanya Anna pasrah.
“Iyaaa, Ibu hanya memberitahuku jika keluarganya memang memiliki sebuah rumah sakit namun mereka tak pernah memberitahuku nama rumah sakit tersebut,” jelas Reva. Tiba-tiba ia menyadari sesuatu.
“Tunggu, jangan bilang rumah sakit tempat kau magang adalah rumah sakit milik keluarga Brandon?” tanya Reva, mukanya terkejut sekaligus cemas usai mengetahui fakta tersebut.
Keesokan harinya Anna kini sudah berada di dalam taksi menuju rumah sakit seperti biasa karena terdapat tugas jaga pukul dua siang sebentar lagi. Selama perjalanan pikirannya tak bisa tenang mengingat Reva yang memberitahunya untuk terus menjauhi keberadaan Brandon selama dirinya berada di rumah sakit.
Di tempat lain, Brandon saat ini terlihat sedang sibuk melihat data-data para pegawai baru di rumah sakit, dari sekian banyaknya dokumen yang ia teliti, hanya ada satu dokumen yang berada di dalam lacinya yaitu data milik gadis bernama Anna.
Entah mengapa membaca nama tersebut selalu membuatnya tersenyum memikirkan kejadian-kejadian kemarin. Ia pun segera mengeluarkan handphonenya dan melihat jadwal bertugas Anna yang telah ia simpan sejak kemarin dengan bantuan Jarvis asistennya.
Brandon pun dengan cepat segera keluar dari ruang kerjanya.
“Mau pergi ke mana Pak?” tanya Jarvis pada Brandon.
“E-E…ada hal yang harus saya urus di rumah sakit sekarang juga,”
“Biar saya saja Pak kalau begitu—“
“Tidak perlu, masalah ini harus saya tangani sendiri,” ujar Brandon, lalu ia segera pergi menuju gedung rumah sakit.
Untuk pergi ke gedung rumah sakit dari gedung perusahaan Brandon, membutuhkan waktu sekitar lima menit. Kedua gedung besar tersebut tersambung oleh sebuah jembatan yang hanya bisa dilewati oleh seseorang yang memiliki akses tertentu.
“Ann sudah selesai?” tanya Michael sopan pada Anna, sahabatnya itu.
“Iyaaa, ini baru saja selesai,” balas Anna.
“Mau makan bersama di kantin rumah sakit? Hari ini biar aku saja yang traktir,” ujar Michael.
Seketika beban pikiran Anna mengenai Brandon si CEO menyebalkan itu berkurang setelah Michael kembali menghibur Anna. Tanpa Anna sadari, sahabatnya itu sedari tadi telah memperhatikan wajah Anna yang terlihat pucat.
“Ann, kau sudah sarapan pagi ini?” tanya Michael, sambil menatap sahabatnya itu menggelengkan kepalanya.
“Terlalu banyak hal yang kukerjakan semalam, lebih baik tidak sarapan bukan dibandingkan telat datang?”
“T-Tetapi tetap saja lihat sekarang kau terlihat sangat pucat,” ujar Michael khawatir. Seketika Anna segera memeriksa wajahnya melalui kamera handphone.
“Iyaaa iyaaa lain kali aku tak akan melewatkan sarapan lagi, terima kasih ya,” ujar Anna sambil tersenyum pada Michael, ia merasa beruntung masih memiliki sahabat yang amat peduli dengan kondisinya.
Usai menyantap makan siangnya, Anna dan Michael kini hendak kembali bertugas, namun anehnya Anna tiba-tiba merasakan sedikit pusing pada kepalanya. Sekuat tenaga ia berusaha menahan rasa pusing tersebut. Namun lama-kelamaan pusing kepala tersebut berubah menjadi rasa sakit, mata yang tadinya menatap lurus ke depan, kini perlahan-lahan mulai berbayang.
Seluruh tubuh Anna mendadak lemas seperti energi dan kesadarannya hilang dalam sekejap.
“Ann! Ann! Kau tak apa?” tanya Michael panik sambil menahan tubuh Anna yang hampir tumbang.
Sementara itu Brandon yang baru saja sampai di gedung rumah sakit kini berjalan menuju tempat bertugas Anna, namun ia tak menemukan gadis itu di sana. Ia pun terpikirkan sebuah tempat di mana Anna kemungkinan besar berada di sana.
Baru saja ia ingin belok ke area kantin, namun ternyata Anna sudah berada di sana dengan seorang laki-laki asing yang juga berpakaian jas dokter.
Laki-laki tersebut saat ini sedang memegangi kedua pundak Anna sambil menuntunnya berjalan kembali menuju ruangan bertugas para anak magang di sana.
