Share

Unfree to Fly
Unfree to Fly
Penulis: BundaAkasyah

Fly 1

Di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang furnitur.

Di salah satu ruangan direktur utama.

Sudah setengah jam Kevlar duduk membelakangi mejanya, memandangi awan yang bergerak menggantung di atas cakrawala. Sekali dua, seekor burung melintas, menampakkan kebebasan yang tiada batas. Bahagia dengan takdirnya. 

Tumpukan map di atas meja yang biasanya selalu semangat dibacanya, tak lagi menarik minatnya. Pikirannya saat ini tidak bisa dipaksa untuk bekerja. Seolah buntu, atau lebih tepatnya, terblokir oleh masalah besar yang tak bisa lagi diabaikan olehnya.

Seandainya dia tidak terikat dengan tanggung jawab terhadap perusahaan mungkin saat ini dia sudah melarikan diri. Pergi ke luar negri atau luar kota yang jauh dari Jakarta. Tanpa harus memedulikan siapa pun, atau merasa berat tentang apapun. 

"Masuk!" serunya pada seseorang di luar yang mengetuk pintu ruangannya.

"Kev, proposal dari ReMain udah lu periksa?" tanya Naren, sahabat sekaligus asistennya, dengan tergesa.

"Belum." Jawab Kevlar singkat tanpa berbalik.

"What? Udah dari dua hari yang lalu gue kasihin proposal itu, masa belum lu periksa juga?" Emosi Naren hampir meledak.

"Saat ini gue ngga bisa fokus." Ujar Kevlar datar.

"Apa? Seenaknya lu ngomong! Kev!!" Dengan emosi tak tertahan, Naren berteriak dan menggebrak meja.

"Shit! Apa sih lu, Ren?!" Kevlar mulai terpancing.

"Lu yang apa?! Tahu kan proposal itu urgent banget, mereka udah hubungin gue tiga kali dalam setengah hari ini, dan lu dengan entengnya bilang ngga bisa fokus? Hahh, bisa bangkrut nih perusahaan kalau bosnya aja malas-malasan kayak gini!" gerutu Naren, kesal.

Kevlar tak membalas perkataan Naren. 

"Bro, lu tahu kan proyek ini bernilai milyaran, dan lebih dari itu, prestise men! Perusahaan kita bakalan diperhitungkan banyak vendor dan perusahaan besar, dalam dan luar negeri." Lanjut Naren, melunak.

"Ck, gue udah tahu!"

"So?! Tunggu apalagi, segera lu periksa, acc, dan sisanya biar gue yang urus!"

"Ya udah semuanya aja lu yang urus."

"Kev!"

"Hmm … "

"Lo kenapa sih?!"

Kevlar menghela nafas panjang. Dibiarkannya Naren berpikir sesuai keinginannya.

"Alea?!" tebak Naren yakin.

Kevlar tak menjawab, dia bangkit dari kursinya dan berdiri di samping jendela. Bangunan dua lantai bergaya futuristik itu berada di salah satu kawasan prestisius di ibu kota. Beberapa perusahaan besar dan sebuah sekolah SMA internasional berada di sana. Ada juga kantor pemerintahan dan kedutaan besar salah satu negara yang juga berlokasi di salah satu sudutnya.

Kevlar menghembuskan nafasnya dengan kasar lalu berkata, "Dia udah datang ke Bali dan ketemu keluarga gue. Tadi mereka telpon dan mendesak gue untuk segera menikahi Alea."

"What the hell … terus, apa yang bakal lu lakuin?!"

"I dunno. Kepala gue serasa mau meledak, masalah ini bikin gue ngga bisa berpikir jernih." Ucap Kevlar, dengan sorot putus asa. 

"Lu masih bisa menolaknya, tinggal lu bilang aja siapa sebenarnya Alea, dan apa yang udah dia lakuin di belakang lu." Ujar Naren dengan berapi-api, antara kesal mendengar Alea yang selalu berbuat ulah dan kesal karena pekerjaannya terhambat karena masalah Alea.

"Ngga segampang itu." 

Naren yang berdiri di sampingnya terdiam. Masalah ini sudah menjadi semakin pelik. Sebagai orang yang sejak kuliah selalu bersama, Naren tahu bagaimana cerita tentang mereka. Hubungan yang awalnya kompleks dan berakhir toxic, dan kini dipaksa untuk kembali menyatu dalam hubungan sakral pernikahan. 

