Ada yang aneh dengan Ghaza. Quitta bisa merasakannya, sikap Ghaza padanya tak lagi hangat. Sudah beberapa kali bahkan Ghaza seperti menghindarinya. Memang di depan siswa lain mereka tidak pernah memperlihatkan bahwa keduanya saling mengenal. Hanya Tessa dan Farah saja yang tahu bahwa mereka berdua sudah dijodohkan satu sama lain. Namun tetap saja perubahan sikap Ghaza terlalu kentara. Dua hari yang lalu, sejak Quitta berhenti menyinggahi taman belakang sekolah tempat dia menghabiskan jam istirahat siangnya, Quitta melihat Farah keluar dari taman. Quitta nyaris memanggilnya, jika saja dia tidak melihat Ghaza keluar dari tempat yang sama, hanya berjarak beberapa langkah dari Farah. Meski sempat curiga, namun Quitta tak membiarkan pikiran buruk menguasainya. Sebelumnya saat sedang berada di kantin, Farah memang berkata dia harus ke toilet karena sakit perut. Mungkin saja mereka tak sengaja bertemu karena tak jauh dari taman belakang terdapat toilet lama yang terkadang masih diguna
Setelah berdebat selama lima menit, akhirnya Tessa mengalah. Diikutinya langkah Quitta masuk kembali menuju bagian dalam bioskop. Setelah bertanya pada petugas tiket, yang awalnya berkeras tak mau memberitahu mereka akhirnya Quitta dan Farah bisa mendapatkan informasi di ruangan mana Ghaza dan Farah berada. "Tunggu!" Quitta menahan langkah Tessa yang akan memasuki ruangan yang mereka tuju. Diliriknya tiket yang berada dalam genggaman Tessa. "Kenapa?" "Kita ngga tahu di sebelah mana mereka duduk, kalau kita masuk dari depan, mereka bisa saja melihat kita." "Lalu sekarang kita harus bagaimana?" tanya Tessa bingung, setahu mereka pintu masuk dan pintu keluar meski berada di dua sisi yang berbeda, namun posisinya yang berada di depan sudah pasti akan membuat mereka terlihat oleh penonton lain. Apalagi penonton yang lain sudah duduk di kursinya masing-masing. "Kita pulang aja!" putus Quitta, sambil berbalik menjauhi pintu masuk. "Jangan." Tessa menarik lengan Quitta dan membawany
Seminggu telah berlalu.Kejadian di mall tetap menjadi rahasia antara Quitta dan Tessa. Tak ada lagi pembicaraan tentang kejadian itu, karena mereka sepakat untuk menyimpannya rapat-rapat.Farah tetap bersikap seperti biasa. Dia tidak tahu jika Quitta dan Tessa sudah mengetahui hubungannya dengan Ghaza. Quitta dan Tessa pun berusaha bersikap normal, meski Tessa lebih banyak diam jika mereka sedang bertiga. Dan sebenarnya tanpa memberitahu Quitta, Tessa kini selalu bersikap waspada terhadap Farah.Saat ini ketiganya sedang berada di aula utama bersama perwakilan kelas lain dan anggota OSIS untuk membahas acara ulang tahun sekolah yang akan diadakan bulan depan.Sudah beberapa kali Tessa menghembuskan nafas beratnya, Farah mungkin tidak menyadari jika sejak tadi pandangan Tessa tertuju padanya. Setiap gerak-gerik Farah seakan mengganggunya."Untuk acara nanti gimana kalau kita adain lagi pemilihan couple goals seperti tahun lalu?" ungkap Farah, dengan tatapan tertuju pada majalah yang
Di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang furnitur. Di salah satu ruangan direktur utama. Sudah setengah jam Kevlar duduk membelakangi mejanya, memandangi awan yang bergerak menggantung di atas cakrawala. Sekali dua, seekor burung melintas, menampakkan kebebasan yang tiada batas. Bahagia dengan takdirnya. Tumpukan map di atas meja yang biasanya selalu semangat dibacanya, tak lagi menarik minatnya. Pikirannya saat ini tidak bisa dipaksa untuk bekerja. Seolah buntu, atau lebih tepatnya, terblokir oleh masalah besar yang tak bisa lagi diabaikan olehnya. Seandainya dia tidak terikat dengan tanggung jawab terhadap perusahaan mungkin saat ini dia sudah melarikan diri. Pergi ke luar negri atau luar kota yang jauh dari Jakarta. Tanpa harus memedulikan siapa pun, atau merasa berat tentang apapun. "Masuk!" serunya pada seseorang di luar yang mengetuk pintu ruangannya. "Kev, proposal dari ReMain udah lu periksa?" tanya Naren, sahabat sekaligus asistennya, dengan tergesa. "Belum." Jawa