Entah mengapa, saat Brandon menyaksikan pemandangan tersebut, ia merasa perasaannya menjadi tak karuan, seharusnya ia senang ada seseorang yang menjaga Anna dengan baik, sehingga tugasnya untuk membalas budi pada gadis tersebut menjadi lebih ringan. Dengan cepat Brandon segera kembali ke gedung ruangan pribadinya dan membatalkan seluruh pertemuan hari itu juga.
Tak terasa hari-hari mulai berlalu, Anna yang sedang beristirahat sejenak pada hari sabtu tiba-tiba mendapatkan telefon dari Ibunya yang sekarang berada di tanah kelahirannya, Bandung. Sang Ibu memberitahu jika adik Anna yang bernama Raditya Harjon Cempaka berhasil diterima masuk ke salah satu SMP asrama terbaik di Jakarta melalui jalur beasiswa nasional.
Sang Ibu juga tak lupa memberitahu Anna jika sebentar lagi dirinya akan pergi ke Jakarta untuk menemani sang Adik pergi mendaftar ulang, sekaligus menemui Anna untuk merayakan hari ulang tahun Raditya bersama-sama.
Setelah selesai menelefon sang Ibu, Anna segera pergi menuju Mall Taman Asri untuk mencari kado bagi Adik satu-satunya itu.
Matahari yang sangat terik menyinari Kota Jakarta siang itu, Anna yang hendak menaiki bus Transjakarta harus terlebih dahulu menyebrang untuk sampai ke halte bus tersebut. Namun tampaknya karena cahaya matahari yang terlalu terik, Anna tak dapat melihat lampu jalanan dengan jelas.
Saat gadis itu hendak melangkahkan kakinya untuk menyebrang, ia tak menyadari ada mobil yang juga hendak lewat dengan kecepatan tinggi.
“GREPPP!!!” tiba-tiba ada seseorang yang menarik lengan Anna sehingga ia terselamatkan dari mobil berkecepatan tinggi itu.
Saat ia menoleh ke belakangnya ternyata sosok tersebut adalah Brandon. Keduanya kini saling bertatap-tatapan. Dengan cepat Anna segera melepaskan pegangan Brandon.
Seketika Anna panik, Brandon seharusnya tak berada di sini, pria itu tak boleh melihat sosok Reva dengan pakaian murahan seperti ini, terlebih lagi melihatnya hendak menaiki bus Transjakarta.
“Kita tak akan pernah bisa bersama Brandon, kau tahu itu kan? A-Ayahmu tidak akan setuju, ditambah lagi bagaimana jika Ayahku tau jika aku…” Anna diam, tidak melanjutkan perkataannya. “Jika aku apa Ann?” tanya Brandon, wajahnya semakin mendekati Anna sampai-sampai membuat pipi Anna semakin memerah. “Jika selama ini aku me-nyu-ka-aimu—“ Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Brandon seketika langsung memeluk Anna, sambil mengekspresikan betapa bahagia dirinya dapat bertemu dengan Anna dan berakhir jatuh cinta dengan gadis tersebut. Sore itu Anna mengajak Brandon berjalan menuju taman rumah sakit menggunakan kursi roda, di sela-sela waktu tersebut, Anna melihat sebuah sosok berjas yang sangat tidak asing dalam benaknya. Saat sosok itu menoleh, ia batu tersadar jika orang itu adalah Jackson, pria itu adalah laki-laki yang dahulu ingin dijodohkan degannya sebelum Anna memulai kuliahnya. “Untuk apa dia ada di sini? Terkahir kali ia meneleponku dan sekarang dia datang ke sini?” pikir
Brandon juga tak lupa posisinya sebagai atasan, ia memutuskan untuk memberikan hadiah pada Anna karena ia telah membantu menyelamatkan nyawanya saat peristiwa sebelumnya.Mendapat informasi mengenai kepindahannya sebentar lagi menuju apartemen barunya, Anna segera mengucapkan terima kasih pada atasannya itu, namun ada satu hal yang masih mengganjal dalma pikiranya, yaitu salah satu alasannya ingin pindah ke apartemen yang kini juga menjadi tempat tinggal Brandon adalah karena ia sungguh ingin tahu keadaan Brandon.Tak butuh waktu lama bagi Anna untuk mengemas pindahannya itu. Kehidupannya kini serasa bukan yang dulu lagi, kamar megah yang berada di hadapannya membuatnya sangat tak layak untuk mendapatkan itu semua.“CTIIINGGG!” tiba-tiba sebuah pesan masuk, rupanya Brandon mengabari Anna jika gadis itu butuh bantuan maka dirinya persis ada di kamar tepat di samping kamar Anna.Hari itu Anna berusaha memberanikan diri untuk mengetuk kamar Brand
