Kevlar baru saja tiba di rumahnya, saat kedua matanya tertumbuk pada sepasang stiletto ungu di pintu masuk menuju ruang tamu.
Meski dia tahu siapa pemilik sepatu itu, namun hati kecilnya berharap yang datang bukan wanita itu.
"Halo sayang!" Suara dengan nada manja yang dibuat-buat terdengar bahkan saat jarak mereka masih berjauhan.
"Aku langsung ke sini loh dari bandara. Abisnya Mamih nitip ini." Sebuah bungkusan nasi jinggo favorit Kevlar dikeluarkan dari tas, saat Kevlar mendekati si pemilik suara.
Kevlar menelan ludahnya. Bayangan nasi jinggo yang nikmat terpampang nyata dalam pikirannya.
"Ayo kita makan, aku tahu perut kamu kosong karena tadi siang ngga makan. Sini, biar aku suapin kamu."
"Ngga usah repot-repot, tanganku masih bisa digunakan untuk makan." Kevlar berkata dengan nada dingin dan cuek.
"Oke, tapi biarkan aku melakukannya. Anggap aja latihan buat jadi istri kamu." Ucapnya. Dia tertawa dengan anggun. Hal yang dulu selalu membuat Kevlar tergila-gila pada wanita di depannya itu.
Kevlar memandangnya dengan tajam, emosi yang sudah ditahannya dari tadi, akhirnya meledak.
"Alea! Kita sudah membahas ini, tidak ada yang namanya pernikahan antara aku dan kamu. Semuanya sudah berakhir saat kamu memutuskan berselingkuh dengan pria itu!"
Alea bangkit dari duduknya dan mendekati Kevlar.
"Kev, aku sudah menjelaskan semuanya pada keluarga kamu, aku dijebak! Aku benar-benar ngga sengaja melakukan itu."
"Oh benar, kamu bisa menyangkalnya! Tapi aku tidak akan tertipu!" Tegas Kevlar.
Alea membalasnya dengan tatapan sengit, espresi manisnya berubah menjadi kesal.
"Aku ngga peduli! Keluarga kamu dan keluargaku akan segera bertemu untuk membahas pernikahan kita. Aku harap kamu bisa bersikap baik dengan tidak mengacaukan segalanya!"
Alea berbalik mengambil tas dan koper yang dibawanya, lalu pergi dari hadapan Kevlar.
"Shit!!" Kevlar memaki pelan. Direbahkannya tubuhnya di atas sofa bed, berpikir hingga dirinya tertidur dengan pulas. Teriakan Alea yang memintanya untuk mengantarkannya pulang tak digubris olehnya.
***
"Mas, Mas Kev!" Dengan hati-hati pemilik suara itu membangunkan tuannya.
Tubuh yang dipanggil itu menggeliat, suara yang tak asing baginya mengumpulkan kesadarannya, jika dia masih berada di ruang tengah.
"Ummhh ... " Beberapa bagian tubuhnya terasa sakit karena sofa itu terlalu kecil untuk ukuran tubuhnya yang tinggi besar.
"Mas, makan dulu. Semuanya sudah Bibik siapkan." Ujar pemilik suara itu yang kerap dipanggil Bik Rahma oleh Kevlar. Padahal orang lain memanggilnya Wati, karena itulah nama depannya, Wati Rahmawati.
"Aku ngga lapar Bik." Gumam Kevlar dengan mata setengah tertutup.
Dalam pandangannya lampu sudah menyala di ruangan itu, tandanya hari sudah malam. Kilauan lampu 50 watt itu membuat matanya mengerjap, silau.
"Maaf Mas, tapi tadi Bibik dengar Non Alea mengatakan Mas Kevlar belum makan dari siang. Makanya Bibik menyiapkan makan tanpa bertanya dulu pada Mas Kevlar." Jelas wanita berusia hampir setengah abad itu.
Kevlar tersenyum. Dia bersyukur memiliki Bik Rahma, karena meskipun ibunya berada jauh darinya, namun dia tidak kehilangan sosok itu.