Kevlar baru saja tiba di rumahnya, saat kedua matanya tertumbuk pada sepasang stiletto ungu di pintu masuk menuju ruang tamu. Meski dia tahu siapa pemilik sepatu itu, namun hati kecilnya berharap yang datang bukan wanita itu. "Halo sayang!" Suara dengan nada manja yang dibuat-buat terdengar bahkan saat jarak mereka masih berjauhan. "Aku langsung ke sini loh dari bandara. Abisnya Mamih nitip ini." Sebuah bungkusan nasi jinggo favorit Kevlar dikeluarkan dari tas, saat Kevlar mendekati si pemilik suara. Kevlar menelan ludahnya. Bayangan nasi jinggo yang nikmat terpampang nyata dalam pikirannya. "Ayo kita makan, aku tahu perut kamu kosong karena tadi siang ngga makan. Sini, biar aku suapin kamu." "Ngga usah repot-repot, tanganku masih bisa digunakan untuk makan." Kevlar berkata dengan nada dingin dan cuek. "Oke, tapi biarkan aku melakukannya. Anggap aja latihan buat jadi istri kamu." Ucapnya. Dia tertawa dengan anggun. Hal yang dulu selalu membuat Kevlar tergila-gila pada wanita d
Di sebuah rumah yang lain. Gebrakan keras di pintu membuat si pemilik kamar mengkerut di tempat tidurnya. Ibunya sudah menggila, pikirnya. "Qitt, buka pintunya kita perlu bicara!" Seorang wanita yang terlihat cantik di usianya yang tak lagi muda itu tampak diliputi amarah. "Quitta! Buka pintunya atau Mama minta tukang membobol pintu ini!" Sebuah kalimat yang langsung membuat si empunya nama bangkit dan segera membuka pintu kamarnya. Gadis berusia 18 tahun itu memasang wajah tak kalah masam saat netra keduanya saling bertemu. "Apa yang kamu lakukan? Mau bikin kacau semuanya?" bentak wanita yang lebih tua. Gadis remaja di depannya tak bergeming, dia hanya diam mendekap boneka stitch kesayangannya. "Quitta! Jawab Mama!" "Apa lagi yang harus aku jawab Ma, apa?! Mama cuman mau dengar apa yang mau Mama dengar, bukan bagaimana sebenarnya perasaan aku, apa yang aku inginkan, atau apa yang ingin aku katakan pada Mama!" Quitta mulai terisak. Namun tak membuat Anastasia menjadi luluh.
Setiap saat ada saja tingkah Tessa untuk mengerjai omnya, Narendra. Usia mereka yang hanya berjarak sepuluh tahun, membuat mereka dekat layaknya kawan. Kali ini Tessa meminta Naren untuk mentraktirnya makan siang. Tak tanggung-tanggung, Tessa memilih restoran western terkenal yang harganya tentu saja tidak cocok untuk dompet anak SMA seusianya. "Kamu tuh tahu aja cara bikin orang bangkrut." Gerutu Naren. "Om ih, ngga boleh bilang gitu. Biar gini juga aku tuh ponakan Om yang tersayang, kalo ngga ada aku, hidup loe ngga asik!" kekeh Tessa. "Salah! Justru ngga ada kamu dompet Om jadi makmur." Tessa mencebikkan bibirnya dengan tak acuh, tak ingin perkataan omnya membuat harinya yang sudah berwarna menjadi kelabu. Setelah sederet pesanannya yang cukup untuk porsi rame-rame datang, Tessa mulai meng-up date status di Twitter, I* dan W*-nya, lengkap dengan foto dari berbagai angle. Naren hanya berdecak melihat tingkahnya. Terlalu enggan mengomentari kebiasaan Tessa yang hanya akan membu
Tepat pukul 5, Kevlar turun dari kantornya. Beberapa karyawan galeri furnitur yang berada di lantai bawah kantornya tersenyum dan mengangguk hormat saat Kevlar lewat di depan mereka. Jam tutup galeri berbeda satu jam dengan kantor, tapi beberapa karyawan sudah mulai berbenah, dan sebagian lainnya masih melayani klien yang ingin membeli furnitur atau sekedar hanya melihat-lihat. Kevlar memasuki mobil Range Rover miliknya, dan melaju dengan kecepatan sedang. Menyesal dia tidak meminta Pak Mur, supir perusahaan, untuk mengemudikan mobilnya karena baru lima belas menit berada di jalan, dia sudah merasakan kantuk yang tak tertahankan. Semuanya gara-gara semalam dia begadang. Padahal tidak ada hal penting yang harus dilakukannya. Pun mengenai masalahnya dengan Alea yang beberapa hari terakhir sempat menyita pikirannya, kini tak dirisaukannya lagi. Dia membebaskan pikirannya dari segala hal yang memberatkan, dan melakukan semua hal yang diinginkannya tanpa memedulikan apakah orang lain a