Sementara itu Ayah Brandon terlihat sedang menunggu kabar mengenai putranya di koridor rumah sakit, ia duduk di sebuah bangku yang terletak tepat di samping ruangan di mana Brandon sedang diperiksa.Di saat yang sama, Jarvis baru saja kembali setelah mengantar Anna menuju Jakarta, sehingga ia tak sengaja bertemu Nicholas, Ayah atasannya itu.Sejatinya setelah mendengar melihat Nicholas yang sedang duduk di bangku kursi rumah sakit, Jarvis segera menghentikan langkahnya dan ia tersenyum."Sepertinya rencana Pak Brandon kali ini berhasil untuk mengungkap semuanya," pikir Jarvis dalam hati.Saat itu juga, dokter yang menangani Brandon keluar. Segera Jarvis berusaha bertingkah jika seakan-seakan ia baru sampai di tepat itu dan tak sengaja berpapasan dengan Nicholas ketika hendak mendengarkan mengenai penjelasan dokter."Bagaimana dok keadaan Brandon anak saya?" tanya Nicholas yang terlihat cemas."Kondisinya baik-baik saja Pak, untung saja luka
Beberapa hari setelah menunggu Brandon akhirnya memberikan kabar jam berapa dirinya dan Anna akan berangkat, Anna pun segera bersiap-siap menunggu kehadiran Brandon untuk menjemputnya. Brandon sendiri saat ini sedang berada di dalam mobilnya, ia sungguh bingung apakah akan menceritakan semua yang sudah ia ketahui beserta rencana-rencananya, namun yang pasti sesampainya ia di kos-kosan Anna, pria itu memutuskan untuk tak menceritakan semuanya pada Anna. Dalam perjalanan kali ini berbeda seperi biasa, Anna dan Brandon sudah tak terlihat canggung seperti biasanya. Beberapa jam berlalu, jalanan yang sebelumnya tidak bisa dilewati oleh Jarvis dan Brandon, kini masih saja tertutup, Brandon sadar ada yang aneh dengan jalanan tersebut, semua ini pasti disengaja oleh orang-orang itu. Saat semua mobil berputar balik, mobil Brandonlah yang masih diam di sana, ia perlahan berusaha mengamati gerak-gerik orang tersebut. "Sepertinya konstruksinya belum seles
Lampu merah lagi-lagi menghiasi perjalanan Michael menuju tempat kos-kosannya, sialnya kali ini ia harus menunggu sekitar seratur dua puluh detik sampai lampu berubah warna menjadi hijau, ia pun memutuskan untuk melihat-lihat ke sekitarnya untuk menghilangkan rasa ngantuk dan rasa bosan yang ia rasakan.Pandangannya tertuju pada seorang gadis yang sedang memakai jaket hitam tepat tak jauh dari mobil yang ia kendarai. Entah mengapa sekilas ia melihat gadis itu, pikirannya mendadak membawanya pada Victoria karena Michael dapat merasakan betul ada sesuatu yabg mirip di antara kedua sosok itu.Michael pun memutuskan untuk mengamati gadis itu kembali, namun ia malah dikejutkan dengan fakta jika wajah gadis itu terlihat sangat mirip dengan Victoria."A-Apa j-jangan-jangan itu..."Michael dengan cepat segera memarkirkan mobilnya ke pinggir jalanan, ia terburu-buru turun dari mobilnya ingin mengecek apakah gadis barusan benar-benar Victoria atau bukan. Namu
"Baiklah itu saja?" tanya Anna yang sedari tadi masih memperhatikan Brandon."T-Tidak, aku menyuruhmu ke sini sekalian ingin mengajakmu untuk...eum...""Untuk apa?" tanya Anna."Untuk pergi denganku ke Depok," ujar Brandon.Anna hanya terdiam, ia bingung, jika dirinya pergi lantas apa yang harus ia katakan pada sahabat-sahabatnya, juga ia masih memiliki tanggung jawab untuk melakukan tugas jaga di rumah sakit."B-Bagaimana dengan Jarvis? B-Bukankah biasanya kau pergi dengannya?" tanya Anna, ia sungguh bingung sekaligus khawatir dirinya hanya akan membebani Brandon selama perjalanan."I-Iya, namun Jarvis memiliki kesibukan lain untuk menyelidiki lebih dalam mengenai orang-orang komplotan berpakaian hitam itu, jadi dari pada aku pergi sendiri, aku memutuskan untuk megajakmu bagaimana? tanya Brandon, sebenarnya Jarvis bisa saja ajak pergi meskipun asistennya itu sedang menjalankan pekerjaan lain, namun kali ini Brandon ingin Anna yang men