"Baiklah, aku makan." Putus Kevlar sambil perlahan bangun dari posisi tidurnya.
"Nasi jinggo yang dibawa Non Alea sudah Bibik siapkan juga di meja, barangkali Mas Kevlar mau memakannya." Terang Bik Rahma.
"Ngga usah, Bibik makan aja atau berikan pada yang lain." Ucap Kevlar.
Dia tahu ucapan Alea soal ibunya yang menitipkan nasi jinggo itu untuknya bohong. Karena kalau itu dari ibunya, pasti ibunya lebih tahu bahwa dia hanya suka memakan nasi jinggo khas Bali itu di tempat asalnya.
Tanpa mendebat Bik Rahma mengiyakan ucapan tuannya, dan berlalu menuju meja makan yang diikuti oleh Kevlar di belakangnya.
****
Seminggu telah berlalu.Kejadian di mall tetap menjadi rahasia antara Quitta dan Tessa. Tak ada lagi pembicaraan tentang kejadian itu, karena mereka sepakat untuk menyimpannya rapat-rapat.Farah tetap bersikap seperti biasa. Dia tidak tahu jika Quitta dan Tessa sudah mengetahui hubungannya dengan Ghaza. Quitta dan Tessa pun berusaha bersikap normal, meski Tessa lebih banyak diam jika mereka sedang bertiga. Dan sebenarnya tanpa memberitahu Quitta, Tessa kini selalu bersikap waspada terhadap Farah.Saat ini ketiganya sedang berada di aula utama bersama perwakilan kelas lain dan anggota OSIS untuk membahas acara ulang tahun sekolah yang akan diadakan bulan depan.Sudah beberapa kali Tessa menghembuskan nafas beratnya, Farah mungkin tidak menyadari jika sejak tadi pandangan Tessa tertuju padanya. Setiap gerak-gerik Farah seakan mengganggunya."Untuk acara nanti gimana kalau kita adain lagi pemilihan couple goals seperti tahun lalu?" ungkap Farah, dengan tatapan tertuju pada majalah yang
Setelah berdebat selama lima menit, akhirnya Tessa mengalah. Diikutinya langkah Quitta masuk kembali menuju bagian dalam bioskop. Setelah bertanya pada petugas tiket, yang awalnya berkeras tak mau memberitahu mereka akhirnya Quitta dan Farah bisa mendapatkan informasi di ruangan mana Ghaza dan Farah berada. "Tunggu!" Quitta menahan langkah Tessa yang akan memasuki ruangan yang mereka tuju. Diliriknya tiket yang berada dalam genggaman Tessa. "Kenapa?" "Kita ngga tahu di sebelah mana mereka duduk, kalau kita masuk dari depan, mereka bisa saja melihat kita." "Lalu sekarang kita harus bagaimana?" tanya Tessa bingung, setahu mereka pintu masuk dan pintu keluar meski berada di dua sisi yang berbeda, namun posisinya yang berada di depan sudah pasti akan membuat mereka terlihat oleh penonton lain. Apalagi penonton yang lain sudah duduk di kursinya masing-masing. "Kita pulang aja!" putus Quitta, sambil berbalik menjauhi pintu masuk. "Jangan." Tessa menarik lengan Quitta dan membawany
Ada yang aneh dengan Ghaza. Quitta bisa merasakannya, sikap Ghaza padanya tak lagi hangat. Sudah beberapa kali bahkan Ghaza seperti menghindarinya. Memang di depan siswa lain mereka tidak pernah memperlihatkan bahwa keduanya saling mengenal. Hanya Tessa dan Farah saja yang tahu bahwa mereka berdua sudah dijodohkan satu sama lain. Namun tetap saja perubahan sikap Ghaza terlalu kentara. Dua hari yang lalu, sejak Quitta berhenti menyinggahi taman belakang sekolah tempat dia menghabiskan jam istirahat siangnya, Quitta melihat Farah keluar dari taman. Quitta nyaris memanggilnya, jika saja dia tidak melihat Ghaza keluar dari tempat yang sama, hanya berjarak beberapa langkah dari Farah. Meski sempat curiga, namun Quitta tak membiarkan pikiran buruk menguasainya. Sebelumnya saat sedang berada di kantin, Farah memang berkata dia harus ke toilet karena sakit perut. Mungkin saja mereka tak sengaja bertemu karena tak jauh dari taman belakang terdapat toilet lama yang terkadang masih diguna