Naren tak habis pikir, bisa-bisanya dulu dia dan Kevlar bersaing memperebutkan Alea. Wanita itu sudah berubah menjadi medusa yang siap membunuh pria dengan cara menghisap kewarasan mereka secara perlahan. Naren bergidik, membayangkan jika dulu dia tak mau mengalah atas hubungan Kevlar dan Alea, mungkin kini dialah yang berada di posisi Kevlar. Dan mungkin lebih parah lagi, bisa-bisa dia menjadi pasien rumah sakit jiwa karena dia tahu mentalnya tidak sekuat Kevlar.

"Saat ini gue belum bisa bantuin lu soal Alea. Tapi gue janji setelah proyek ReMain goal gue bakal bantu lu cari jalan keluarnya. Sekarang gue harus segera ngasih kabar ke ReMain, loe ngga keberatan kan kalo gue ambil alih wewenang lu?!"

"Formal banget lu!"

"Ya udah gue ambil proposalnya. Kita udah pernah bahas proyek ini, resikonya kecil, loe ingat kan?!" ucap Naren cepat.

"Yeah, gue percaya sama lu."

Naren berlalu setelah menepuk bahu Kevlar, dan sebelum menutup pintu Naren kembali memandang Kevlar dengan raut prihatin.

Sementara itu Kevlar masih dengan posisinya, berdiri menghadap jendela. Pandangannya tertuju pada halaman sekolah SMA yang tepat berada di seberang kantornya. 

Dia melirik pergelangan tangannya, jarum jam menunjukkan angka 3 lebih 30 menit. Mobil jemputan yang membawa siswa mulai bergerak keluar. Beberapa siswa lainnya ada yang berjalan menuju jemputan pribadi, dan sebagian lainnya menggunakan kendaraan sendiri. 

Kevlar memperhatikan semuanya, satu persatu. Seorang gadis yang berdiri mematung di pinggir jalan juga tak luput dari perhatiannya. Di tangannya sebuah ponsel dengan case berwarna earth tone terselip di antara jemari lentik dengan kuku bercat bening. Sesekali senyum gadis itu terkembang, membalas lambaian tangan dari siswa yang melewatinya.

Wajah putihnya yang terawat ditutupi sebelah tangannya, menghalau sinar matahari siang menjelang sore yang masih bersinar terik. Ekspresi tenangnya terganggu dengan beberapa kernyitan, namun tak mengurangi wajah cantiknya. Dua orang siswa yang berboncengan di atas sebuah motor berhenti di dekatnya, menyapa dan tersenyum, dan berlalu setelah si gadis mengucapkan dua patah kata.

Kevlar merindukan masa-masa sekolahnya dulu. Masa bahagia tanpa terbebani hal-hal berat selain ujian, atau memikirkan cara untuk menarik perhatian gebetan. Jika ada gadis yang disukainya, dia tidak perlu bersusah payah mengejarnya karena justru dialah yang dikejar setiap gadis di sekolahnya. Tak terhitung sudah berapa gadis yang jatuh ke dalam pesonanya, namun hanya satu yang membuatnya terpikat.

Entah bagaimana kabar gadis itu sekarang, setelah lulus Kevlar putus dengan gadis yang tak lain adalah adik kelasnya itu. Kevlar pun menerima perpisahan mereka dengan lapang dada, yakin bahwa itu keputusan terbaik untuk mereka karena orang tuanya juga memintanya untuk kuliah di luar negri agar dia bisa belajar hidup mandiri. 

Kevlar kembali memandangi gadis itu. Wajahnya mengingatkannya pada mantan pacar SMA-nya. Bukan karena mereka mirip, bukan. Justru gadis di sebrangnya kini lebih cantik dan jenjang, berbeda jauh dengan mantannya yang bertubuh mungil dan sederhana. Penampilan mereka pun jelas berbeda, namun ada semacam perasaan yang menghubungkannya untuk mengingat keduanya.

"Akh, ini pasti efek banyak pikiran!" desah Kevlar dalam hati.

Tak lama, sebuah ojek online berhenti di depan gadis itu, membawanya menuju alamat yang sudah dipesan. Meninggalkan Kevlar yang masih terperangkap dalam pikiran dan tatapan kosongnya.

                                                           

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status