Kevlar tahu tidak mungkin selamanya dia bisa menghindari Alea. Namun tiap kali berhadapan dengan perempuan itu, kebenciannya tidak bisa terbendung. Harga dirinya sebagai pria yang sudah dinodai oleh Alea, dan pengkhianatannya yang besar, memberikan luka yang dalam di hati Kevlar. Kali ini Alea mendatangi Kevlar di kantornya. Tanpa pemberitahuan seperti biasa. Memang sudah terlalu lama sejak terakhir hubungan mereka berubah menjadi seperti musuh dibanding pasangan. "Ada apa?" sambutan dingin dari Kevlar dibalas Alea dengan senyum angkuhnya. "Aku udah dapat WO yang bakal urusin pernikahan kita. Dan minggu depan kita ada meeting dengan mereka untuk deal vendor." "Kita?" Sahut Kevlar, seolah tak rela Alea menyebut kata itu di depannya. "Yes. Kita, you and me!" Sahut Alea riang, seolah tak terjadi apa-apa. Kevlar tak menggubrisnya, toh dia juga tidak akan datang meski diseret paksa. Alea pun bersikap tak acuh, dengan santainya dia mengeluarkan ponselnya dari tas hermes merahnya
Sejak kunjungan Ghaza bersama ibunya tiga minggu yang lalu di rumahnya, Quitta belum bertemu lagi dengan Ghaza. Biasanya dia akan merasa tenang jika tidak melihat makhluk satu itu, namun tidak setelah apa yang terjadi di rumahnya. Sekarang bahkan Quitta berpikir untuk mendatangi kelas Ghaza dan berbicara empat mata dengannya. Dia ingin menjelaskan pada Ghaza agar dirinya tidak perlu menghiraukan perkataan ibunya, bagaimanapun pernikahan terjadi atas persetujuan kedua belah pihak, dan bukan karena paksaan salah satu pihak. Namun rasa gengsi mengalahkan keinginannya. Terlebih lagi dia tahu pasti jika hal itu hanya akan menyebabkan kegemparan di kalangan siswa lain. Seandainya Anastasia tidak memaksa membicarakan pernikahannya dengan Ghaza pada Ghea, sekarang Quitta pasti tidak akan merasa kesulitan. Pembicaraan saat itu adalah aib baginya, apalagi setelah melihat respon ibu Ghaza yang terlihat tidak senang setelah ibunya menyinggung masalah itu. Bel tanda pergantian pelajaran berbu
Malam ini Kevlar mengajak Naren keluar. Sudah lama sekali sejak terakhir kali mereka jalan bersama. Kesibukan keduanya membuat mereka jarang meluangkan waktu kecuali untuk urusan pekerjaan."Tumben nih, dalam rangka apa lo ngajakin gue hangout? Gue sampe belain batalin kencan gue sama Zarra demi lo." Ucap Naren saat keduanya bertemu di sebuah private lounge hotel berbintang.Naren yang datang lebih dulu sudah siap dengan minuman favorit mereka, sebotol bullshot yang langsung dituangkannya saat Kevlar tiba."Anggap aja perayaan keberhasilan proyek kita kemarin." Ungkap Kevlar."Oh yeah, gue suka ini! Ayo bersulang!" Naren sudah bersiap mengangkat gelasnya dengan tinggi, namun reaksi Kevlar membuat tangannya tertahan di udara."Gue lagi ngga pengen minum yang keras-keras." Sahut Kevlar setelah Naren melihatnya dengan pandangan bertanya. Akhirnya dengan terpaksa Naren minum sendiri."Ck, gue kira ponakan gue bohong waktu dia bilang lo lagi flirting-in sohibnya dia!" gerutu Naren.Ke